ABSTRAK
Pembentukan
perindustrian di Indonesia dalam arti luas tidak lain adalah untuk meningkatkan
kegiatan perekonomian yang berkesinambungan agar dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Perwujudan hal tersebut diterjemahkan dalam rumusan tujuan
perindustrian yang diatur dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian. Dalam implemantasinya, ternyata tujuan tersebut elumlah
dilaksanakan secara maksimal, bahkan dapat dikatakan jauh dari harapan. Sebagai
contoh, pelaksanaan tujuan pada point keempat dan keenam. Dan yang terakhir
masalah lingkungan hidup yang dituangkan dalam Pasal 2 UUP sebagai landasan
kegiatan perindustrian.
Kata kunci: Tujuan,
Perindustrian
Filosofia Perindustrian
Pembangunan nasional yang sedang dilancarkan di negara kita adalah
merupakan suatu rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang
dilakukan secara sadar oleh bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan
bangsa-bangsa (Abdurrahman, 1979: 18). Hal ini tentunya dapat dicapai melalui
proses peningkatan kegiatan perindustrian di tanah air.
Pembentukan perindustrian di Indonesia dalam arti luas tidak lain
adalah untuk meningkatkan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan agar
dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peranan perindustrian dalam konteks
berbangsa tidak dapat dibilang sedikit. Terbukti, perindustrian dewasa ini
menjadi salah satu penyuntik APBN terbesar setelah dunia perpajakan. Dalam
konteks perekonomian, perindustrian menjadi salah satu pilar penting dalam
menciptakan pembangunan yang mempunyai nilai sinergitas baik makro maupun
mikro.
Dalam konsiderans pembentukan UU No. 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian (UUP) telah disebutkan bahwa dibentuknya UUP adalah untuk
memberikan dasar yang kokoh bagi pengaturan, pembinaan, dan pengembangan
industri secara mantap dan berkeseinambungan dalam mencapai sasaran pembangunan
di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan industri
memegang peranan yang menentukan dan oleh karenanya perlu dikembangkan secara
seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif
serata mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan
dana yang tersedia. Selain itu juga, untuk menciptakan iklim yang sehat bagi
pertumbuhan perekonomian perindustrian dan mencegah persaingan yang tidak jujur
antara perusahaan-perusahaan industri, agar dapat dihindarkan pemusatan atau
penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli
yang merugikan masyarakat (C.S.T Kansil, 1986: 14).
Pembangunan dalam sektor industri mempunyai konseptual teoritis
yang cukup komprehensif khususnya pembangunan perekonomian nasional jangka
panjang. Dimana tujuannya ialah tercapainya struktur ekonomi yang seimbang yang
didalamnya terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju serta merupakan
pangkal tolak bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas
kekuatannya sendiri.
Dengan memperhatikan sasaran pembangunan jangka panjang di bidang
ekonomi tersebut, maka pembangunan industri memiliki peranan yang sangat
penting. Dengan arah dan sasaran tersebut, pembangunan indutsri bukan saja
berarti harus semakin ditingkatkan dan pertumbuhannya dipercepat sehingga mampu
mempercepat terciptanya struktur ekonomi yang lebih seimbang, tetapi
pelaksanaannya harus pula makin mampu memperluas kesempatan kerja, menigkatkan
rangkaian proses prduksi industri untuk memnuhi kebutuhan dalam negeri sehingga
mengurangi ketergantungan pada impor, dan meningkatkan ekspor dan hasil-hasil
industri itu sendiri (C.S.T Kansil, 1986: 4)
Tujuan perindustrian
Kaitannya
dengan tujuan dari pembangunan industri tidak lain adalah mengharmonisasikan
relevansitas koreksi terhadap masalah perindustrian dan perekonomian nasional.
Dalam Pasal 3 UUP mengaskan bahwa tujuan dari pembangunan industri adalah (i)
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan
memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan/atau hasil budidaya serta dengan
memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, (ii) meningkatkan
pertumbuhan ekonomi secara bertahap, mengubah struktur perekonomian ke arah
yang lebih baik, maju, sehat, dan lebih seimbang sebagai upaya untuk mewujudkan
dasar yang lebih kuat dan lebih luas bagi pertumbuhan ekonomi pada umumnya,
serta memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan industri pada khususnya, (iii)
meningkatkan kemampuan dan penguasaan serta mendorong terciptanya teknologi
yang tepat guna dan menumbuhkan kepercayaan terhadap kemampuan dunia usaha
nasional, (iv) meningkatkan keikutsertaan masyarakat dan kemampuan golongan
ekonomi lemah, termasuk pengrajin agar berperan secara aktif dalam pembangunan
industri, (v) memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha, serta meningkatkan peranan koperasi industri, (vi) meningkatkan
penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor hasil produksi nasional yang
bermutu, disamping penghematan devisa melalui pengutamaan pemakaian hasil
produksi dalam negeri, guna mengurangi ketergantungan kepada luar negeri, (vii)
mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan industri yang menunjang pembangunan
daerah dalam rangka pewujudan Wawasan Nusantara, (viii) menunjang dan
memperkuat stabilitas nasional yang dinamis dalam rangka memperkokoh ketahanan
nasional.
Tujuan: Mencerdaskan atau Membodohkan?
Banyak dari
tujuan-tujuan yang disebutkan diatas belum terlaksana dengan baik. Khusus untuk
point keempat, maka pelaksanaan tujuan tersebut belumlah begitu maksimal.
Masyarakat sekitar sering kali tidak diikutsertakan dalam kegiatan perindustrian.
Sebagai contoh, masyarakat papua, tempat dimana berkedudukannya PT. Freeport
Indonesia ( PT. FI) yang masih belum diberdayakan. Padahal Pasal 10 UU No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal
dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga
negara Indonesia. Dampak dari tidak terpenuhinya ketentuan ini, maka dapat kita
lihat pada adanya gejolak sosial dari masyarakat papua yang berusaha menyerang (PT.
FI) tersebut. Tentunya kita masih ingat, ada beberapa pegawai PT. FI yang
berkewarganegaraan asing yang dibunuh dengan cara ditombak oleh sekelompok masyarakat
lokal disana. Hal ini tentunya dilandsasi pemikiran bahwa adanya tindakan
diskriminasi yang dilakukan oleh PT. FI terhadap kaum marginal seperti
masyarakat papua.
Permasalahan
pelaksanaan tujuan tersebut masih berlanjut. Dimana dalam point keenam,
mengamanatkan kegiatan perindustrian ditujukan untuk meningkatkan penerimaan
devisa, guna mengurangi ketergantungan kepada luar negeri. Tentunya hal ini
perlu dikaji ulang. Dalam sejarah perindustrian di Indonesia, salah satu
industri yang paling “merugikan” Indonesia adalah disektor pertambangan.
Lagi-lagi “pelaku”nya adalah PT. Freeport Indonesia. Perusahaan tambang asal
Amerika ini telah berhasil melarikan berjuta-juta ton meter kubik tambang emas via
kapal-kapal tanker besar pada era Presiden Soeharto. Hal ini terjadi karena minimnya
kemampuan anak bangsa dalam membuat kontrak yang membuat bargaining position
kita semakin tertekan oleh pihak asing. Akibatnya, devisa kita semakin
defisit pada masa itu selama berpuluh-puluh tahun dan menimbulkan kawah besar
dalam pergunungan tambang di Papua.
Kegiatan perindustrian
di Indonesia harulah didasari oleh beberapa element penting, antara lain
demokrasi ekonomi, kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan diri sendiri,
manfaat, dan kelesatarian lingkungan hidup (Pasal 2 UUP). Maksud dari
kelestarian lingkungan hidup adalah bahwa pelaksanaan pembangunan industri
tetap harus dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian dari
lingkungan hidup dan sumber daya alam. Hal
ini terkait dengan tujuan pembangunan pada poin pertama, yang berusaha
meningkatkan kinerja pemabangunan perindustrian dengan tetap memperhatikan
keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Relevansi
antara kegiatan perindustrian dan lingkungan hidup merupakan masalah klasik
yang sampai saat ini belum dapat terselesaikan. Tentunya kita masih ingat
perdebatan antar negara-negara dunia dalam forum internasional (Protokol
Kyoto), dimana adanya penolakan Amerika Serikat sebagai negara industri
terbesar di dunia untuk enggan memberikan subsidi kepada negara pemilik hutan
terbesar seperti Indonesia. Alhasil sampai saat ini Amerika tetap bersikukuh
untuk tidak meratifikasi protokol tersebut dengan dalih persamaan kedaulatan.
Hal-hal semacam inilah yang akan menghambat grand design dari tujuan
pembangunan perindustrian dalam kancah internasional khususnya Indonesia.
Pergulatan
masalah antara perindustrian dan ekosistem juga berdampak pada tingginya angka
pencemaran bagi masyarakat sekitar. Khususnya pencemaran udara, air, dan tanah.
Pencemaran udara yang diakibatkan oleh kegiatan perindustrian bukanlah hal yang
baru. Hal ini telah berlangsung jauh sebelum dicetuskannya deklarasi Stockholm
pada tahun 1972. Kota London yang merupakan salah satu kota
yang dapat dikatakan bersih dari masalah lingkungan hidup justru pada awal abad
ke-19 harus bergulat dengan pencemaran udara yang diakibatkan oleh kabut
berjelaga dari kegiatan perindustrian (Munadjat Danusaputro, 1985: 185). Tidak
hanya itu, pencemaran udara hebat juga pernah terjadi di Yunani, Spanyol,
Prancis, Jerman, Italia, Inggris, Brazilia, Chili, Amerika, maupun Kanada (A.
Tresna Sastrawijaya, 1999: 188). Di Indonesia sendiri, permasalahan pencemaran
udara via perindustrian mulai terasa dampaknya ketika dicetuskannya ideologi
pembangunan (developmentarisme) oleh Presiden Soeharto.
Meningkatnya intensitas perindustrian juga mulai berdampak pada
keseimbangan ekosistem. Misalnya provinsi Sumatera Selatan, yang banyak
memiliki perusahaan tambang minyak seperti PT. Pertamina, PT. Conoco Philips,
PT. Medco Energy dan sebagainya yang pada saat ini banyak mengalami kebocoran
pipa saluran atau bahkan mengalami peledakan yang mengakibatkan pencemaran
terhadap lingkungan sekitar. Dalam catatan lingkungan hidup Walhi Sumsel tahun
2009 disebutkan bahwa dalam tahun 2009 telah terjadi sebanyak sepuluh kasus
pencemaran lingkungan oleh PT. Pertamina yang disebabkan ole kebocoran dan
ledakan minyak pipa, peledakan dari sumur tua pengeboran, semburan api dan
lumpur serta tumpahan minyak. Hal serupa juga terjadi di Sidoarjo, dimana
adanya “ulah” dari PT. Lapindo Brantas yang mengakibatkan meluapnya lumpur
panas dari perut bumi sehingga menciptakan danau raksasa.
Padahal tujuan pembangunan
perindustrian yang mewajibkan para pelaku industri untuk tetap memperhatikan
keseimbangan dan keletarian lingkungan hidup adalah selaras dengan ketentuan
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandiiran, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional (cetak hitam oleh penulis). Ketentuan tersebut kemudian diterjemahkan
ke dalam Pasal 22 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau
kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
Apabila didasarkan pada ketentuan tersebut, maka sejatinya kegiatan
perindustrian yang menyebabkan timbulnya pencemaran terhadap lingkungan hidup
adalah suatu tindakan inkonstituional.
Oleh karena
itu, meihat realitas fakta diatas dimana tidak terlaksananya dengan baik
sinergitas antara tujuan perindustrian dan pembangunan industri akan berdampak
pada ketimpangan sosial dan politik. Dimana probabilitas peningkatan dalam
pembangunan perindustrian semakin jauh dari harapan dan semakin membuat
kesengsaraan terhadap masyarakat Indonesia pada khususnya.
Palembang, Maret 2010
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment