Sosiologi Hukum Sebagai Ilmu
Sosiologi hukum (sociology of law) merupakan ilmu yang relatif
baru dalam displin ilmu kekinian. Namun, peran dan eksistensinya dalam
mengembangkan ilmu hukum khususnya, tidak dapat terbantahkan lagi. Sebagai
suatu ilmu, sosiologi hukum tentunya masih sangat dapat diperdebatkan
keberadaannya. Dalam perspektif sosiolog, sosiologi hukum merupakan hasil dari
modifikasi ilmu yang diharapkan dapat memeberikan kejelasan bagi masyarakat
apa dan bagaimana ilmu hukum itu dari optik sosiologi. Sedangkan, ilmuwan hukum
lebih memandang sosiologi hukum sebagai “supporting science” yang
bertujuan untuk mendukung dan memberikan input pengetahuan baru dalam hukum itu
sendiri. Sehingga, dapat menjadikan hukum tidak lagi sebatas norma yang berkaca
mata kuda.
Tidak sedikit memang yang memandang sosiologi hukum bukan sebagai
ilmu. Dalam kemunculannya sekitar awal abad ke-20, embrio sosiologi hukum
tidaklah begitu jelas. Ia tidak dapat dikatakan sebagai cabang ilmu dari
sosiologi, begitu juga dengan ilmu hukum. Banyak pendapat yang berkembang kalau
sosiologi hukum merupakan alternatif moderat yang memfasilitasi arogansi
sosiologi dan ilmu hukum.
Sosiologi >< Hukum
Dalam sejarahnya, sosiologi tidak dapat berfusi secara ilmiah
dengan ilmu hukum. Keduanya mempunyai limitasi yang tegas, sehingga penterasi
keilmuan pun tidak dapat berinfiltrasi. Sosiologi menganggap hukum merupakan
subsistem dari sosiologi. Keberadaan ilmu hukum sejajar dan koordinatif dengan
ilmu lain, seperti ilmu ekonomi, bahasa, budaya, politik, kesenian dan lain
sebagainya. Hukum merupakan bagian dari masyrakat. Di masyarakatlah, hukum itu
berkembang dan berbaur dengan ilmu lain. Ia tidak lebih tinggi dari sosiologi.
Oleh karenanya, wajar ketika hukum tidak mempunyai legitimasi kuat di mata para
sosiolog.
Begitu juga halnya, ketika ilmu hukum memandang sosiologi. Seorang jurist
menganggap sosiologi hanya sebatas ilmu yang menjabarkan suatu keadaan dan
fakta dalam masyarakat. Ia tidak dapat menjustifikasi ataupun memfalsifikasi
keberadaan suatu peristiwa. Sebagai suatu ilmu, sosiologi bersifat empiris dan
deskriptif. Inilah yang tidak disetujui oleh seorang ilmuwan hukum. Hukum
haruslah berbicara norma. Norma yang tertuang dalam kaidah tertulis ataupun
tidak. Cakupan ilmiahnya pun tidak dapat dilemparkan dalam koridor empiris. Oleh
karenanya, hukum diharuskan untuk
bersikap preskriptif. Selain itu juga, para jurist berpendapat bahwa
hukum adalah panglima. Eksistensi hukum jauh lebih bermartabat daripada
masyarakat. Masyarakatlah yang diciptakan untuk mengabdi kepada hukum. Bukan
hukum yang mengabdi kepada masyarakat. Dalam bahasa lain, masyarakatlah yang
harus patuh dan taat kepada hukum, sehingga premis yang berkembang adalah hukum
lebih superior dan masyarakat sudah pasti inferior. Oleh karenanya, asumsi yang
dihasilkan adalah ilmu hukum dan sosiologi tidak dapat bersatu. Keduanya
memiliki arogansi dan basis ilmiah yang sangat kuat. Sampai lahirnya sosiologi
hukum pun, silang pendapat di kalangan para ahli kerap kali ditemukan, dan
cenderung meruncing.
Dalam konteks yang tidak jauh berbeda, dalam pemikiran aliran hukum
yang ekstrim sekalipun, pada dasarnya sangat menolak anasir dan penetrasi ilmu
sosial (baca: sosiologi) dalam pengembangan ilmu hukum. Penganut aliran ini
beranggapan bahwa dengan adanya kehadiran ilmu sosial, maka dapat membuat ilmu
hukum kehilangan roh sejatinya. Mengapa? Karena ilmu hukum berasal, berkembang,
berdinamika, dan berakhir dalam konsep norma. Konsep ini menolak kehadiran
bahan non-hukum. Oleh karenanya, kemudian berkembanglah aliran dogmatik hukum,
teori hukum murni, aliran positivistik, dan lain sebagainya. Para penganut
aliran ini berpendapat bahwa, apabila hukum telah terkontaminasi ilmu sosial,
maka ia tidak lagi menjadi hukum, melainkan ilmu sosial terhadap hukum.
Begitu juga penganut aliran ilmu sosial memandang ilmu hukum. Mahzab
ini pada hakikatnya ingin membantu dan memperbaiki konsep hukum, yang apabila
selama ini hanya berkutat pada teori dan domatik hukum. Pandangan inilah yang
kemudian mencoba memandang hukum itu pada tatanan realitas. Sehingga perbaikan
dan pembaharuan hukum menjadi lebih maksimal.
Namun, beginilah pertentangan ilmiah yang tejadi pada masa itu.
Mereka tidak dapat bersatu dalam pemikiran akademis, karena masing-masing
memiliki basis ilmiah yang sangat kuat. Ilmu hukum dan aliran-alirannya
berkembang dan bertahan pada pemikirannya sendiri, begitu juga dengan ilmu
sosial.
Sosiologi + Hukum = Sosiologi Hukum
Hingga pada awal abad ke-20, semuanya menjadi moderat, ketika
semakin banyak dan kompleksnya permasalahan di masyarakat. Hal ini mendesak
para ilmuwan untuk memberi sikap yang sedikit lunak. Tuntutan untuk meleburkan
sosiologi dan hukum menjadi suatu ilmu baru menjadi tuntutan progresif pada
zamannya. Tokoh-tokoh sosiologi dan hukum pun, tak ragu untuk menyatukan
pendapat. Max Webber, Aguste Comte, Philippe Nonet, Roscoe Pound, Oliver
Holmes, merupakan sedikit tokoh sosiolgi hukum yang kini dijadikan sebagai
ilmuwan pembaharuan. Di Indonesia pun, kita mengenal sosok seorang Soerjono
Soekanto, Mochtar Koesoematmadja, Satjipto Rahardjo, dan lainnya yang dikenal
sebagai bapak sosiologi hukum Indonesia. Bahkan nama belakangan yang disebut,
telah melahirkan teori “hukum progresif”, yang menurutnya lebih memandang dan
memaksakan hukum untuk bersikap revoulsioner. Hukum menurutnya haruslah bebas.
Dalam makna lain, hukum merupakan pembebasan dari logika dan peraturan. Hukum
haruslah untuk masyarakat, bukan sebaliknya. Begitulah sedikit pemikiran
Satjipto Rahardjo yang memandang hukum dalam optik sosiologi (baca: sosiologi
hukum).
Peran dan keberadaan sosiologi hukum dalam percaturan ilmiah di
Indonesia, cukup progresif dan revolusioner. Dengan adanya sosiologi hukum,
maka para jurist tidak lagi memandang hukum sebagai suatu alat yang
mengunci nilai-nilai kemanusiaan. Sosiologi hukum memberikan wacana yang segar,
sehingga hukum menjadi lebih humanis.
Contoh konkrit, diterapkan dan dimaksimalkannya paham sosiologi
hukum, tercermin dalam penjatuhan vonis oleh Hakim Bismar Siregar terhadap
perkara pemerkosaan di yurisdiksi Pengadilan Negeri Medan, walaupun toh
akhirnya putusan Bismar tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Medan. Tapi
setidaknya ini membuktikan bahwa dengan adanya sosiologi hukum, maka secara
tidak langsung akan berdampak pada perbaikan sistem hukum itu sendiri.
Dalam sosiologi hukum, diajarkan bahwa hukum diciptakan untuk
masyarakat. Hukum bukanlah mesin penguasa, seperti yang diutarakan oleh John
Austin. Dan hakim juga bukan corong dari hukum (baca: undang-undang). Maka
sejatinya keadilan hukum, lebih dioptimalkan daripada kepastian hukum guna
memberikan manfaat yang lebih banyak kepada masyarakat. Itulah yang menjadi
konsen dari sosiologi hukum.
Dalam tulisan ini, tidak akan dibeberkan apa dan bagaimana
sosiologi hukum itu. Tapi, lebih menekankan letak historis dari kemunculan
sosiologi hukum itu sendiri. Ditengah perdebatan yang panjang, kini ia menjadi
ilmu yang tidak dapat dipisahkan dalam studi hukum. Kalau dulu, banyak
penelitian hukum yang konservatif dengan memelihara nilai-nilai dogmatis, tapi
kini ia semakin variatif. Dengan keanekaragaman tersebut, maka output yang
dihasilkan tentunya akan berdampak pada kemajuan ilmu hukum itu sendiri. Pembaharuan
hukum dan penemuan hukum tidak akan tercapai tanpa memandang masyarakat sebagai
objek. Itulah yang disorot oleh sosiologi hukum, dalam persepektif yang lebih
sederhana.
Maka dari itu, kesimpulan yang dapat disajikan dalam tulisan ini
adalah bahwa di antara hukum dan masyarakat terdapat celah kecil yang sangat
tipis eksistensinya. Ia sangat rentan dipengaruhi dan mempengaruhi keduanya. Ia
cenderung tidak diperhatikan, tapi sangat menentukan dan dibutuhkan untuk perkembangan
ilmu. Itulah yang disebut SOSIOLOGI HUKUM.
Palembang, November 2011
M. Alvi Syahrin
menambah wawasan
ReplyDeleteMy blog
Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Delete