Idealika Hukum: Historia Kontemporer
Dalam perkembanganya, hukum tidak lagi dimanifestasikan dalam
kerangka yang kaku. Hukum dewasa ini harus membaur dan menyatu dengan
masyarakat. Karena dalam masyarakatlah, hukum dapat diuji kelayakannya. Melihat
hukum dalam tataran masyarakat, maka kita akan melihat reaksi timbal balik
(kausalitas) antara hukum dan masyarakat. Bagaimana diantara keduanya saling
berkaitan, mempengaruhi, bahkan menfalsifikasi satu sama lain. Sejatinya, hukum
itu berasal, berkembang, dan bermuara untuk masyarakat. Itulah esensi dari
hukum.
Diskursus Peta Hukum Tradisional “Versus” Hukum Modern
Uraian diatas, tentunya tidak dapat diterima oleh kalangan yang
menganut aliran legal positivistik. Aliran ini menghendaki bahwa hukum haruslah
berada pada ruang hampa. Lebih dari itu, hukum menurutnya merupakan menara
gading yang menganggap bahwa hukum adalah disiplin ilmu yang terisolir dari
ilmu lain. Hukum dalam paradigma semacam ini, ingin membangun persepsi pragmatis
yang menginginkan hukum harus dipelajari secara inklusif. Hukum adalah aturan.
Aturan tertulis adalah hukum. Kira-kira semacam inilah premis yang dibangun.
Celakanya, aliran inilah yang berkembang dan mengakar (radiks)
dalam sistem hukum nasional kita. Setelah dijajah oleh kolonial Belanda kurang
lebih 350 tahun, maka paham eropa kontinental sangatlah melekat dan mahfum di
para kalangan imuwan hukum Indonesia. Sehingga apa yang terjadi sekarang,
merupakan kristalisasi sejarah pada masa itu.
Dengan masih berlakunya aturan hukum produk kolonial (lihat Pasal I
Aturan Peralihan UUD 1945), maka secara otomatis kita seakan dipaksa untuk
mengikuti dan memahami aturan-aturan tersebut. Misalnya, Pasal 1 KUHP yang
menyatakan bahwa “tiada hukuman pidana, kecuali perbuatan tersebut telah diatur
oleh undang-undang”. Hal ini jelas sekali bahwa ajaran legalitas sangat khas
dan tentunya itu bukan karakter hukum Indonesia.
Hukum indonesia bukan menghendaki demikian. Ajaran hukum adat yang
dikembangkan oleh Hazairin dan Soepomo lebih mengedepankan aspek sosial
integralistik, bukan invidualistik prosedural. Hukum adat yang memang berasal
dari indonesia, malah menjadi tergerus dengan adanya pengaruh imperalisme pada
masa itu. Hal ini menjadi preseden buruk hingga saat ini.
Dengan adanya anomali karakter seperti itu, maka tidak heran
apabila masyarakat Indonesia cenderung apatis terhadap pengaruh sosial. Ia
lebih condong pada aturan serba kaku yang pada saat itu “dipaksakan” dengan
adanya asas konkordansi. Memasuki masa reformasi seperti saat ini, maka
pengaruh hukum positif ini semakin memprihatinkan. Masyarakat seakan lupa
dengan bunyi sila ke-empat yang menghendaik agar semua persoalan yang dihadapi
oleh bangsa hendaklah diselesailan secara musyawarah dan mufakat. Penyelesaian konflik
melalui jalur litigasi, tentunya bukan karakter bangsa kita.
Perlu dicermati, kesuksesan suatu bangsa tidak terletak pada
seberapa besar dan maju-nya teknologi yang dimiliki. Tetapi lebih dari itu, apa
dan bagaimana karakter hukum bangsa dapat diselamatkan seiring dengan adanya
pergeseran budaya dan zaman. Indonesia bukanlah contoh yang baik untuk hal ini.
Bolehlah kiranya kita menilik bagaimana jepang bekerja untuk bangsanya.
Walaupun menjadi salah satu negara yang “high technology”, Jepang tetap
mengedepankan aspek keberagaman hukum dan budaya. Setiap persoalan tidak cepat
diselesaikan secara represif, melainkan preventif. Bahkan kalau konflik sudah
terjadi, mereka lebih cenderung menyelesaikannya secara musyawarah (ADR).
Inilah yang membedakan kita dengan Jepang.
Masyarakat kita saat ini lebih proaktif ke arah represif.
Sedikit-sedikit ke polisi. Dengan semakin banyaknya polsek, maka bukan berarti
persoalan menjadi selesai. Malah hal ini menjadi masalah baru. Ini bukanlah
pelajaran baik bagi bangsa ini. Paradigma semacam ini haruslah diubah, sebelum
menjadi preseden buruk di kemudian hari.
Realitas Hukum: Tentatif atau Definitif (?)
Masalah hukum, bagi masyarakat Indonesia sejatinya tidak hanya itu.
Masyarakat indonesia dewasa ini dihadapkan dengan permasalahan besar lainnya,
yaitu “Clash of Law Culture”. Berdasarkan literatur dan sejarah yang
dimiliki Indonesia, pada dasarnya karakter hukum yang dimiliki oleh bangsa ini
bukanlah seperti yang terjadi pada saat ini. Indonesia lebih condong pada aturan
hukum adat, sebagai “The Living Law”. Inilah yang menjadi basis dasar
hukum Indonesia.
Namun hal ini berbalik 180 derajat, bila melihat perkembangan saat
ini. Hukum indonesia lebih didominasi oleh pesanan asing. Nuansa HAM,
demokrasi, persamaan gender, dan lain sebagainya, menjadi sedikit contoh
bagaimana penetrasi non-budaya menjadi penting untuk diantisipasi. Bukannya
bangsa ini menolak adaptasi perkembangan global, tapi yang menjadi persoalan
pemimpin bangsa ini tidak begitu cermat melihat sisi lain dari karakter hukum
bangsa.
Masalah HAM misalnya. Masyarakat kita seakan baru bangun tidur,
langsung diajarkan bagaimana HAM itu. Konklusinya tentu tidak linear.
Masyarakat Indonesia belum siap dengan hal ini. Tentunya menjadi sangat tabu
bila ini tetap dipaksakan untuk diberlakukan di Indonesia. Belum lagi masalah
demokrasi. Dalam sila ke-empat sudah sangat jelas, bahwa demokrasi bukanlah
solusi progresif dalam model pemilihan negara ini. Namun hal ini menjadi sangat
urgent, ketika banyak kepentingan politik bermain di dalamnya. Begitu juga
halnya dengan persamaan gender. Saat ini banyak sekali aturan hukum kita yang
bernuansa perlindungan wanita. Wanita dalam konteks modern seperti saat ini,
ditempatkan pada posisi yang utama. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah hukum
adat sebagai hukum asli Indonesia tidak mengakomodir hal tersebut. Tentunya
tidak. Hukum adat yang merupakan manisfestasi dan kristalisasi dari budaya
bangsa menjadi tidak penting, karena sama sekali tidak menguntungkan asing.
Inilah sedikit gambaran bagaimana kinerja hukum di nusantara, yang banyak
mendapat tantangan tidak hanya dari
eksternal, tapi juga internal bangsa.
Berbicara gejala hukum dalam konteks masyarakat Indonesia, seperti
mengurai benang kusut di dalam air. Tak tahu mana pangkal, mana yang ujungnya.
Masyarakat Indonesia seperti sudah ditakdirkan untuk hidup bersama aturan
kolonial, sebagai akibat pengingkaran terhadap hukum asli bangsa. Hukum yang
berkembang saat ini, sangat dipengaruhi oleh tekanan asing. Kita melihat
bagaimana pemerintah (asing) bahkan pengusaha (asing) pun berusaha untuk
“merekonstruksi” hukum nasional. Akibatnya, ekses dan ekspektasi yang diterima
oleh masyarakat sebagai adanya gejala hukum yang ada, tidak menjadi sama. Hukum
hanya diperuntukan pesanan asing. Kalau tidak untuk kepentingan asing, hukum
malah diperdagangkan oleh rakyat Indonesia sendiri sebagai penjajah baru. Sifat
durhaka terhadap bangsa inilah yang menjadikan Indonesia telah kehilangan jati
diri hukum di tanahnya sendiri.
Anggapan yang berkembang bahwa hukum asing lebih baik daripada
hukum asli bangsa, tidaklah tepat. Memang, aturan hukum yang baik harus
memenuhi dan mengikuti perkembangan zaman yang ada. Namun, bukan berarti
menerapkan sistem “transplantasi hukum”. Hal ini sangatlah diharamkan. Hukum
yang baik adalah diambil dari karakteristik dan sejarah masyarakat itu sendiri.
Bagaimana budaya, bahasa, pranata sosial melebur menjadi satu, hingga
menciptakan sistem hukum bangsa yang ideal. Hal ini menurut F.K.V.Savigny,
dinamakan “Volgeist”, jati diri atau jiwa bangsa. Namun bagaimana dengan
Indonesia? Non Sense!!.
Sehingga yang terjadi di masyarakat, wibawa hukum menjadi tidak
bermartabat. Hukum hanya dipandang sebagai sub-sistem demi mencapai
kepentingan. Hukum tidak lagi menjadi panglima. Tapi ia menjadi prajurit, yang
hanya diperlukan sewaktu-waktu.
Permasalahan hukum menjadi berlanjut ketika, hukum tidak lagi
berpihak kepada masyarakat. sebagai produk transpaltasi hukum, masyarakat
sering kali dirugikan hingga tak jarang banyak diantara mereka yang bersikap
antipati terhadap hukum. Kita sering kali dipertotonkan bagaimana kerja hukum
yang malah justru menyengsarakan masyarakat. Aturan hukum yang lebih
menonjolkan sisi kepastian hukum (bila dibandingkan dengan keadilan hukum),
akan membuat ketidakpastian hukum. Hukum yang baik bukanlah yang tersurat hitam
dan putih. Hukum yang demikian akan membuat para penegak hukum bekerja ibarat
sebuah robot yang bernyawa.
Mungkin kita maish ingat bagaimana kasus Prita Mulya Sari, Mpok
Minah, dan masih banyak lagi yang menurut hemat penulis sangat diluar
kebiasaan. Walaupun bukan perkara besar, namun bagi sebagaian masyarakat
Indonesia, hal semacam ini menjadi sangat penting, bagi mereka yang terlanjur
geram dengan penegakan hukum di negeri ini. Dimana penegak hukum hanya
berorientasi pada aturan tertulis, tanpa memperhatikan aspek-aspek sosial yang
berkembang dalam masyarakat. Belum lagi faktor politik yang terkadang menjadi
sangat dominan.
Tidak berimbangnya hukuman bagi para koruptor dan pelaku tindak
pidana ringan, menjadi bukti sahih bahwa masyarakat seakan tidak percaya dengan
hukum di negeri ini. Koruptor hanya dihukum tidak lebih dari 4 tahun, sedangkan
pelaku curi ayam dihukum hingga mencapai 2-3 tahun. Belum lagi kita berbicara
kasus Antashari Azhar, yang publik sudah mengetahui banyak kejanggalan di
dalamnya.
Benarlah, apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa Indonesia
tidak tepat menganut hukum positif (yang mengedepankan kepastian hukum), tapi
hukum adat (pendekakatan sosiologis – yang mengedepankan keadilan hukum).
Rakyat rindu hukum yang berpihak kepada mereka. Bukan hukum yang berpihak
kepada penguasa, pengusaha, bahkan pihak asing. Inilah realitas yang kita
hadapai sekarang.
TEORI HUKUM YANG DIGUNAKAN:
1.
Hukum itu Jiwa Rakyat (F.C.V Savigny)
Dibawah terminologi volgeist (jiwa bangsa), Savigny
mengkonstruksikan teorinya tentang hukum. Menurutnya, terdapat hubungan organik
antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan
dari volgeist. Oleh karena itu, ”hukum adat” yang tumbuh dan berkembang
dalam rahim volgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang
sejati. Hukum sejati itu, tidak dibuat. Ia harus ditemukan. Legislasi hanya
penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu.[1]
Inti dari ajaran F. K. V. Savigny adalah sebagai berikut:[2]
“...law grows with the growth and strengthnes with the strength of
the people and finally dies away as a nation loses its nationality...”
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa:[3]
1.
Hukum
ditemukan dan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya merupakan
perkembangan organis yang tidak sengaja. Oleh karena itu perundang-udangan
lebih rendah daripada kebiasaan atau adat-istiadat;
2.
Oleh
karena hukum berkembang dari taraf yang sederhana ke taraf yang kompleks atau
rumit sesuai dengan perkembangan masyarakat, maka kesadaran hukum terungkapkan
melalui ahli-ahli hukum yang membuat formulasi prinsip-prinsip hukum (pada
masyarakat-masyrakat modern). Akan tetapi para ahli hukum tersebut tetap
merupakan sarana dari kesadaran hukum masyarakat.
3.
Tak
ada hukum yang bersifat universal. Oleh karena hukum timbul dari masyarakat
yang mempunyai ciri-ciri yang khas. Dalam hal ini Savigny berpegang teguh pada
analogi hukum dengan bahasa. Selanjutnya dikatakan bahwa “.. the
volksgeistmanifests itself in the law of the people; it it therefore essential
to follow up the evolution of the volksgeist by legal historical research”.
Memfungsikan Teori:
Menurut hemat penulis, teori inilah yang hendaknya menjadi acuan
dasar bagi wets-gever di Indonesia dalam bagaimana hukum (tertulis) itu
dinormakan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa aturan hukum yang dibuat oleh
pembentuk undang-undang selama ini hanya berorientasi dalam konteks up-to-bottom.
Bahwa pembentukan suatu aturan didasarkan atas kehendak penguasa, dan kemudian
diturunkan pada level masyarakat. Ia tidak mengandung aspirasi sosial yang pada
dasarnya menjadi hal penting dalam perumusan. Paradigma semacam ini tentunya
akan menghasilkan tipologi hukum yang represif dan pro-otorier. Ini tentunya
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
Hendaknya, nilai-nilai yang terkandung dalam level bawah inilah
yang harus diangkat pada level atas. Kristalisasi dan harmonisasi hukum adat
menjadi sangat penting, karena setiap negara tentunya memiliki cara pandang
hukum yang berbeda pula. Sehingga transplantasi hukum (asing) yang terjadi di
Indonesia belakangan ini, sangatlah diharamkan menurut teori “volgeist”
ini. Jiwa bangsa inilah yang menjadi jantung hukum dari suatu negara
(Indonesia).
2.
Hukum itu Aturan yang Hidup (Eugen Ehrlich)
Menurutnya, hukum bukanlah sebuah konsep intelektual. Ia merupakan
konsep yang saling berbagi dalam makna dan pengalaman hidup dengan realitas
masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, hukum memiliki hubungan yang erat
dengan manusia. Ia bukan sesuatu yang formal, melainkan sesuatu yang
eksistensial. Karena, Ehrilich membangun teorinya tentang hukum dengan beranjak
dari ide masyarakat. [4]
Mengapa hukum itu hidup? Karena hukum itu bukan sesuatu yang
ditambahkan dari luar secara a-historis. Ia justu meruapakan sesuatu yang
eksistensial dalam sejarah hidup masyarakat. Hukum diwujudkan dan diungkapkan
dalam kelakuan mereka sendiri. Hukum adalah “hukum sosial”. Begitulah kira-kira
pendapat yang dikemukakan oleh Ehrlich. Hukum dalam dunia pengalaman manusia
yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan.
Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif. Lalu
kehidupan berjalan dalam tatanan itu. kekuatan mengikat “hukum yang hidup”
tidak ditentukan oleh kewibawaan dan kompetensi kewibawaan negara.[5]
Memfungsikan Teori:
Sama seperti pandangan yang disampaikan oleh Savigny, bahwa Ehrlich
memandang hukum yang ideal bukanlah suatu konsep yang hitam-putih yang bersifat
formal. Melainkan hukum yang berangkat dari ide, gagasan, dan pengalaman yang
terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini, rakyat mempunyai kedaulatan penuh
dalam menentukan rumusan dan formulasi aturan hukum. Bukankah hukum itu
ditujukan untuk mengaharmonisasi-kan berbagai kepentingan dalam masyarakat? Sehingga
sudah sewajarnya apabila aturan itu berasal dari masyarakat, yang kemudian
(dapat) digugat demi kepentingan rakyat.
Setiap aturan hukum yang hanya didasarkan atas arogansi kekuasaan,
yang dengan gegabah membanggakan hukum asing, kemudian ditransplantasikan dalam
sistem hukum nasional, tidak jarang akan mendapatkan reaksi keras dalam
masyarakat. Dewasa ini, pergulatan masalah hukum yang terjadi tidak hanya
terletak pada degradasi moral penegak hukum, melainkan hukum itu sendiri yang
telah cacat sejak lahir. Ia mendoktrinasi-kan aparat hukum dengan nilai-nilai
positivis, yang tentunya akan membatasi mereka dalam menjatukan keputusan
hukum. Sehingga tidak heran apabila adagium “aparat hukum (hakim) hanya sebagai
corong undang-undang”, menjadi kalimat baku yang secara sah diakui oleh
masyarakat.
3.
Hukum itu Gejala Sosial (Theodor Geiger)
Hukum bukanlah aturan formal dalam wujud undang-undang. Ia
merupakan norma yang hidup dalam hati orang-orang. Menurut Geiger, realitas
suatu norma (yang sebenarnya) adalah terletak pada kenyataan bahwa norma itu
terjelma dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat, dan (pasti) tiap orang
akan bereaksi bila norma itu dilanggar.[6]
Bagi Geiger, hukum (sebagai norma yang sebenarnya) merupakan bagian
dari masyarakat yang dinamis. Masyarakat itu bukan benda. Ia merupakan “sebuah
proses” (gesellschaft ist kein ding, sondern em prozess). Norma-norma hukum,
dan berlakunya norma-norma itu tidak luput dari proses ini. Hukum harus
dipandang sebagai kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis juga.[7]
Kiranya jelas, cara mengenal “norma yang sebenarnya” bukan dengan
membuka kitab hukum, melainkan dengan cara melihat fakta. Pertama, bahwa
orang-orang bertindak menuruti norma itu. Kedua, fakta bahwa jika orang tidak
menuruti norma-norma itu, mereka dikenai sanksi. Lewat kedua fakta itulah,
orang mengenal adanya norma hukum.[8]
Memfungsikan Teori:
Dalam konteks permasalahan hukum di Indonesia kekinian, teori ini
sangatlah tepat menjadi solusi alternatif dalam penanganan yang progresif.
Hukum tidak dapat dilihat dalam dogmat yang sempit. Sebagai ilmu yang
inter-disipliner, hukum mau tidak mau harus berafiliasi dengan ilmu lain, tidak
terkeciali ilmu sosial. Bagi ilmu hukum yang hanya memandang secara inklusif ke
dalam, tentunya akan meciptakan situasi arogansi terhadap masyarakat. Hal
inilah yang terjadi dalam realitas hukum di Indonesia.
Selama ini, paradigma aparat hukum yang terbentuk adalah legal
positivis. Hal ini sudah tidak relevan lagi, apabila kita berbicara konteks
hukum modern yang menjunjung nilai keadilan. Begitu juga masyarakat Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia yang kaya akan suasana hukum adat, penerapan hukum
tertulis sangatlah mengusik kepentingan mereka. Hal ini menjadi perhatian kita
bersama, bagaimana pertarungan nilai kepastian hukum dan keadilan hukum dapat
menemukan titik sinkronisasi.
4.
Hukum itu Perilaku Hakim (Oliver Wondell Holmes)
Menurutnya, aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang
berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu
kompleks. Dan lagi pula, kebenaran yang riil, bukan terletak dalam
undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Inilah tiitk tolak teori tentang
kebebasan hakim yang diusung oleh Holmes dan Jerome Frank (eksponen realisme
hukum Amerika). Hukum yang termuat dalam aturan-aturan, hanya suatu generalisai
mengenai dunia ideal.
Aturan-aturan hukum, di mata Holmes, hanya menjadi salah satu
faktor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang “berbobot”. Faktor
moral, soal kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan sosial, menjadi faktor yang
tidak kalah penting dalam mengambil keputusan yang benar.
Menurut Holmes, pemecahan masalah
hukum tidak hanya dilakukan dengan logika hukum semata-mata, akan tetapi
diperlukan bantuan hasil-hasil penelitian olmu-ilmu sosial. Hal ini disebabkan,
oleh karena tidak akan mungkin sesoerang mempunyai kemampuan untuk berfilsafat
tentang hukum, tanpa memikirkan kekuatan-kekuatan luar yang membentuk hukum
tadi.[9]
Memfungsikan Teori:
Inilah yang menjadi persoalan krusial di negeri ini, yaitu adanya
ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap aparat hukum. Tidak berlebihan
apabila masyarakat bersikap demikian, karena memang beginilah kondisinya.
Penjatuhan hukuman koruptor yang korupsi ber-milyaran bahkan triliyunan rupiah,
sangat berbanding terbalik dengan kondisi yang ada bila yang berbuat jahat
adalah masyarakat kelas bawah. Diksriminasi tidak hanya terjadi pada kelas
sosial, tapi juga merambah dunia hukum.
Penulis melihat titik kulminasi terparah terletak pada penjatuhan
putusan hakim yang sangat beraroma positivis. Walaupun, sudah dibuka celah bagi
hakim untuk menggali nilai-nilai luhur tidak tertulis dalam formulais
putusannya, namun hal ini menjadi tidak efektif ketika paradigma yang terjadi
adalah positivis legalistik.
Kekacauan masyarakat yang haus akan keadilan hukum, kemudian
diperparah dengan adanya degradasi kualitas putusan hakim. Tidak sedikit hakim
hanya menerapkan konsep silogisme (premis umum, premis khusus, dan kesimpulan).
Hakim yang baik hendaknya menjadi sosok tuntunan bagi masyarakt dalam mencari
keadilan. Bukan sebaliknya.
5.
Hukum Progresif (Satjipto Rahardjo)
Menurut Satjipto, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi
dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Hukum progresif tidak menerima hukum
sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh
kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.[10]
Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik
orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena
itu, hukum bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Lebih
lanjut, Satjipto mengungkapkan bahwa mutu hukum haruslah ditentukan oleh
kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum
progresif menganut “ideologi”: hukum yang pro-keadilan dan hukum yang
pro-rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat
yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan
kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan
kepedulian pada penderitaan rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat
(kesejahteraan dan kebahagiannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan
akhir penyelenggaraan hukum.[11]
Menurutnya, bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi
bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh
karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence
atau rechtsdogmatic yang cenderung menepis dunia di luar dirinya,
seperti manusia, masyarakat, dan kesejahteraannya. Maka dalam hal ini, regulasi
hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi
tekstual aturan.[12]
Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan
manusia/ rakyat sebagai titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan
pada persoalan-persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia. Salah
satu persoalan krusial dalam hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia
dalam stuktur-struktur yang menindas, baik politik, ekonomi, maupun sosial
budaya. Dalam konteks ketebelengguan dimaksud, hukum progresif harus tampil
sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan) dari ketaatan hukum terhadap
logika dan peraturan (logic and rule).[13]
Lebih lanjut, hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan
sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri
dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum progresif menolak pendapat bahwa
ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan.
Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan
menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi
yang tidak bernurani, melainkan institusi yang bermoral.[14]
Memfungsikan Teori:
Inilah Grand Theory yang menjadi sangat fenomenal ditengah
kesadaran hukum masyarakat atas paham positivis. Teori yang dikemukakan oleh
Satjipto Rahardjo ini menyajikan gagasan yang menarik. Tidak seperti
pemikir-pemikir hukum terdahulu yang memandang hukum secara pragmatis, kini
Satjipto lebih memandang hukum secara progresif. Maksudnya, hukum haruslah
bersifat membebaskan. Ia tidak boleh menolak anasir-anasir asing (non-hukum),
yang selama ini sangat ditentang oleh penganut paham positivistik.
Hukum pembebasan inilah yang hendak diintrodusir oleh beliau dalam
reformasi sistem hukum di Indonesia. Tepatnua, pembebasan dari logika dan
peraturan (logics and rules). Ia tidak menghendaki aturan hukum hanya
ditujukan untuk kepentingan hukum itu sendiri. Tapi lebih luas, ia harus dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat. Karena hukum itu rahim-nya berasal dari
masyarakat. Hukum sejatinya tidak mengabdi kepada penguasa, kekuasaan, bahkan
kepada hukum itu sendiri. Melainkan pengabdian yang didasarkan atas manusia
sebagai organ sosial.
Namun, bila dikaitkan dengan realitas hukum saat ini, maka hal ini
menjadi nihil. Kenihilan terjadi karena tidak adanya kesadaran dari pemegang
kekuasaan untuk merubah paradigma legisten ke arah yang lebih manusiawi. Hukum
harus dan mutlak bersifat humanis. Ia bukanlah robot yang hanya bergerak bila
disuruh oleh pemilik-nya (baca: pemegang kekuasaan). Oleh karenanya, hukum yang
mengedepankan aspek sosial dan masyarakat menjadi sangat urgent untuk
diterapkan saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing
Salman, R. Otje. 1987. Disiplin Hukum dan Displin Sosial: Bahan
Bacaan Awal. Penyunting: Soerjono Soekanto dan Otje Salman. Jakarta: CV.
Rajawali Press
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Sejarah Hukum. Bandung:
Penerbit Alumni
Tanya, Bernard L, Markus N. Simanjuntak, et. al. 2010. Teori
Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta
Publishing
Wignjosoebroto,
Soetandyo. 2002. Hukum: Paaradgima, Metode, dan Dinamika Permasalahannya.
Jakarta: Elsam dan Huma
Palembang, November 2011
M. Alvi Syahrin
[1] Bernard L.
Tanya., Markus N. Simanjuntak, et. al., 2010, Teori Hukum: Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing,
hlm. 103
[2] Soerjono
Soekanto, 1983, Pengantar Sejarah Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, hlm.
27
[3] Ibid.
[4] Bernard L.
Tanya., Markus N. Simanjuntak, et. al., Op. cit., hlm. 141
[5] Ibid.,
hlm. 142
[6] Ibid.,
hlm. 143
[7] Ibid.,
hlm. 144
[8] Ibid.
[9] R. Otje
Salman, 1987, Disiplin Hukum dan Displin Sosial: Bahan Bacaan Awal,
Penyunting: Soerjono Soekanto dan Otje Salman, Jakarta: CV. Rajawali Press,
hlm. 23-24; Baca juga Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum: Paaradgima,
Metode, dan Dinamika Permasalahannya, Jakarta: Elsam dan Huma, hlm. 8-13
[10] Satjipto Rahardjo,
2009, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta
Publishing, hlm. 1
[11] Bernard L.
Tanya., Markus N. Simanjuntak, et. al., Op.cit., hlm. 212
[12] Ibid.,
hlm. 213
[13] Ibid.,
hlm. 215
[14] Satjipto
Rahardjo, Op.cit., hlm. 2
Gejala hukum itu apa ya?
ReplyDelete