1.
Surat Palsu di Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum
(KPU)
Berikut pandangan masyarakat, terkait kasus diatas:
Pro (Setuju):
Dalam kelompok ini, masyarakat menganggap bahwa kasus hukum yang menimpa institusi MK dan KPU perihal adanya pemalsuan surat pemilu merupakan aib besar dalam era demokrasi. Mengapa tidak, sistem pemilu yang telah direkonstruksi melalu amandemen UUD 1945 dengan menempatkan asas jujur dan adil, tetap saja memiliki celah untuk dipolitisir oleh elit politik. Masyarakat telah mahfum dengan kondisi politik yang semakin menjadi. Dalam kasus ini, masyarakat melihat ada campur tangan dari komisioner KPU yang bemain untuk memanipulasi jumlah surat suara dengan cara memalsukan surat resmi KPU. Komisioner KPU telah berafiliasi juga dengan salah satu Hakim MK untuk merealisasi niat buruk ini. Tujuannya satu, yaitu menjadikan salah satu partai politik besar negeri ini untuk menjadi pemenang pemilu 2009 kemarin. Dibalik konteks demikian, tentunya juga melibatkan elit politik besar republik ini. Sebut saja, Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Bahkan orang nomor satu di negara ini, yaitu SBY juga tidak lepas dari sorotan publik. Masyarakat menilai peta politik transaksional sangat kentara dalam kasus ini. Oleh karenanya, cukup rasional apabila masyarakat menilai institusi MK dan KPU harus bertanggung jawab atas kejadian ini.
Dalam kelompok ini, masyarakat menganggap bahwa kasus hukum yang menimpa institusi MK dan KPU perihal adanya pemalsuan surat pemilu merupakan aib besar dalam era demokrasi. Mengapa tidak, sistem pemilu yang telah direkonstruksi melalu amandemen UUD 1945 dengan menempatkan asas jujur dan adil, tetap saja memiliki celah untuk dipolitisir oleh elit politik. Masyarakat telah mahfum dengan kondisi politik yang semakin menjadi. Dalam kasus ini, masyarakat melihat ada campur tangan dari komisioner KPU yang bemain untuk memanipulasi jumlah surat suara dengan cara memalsukan surat resmi KPU. Komisioner KPU telah berafiliasi juga dengan salah satu Hakim MK untuk merealisasi niat buruk ini. Tujuannya satu, yaitu menjadikan salah satu partai politik besar negeri ini untuk menjadi pemenang pemilu 2009 kemarin. Dibalik konteks demikian, tentunya juga melibatkan elit politik besar republik ini. Sebut saja, Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Bahkan orang nomor satu di negara ini, yaitu SBY juga tidak lepas dari sorotan publik. Masyarakat menilai peta politik transaksional sangat kentara dalam kasus ini. Oleh karenanya, cukup rasional apabila masyarakat menilai institusi MK dan KPU harus bertanggung jawab atas kejadian ini.
Kontra (Tidak Setuju):
Kelompok masyarakat yang kontra terhadap kasus ini cukup dilbilang sedikit. Mereka terbagi dalam sekta minoritas. Dan tentunya sangat kental dengan pengaruh politik pengusa. Mereka menganggap bahwa timbulnya kasus ini, tidak terlepas dari adanya campur tangan media yang memang sengaja menggemosi kedudukan dan fungsi MK dan KPU sebagai yustitisal dan eksekutorial penyelenggaran pemilu. Banyak pihak, terutama lawan politik pengusa yang kalah (sebut saja Gokar, PDI-P, dan sebagainya) yang memanfaatkan momentum ini untuk menggagu kinerja dari pemerintah. Mereka nampaknya masih sakit hati dan belum dapat menerima kekalahan pemilu sebelumnya. Oleh karenanya, masyarakat yang kontra terhadap pemberitaan kasus ini, menilai hal ini menjadi bagian strategi politik untuk menggiring opini buruk dan tentunya berakhir dengan kudeta terhadap pemerintah.
Kelompok masyarakat yang kontra terhadap kasus ini cukup dilbilang sedikit. Mereka terbagi dalam sekta minoritas. Dan tentunya sangat kental dengan pengaruh politik pengusa. Mereka menganggap bahwa timbulnya kasus ini, tidak terlepas dari adanya campur tangan media yang memang sengaja menggemosi kedudukan dan fungsi MK dan KPU sebagai yustitisal dan eksekutorial penyelenggaran pemilu. Banyak pihak, terutama lawan politik pengusa yang kalah (sebut saja Gokar, PDI-P, dan sebagainya) yang memanfaatkan momentum ini untuk menggagu kinerja dari pemerintah. Mereka nampaknya masih sakit hati dan belum dapat menerima kekalahan pemilu sebelumnya. Oleh karenanya, masyarakat yang kontra terhadap pemberitaan kasus ini, menilai hal ini menjadi bagian strategi politik untuk menggiring opini buruk dan tentunya berakhir dengan kudeta terhadap pemerintah.
2.
Korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Berikut pandangan masyarakat, terkait kasus diatas:
Pro (Setuju):
Rasanya bila dilakukan survei secara mendalam dan transparan, maka
hampir sebagian besar masyarakat Indonesia sudah terlanjur kecewa denga kinerja
DPR dari masa ke masa. Terlalu banyak persoalan yang dihadapi oleh DPR, baik
itu korupsi, suap, masalah etika-moral, kunjungan kerja luar negeri, dan lain
sebagainya. Dalam konteks ini, masyarakat kembali dihadirkan dengan kasus
dugaan korupsi di Badan Anggaran (Banggar) DPR. Kasus ini cukup dibilang
fenomenal, karena publik baru mengetahui bahwa pusaran besar aliran korupsi
yang dilakukan oleh hampir sebagian besar anggota DPR harus digodok melalui
Banggar DPR. Akhir-akhir ini media mengungkapkan, dan ditelusuri oleh KPK bahwa
ada jumlah triliyunan rupiah uang negara diduga menjadi objek korupsi anggota
DPR. Sangat miris memang. Publik menilai bahwa praktek demikian bukan lagi hal
baru. Namun, baru diungkapkan ke publik baru beberapa minggu terakhir ini saja.
Masyarakat melihat ada orang besar yang berpengaruh dibalik praktek besar ini.
Tentunya melibatkan oknum partai politik yang berkuasa. Namun, publik
menyayangkan tidak adanya sikap kooperatif dari petinggi Banggar dalam upaya
menyelesaikan kasus ini. Mereka malah terlihat santai dan tidak ada beban.
Inilah yang melukai rasa moral masyarakat. Oleh karenanya, tidak salah apabila
masyarakat terus melekatkan stigma negatif terhadap lembaga negara ini.
Kontra (Tidak Setuju):
Masyarakat yang tergolong dalam kelompok ini tidaklah banyak.
Paling mereka yang hanya membela karena adanya kepentingan politik semata. Mereka
mengangap bahwa gembosan kasus ini tidak terlepas dari serangan rival politik
yang tidak senang dengan kebijakan pemerintah. Hal ini lumrah terjadi ketika
setiap serangan ditujukan kepada lawan politik yang dapat mengusik keberadaan
partai politik lainnya. Orientasi kekuasaan menjadi dalil hal ini. Publik
minoritas ini melihat peristwa semacam ini tidak lebih sebagai jual beli
(transaksional) kekuasaan. Misalnya, Partai Demokrat menyerang Golkar, karena
Golkar memegang kartu truft mega skandal korupsi di Bank Centruy yang
melibatkan Demokrat dan Boediono. Begitu juga Golkar menyerang Demokrat, karena
Demokrat berusaha mengusik kasus pendomplengan pajak yang dilakukan oleh Ketua
Umum Golkar, Aburizal Bakrie. Begitu juga antara Demokrat dengan PDIP, Demokrat
dan PKS, dan sebaliknya. Sehingga masyarakat sudah terbiasa dan tidak
menganggap salah terhadap anggota DPR yang melakukan korupsi demikian. Apalagi
dengan sistem yang memungkinkan untuk itu (baca: korupsi) maka pemberitaan dan
penyelesaian kasus korupsi di DPR menjadi sia-sia.
3.
Kebijakan Moratorium Remisi bagi Koruptor
Berikut pandangan masyarakat, terkait kasus diatas:
Pro (Setuju):
Hampir sebagian besar masyarakat meyakini bahwa koruptor adalah
musuh bersama (common enemy) negeri ini. Oleh karena tindakan koruptor
yang telah merampas uang negara (baca: rakyat), sudah tidak dapat ditolerir
lagi. Sehingga penyematan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) menjadi hal wajar bagi mereka. Dengan demikian, sah-sah
saja apabila ada treatment khusus dan luar biasa untuk mengatasi aktivitas
korupsi ini. Salah satu kebijakan baru dari Kemhum dan Ham pasca adanya
reshufle kabinet adalah dengan menerapkan kebijakan moratorium remisi bagi
koruptor. Sebagian masyarakat pun langsung memberikan respon positif, tentunya
dengan dalil dan asumsi seperti yang diutarakan di atas. Masyarakat meyakini
bahwa dengan adanya kebijakan pro rakyat ini akan berdampak positif dalam
penanganan perilaku korupsi. Moratorium bukanlah penghentian selamanya remisi
bagi koruptor, melainkan hanya sementara. Jadi menurut sebagian masyarakat hal
ini tidak perlu dipersoalkan. Mengenai masalah HAM dari koruptor untuk
mendapatkan remisi menjadi terganggu, masyarakat menilai hal itu tidak masuk
akal. Bukankah koruptor juga telah merampas HAM rakyat, sehingga menjadi hal
biasa apabila mereka diperlakukan seperti itu.
Kontra (Tidak Setuju):
Kalangan masyarakat yang kontra terhadap pembelakuan kebijakan ini
banyak berasal dari kelompok aktivis HAM dan tentunya kalangan advokat. Aktivis
HAM tentu menganggap kebijakan moratorium ini akan melukai rasa humanis dari
para koruptor. Karena walaupun juga telah melakukan kejahatan, namun
nilai-nilai kemanusiaan tetap harus melekat pada koruptor. asas pemidanaan di
Indonesia pun bukan beradasarkan asas pembalasan. Oleh karenanya, hal ini
menjadi tidak tepat ditengah pergerakan HAM di seluruh dunia. Begitu juga
kalangan advokat yang menganggap moratorium ini tidak akan membawa pengaruh
apapun dalam pemberantasan korupsi. Masalah besar bukan pada pemidanaan
koruptor, melainkan tindakan preventif dan anomali moral dari para pejabat
negara. Dalam diri koruptor melekat nilai humanis yang dijwantahkan dalam
konsep remisi. Remisi merupakan satu dari sekian dikit HAM koruptor yang
diberikan oleh negara. Oleh karenanya, dengan pemberlakuan moraotium ini,
secara tidak langsung akan membunuh para koruptor di LP. Koruptor juga manusia,
sehingga juga melekat nilai kemanusian pada dirinya. Pendapat kontra lain juga
muncul dari kalangan politisi yang menganggap bahwa kebijakan ini hanya
tindakan pencitraan semata dari pemerintah. Di tengah degradasi moral pejabat
negara dan ketidakpercayaan terhadap penegak hukum negeri ini, maka moratorium
menjadi solusi ekspress untuk menutupi borok besar pemerintah. Moratorium tidak
lebih sebagai alat untuk membentuk opini positif dari pemerintah. Lagipula,
pemerintah (baca: Demokrat) juga sedang bersiteru dengan lawan politik lain,
sehingga menjadi tepat bagi mereka untuk memberikan “political shock
theraphy” bagi mereka yang membangkang konsep koalisi.
4.
Putusan Bebas Perkara Tipikor di Pengadilan Tipikor Daerah
Berikut pandangan masyarakat, terkait kasus diatas:
Pro (Setuju):
Kalangan masyarakat yang pro terhadap putusan bebas perkara tipikor
di daerah tidaklah banyak. Karena peristiwa semacam ini tentunya sangat anti
klimaks terhadap ekspektasi masyarakat sebelumnya terhadap pembentukan pengadilan
tipikor di daerah. Bagi sebagian masyarakat yang setuju terhadap fenomena ini, beranggapan
bahwa pada dasarnya pengadilan (tipikor) bukanlah merupakan lembaga
penghukuman. Hukum dalam konteks keadilan, bukan layaknya silogisme, yang
memiliki unsur premis umum, premis khusus, dan kesimpulan. Tetapi lebih dari
itu, pengadilan merupakan tempat bagi masyarakat untuk mencari keadilan yang
sesungguhnya. Jadi anggapan bahwa setiap orang yang melakukan korupsi haruslah
dihukum, tentunya adalah pemikiran yang sesat. Pengadilan tipikor dewasa ini
haruslah dikembalikan pada fungsi sebenarnya. Asumsi masyarakat demikian
berangkat dari anti-thesis dari fenomena penanganan perkara tipikor di level
pusat. Perlu diketahui, untuk dikatakan
seorang yang dinyatakan bersalah melakukan korupsi tentunya harus memenuhi
unsur-unsur pasal yang didakwakan, dan selaras dengan apa yang dituntut
sebelumnya oleh penuntut umum. Lantas, apakah terhadap tidak terpenuhinya
pasal-pasal yang didakwakan dalam agenda pembuktian dan tidak selarasnya
tuntutan yang dituntut, maka seorang yang didakwakan melakukan korupsi adalah
seorang koruptor. Apakah hakim harus menggadaikan keyakinannya dan menafikan
hasil pembuktian di persidangan, demi memuaskan batin masyarakat yang terlanjur
alergi terhadap pelaku korupsi? Apabila ini terjadi, dan hakim tetap menyatakan
bersalah terhadap si terdakwa, apakah ini yang dinamakan keadilan? Lalu, apakah
putusan bebas terhadap perkara tipikor di pengadilan tipikor di daerah adalah
salah dan ilegal? Tentunya bagi sebagian masyarakat yang pro, hal demikian
adalah pola pikir yang salah dalam memahami hukum.
Kontra (Tidak Setuju):
Gelombang
masyarakat yang kontra terhadap fenomena ini sangatlah besar. Sebagai kejahatan
yang bersifat luar biasa, maka secara sepakat, definisi korupsi adalah sebagai
musuh bersama. Lantas, dengan adanya putusan bebas ini, maka akan semakin
menciderai rasa keadilan yang ada di dalam masyarakat. publik yang selama ini
“merasa terpuaskan” dengan adanya penghukuman yang maksimal terhadap koruptor,
maka sekarang menjadi anti klimaks. Dengan didirikannya pengadilan tipikor di
daerah, bukan semakin membuat korupsi semakin ter-deradikalisasi, justru
semakin menggeliat. Di beberapa daerah di Jawa Barat misalnya, ada sekitar 3
kepala daerah yang dibebaskan oleh pengadilan. Masyarakat menilai, dengan
adanya pengadilan tipikor di daerah, tidaklah menjadi solusi alternatif, tetapi
malah memindahkan praktek korupsi di daerah. Beberapa LSM yang mewakili
aspirasi masyarakat, setidaknya ada 3 faktor mengapa putusan bebas di daerah
mulai merebak, yaitu: (i) tidak adanya pengawasan dari tingkat pusat.
Mahkamah agung yang menjadi lembaga pengawasan internal dari pengadilan tipikor
nampaknya masih berkutat pada masalah intern lembaganya. Sedangkan KY, mengalami
kesulitan, karena tidak adanya perwakilan di derah yang dapat melakukan fungsi
kontrol, (ii) tidak optimalnya rekrutmen hakim ad hoc tipikor yang ada
di daerah, serta (iii) adanya dugaan praktek suap yang dilakukan oleh
kepala daerah yang bersangkutan terhadap majelis hakim yang mengadili perkara
tersebut. Sebagai raja kecil di daerah yang bersangkutan, tentunya kepala derah
dapat saja melakukan intervensi dan tidak jarang melakukan intervensi terhadap
jalannya persidangan. Belum lagi ditambah lemahnya pengawasan terhadap
pengadilan tipikor itu sendiri. dengan adanya asumsi demikian, tidak heran
apabila publik semakin bersikap apriori terhadap penanganan kasus korupsi
dewasa ini.
Palembang, November 2011
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment