Hukum Adat sebagai Hukum Asli
Indonesia
Pada abad ke 19, kita mengenal
F.K.V Savigny (seorang sarjana Jerman) yang mengemukakan bahwa hukum yang baik
adalah hukum yang tumbuh dan berkembang seiring berdirinya suatu negara. Jiwa
bangsa (volgeist) yang menjadi falsafah dasarnya tersebutlah yang kemudian
dijewantahkan oleh pendiri bangsa ini (founding fathers) untuk
menasbihkan hukum adat sebagai fondasi hukum bangsa.
Pancasila yang merupakan
kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa pada saat itu sangat dijaga
kesakralannya. Ia menjadi norma fundamental yang harus diikuti oleh aturan
hukum dibawahnya. Bila ditilik lebih jauh, pancasila sejatinya telah
mengakomodir jiwa bangsa indonesia terutama nilai-nilai hukum adat. Dimana
disana ada pengakuan terhadap kehidupan beragama sebagai sarana ketakwaan,
kemanusiaan yang diutamakan, persatuan indonesia yang menjadi modal hidup
berbangsa, musyarah dan mufakat yang menjadi solusi bangsa, serta pemerataan
bagi keadilan sosial rakyat indonesia. Hukum adat yang pada posisi itu memiliki
nilai tawar yang tinggi, menjadi sangat bernilai harganya. Ia memang tidak
menjadi hukum tunggal, tapi setidaknya menjadi dasar filosofis bersama bahwa
negara ini tetap mengakui eksistensi hukum adat sebagai “the living law”.
Distorsi Nilai Hukum Adat dan
Hukum Barat
Namun kita juga tidak dapat
menafikan berlakunya hukum positif yang hidup di bangsa ini. Setelah kurang
lebih dijajah oleh imperialisme kolonial belanda, maka secara tidak langsung
kita telah mengadopsi keberlangsungan hukum tertulis yang sama sekali bertolak
belakang dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Faktor kesejarahan
inilah, yang membuat posisi Indonesia menjadi serba dilematis. Di satu sisi,
bangsa ini memiliki hukum adat (dalam konteks kresindenan), tapi di sisi lain
kita juga harus memahami bahwa kita sudah terlalu lama hidup dalam hukum
positivistik. Tentunya kita mengenal KUHP (WvS), KUHPerdata (BW), KUHD (WvK),
HIR/RBg, dan lain sebagainya sebagai hukum positivistik peninggalan kolonial
yang masih berlaku hingga sekarang. Hal tersebut menjadi sedikit contoh
bagaimana terdapat adanya pertarungan nilai dalam memperebutkan eksistensi
keberlangsungan sistem hukum di Indonesia.
Era baru pertarungan nilai
tersebut terjadi ketika bagaimana hendak mengakomodir keduanya dalam suatu
kerangka hukum yang ideal. Maka, UUD 1945 yang kita kenal sekarang pun pada
dasarnya merupakan kompromi alternatif bagaimana keduanya difasilitasi. UUD
1945 (pra amandemen), sejatinya lebih mengakui keberadaan hukum adat. Hal
tersebut dapat kita lihat dari berbagai undang-undang organik dibawah UUD 1945
yang lebih pro kepada rakyat, walaupun masih ada anomali hukum yang terjadi.
Namun setidaknya ini membuktikan bahwa hukum adat tetap eksis walaupun
berada dibawah tekanan terhadap tuntutan
globalisasi.
Hukum Adat Dikalahkan !
Namun hal ini tidak berlangsung
lama, ketika dimulainya pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dimana
eksistensi berlakunya hukum adat mulai tergerus dan dimulainya era hukum
tertulis (positivistik) di Indonesia. Hal ini ditandai dengan diundangkannya UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (selanjutnya disebut
UUPA). Dimana dalam Pasal 3 nya kurang lebih disebutkan bahwa pelaksanaan
hak-hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat adat sepanjang keberadaannya
masih ada tetap diakui eksistensinya dengan catatan tidak bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Kemudian kita dapat menyimpulkan
bahwa apakah pasal ini memang mengakomodir berlakunya hukum adat, atau mengakui
hukum adat tapi tidak sepenuhnya. Mungkin inilah ekses dari pertarungan nilai
antara hukum adat dan hukum tertulis. Nampaknya pembuat undang-undang lebih
cenderung pro terhadap hukum tertulis yang notabane nya lebih melindungi
kepastian hukum daripada keadilan hukum. Terutama dalam sektor bisnis, hukum
adat sama sekali tidak menguntungkan para pemodal besar, karena tidak adanya
kepastian hukum yang dilindungi. Dengan demikian tidak heran apabila hukum adat
lambat laun ditinggalkan.
Diawal tahun 1967, kita masih ingat betul dimana Presiden Soeharto
mengesahkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pemberlakuan
undang-undang tersebut, menjadi titik tolak dimulainya hukum tertulis dan
berakhirnya hukum adat di Indonesia. Kita dapat mengatakan demikian karena demi
mendukung program pemerintah di sektor ekonomi pembangunan, maka elit politik
pada rezim itu berpendapat bahwa hukum adat tidak dapat menjadi solusi dalam mengatasi
permasalahan. Oleh karenanya dengan mengkhianati amanat para pendiri bangsa
maka hukum adat secara perlahan mulai dihilangkan dalam peredaran sistem hukum
di Indonesia.
Realitas Pudarnya Hukum Adat
Reformulasi hukum adat ke hukum
tertulis tentunya akan berefek domino terhadap tatanan hidup masyarakat.
Sebagai contoh, dulu sebagaian besar masyarakat indonesia dalam hal pengurusan
tapal batas tanah cukup dengan mengunakan patok dengan disaksikan oleh ketua
adat setempat. Cukup itu saja. Karena dalam posisi demikian, kepercayaan satu
sama lain (trus each other) menjadi sangat penting. Bukankah ciri khas
transaksi adat yang ada selama ini cukup dengan “terang, tunai, dan langsung”.
Dengan demikian, transaksi adat menjadi lancar. Kemudian dengan berlakunya
UUPA, maka bagi setiap pihak yang memiliki tanah haruslah melakukan pengurusan
untuk mendapatkan sertifikat tanah. Sertifikat tanah inilah yang kemudian akan
menjadi bukti otentik akan kepemilikan tanah bersangkutan. Hal ini tentunya
tidak dikenal oleh masyarakat hukum adat yang sejak zaman nenek moyangnya hanya
mengakui kepemilikan tanah cukup dengan pengakuan sepihak dan tapal batas.
Dengan masuk nya nilai-nilai hukum positivistik dalam sistem hukum nasional
terutama bidang agraria, maka secara perlahan akan menghilangkan nilai-nilai
luhur masyarakat adat.
Contoh agraria lainnya adalah
semakin merajarelanya investor asing dalam menguasai tanah masyarakat adat.
Mungkin hanya di daerah Sumatera Barat saja yang masih kuat menjaga tradisi hak
ulayat, tapi selebihnya di berbagai macam daerah nusantara telah rela
“menyumbangkan” tanah adatnya demi kepentingan bisnis. Dalam posisi demikian, pemerintah
menjadi pihak yang bertanggung jawab. Sebagai regulator dan eksekutor, mestinya
permasalahan tanah haruslah dikembalikan pada hukum asli indonesia, yakni hukum
adat daerah setempat. Kita tidak dapat menggadaikan jiwa bangsa hanya untuk
kepentingan bisnis yang semu.
Misalnya dengan adanya
pemberlakuan hak atas tanah (HGU, HGB, Hak Pakai) yang diberikan oleh UUPA dan UU
No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, maka akan membuat masyarakat menjadi
tamu di tanahnya sendiri. Ketentuan ini hanya memfasilitasi pemodal, hingga
akan membuat keberlangsungan tanah adat menjadi hilang.
Ekses lain adalah, ketika
dihapuskannya sistem marga di provinsi Sumatera Selatan, yang kemudian diganti
menjadi istilah “desa”. Padahal istilah marga sendiri merupakan karakter asli
masyarakat Sumsel untuk membedakan suatu masyarakat dalam kelompok tertentu.
Inilah yang menjadi ciri khas masyarakat adat Sumsel. Namun kini telah hilang
sejak diundangkannya UU tentang Pemerintahan Daerah. Contoh lainnya adalah
tidak berlakunya “simbur cahaya” dalam sistem hukum masyarakat Sumsel dewasa
ini. Sebagai aturan hukum adat setempat, sudah seharusnya-lah simbur cahaya
menjadi “the living law” bagi masyarakat bersangkutan. Tapi
kenyataannya? Menjadi hilang sejak dilakukakannya kodifikasi dan modifikasi
hukum tertulis dalam sistem hukum di Indonesia.
Akhir-akhir ini kita juga
dipertontokan dengan kinerja aparat hukum yang jauh dari jiwa bangsa Indonesia.
Dengan berlatar belakang pendidikan barat dan dibina dengan kurikulum hukum
barat pula, maka tidak aneh apabila paradigma yang mereka bawa adalah hukum
barat yang lebih pro terhadap kepastian hukum. Di kepala mereka hanya berkutat
bagaimana aturan hukum tertulis ini ditegakkan. Oleh karenanya tidak heran
apabila rasa keadilan di dalam masyarakat menjadi tidak terakomodir.
Misalnya dalam Pasal 5 UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa hakim dalam memutus
suatu perkara wajib menggali, mengikuti, danmemahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Namun realitasnya? Banyak
hakim yang hanya menjadi corong undang-undang, dan menafikan fakta-fakta dalam
masyarakat. Mungkin kasus pencurian 3 buah kakao, kasus prita mulya sari, dan
lain sebagainya menjadi contoh bagaimana aparat hukum telah meninggalkan
nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat. Sejatinya hal ini tidak akan
terjadi apabila mereka para aparat hukum lebih merenungkan dan memahami hukum
adat sebagai hukum asli bangsa ini.
Contoh konkrit lain adalah
semakin merebaknya polsek dalam setiap kecamatan / kelurahan. Dalam pemahaman
hukum tertulis, indikator kesuksesan kepolisian adalah berimbangnya tingkat
rasio populasi antara polisi dan masyarakat. Semakin mencapai titik tertentu,
maka itulah kesuksesan institusi polisi. Padalah lebih jauh kita pahami dengan
adanya fenomena demikian, maka akan membuat tingkah laku masyarakat dalam
konteks hukum adat menjadi hilang. Setiap aktivitas hukum akan berujung pada
kepolisian. Kepastian hukumlah yang dikejar.
Sejatinya, dalam konteks adat,
seharusnya tidak semua tindakan kriminal harus diselesaikan secara represif. Di
Sumtera Selatan, kita mengenal tepung tawar. Dimana terhadap seorang yang
melakukan tindak kejahatan cukup dikenakan sanksi adat berupa denda atau
dikucilkan dari komunitas adat. Bahkan dapat saja diangkat menjadi saudara
sendiri di kemudian hari. Apakah cara ini tidak mencerminkan hukum yang
sebenarnya? Bila oritentasi kita adalah globalisasi tentunya tidak akan
ditemukan titik simpul. Tapi apapun itu, sebagai bangsa yang besar dan kaya
akan sikap tindak budaya, maka hukum adat menjadi solusi penegakan hukum di republik
ini. Bukan dengan melakukan kodifikasi, modifikasi, bahkan transplantasi hukum
tertulis dari bangsa luar. Inilah yang seharusnya menjadi bahan pikir elit
negara ini.
Palembang, November 2011
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment