Sebagai negara hukum, maka Indonesia dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di segala aspek wajib untuk
berpedoman pada Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Asas-asas tersebut
meliputi:
- Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, keputusan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara;
- Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan;
- Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan kolektif;
- Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif terhadap penyelenggara negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
- Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berkenaan dengan asas kepastian hukum, Gayus
Lumbun menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
disebutkan bahwa asas kepastian hukum adalah salah satu asas yang mengikat para
penyelenggara negara untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.[1] Asas kepastian hukum diperlukan
agar semua tindakan pemerintah dilandasi dengan aturan yang jelas dan pasti.
Pembuatan undang-undang, pengkodifikasian, dan unifikasi hukum jelas
dimaksudkan sebagai langkah pemberian kepastian hukum untuk penegakan hukum dan
keadilan dan tercapainya ketertiban.
Dalam kerangka pembuatan peraturan
perundang-undangan yang baik maka sudah tentu asas kepastian hukum atau principle of legal security[2] juga menjadi pedoman untuk
penyusunannya. Sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita, bahwa kepastian hukum
akan selalu menjadi ikon dan sekaligus jati diri hukum sejak masa dulu hingga
sekarang.[3] Asas tersebut masih dikumandangkan
dan diajarkan sebagai asas dan tujuan hukum yang bersifat universal dan abadi,
sekaligus sering dipertentangkan dengan asas keadilan. Sebagai pengejewantahan
konsepsi negara hukum materil yang demokratis sudah tentu implementasi dalam
peraturan-peraturan yang dibuat bagi penegakan hukum keimigrasian harus
memberikan kepastian hukum.
Negara sebagai organisasi kekuasaan[4] dijalankan sesuai hukum yang
berlaku (asas legalitas), diakui oleh masyarakat (legitimasi demokratis), dan
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). Dalam hal
kekuasaan negara yang berdasarkan hukum, kekuasaan itu diperoleh secara
konstitusional dan dipergunakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku untuk
kepentingan masyarakat.[5]
Dalam melaksanakan kekuasaan, pemerintahan
negara setiap tindakannya bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan (authority) diartikan sebagai: “…. a right to command or to act. The Right and
power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in
scope of their public duties.”[6] Laswell dan Kaplan mengemukakan
bahwa kewenangan adalah kekuasaan formal (formal
power). Pemerintahan negara dianggap mempunyai wewenang (authority) sehingga berhak untuk
mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturannya.
Kewenangan (biasanya terdiri atas beberapa
wewenang) adalah sebagai kekuasan formal, yaitu kekuasaan yang berasal dari
kekuasaan legislatif. Kewenangan ini merupakan kekuasaan terhadap golongan
orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau
bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu
alat tertentu saja.[7]
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa kewenangan itu merupakan kekuasaan formal yang lahir
dari ketentuan hukum publik. Dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan
hukum publik adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan jabatan (ambtenaar). Jabatan tersebut diperoleh
dari tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat yang akan melahirkan
kewenangan (bevoegheid, legal power, competence).[8]
Wewenang pemerintahan dari suatu organ hanya
dapat diperoleh baik dari atribusi, maupun delegasi. Suatu organ dapat
memperoleh wewenang baru dengan cara atribusi, sedangkan delegasi dapat terjadi
jika ada pelimpahan wewenang tertentu dari orang yang telah mendapat wewenang
atribusi kepada orang lain. Oleh sebab itu, delegasi harus didahului dengan
atribusi.
[1] Gayus Lumbun dalam Muhammad Indra,
2010, Perspektif Penegakan Hukum dalam
Hukum Keimigrasian Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Imigrasi, hlm.
30.
[2] Lihat, http://majalah.depkumham.go.id/article.php/pasal43rancanganundang-undanghukumacarapidanaditinjaudariaspekhukumadministrasinegara/24/,
diakses pada hari Jumat (14/07/2017), pukul
20.19 WIB.
[3] Romli Atmasasmita, Perlindungan HAM, Kepastian Hukum dan
Keadilan di Dalam RUU KUHP, Launching Buku dan Web “Masa Depan Reformasi KUHP dalam Masa Transisi”, Hotel Sultan,
Jakarta, 23 Agustus 2007.
[4] Soehino, 1986, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, hlm. 141-145.
[5] Franz Magnis Suseno, 1999, Etika Politik, Prinsip-Prinisp Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia,
hlm. 54.
[6] Black Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary, West Publishing
Co., hlm. 133.
[7] Prajudi Atmosudidjo, 1984, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:
Ghalia, hlm. 73-74.
[8] Philipus M. Hadjon, et.al., 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Gajah Mada Press,
hlm. 137.