ABSTRAK
Setelah diundangkannya UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, ada salah satu prinsip yang cukup memberikan angin segar
bagi konsumen Indonesia adalah product liability principle yang berusaha
menempatkan kedudukann konsumen agar lebih “sederajat” dengan pelaku usaha. Secara
historis, product liability lahir karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab
antara produsen dan konsumen. Dengan adanya lembaga ini produsen yang pada awalnya
menerapkan startegi product oriented dalam pemasaran produknya harus mengubah
strateginya menjadi consumer oriented. Produsen harus lebih berhati-hati dengan
produknya, karena tanggung jawab dalam product liability ini menganut prinsip
tanggung jawab mutlak (strict liability). Hal tersebut tentunya beralasan,
dimana selama ini konsumen selalu ditempatkan dalam posisi tawar menawar yang
lemah (weak bargaining position). Sehingga
kemudian berkembang suatu istilah caveat emptor, konsumen selaku pembeli
harus hati-hati.
Terminologi
“product liability” masih tergolong
baru dalam doktrin atau ilmu hukum Indonesia. Az. Nasution menerjemahkannya
sebagai “tanggung gugat produk”. Adapun Agnes M. Toar menerjemahkannya sebagai
“tanggung jawab produk”. Sedangkan Yusus Shofie menggunakan istilah “produk liability”.[1]
Tanggung jawab produk (product liability)
sebenarnya mengacu sebagai tanggung jawab produsen yang dalam istilah
bahasa Jerman diisebut produzenten-haftung.
Agnes M. Toar mengartikan tanggung jawab produk sebagai tanggung jawab para
produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau
menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Masih
menurut beliau, kata produk diartikan sebagai barang, baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak (tetap). [2]
Menurut
pandangan para ahli, adapun tujuan utama dari dunia hukum memperkenalkan product liability adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen (consumer protection) dan agar terdapat
pembebanan resiko yang adil antara produsen dan konsumen (a fair apportionment of risk between producers and consumers).[3]
Pada
prinsipnya tanggung jawab produk tersebut dapat bersifat kontraktual
(perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya berdasarkan perbuatan
melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekannya lebih pada yang
terakhir.[4]
Pada dasarnya karakter dasar product
liability adalah perbuatan melawan hukum (tort law), sehingga unsur-unsur
yang harus dibuktikan oleh konsumen dalam melakukan gugatan kerugian kepada
produsen atas dasar product liability
adalah:[5]
a. Perbuatan
melawan hukum
b. Kerugian yang dialami konsumen; dan
c. Hubungan
kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang dialami oleh konsumen.
Sedangkan
unsur kesalahan atau kelalaian produsen tidak menjadi kewajiban konsumen untuk
membuktikannya. Sebaliknya hal ini menjadi kewajiban produsen untuk membuktikan
ada tidaknya kesalahan atau kelalaian padanya atas dasar presumption guilty kecuali ia dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan kesalahan atau kelalaian (presumption
of liability principle).
Dalam
hukum perlindungan konsumen berkembang suatu asas bahwa pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika
diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual (the privity of contract). Artinya, pelaku usaha tidak dapat
dipersalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan dan konsumen hanya dapat
menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual
liability). Fenomena kontrak baku (standard
contarct) yang banyak beredar di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas
betapa tidak berdayanya konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha sehingga
menempatkan konsumen berada dalam posisi tawar menawar yang lemah (weak bargaining position). Belum lagi
ditambah adanya klausul eksonerasi dari pelaku usaha yang dicantumkan dalam
kontrak tersebut. Hal tersebut tentu saja akan bertendensi kepada istilah “take it or leave it” yang tentunya akan
merugikan konsumen.
Namun
demikian, dengan adanya prinsip tanggung jawab produsen yang dianut dalam hukum
perlindungan konsumen Indonesia saat ini, setidaknya menjadi angin segar bagi
konsumen Indonesia yang mayoritas pengetahuan dan pendidikan atas informasi
suatu produk masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara
berkembang lainnya. Sehingga asumsi yang menyatakan bahwa “pembeli adalah raja”
dapat benar-benar terealisasikan.
Ada
beberapa landasan yang dapat dilakukan sebagai dasar gugatan untuk tanggung
jawab produk, antara lain:[6]
1.
Pelanggaran jaminan (breach of warranty);
2.
Kelalaian;
3. Tanggung jawab mutlak (strict liability)
Pelanggaran
jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (khususnya produsen), bahwa
barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat
bisa terjadi dalam konstruksi barang (construction
defect), desain (design defects),
dan/atau pelabelan (labeling defect).
Namun yang perlu diperhatikan cacat yang dimaksud juga termasuk cacat yang
tersembunyi (hidden effect).
Adapun
yang dimaksud dengan kelalaian adalah (neglience)
adalah bila si pelaku usaha yang digugat itu gagal menunjukan ia cukup
berhati-hati (reasonable care) dalam
membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau
mendistribusikan suatu barang. Sebagai contoh, “kasus biscuit beracun” (CV
Gabisco) pada Oktober 1989, juag bermula dari
kelalaian (negleince) pada waktu penyimpanan bahan ammonium bicarbonate di gedung, yang diletakan berdekatan dengan
racun anion nitrit sehingga
menimbulkan korban 141 jiwa konsumen tidak berdosa, 35 orang diantaranya
meninggal dunia.[7]
Dalam
KUHPerdata, ketentuan tentang tanggung jawab produk ini sebenarnya sudah
dikenal, yaitu dalam Pasal 1504. Pasal ini berkaitan denagn Pasal-pasal 1322,
1473, 1474, 1491, 1504 sampai dengan 1511. Dalam UUPK, ketentuan yang
mengisyaratkan adanya tanggung jawab produk tersebut dimuat dalam Pasal 7
sampai dengan Pasal 11. Pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut (mulai dari
pasal 8) dikategorikan sebagai tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62 UUPK.
Pasal 19 ayat (1) UUPK secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini
dengan menyatakan: “Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.” Walaupun secara umum ada perlindungan terhadap cacat
tersembunyi, Pasal 19 ayat (3) UUPK memberi batasan waktu penggantian sampai
tujuh hari setelah tanggal transaksi konsumen. Cacat tersembunyi yang ditemukan
setelah masa garansi berakhir, juga tidak lagi menjadi tanggung jawab pelaku
usaha (Pasal 227 UUPK).[8]
[5]
Yusuf Shofie, op.
cit., hlm 299
No comments:
Post a Comment