Legisme Hukum
Melihat hukum dalam kerangka ideal, maka kita akan melihat dan
menemukan sosok hukum yang kaku dan konvensional. Hukum yang terkungkung dalam
dimensi yang normatif dan dogmatik. Pemahamannya pun cenderung tidak progresif,
dan malah terkesan lamban. Hukum tidak menjadi suatu panglima, melainkan
prajurit yang berada dalam bayang-bayang panglima. Sejatinya itulah kondisi
ilmu hukum, tepanya pada pra-revolusi hukum di masa abad ke-19.
Hukum sering kali ditafsirkan sebagai undang-undang. Hukum selain
undang-undang bukanlah disebut sebagai hukum. Ia baru dapat dikategorikan
sebagai hukum, apabila dijewantahkan dalam format tertulis. Hukum tertulis-lah
yang disebut sebagai hukum. Selain itu tentunya bukan menjadi objek kajian
hukum.
Paham ini berkembang di dataran eropa (kontinental) yang dipelopori
oleh para kaum prolektat Prancis. Sistem ini menghendaki adanya kodifikasi
sistem hukum, guna memperluas pengaruh hukum tertulis pada masanya. Paham ini
kian berpengaruh dan menjadi besar, ketika banyak negara eropa mulai melakukan
ekspansi imperialisme pada negara jajahannya. Dengan menerapkan asas
konkordansi, maka secara tidak langsung negara jajahan seperti Indonesia juga
“dipaksakan” untuk bertransformasi untuk menggunakan hukum tertulis.
Itulah sejarah singkat keberadaan ilmu hukum dalam konteks
tertulis. Di Indonesia sendiri, paham ini lebih dikenal dengan sebutan aliran
positivistik atau aliran legisme, yang banyak dianut oleh para pemikir hukum
pidana. Memang tidak ada salahnya dengan kajian aliran ini. Namun, banyak pihak
yang menyayangkan. Dengan semakin berkembangnya zaman, sudah seharusnya hukum
harus ikut berubah mengikuti alur dan watak masyarakat. Sehingga paham hitam
putih norma, harus mulai ditinggalkan.
Hukum tertulis inilah yang mengakibatkan potret hukum menjadi
terbelakang. Ia hanya berorientasi pada cakupan kepastian hukum. Sedangkan
dalam pergaulan hukum dunia, kepastian hukum ini telah lambat laun mulai
ditinggalkan. Masyarakat tidak peduli dengan aturan tertulis. Mereka lebih
menghendaki agar hukum dapat lebih bersahabat. Dalam arti, hukum harus sejalan
dengan alam pikir masyarakat bersangkutan. Keberlangsungan hukum tidak dapat
dipaksakan begitu saja. Ia memiliki rumus dan formula tertentu, agar mencapai
hukum yang paripurna. Dan sayangnya ini tidak terjadi dalam formasi hukum
nasional Indonesia.
Kita tidak usah pergi jauh-jauh ke luar negeri untuk mengkaji hukum
dalam arti yang luas. Cukup datang ke Indonesia, maka kita akan merasakan
atmosfer ketegangan hukum yang begitu kentara. Indonesia diibaratkan sebagai
negara bermata pisau dua. Satu sisi, ia memiliki potensi untuk berkembang
bersama hukum yang progresif, namun di sisi lain, apabila tidak dikelola dengan
baik, maka hal ini dapat menjadi bencana. Padahal Satjipto Rahardjo, seorang
begawan sosiologi hukum, berpendapat bahwa “Indonesia adalah laboratorium hukum
dan sosial dunia”.
Begitulah sepenggal paragraf yang melatar belakangi paham hukum
tertulis yang membuat perkembangan hukum di Indonesia menjadi inkonsistensi.
Hukum tidak dapat berkembang secara maksimal. Namun, jangan terlalu cepat untuk
menarik kesimpulan bahwa sistem hukumnya yang salah. Kita perlu berpikir jernih
dan memandang jauh ke depan. Hukum yang baik adalah hukum yang diambil dari
akar budaya masyarakatnya. Bukan konkordansi hukum, apalagi transpalantasi
hukum yang marak belakangan ini.
Revolusi Ilmu Hukum (+Ilmu Sosial)
Hukum perlu fondasi kuat untuk dapat konsisten menghadapi berbagai
problema masyarakat. Sejauh ini, hukum hanya menjadi mesin penguasa, sehingga
taji hukum menjadi sangat rigit dan konvensional. Tidak ada sisi humanis di
dalamnya. Kalaupun ada itu merupakan transplantasi dari hukum barat, yang
dicangkokkan mentah-mentah ke dalam sistem hukum Indonesia. Tentunya resiko
terkecil adalah adanya penolakan. Bukankah begitu seharusnya? Dan itulah yang
terjadi saat ini.
Hukum menjadi konvensional, bukanlah hal baru. Konsep hukum ini
berkembang dan bertahan dari awal imperialisme berdiri di Indonesia. Eksesnya
baru dirasakan, ketika hukum dihadirkan dalam tataran reformasi pada saat ini.
Hukum menjadi tidak berdaya. Ia jauh ketinggalan dari masyarakat.
Oleh karenanya, revolusi hukum menjadi sangat penting, ketika
masyarakat menghendaki adanya kesesuaian antara tekstual norma terhadap watak
dan perilaku masyarakat. Memang, sejatinya hukum merupakan mesin norma yang
sangat bersifat dogmatik. Hukum tidak terikat oleh anasir-anasir sosial. Ia
tidak berselingkuh dengan faktor non-hukum. Itulah yang dikembangkan oleh
aliran postivistik. Namun, untuk membuat ilmu hukum menjadi lebih hidup dan
relevan dalam pergaulan masyarakat, maka hukum harus merubah paradigmanya. Ia
harus berevolusi, seperti adanya penolakan berlakunya hukum gereja pada zaman
romawi kuno. Oleh karenanya, urgensi perubahan perspektif hukum sangatlah
mendesak.
Seperti yang dikemukakan oleh Philippe Nonet, bahwa untuk
menjadikan ilmu hukum itu menjadi lebih relevan, humanis, dan berlaku inklusif
kepada masyarakat, maka ilmu hukum harus toleran terhadap perkembangan sosial,
ekonomi, dan politik. Ia tidak boleh bersifat arogan. Arogansi hukum secara
ilmiah, akan dapat mematikan ilmu hukum sendiri. Hukum tidaklah bersifat
statis. Ia harus dinamis. Ketika hukum menjadi statis, atau dalam istilah lain
mengalami stagnisasi ilmiah, maka disinilah letak penting penetrasi ilmu sosial
terhadap hukum. Ilmu sosial sangatlah penting untuk membantu ilmu hukum menjadi
lebih baik. Memang, banyak ahli berpendapat kedua bidang ilmu ini tidak dapat
berdifusi. Tapi bukan itu permasalahannya. Ketika arogansi dua ilmu ini menukik
tajam, maka tentulah hukum yang akan dirugikan. Ilmu hukum tidak dapat berdiri
sendiri. Ia membutuhkan ilmu lain untuk menjabarkan apa dan bagaimana ilmu
hukum itu.
Masuknya ilmu sosial ke dalam ilmu hukum baru terjadi pada awal
abad ke-20. Timbulnya aliran realisme hukum, sosiologi hukum, sosio-legal,
critical legal studies, dan hukum progresif di Indinonesia, menjadi
bukti bahwa ilmu sosial mulai diperhatikan dan diperhitungkan oleh para ilmuwan
hukum. Ini harusnya dapat disadari sejak lama. Hukum yang baik adalah hukum
yang berafiliasi dengan masyarakat. Ia tidak boleh bekerja sendiri. Arogansi
inilah yang malah akan membuat hukum terjebak dalam paradigmanya sendiri. Adanya
pengaruh sosial dan tarik menarik dalam interaksi sosial, akan membuat hukum
menjadi lebih kaya makna. Apabila perdebatan selama ini, yang menganggap hukum
ada seni (perspektif sosiologi) dan memandang sosiologi adalah kajian
pengalaman empiri (perspektif hukum), diharapkan dapat segera mereda. Berdamai
secara ilmiah lebih diutamakan. Sehingga timbulnya sosiologi hukum dalam
disiplin ilmu baru, menjadi sangat penting sebagai solusi moderat di antara
keduanya.
Memasuki abad ke-21, maka kerterkatian antara ilmu sosial dan ilmu
hukum menjadi sangat erat. Keduanya saling mempengaruhi (walaupun menurut
penulis, ilmu sosial-lah yang dominan dalam mempengaruhi hukum) demi
terwujudnya peradaban yang dinamis. Dalam konteks ini, maka lahirlah apa yang
dinamakan klasifikasi hukum yang diuraikan oleh Phillippe Nonet dan Philip
Selznick. Mereka membagi hukum menjadi tiga tipe, yakni hukum represif, hukum
otonom, dan hukum responsif. Kemudian muncul aliran realisme yang dipelopori
oleh Roscoe Pound dan Oliver Holmes, seorang Hakim Agung Amerika. Bahkan Holmes
menyatakan bahwa hukum yang baik tidak lahir dalam konteks hitam putihnya
peraturan, tapi hukum yang berasal dari pengalaman hakim dalam memutus suatu
perkara. Dan masih banyak lagi produktisasi dari berdifusinya ilmu sosial dan
ilmu hukum.
Manfaat yang dapat kita ambil dari hal ini, tentunya untuk
melepaskan diri dari belenggu kepastian hukum dan mengarah kepada keadilan
hukum. Kepastian hukum merupakan tendesius dari arogansi ilmu hukum. Sedangkan
keadilan hukum lebih melihat kepada perspektif masyarakat. Sehingga harapan ini
dapat terwujud dengan semakin harmonisnya hubungan antara ilmu sosial dan ilmu
hukum ke depannya. Semoga.
Palembang, September 2011
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment