Berawal dari Status Facebook...
Berawal dari sebuah status facebook milik Bapak Intji Diqa Pribadi,
Amd.Im., SH (Kasi Lalintuskim Kanim Kelas II Muara Enim) yang bertuliskan: “Penyadapan
= Perubahan Kebijakan Imigran Ilegal”, menjadi inspirasi bagi saya untuk
membuat sebuah tulisan singkat. Status ini menarik perhatian saya, karena kasus
penyadapan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia terhadap beberapa pejabat pemerintahan
Indonesia saat ini (sebut saja Presiden RI, First Lady, dan beberapa
menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I) akan memiliki relevansi yang
kuat dalam menentukan arah kebijakan penanganan imigran ilegal ke depan.
Kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia kini telah menjadi diskursus
hangat baik itu oleh media, pemerintahan, akademisi, bahkan masyarakat. Beragam
aksi protes dan kontra terhadap sikap australia telah dilontarkan oleh
pemerintah kita. Walaupun terkesan lamban dan cenderung kurang reaktif atas
kejadiaan ini, setidaknya dapat menjadi jawaban bahwa Indonesia tidak berdiam
diri dan menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara yang dapat diremehkan.
Penyadapan dalam dunia intelijen, sejatinya bukanlah perkara yang krusial. Penyadapan
kerap dilakukan oleh berbagai negara dalam rangka menghimpun informasi guna
mencari tahu kelemahan negara (lawan) lain, ataupun memperkuat sistem keamanan
negara yang bersangkutan. Penyadapan merupakan hal yang lumrah. Tapi menjadi hal
yang aneh apabila, penyadapan dilakukan oleh negara yang dalam setiap forum
internasional menyatakan dirinya (Australia) sebagai negara sahabat dari
Indonesia. Lantas apakah ini hanya lip service balaka?
Dalam beberapa kesempatan, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
beserta Menteri Luar Negeri, Marti Natalegawa, telah menyampaikan beberapa
kekecewaannya terhadap kasus ini. Mereka berpendapat bahwa Australia bukanlah
tetangga yang baik. Australia yang kita nilai sebagai negara sahabat, ternyata
malah mengkhianati. Sungguh telah menciderai nilai demokrasi yang telah
disepakati bersama.
Hal ini semakin diperparah dengan pernyataan Perdana Menteri Australia,
Tony Abbot, yang menyatakan tidak dan tidak akan pernah meminta maaf kepada
Indonesia atas insiden ini. Sungguh menjadi pukulan telak bagi Indonesia. Sejatinya,
isu penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap petinggi negara ini pada
tahun 2009, dapat dijadikan sebagai momentum untuk meninjau kembali semua kerja
sama yang telah dilakukan bersama Australia, baik itu dalam bidang ekonomi,
politik, sosial,ataupun militer.
Isu Sensitif
Dalam tulisan ini saya tidak akan banyak membahas soal penyadapan dan isu
lainnya. Sudah cukup banyak media yang mengupas hal itu. Namun, dari sekian
banyak berita terkait dengan sikap kontra Indonesia terhadap penyadapan yang
dilakukan Australia, tidak ada yang menyinggung soal sikap pemerintah Indonesia
dan Australia dalam menangani kebijakan imigran ilegal. Padahal isu sensitif
ini dapat menjadi bagian dari posisi tawar Indonesia terhadap Australia,
mengingat Indonesia merupakan negara transit bagi pencari suaka (asylum seeker)
ataupun pengungsi (refugee) yang hendak ke Australia sebagai negara
tujuan.
Masalah penanganan imigran ilegal merupakan masalah besar baik itu bagi
Australia ataupun Indonesia sendiri. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia sampai
saat ini belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 terkait masalah
pengungsi, sehingga konsekuensi yuridisnya, Indonesia tidak memiliki kewajiban
apapun terhadap penanganan imigran ilegal, baik itu pengungsi ataupun pencari
suaka. Oleh karenanya, dalam menangani kasus pencari suaka dan pengungsi,
pemerintah Indonesia meminta bantuan kepada Organisasi Urusan Pengungsi PBB,
yaitu United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) dan International
Organization of Migration (IOM). Lain halnya dengan Australia yang telah
meratifikasi aturan ini, sehingga mereka terikat untuk melaksanakan kewajiban
tersebut.
Sebagai negara yang memiliki letak geografis yang sangat strategis, maka Indonesia
kerap “disinggahi” oleh para pencari suaka ataupun pengungsi untuk bermigrasi
ke Australia. Mereka yang hendak menuju ke Australia sebagai negara tujuan, tentu
harus melewati Indonesia. Di antara mereka mayoritas berasal dari negara
konflik (bagian afrika, ataupun asia selatan). Sehingga tidak heran apabila Indonesia
dipandang sebagai negara yang ramah terhadap masuknya imigran.
Masalah Serius Bagi Indonesia
Indonesia dan Australia tentu sadar akan hal ini. Selain Australia yang
menyimpan masalah terhadap datangnya arus imigran ilegal ini, Indonesia pun
juga menghadapi hal yang sama. Sebagai contoh, fenomena yang terjadi sekitar
tahun 1979, saat Indonesia kedatangan ratusan ribu pengungsi dari Vietnam,
Laos, yang meninggalkan negara mereka akibat konflik bersenjata. Sampai kini,
masalah migrasi di wilayah Indonesia ternyata masih terus berlanjut. Ribuan orang
dari berbagai negara konflik terus masuk ke wilayah Indonesia, baik secara
legal maupun ilegal, melalui darat, laut, maupun udara dengan menyatakan diri
sebagai pencari suaka.
Berdasarkan data intersepsi bulan Agustus 2013, ada 38 kasus ditemukan
diberbagai wilayah Indonesia dengan total 958 orang. Jumlah tersebut tentu
menambah angka yang sudah ada saat ini berkisar 3.800 orang, baik itu yang
ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi maupun tempat-tempat penampungan yang
telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi). Angka tersebut
bukanlah angka pasti, sebab masih ada banyak imigran ilegal yang luput dari
pengawasan Ditjen Imigrasi. Mereka tinggal menyebar dengan menyewa rumah-rumah
warga atau tinggal di hotel bahkan apartemen di beberapa kota di Indonesia.
Berdasarkan pemberitaan dari detik.com, gelombang kedatangan imigran
ke Indonesia masih berlanjut sampai sekarang. Kali ini di kecamatan Cibalong,
Garut. Sebanyak 106 imigran etnis Rohingya yang berasal dari negara Myanmar terpergok
dan diamankan oleh pihak kepolisian pada hari minggu (17/11/2013). Para imigran
yang terdiri dari 67 pria, 16 wanita, dan 20 anak-anak, diduga hendak
menyebrang ke Australia. Kini mereka semua telah diserahkan ke Kantor Imigrasi
Kelas II Tasikmalaya untuk dikembalikan ke negara asalnya.
Sudah sejak lama, Indonesia menghadapi masalah dengan orang-orang asing
yang mengaku sebagai pencari suaka, untuk diproses statusnya sebagai pengungsi.
Meski bukan sebagai negara tujuan, Indonesia sering dipakai sebagai negara
transit karena posisi geografis Indonesia berada pada jalur menuju perlintasan
negara tujuan suaka, yaitu Australia. Dari Indonesia, mereka berniat masuk ke
negara tujuan suaka, rata-rara mereka berniat ke Australia, baik secara legal
ataupun ilegal, dengan menggunakan status pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR
mewakili pemerintah Indonesia.
Kedatangan para imigran ilegal ke wilayah Indonesia ini jumlahnya terus
meningkat, sehingga mulai menimbulkan kekhawatiran dan ketidaknyamanan serta
berpeluang menimbulkan gangguan sosial, kemanan politik, bahkan ketertiban di
masyarakat. Jumlah kedatangan mereka tidak sebanding dengan angka penyelesaian
atau penempatan ke negara penerima (Australia), termasuk yang dipulangkan
secara sukarela dan dideportasi dari wilayah Indonesia. Keberadaan mereka
sangat rentan baik dari sisi status, ekonomi, serta psikologis sehingga
berpeluang dimanfaatkan oleh jaringan penyelundupan manusia, perdagangan orang
narkoba, serta kegiatan kriminal lain termasuk jaringan terorisme
internasional. Hal ini bisa menimbulkan dampak serta berbagai masalah di
Indonesia.
Fenomena atas penolakan sebagian warga Bogor terhadap keberadaan para
imigran yang tinggal di sekitar Cisarua, Bogor, konon berawal dari
ketidaknyamanan warga yang mulai terganggu dengan keberadaan para imigran
menurut masyarakat setempat, perilaku imigran semakin seenaknya, bahkan mulai
mengabaikan masalah hukum di Indonesia.
Masalah imigran ilegal di Indonesia tidak hanya berhenti pada titik ini. Masalah
biaya hidup dan tempat tinggal para
imigran ilegal juga menjadi sorotan. Para pencari suaka mendapat tunjangan
biaya hidup sekitar 1,2 juta rupiah per orang, per bulan. Bila satu keluarga
terdiri dari sepasang suami-istri dengan dua orang anak, maka dalam satu bulan
mereka bisa mendapatkan sekitar 4,8 juta rupiah.
Dalam “Forum Komunikasi Antar Instansi di Wilayah Kota Depok dalam Rangka
Imigran Gelap dan Pencari Suaka di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Kantor
Imigrasi Kelas II Depok di Hotel Mirah, Bogor tanggal 12 September 2013, salah
satu perwakilan dari kecamatan di Kabupaten Bogor menanyakan keberadaan serta
status dana biaya hidup para imigran tersebut. Di tengah antrian berdesakan
warga masyarakat mengambil dana BLSM yang (hanya) sekitar 150 ribu rupiah, maka
biaya hidup para imigran itu menjadi sangat mewah dan “menggiurkan”. Ada kecurigaan
dari pihak kecamatan bahwa dana tersebut berasal dari dana pemerintah
Indonesia.
Mengutip pernyataan dari Yusril Ihza Mahendra dalam kicauan twitternya hari
selasa kemarin (19/11/2013), bahwa penanganan imigran ilegal harus diperhatikan
secara proposial mengingat, masih banyak warga Indonesia sendiri yang kehidupan
ekonominya belum layak. “Padahal rakyat kita sendiri saja miskin, kok masih
harus menahan dan menampung begitu banyak imigran asing yang mau ke Australia”,
tegas Yusril.
Dilema Indonesia
Dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (yang
sebelumnya menggantikan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian), telah
menentukan bahwa setiap orang asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia
wajib memiliki Visa yang sah dan masih berlaku, kecuali ditentukan lain
berdasarkan Undang-Undang ini dan perjanjian internasional. Pasal 9 juga
menegaskan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib
melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan
Imigrasi. Ketentuan selengkapnya dapat dibaca pada Bab III UU No. 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian.
Atas dasar hukum inilah, maka setiap imigran masuk wilayah Indonesia tidak
berdasarkan aturan dimaksud, maka disebut sebagai imigran ilegal, sehingga
dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam Pasal 113 UU No. 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja masuk atau
keluar wilayah Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi
di Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Namun dalam das sein
(kenyataan) nya, perlakuan akan berbeda ketika pihak Imigrasi Indonesia
berhadapan dengan pencari suaka dan pengungsi yang dalam perjalananya hendak ke
negara tujuan, yaitu Australia. Apalagi Indonesia sejauh ini belum meratifikasi
Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi, sehingga Indonesia tidak
memiliki kewajiban apapun terkait dengan keberadaan imigran ilegal ini.
Namun, dengan mengatasnamakan alasan kemanusiaan dan HAM, maka Indonesia
seolah terikat akan kewajiban itu. Belum lagi dengan adanya IOM (yang
disinyalir merupakan organisasi buatan Australia untuk “menampung” imigran
ilegal di Indonesia yang hendak ke Australia), semakin membuat posisi Indonesia
menjadi sulit. Adanya beberapa instrumen hukum yang mengatur soal penanganan
imigran ilegal, tentu membuat keadaan semakin serba dilematis. Sebut saja,
Perdirjenim No.IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal,
TAP MPR No.XVII/MPR/1998 yang berisikan Piagam Hak Asasi Manusia, UUD 1945
(Amandemen) yang berorientasi pada HAM, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asas
iManusia, UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 1 Tahun
1979 tentang Ekstradisi, dan juga diratifikasinya 7 dari 8 International
Human Right Treaties, antara lain: CEDAW (Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women), CRC (Convention on the Rights of
the Child), ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights),
ICESCR (International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights), CAT
(Convenant Against Torture), (ICERD (International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination), dan CRPD (Convention on the
Rights of Persons with Disability). Instrumen hukum baik nasional dan
internasional itu, tentu menjadi suatu dilema yang berat bagi Indonesia, dalam
penanganan imigran ilegal. Padahal telah jelas, bahwa dalam UU No. 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian dan tidak diratifkasnya Konvensi 1951 dan Protokol 1967, membuat
Indonesia dalam posisi tidak ada kewajiban terhadap penanganan imigran ilegal.
Re-orientasi Kebijakan Australia
Masalah imigran ilegal juga menjadi permasalahan besar bagi Australia yang
kerap menjadi negara tujuan. Banyak
alasan orang bermigrasi ke Australia, namun rata-rata mereka datang ke
Australia untuk memperoleh masa depan yang lebih baik bagi dirinya keluarga,
juga bagi keturunannya. Dengan beragam bangsa dan banyak kebudayaan yang
berbeda. Australia kemudian tumbuh sebagai negara multikulturalisme, negeri
dengan banyak kebudayaan. Ada toleransi terhadap kebudayaan dan bangsa yang
berlainan, karena hukum Australia melindungi orang dari diskriminasi ras.
Menurut Biro Statistik Australia, penduduk Australia pada hari selasa
tanggal 23 April 2013 akan menjadi 23 juta jiwa. Australia mencatat tingkat
pertumbuhan penduduk sekitar 1,7 persen. Berarti, setiap hari penduduk
Australia bertambah sekitar 1.048 jiwa. Bagi negara maju, pertumbuhan penduduk
Australia termasuk tinggi, bahkan lebih tinggi dari India yang memiliki
pertumbuhan penduduk sekitar 1,4 persen.
Namun menurut ahli kependudukan Australia, pertumbuhan penduduk Australia bukan
dipicu oleh angka kelahiran, melainkan karena migrasi penduduk yang datang ke
Australia. Diperkirakan migrasi telah menyokong pertumbuhan penduduk sekitar 60
persen, sedang proprosi kelahiran justru menurun dari 60 persen menjadi 40
persen.
Kedatangan para imigran ke Australia dalam jumlah besar kini mulai
dirasakan mengganggu oleh pemerintah Australia. Menurut Australian Department of Immigration and Citizenship, otoritas yang
berwenang mengurusi soal keimigrasian dan kewarganegaraan di Australia, dalam 4
tahun terakhir terjadi peningkatan pencari suaka yang kebanyakan datang dengan
perahu melalui perairan dari wilayah Indonesia. Pada tahun 2010 ada sebanyak 6.535 orang, tahun 2011 sekitar
4.565 orang, tahun 2012 melonjak menjadi 17.202 orang dan sampai dengan Juli
tahun 2013, sudah mencapai 15.182 orang.
Tony Abbot, Perdana Menteri Australia, sempat menggunakan isu sensitif ini
dalam kampanyenya dalam pemilihan Perdana Menteri Australia yang baru. Dia berjanji
untuk menerapkan kebijakan baru, yaitu “perang melawan penyelundupan manusia”
ke wilayah Australia. Selain itu, Tony Abbot juga akan menerapkan visa
sementara, bukan izin menetap, bagi para imigran yang telah diproses menjadi
pengungsi. Visa tersebut berlaku selama tiga tahun dan akan dicabut bila sudah
tidak sesuai lagi.
Atas dasar inilah, maka Australia merubah kebijakannya dalam menghadapi
persoalan para imigran. Namun, kebijakan Australia terhadap imigran ilegal ini tentunya
berbeda dengan beberapa tahun bahkan puluhan tahun yang lalu, disaat Australia
masih membutuhkan invansi penduduk dalam jumlah yang besar. Australia kini
sangat selektif bahkan terkesan membatasi masuknya para imigran, baik itu
secara legal ataupun ilegal. Belum lagi terkait dengan kebijakan bagi setiap
pencari suaka yang masuk dan telah berada di Australia, yang akan dialihkan
langsung ke negara ketiga, yaitu Papua Nugini. Kebijakan ini tentu akan
merugikan Indonesia sebagai negara transit bagi mereka yang sedari awal hendak ke negara tujuan, yaitu Australia.
Perubahan Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal
Dalam konteks ini, tentu benang merahnya adalah Australia sangat
berkepentingan terhadap Indonesia. Indonesia dipandang sebagai negara pertama
yang dapat menahan masuknya arus imigran ilegal yang tidak diharapkan oleh
Australia. Australia menganggap Indonesia memilii peran strategis, untuk
menangkal para imigran ilegal masuk ke wilayah Australia. Tidak sedikit dari
mereka berlayar menggunakan perahu (sehingga ada sebutan “manusia perahu”) untuk
berlayar menuju ke Australia sebagai negara tujuan akhir. Mereka menganggap
Australia sebagai negara yang dapat menjanjikan kebahagiaan hidup, yang tidak
mereka dapat di negara mereka sebelumnya.
Baru-baru ini Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan baru terkait
masalah pencari suaka yang masuk negaranya. Australia melibatkan Pemerintah
Papua Nugini dalam sebuah kesepakatan bersama yang ditanda tangani tanggal 19
Juli 2013. Kebijakan tersebut memuat bahwa pencari suaka yang tiba di Australia
dengan mengguakan perahu, akan langsung dikirim ke Papua Nugini, sebagai negara
ketiga. Mereka akan diproses untuk ditempatkan (secara permanen) di Papua
Nugini, bukan di Australia. Kebijakan tersebut dibuat, untuk menghambat tindak
kejahatan penyelundupan manusia ke Australia, terutama oleh pencari suaka yang
datang di pantai-pantai Australia dengan memakai perahu.
Hal ini tentu berpengaruh terhadap situasi di Indonesia. Para imigran yang
semula merencakan masuk ke Australia menggunakan perahu ada kemungkinan membatalkan
niat mereka. Syukur bila mau dipulangkan kembali ke negara mereka secara suka
rela. Namun bagaimana jika mereka “berminat tinggal” di Indonesia? Atau mereka
akan menempuh jalur legal lewat UNHCR, dengan menunggu status sebagai pengungsi
yang minimal memakan waktu 2 tahun?
Lalu bagaimana bila setelah mendapat status sebagai pengungsi, UNHCR
menempatkan mereka ke negara ketiga tidak ke Australia? Apakah kebijakan
pemerintah Australia menolak pencari suaka perahu merupakan kebijakan final
atau pemerintah Australia masih bisa menerima pengungsi atas rekomendasi dari
UNHCR? Bagi Indonesia apakah ini bukan sebuah “bom waktu”?
Kini, penanganan imigran ilegal kembali menjadi isu yang hangat antara
Indonesia dan Australia setelah ada puluhan imigran yang diselamatkan oleh pihak
Australia di perairan perbatasan Indonesia dan Australia. Otoritas imigrasi
Australia meminta Indonesia menampung para imigran tersebut karena diklaim
ditangkap di wilayah perairan Indonesia. Namun, Indonesia menolak dengan alasan
ekonomi dan sosial. Ada temuan yang berkembang bahwa para imigran itu memang
sengaja digiring oleh pihak Australia untuk masuk ke perairan Indonesia. Kejadian
ini menjadi sinyal bahwa sejatinya Australia telah merubah orientasinya dalam
penangananan para imigran. Tentu ini akan berdampak buruk pada hubungan
diplomatik antara Indonesia dan Australia, yang kini diperparah dengan berkembangnya
kasus penyadapan.
Reaksi Pemerintah atas Kasus Penyadapan
Dari sekian banyak reaksi kontra pemerintah soal penyadapan yang dilakukan
Australia terhadap Indonesia, yang membuat saya tertarik adalah pernyataan
Presiden SBY dalam pidatonya yang menyikapi soal penanganan imigran ilegal dan penyelundupan
manusia (people smugling). Dalam pidatonya tersebut, Presiden SBY
menyatakan akan meninjau kembali (review) beberapa perjanjian kerja sama
strategis dengan Australia. Berikut isi pidato Presiden SBY dalam point 2
terkait dengan peninjauan kembali beberapa kerjasama strategis dengan Australia:
“....Saya juga minta dihentikan sementara yang
disebut dengan coordinated military operations. Saudara tahu bahwa menghadapi
permasalahan bersama people smugling yang merepotkan Indonesia dan
Australia, kita punya kerjasama yang disebut coordinated military operations.
Coordinated control di wilayah lautan. Ini saya meminta dihentikan dulu,
sampai semuanya jelas. Tidak mungkin kita melanjutkan semuanya itu kalau kita
tidak yakin tidak ada penyadapan terhadap tentara Indonesia, terhadap kita yang
secara bersama-sama justru mengemban tugas untuk kepentingan kedua negara....”
Menyitir pernyataan Burhanuddin Muhtadi (Peneliti LSI) dalam acara “Gesture”
di tvOne tadi malam (21/11/2013) yang menyatakan bahwa Australia kini dalam
posisi yang sulit apabila Indonesia memutuskan perjanjian kerja sama soal
penanganan imigran ilegal dan people smugling. “Australia sebenarnya
dalam posisi yang sulit. Akan menjadi sebuah bencana bagi Australia, apabila Indonesia
menghentikan perjanjian bilateral dengan Australia soal people smugling.
Belum lagi soal imigran ilegal. Padahal penegakan hukum terkait dengan kedua
kasus itu adalah “jualannya” Tony Abbot dalam kampanyenya dalam pemilihanPerdana
Menteri Australia kemarin”, tegas Burhanuddin. Menurut saya, apabila ini
terbukti terjadi, maka akan menjadi persoalan serius bagi Australia ke
depannya.
Penyadapan = Perubahan Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal
Tentu hal ini akan menjadi masalah krusial bagi Indonesia, mengingat
Indonesia sendiri tidak memiliki kewajiban apapun dalam menangani masalah
imigran ilegal. Oleh karenanya, terkait dengan adanya kasus penyadapan yang
dilakukan oleh pihak Australia terhadap pejabat di pemerintahan Indonesia,
harus dijadikan momentum bagi Indonesia sendiri untuk meninjau kembali
kebijakan penanganan para imigran ilegal. Kiranya ini dapat menjadi momentum
yang pas bagi pemerintah Indonesia untuk menaikkan nilai dan posisi tawar (bargaining
position) terhadap Australia yang hingga kini belum memberikan reaksi serius
ataupun pernyataan permintaan maaf atas adanya kasus penyadapan tersebut.
Indonesia harus jeli memanfaatkan situasi ini. Australia tentu sangat
berkepentingan dengan Indonesia. Ditambah lagi adanya kasus penyadapan, yang
semakin membuat Australia dalam posisi sulit. Setidaknya apabila memang diperlukan,
Indonesia dapat mengancam pihak Australia dengan skeneario bahwa setiap pencari
suaka dan pengungsi yang masuk dan berada di Indonesia, akan langsung dikirim
ke Australia. Tentu hal ini tidak diinginkan oleh Australia mengingat akan
berdampak luas pada eksistensi Australia sebagai negara yang meratifikasi
Konvensi 1951 dan protokol 1967 tentang pengungsi. Oleh karenanya pembahasan
ini menjadi penting bagi Indonesia dalam menyikapi kasus penyadapan, setidaknya
menjadi alternatif ancaman bagi Australia yang bersikap arogan terhadap
Indonesia. (ALVI)
Muara Enim, November 2013
M. Alvi Syahrin