“....
semakin besar pinjaman dan investasi Tiongkok kepada Indonesia, maka semakin
besar pula potensi ekspansi warga negara Tiongkok di Indonesia. Rencana migrasi
sepuluh juta tenaga kerja Tiongkok, harus diantisipasi serius oleh pemerintah. Ini
bukan berbicara masalah angka, tetapi masalah kesempatan kerja rakyat Indonesia
yang dirampas oleh pekerja kasar dari Tiongkok.”
Migrasi Terstruktur
Fenomena
sosial politik yang terjadi saat ini sungguh mengkhawatirkan, khususnya terkait
dengan ekspansi warga negara Tiongkok yang berbondong-bondong masuk ke wilayah
Indonesia. Sejak Presiden Joko Widodo mencanangkan percepatan pembangunan, maka
arus masuknya orang asing, terutama dari negara Tiongkok semakin membeludak.
Semua kebijakan yang (mungkin) dahulu mempersulit investasi kini dipermudah.
Kebijakan
Bebas Visa Kunjungan dan perubahan persyaratan tenaga kerja asing adalah
sedikit regulasi yang membuka pintu arus masuknya warga negara asing ke
Indonesia. Perhatian khusus tentu pada keberadaan warga negara Tiongkok. Adanya
perjanjian Governement to Governement
(G2G) antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di sektor
perindustrian, berimplikasi pada sumber daya manusia yang digunakan. Kerap kali
dalam kontrak yang disajikan, memuat ketentuan bahwa klausul kontrak dapat
dilaksanakan, jika menggunakan tenaga kerja dari negara asal, yaitu Tiongkok.
Ketentuan ini ibarat satu paket dengan objek utama kontrak. Sehingga mau tidak
mau, ketentuan ini harus dilaksanakan. Mengingat Indonesia sedang gencar-gencarnya
melakukan pembangunan untuk meningkatkan perekonomian nasional.
Kesepakatan Bilateral
Indonesia - Tiongkok
Kebijakan
ini diawali pada saat Presiden Joko Widodo menyampaikan pidatonya di KTT APEC
di Beijing, 8-12 November 2014, yang meminta agar negara-negara Asia Pasifik
datang dan menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini ditanggapi serius oleh
Tiongkok yang kemudian langsung membuat rencana investasi besar-besaran di
Indonesia. Penjajakan investasi itu dikonkritkan oleh Presiden Joko Widodo
lewat kunjungannya ke Beijing pada tanggal 25-27 Maret 2015.
Kedelapan nota kesepahaman itu adalah
kerjasama ekonomi antara Kemenko Perekonomian RI dan Komisi Reformasi dan
Pembangunan Nasional RRT, kerjasama Proyek Pembangunan Kereta Cepat
Jakarta-Bandung antara Kementerian BUMN dan Komisi Reformasi dan Pembangunan
Nasional RRT, kerjasama Maritim dan SAR antara Basarnas dan Kementerian
Transportasi RRT, Protokol Persetujuan antara Pemerintah RRT dan RI dalam
pencegahan pengenaan pajak ganda kedua negara, Kerja Sama Antariksa 2015-2020
antara LAPAN dan Lembaga Antariksa RRT, kerjasama saling dukung antara
Kementerian BUMN dan Bank Pembangunan Tiongkok, kerjasama antara pemerintah RRT
dan RI dalam pencegahan pengenaan pajak ganda kedua negara dan kerja sama
bidang industri dan infrastruktur antara Kementerian BUMN dan Komisi Reformasi
dan Pembangunan Nasional RRT.
Sebagai tindak lanjut dari
penandatanganan nota kesepahaman itu, Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu
Yandong, datang ke Indonesia pada tanggal 27 Mei 2015. Dalam sambutannya di
Auditorium FISIP UI, Yandong mengatakan bahwa akan mengirimkan banyak warga
negaranya untuk datang ke Indonesia demi mencapai kerjasama yang ideal antara
Indonesia dan Tiongkok dalam berbagai bidang. Menurut Liu Yandong, Tiongkok
akan lebih mempererat kerja sama dengan Indonesia di bidang keamanan politik,
ekonomi dan perdagangan, serta humaniora. Kerjasama bilateral Indonesia-Tiongkok
sangat penting mengingat jumlah penduduk kedua negara sangatlah besar mencapai
1,6 miliar jiwa atau seperempat dari total penduduk dunia.
Isu-Isu Strategis
Asaaro Lahagu, Kolomnis Koran Kompas,
dalam artikelnya yang berjudul “Implikasi Kerjasama Cina-Indonesia: Masuknya
Ribuan Pekerja Cina di Banten dan Papua”, menyampaikan bahwa dalam mewujudkan
kedelapan nota kesepahaman antara Indonesia-Tiongkok itu, setidaknya akan ada
beberapa implikasi yang memunculkan isu-isu strategis terutama bagi Indonesia.
Isu-isu itu sangat sensitif dan bisa membahayakan Indonesia ke depan. Isu-isu
strategis itu adalah:
Pertama, migrasi besar-besaran sepuluh
juta warga Tiongkok ke Indonesia.
Migrasi itu terkait dengan investasi besar Tiongkok di Indonesia. Kedatangan
warga negara Tiongkok berpeluang memunculkan isu-isu politik yang krusial.
Selain itu akan menimbulkan persaingan budaya antara warga negara Tiongkok
dengan Pribumi. Ini menjadi sumber masalah baru bagi bangsa Indonesia ke
depannya. Mengingat jumlah sepuluh juta jiwa itu bukanlah suatu jumlah yang
sedikit, dikhawatirkan menjadi strategi Tiongkok untuk menguasai Indonesia.
Secara pelan memasukkan warga negara Tiongkok ke Indonesia, kemudian mendesak
keluar warga pribumi Indonesia pada perannya di sektor-sektor strategis di
Indonesia untuk digantikan warga Tiongkok.
Kedua, program Presiden Joko Widodo
yang meminjam dana dari Tiongkok sebanyak 520 triliun atau USD 40 miliar dengan
motif investasi untuk membiayai sejumlah BUMN seperti proyek kereta api di
berbagai daerah di Indonesia dan pembiayaan listrik 35 ribu Mega Watt (MW),
membuat posisi Indonesia berada di posisi rawan. Sekarang ini kondisi
perekonomian Indonesia belum menunjukan perubahan positif secara signifikan.
Jika nanti terjadi krisis dan tidak mampu bayar, maka secara otomatis
perusahaan-perusahaan BUMN akan jatuh kepada tangan asing. Dengan kata lain,
jika terjadi krisis seperti yang terjadi pada tahun 1998, maka sebagian besar
BUMN Indonesia akan jatuh ke tangan Tiongkok.
Ketiga, dana yang digelontorkan oleh Tiongkok
dengan motif investasi, selalu terlampir syarat-syarat terselubung. Salah satu
syarat yang sudah terlaksana dan disetujui oleh Joko Widodo adalah bahwa
pelaksanaan seluruh mega proyek Tiongkok di Indonesia mengharuskan tenaga
kerjanya didatangkan dari Tiongkok. Persetujuan ini kemudian menjadi nyata
ketika mulai datang ribuan tenaga kerja dari Tiongkok ke Indonesia. Kedatangan
ribuan tenaga kerja dari Tiongkok dan ditempatkan di berbagai daerah di
Indonesia, bertolak belakang dengan tindakan pemutusan hubungan kerja yang
terjadi. Kenyataan tersebut tentu telah melanggar Keputusan Menteri Ketenagakerjaan
RI No 15 Tahun 2015 tentang Jabatan yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing
di Indonesia.
Keempat, izin kepemilikan properti oleh
warga asing di Indonesia. Percepatan proyek pembangunan hotel, apartemen,
menara kondominium dan properti lainnya adalah untuk menampung warga negara Tiongkok
dalam jumlah besar yang akan segera datang ke Indonesia. Bukan sekedar
berkunjung, tapi diduga menetap selamanya. Rencana pemberian izin kepada warga
negara asing untuk memiliki properti di Indonesia bertepatan dengan migrasi
warga negara Tiongkok ke Indonesia. Dengan begitu warga negara Tiongkok yang
berdatangan akan secara sah memiliki properti di Indonesia dan memudahkan
mereka untuk juga secara sah menjadi warga negara Indonesia. Berbagai media
menginformasikan bahwa puluhan ribu Kartu Tanda Penduduk (KTP) indonesia telah
dipalsukan untuk mememudahkan warga negara Tiongkok yang akan masuk ke
Indonesia. Dengan memiliki properti dan KTP, akan mudah lagi bagi mereka untuk
mengusai Indonesia sepenuhnya.
Implikasi kerjasama Tiongkok-indonesia
itu memang bisa menguntungkan Indonesia dengan mendapat investasi besar-besaran
dari Tiongkok. Namun sebaliknya bisa juga berpotensi merugikan Indonesia
terutama memunculkan isu-isu strategis yang dapat merugikan bangsa.
Paket Kebijakan Investasi
Pro Tiongkok
Membeludaknya
jumlah warga negara Tiongkok di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan yang
dibuat oleh Presiden Joko Widodo, yaitu Kebijakan Bebas Visa Kunjungan.
Kebijakan ini diawali dengan dibentuknya Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun
2015, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2015, hingga
yang terakhir Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 yang memberikan bebas visa
kunjungan kepada 169 negara.
Kebijakan
Bebas Visa Kunjungan yang telah mengalami perubahan hingga tiga kali ini
menjadi momentum bagi ekspansi masuknya warga negara asing ke Indonesia,
khususnya Tiongkok. Tiongkok sebagai negara yang memiliki hubungan bilateral
G2G terhadap Indonesia, sangat memiliki kepentingan terhadap kebijakan ini.
Selanjutnya
di bidang ketenagakerjaan. Pemerintah dalam waktu kurang dari dua tahun, telah
merevisi Permenakertrans Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan
Tenaga Kerja Asing dengan mengeluarkan Permenakertrans Nomor 16 Tahun 2015
tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Dua peraturan ini dilahirkan
dari rezim pemerintahan yang berbeda. Revisi dilakukan pada masa pemerintahan
Presiden Joko Widodo yang menuntut percepatan pembangunan dengan mendatangkan
tenaga kerja Tiongkok. Perubahan krusial terdapat pada ketentuan yang
menghilangkan syarat pendidikan S1 dan kemampuan berbahasa Indonesia bagi
tenaga kerja asing.
Tidak
hanya itu, ketentuan yang mengharuskan suatu perusahaan apabila ingin
memperkerjakan satu tenaga kerja asing, harus merekrut sepuluh tenaga kerja
Indonesia, kini juga dihapus oleh Kemenakertrans. Semestinya, ketentuan tentang
persyaratan tenaga kerja asing ini harus menjadi perhatian serius, khususnya
terkait dengan posisi jabatan, jumlah, prosedur, dan waktu yang harus dibatasi.
Disini terlihat jelas bagaimana usaha dari pemerintah untuk merubah aturan yang
sudah ada agar memudahkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.
Regulasi ketenagakerjaan menentukan bahwa
tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia harus sesuai dengan keahlian dan
menempati jabatan tertentu serta bertujuan untuk mentransfer ilmu kepada
pendampingnya, yakni warga negara Indonesia dengan waktu yang ditentukan.
Namun, faktanya sebagian besar tenaga kerja (ilegal) Tiongkok adalah buruh
kasar. Ini berarti pemerintah sama saja menyakiti rakyat dengan mempersempit
peluang kerja, di saat angka pengangguran di Indonesia masih tinggi. Pemerintah
kelihatan terkesan tunduk pada kemauan investor. Akibatnya pihak Kemenakertrans
menjadi dalang dari kedatangan ribuan buruh asal Tiongkok itu. Sehingga
diperlukan tindakan tegas darii pihak terkait, seperti Direktorat Jenderal
Imigrasi, Kepolisian, dan TNI untuk
mengantisipasi keberadaan warga negara asing tersebut.
Sepuluh Juta Warga
Negara Tiongkok (?)
Sejak diberlakukannya kebijakan Bebas Visa
Kunjungan, maka jumlah warga negara asing ke Indonesia meningkat tajam.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan mancanegara
atau wisman dalam arti luas ke Indonesia pada Februari 2016 mencapai 888,3 ribu
kunjungan, naik 5,26 persen dibanding kunjungan Februari 2015. Begitu pula,
jika dibandingkan dengan Januari 2016, mengalami kenaikan sebesar 9,09
persen. Secara
kumulatif, pada Januari-Februari 2016, jumlah kunjungan wisman dalam arti luas
ke Indonesia mencapai 1,70 juta kunjungan atau naik 4,46 persen dibandingkan
jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah
1,63 juta kunjungan. Dari angka tersebut, sekitar tiga puluh persen didominasi
oleh warga negara Tiongkok.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Imigrasi pada tahun 2014, jumlah
pelanggaran keimigrasian yang dilakukan warga negara Tiongkok sangat
mendominasi. Perbandingan antara jumlah pelanggaran dan jumlah perlintasan yang
dilakukan oleh warga negara Tiongkok adalah 3.816 berbanding 884.743. Jumlah
tersebut adalah yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain
seperti.
Terkait dengan adanya eksodus sepuluh juta
warga negara Tiongkok ke Indonesia harus diantisipasi secara serius oleh Pemerintah.
Walaupun belum ada data konkrit, namun Wakil PM Tiongkok, Liu Yandong,
membenarkan akan ada sepuluh juta warga negara Tiongkok yang datang secara
bertahap ke Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan pada saat ia memberikan
pidato sambutan di Auditorium FISIP Universitas Indonesia.
Namun belakangan ini, rumor tersebut
segera dibantah oleh Menteri Tenaga Kerja, Muhammad Hanif Dhakiri. Menurutnya,
angka sepuluh juta orang itu adalah target wisatawan asing, bukan tenaga kerja
asing. Ia menuturkan jumlah pekerja asal Tiongkok sangat fluktuatif, sekitar
14.000 orang hingga 16.000 orang dalam periode satu tahun. Sebagaimana tenaga
kerja asing lain di Indonesia yang totalnya 70.000-an orang, tenaga kerja asal
Tiongkok masuk dalam periode satu tahun tersebut. Dengan kata lain, teanaga
kerja asal Tiongkok yang masuk ke Indonesia hanya sekitar 20-22 persen setiap
tahunnya.
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza
Mahendra dalam artikelnya di Republika (19/07) berpendapat angka sepuluh juta
wisatawan Tiongkok ke Indonesia memang bisa diperdebatkan. Tapi jumlah itu
dapat saja terjadi dalam beberapa tahun ke depan sejalan dengan kian
membesarnya pinjaman proyek dan investasi mereka di Indonesia. Ini bukan hanya
persoalan angka sepuluh juta, tetapi masalah kesempatan kerja rakyat Indonesia
yang dirampas oleh pekerja kasar dari Tiongkok. Semakin besar pinjaman dan
investasi mereka di Indonesia, maka semakin besar pula potensi ekspansi warga
negara Tiongkok di Indonesia. Mereka pada akhirnya hanya akan menciptakan lapangan
pekerjaan untuk warganya (Tiongkok) di Indonesia, sedangkan rakyat kita tidak
mendapat manfaat apapun.
Penjelasan Menakertrans yang membandingkan
jumlah tenaga kerja Indonesia di Hongkong jauh lebih besar dari tenaga kerja
Tiongkok adalah keliru. Mereka bekerja disana berdasarkan kontrak, sehingga
dapat dipulangkan kapan saja. Berbeda dengan tenaga kerja Tiongkok di Indonesia
yang kebanyakan ilegal. Lebih lanjut, keberadaan tenaga kerja Indonesia di
Hongkong dan Tiongkok dengan mudah dapat dibedakan dari warga lokal, sedangkan
pekerja Tiongkok sangat sulit dibedakan dengan warga negara Indonesia kalangan
Tionghoa yang sudah lama menetap di Indonesia.
Populasi Melebihi
Pencari Suaka dan Pengungsi
Perlu
dipahami, untuk jangka waktu panjang sebaran warga negara Tiongkok yang bekerja
di Indonesia dapat melebihi jumlah pencari suaka dan pengungsi yang sampai saat
ini menjadi persoalan yang tak kunjung usai bagi pemerintah. Dengan adanya
berbagai kemudahan yang diberikan, cepat atau lambat akan keberadaan tenaga
kerja Tiongkok menimbulkan ancaman serius bagi pemerintah.
Berdasarkan data yang dirilis
oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), pada Tahun
2014 ada sekitar 68.000 tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dengan
memiliki Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Lalu, pada tahun 2015 mengalami
pengingkatan hingga 69.000 orang. Untuk bulan Juni 2016, telah menyentuh angka 43.000 orang. Jumlah
tersebut diperkirakan akan terus mengalami peningkatan, mengingat paket
kebijakan pro investasi semakin gencar dikeluarkan oleh pemerintah.
Untuk tenaga kerja Tiongkok yang
bekerja di Indonesia hingga Juni 2016, berjumlah 14.500 tenaga kerja yang
mendapatkan izin kerja secara sah. Sedangkan pada Tahun 2015 berjumlah 15.000
orang dan pada Tahun 2014 berjumlah 16.800. Berdasarkan data tersebut, jumlah
tenaga kerja Tiongkok yang datang ke Indonesia pada tahun 2016 cenderung mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya. Tren tersebut dipicu karena adanya hasil kerja sama bilateral G2G
antara Indonesia dan Tiongkok di sektor perekonomian.
Sebagaimana diketahui, angka
tersebut telah melampaui jumlah imigran ilegal (pencari suaka dan pengungsi) di
seluruh Indonesia yang menurut data Direktorat Jenderal Imigrasi per 30 September 2015, mencapai 13.405 orang.
Perbedaan yang cukup jauh mengingat migrasi warga negara Tiongkok ke Indonesia
meningkat tajam hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun dan akan terus
mengalami peningkatan hingga beberapa tahun ke depan.
Implikasi Hukum dan
Sosial
Banyak
alasan mengapa pemerintah memilih Tiongkok sebagai mitra kerja untuk menanamkan
investasi nya di Indonesia. Salah satunya yaitu dari sumber daya manusia yang
murah. Upah tenaga kerja Tiongkok dapat terbilang murah. Selain itu juga
kemampuan fisik serta etos kerja yang berbeda dengan pekerja lokal. Anggapan
yang berkembang, bila suatu proyek dikerjakan oleh tenaga kerja Tiongkok dapat
selesai dalam kurun waktu enam bulan, sedangkan bila menggunakan tenaga kerja
lokal maka bisa memakan waktu satu tahun bahkan lebih. Tentu ini tidak dapat
dijadikan alasan pembenar untuk melegalkan migrasi besar-besaran warga negara
Tiongkok di Indonesia.
Keberadaan
tenaga kerja Tiongkok juga kerap kali menimbulkan permasalahan sosial bagi
masyarakat sekitar. Perbedaan bahasa dan budaya menjadi pemicu timbulnya
keributan. Masyarakat lokal cenderung tidak menerima kehadiran tenaga kerja
asing. Mereka menganggap keberadaan tenaga kerja Tiongkok di sana telah
mengambil lapangan pekerjaan dan tidak menutup kemungkinan mengancam
keberlangsungan hidup mereka. Bahkan yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita
adalah makin maraknya kegiatan porstitusi sebagai ekses dari keberadaan tenaga
kerja Tiongkok ini di Indonesia. Bekerja dalam waktu yang lama dan jauh dari
keluarga, menyebabkan terjadinya kegiatan porstitusi.
Berdasarkan
ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No.
16 Tahun 2015 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 15 Tahun
2015, tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia hanya dapat menduduki
jabatan tertentu, memiliki keahlian
khusus, dan profesional di bidangnya. Normatifnya, ekspatriat yang dapat
bekerja di Indonesia adalah para pekerja spesialis yang keahliannya tidak
dimiliki oleh masyarakat lokal.
Namun,
fakta di lapangan banyak ditemui tenaga kerja Tiongkok yang melakukan pekerjaan
tidak sesuai IMTA yang diberikan. Katakanlah, dalam IMTA disebutkan
pekerjaannya adalah Engineering
Specialist atau Electronical
Specialist, namun kenyataannya mayoritas mereka melakukan pekerjaan kasar,
seperti mengaduk semen, memasang batu bata, mengangkat batu dan besi, bahkan
pernah ditemukan sebagai tukang masak (koki) pada perusahaan tersebut.
Mayoritas tenaga kerja Tiongkok (ilegal) adalah unskill worker, yang bekerja bukan atas dasar kualifikasi dan
keahlian tertentu.
Pada
tahun 2014, Penulis yang tergabung dalam Tim Pengawasan dan Penindakan
Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim melakukan pengawasan
keimigrasian terhadap keberadaan orang asing di PT. Priamanaya Energy yang
bertempat di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Ditemukan kurang lebih 350
tenaga kerja Tiongkok yang tidak sesuai dengan izin tinggal diberikan. Hampir
semuanya menggunakan Visa Kunjungan Satu Kali Perjalanan (B.211), bahkan
sebagian besar dari mereka telah overstay
di Indonesia. Berdasarkan data paspor dan pengamatan fisik, tidak sedikit dari
mereka adalah pekerja di bawah umur. Tentu selain adanya pelanggaran
keimigrasian, ada dugaan kejahatan sindikat perdagangan manusia (human traficking) di dalam kegiatan
tersebut. Ini menjadi ironi di saat Indonesia membuka pintu masuk seluas-luasnya
bagi investasi dengan jaminan percepatan pembangunan, di sisi lain pelanggaran
hukum semakin meningkat. Jangan sampai kita mengorbankan negara hanya untuk
kepentingan asing.
Kasus Faktual
Tenaga kerja Tiongkok yang berada di
Indonesia mendominasi sektor konstruksi. Satu di antaranya adalah pembangunan
PLTU Celukan Bawang, di Buleleng, Bali yang dikerjakan oleh empat kontraktor,
yaitu China Huadian Power Plant, China Huadian Engineering Co. Ltd, PT CR 17,
dan mitra lokal PT General Energy Bali. Proyek PLTU berkapasitas 3x100 MW
tersebut bernilai Rp. 9 triliun. Dengan nominal sebanyak itu, tentu Pemerintah
Tiongkok memiliki misi untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi warganya di
Indonesia.
Selain itu juga, tentu kita masih ingat
kasus tertangkapnya lima orang warga negara Tiongkok berbaju militer dan dua
orang warga negara Indonesia oleh Tim Patroli TNI Angkatan Udara Lanud Halim
Perdanakusuma, Jakarta Timur (27/04). Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal
Pertama Wieko Syofyan mengatakan ketujuh pekerja yang lima di antaranya
merupakan tenaga kerja Tiongkok telah memasuki area Lanud tanpa izin dan
melakukan pengeboran secara ilegal.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kelima orang
warga negara Tiongkok itu merupakan karyawan PT Geo Central Mining yang
beralamat di Pantai Indah Kapuk, Bukit Golf, Jakarta Utara dan juga counterpart dari PT Wijaya Karya. Mereka
kemudian diamankan oleh Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Timur. Setelah
dilakukan pemeriksaan, mereka memang bekerja dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Diduga terdapat pelangaran
keimigrasian berupa tidak dapat menunjukkan dokumen perjalanan serta izin
tinggal.
Mayoritas
pelanggaran keimigrasian yang dilakukan oleh warga negara Tiongkok di Indonesia
adalah melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan izin tinggal yang telah
diberikan. Selain itu juga tidak dapat menunjukkan paspor dan izin tinggal,
karena dipegang oleh pihak sponsor. Sebagian besar dikenakan Pasal 116 dan
Pasal 122 huruf a UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Pasal
116 UU No. 6 Tahun 2011 menentukan bahwa “Setiap orang asing yang tidak
melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.
25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).” Pasal 71 mengatur bahwa “Setiap orang
asing yang berada di wilayah Indonesia wajib: (a) memberikan segala keterangan
yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta melaporkan
setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan, pekerjaan, Penjamin, atau
perubahan alamatnya kepada Kantor Imigrasi setempat; atau (b) memperlihatkan
dan menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila
diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan
Keimigrasian.”
Kemudian
Pasal 122 huruf a UU No. 6 Tahun 2011 mengatur bahwa “Setiap orang asing yang
dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan
maksud dan tujuan pemberian izin tinggal yang diberikan kepadanya, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).” Kedua pasal ini merupakan pasal yang
paling banyak dilanggar oleh warga negara asing, khususnya tenaga kerja yang berasal
dari Tiongkok.
Selain
pelanggaran keimigrasian, kegiatan pekerja Tiongkok di Indonesia juga
menimbulkan kejahatan lainnya, seperti cyber
crime. Jauh sebelum diberlakukannya kebijakan bebas visa kunjungan untuk
negara Tiongkok, kejahatan cyber crime
masih terbilang minim. Namun, sekitar satu tahun setelah diberlakukannya
kebijakan ini maka persentasenya meningkat tajam dan itu hampir semuanya
dilakukan oleh warga negara Tiongkok.
Terakhir,
kasus cyber crime yang menarik
perhatian publik terjadi di kawasan Bogor (21/06). Polresta Bogor Kota dan Kantor Imigrasi Kelas I Bogor mengamankan 31 WN
China yang diduga melakukan cyber fraud
di perumahan mewah di kawasan Bogor. Para pelaku ditengarai telah beroperasi
sejak April 2016. Mereka melakukan kejahatan transnasional dengan modus
operandi penipuan online kepada
korban warga negara Tiongkok. Mereka melaklukan penipuan secara online kepada warganya sendiri, namun
menjadikan Indonesia sebagai homebase mereka.
Pengawasan dan Penegakan Hukum
Penegakan
hukum terkait ekspansi warga negara Tiongkok yang melakukan pelanggaran, mau
tidak mau harus segera dilaksanakan, terutama di bidang keimigrasian.
Penyalahgunaan izin tinggal merupakan pelanggaran yang paling banyak dilakukan.
Diperlukan koordinasi antar lembaga guna meningkatkan pengawasan selama mereka
melakukan kegiatan di Indonesia. Keberadaan Sekretariat Tim Pengawasan Orang
Asing (Tim Pora) yang melibatkan TNI, Polri, Kejaksaan, Kemenakertrans, dan
lembaga lainnya, perlu didukung secara maksimal. Peran serta masyarakat sebagai
pihak yang paling sering bersentuhan dengan warga negara asing (Tiongkok) harus
diberdayakan.
Perosalan
migrasi warga negara Tiongkok ke Indonesia bukan hanya masalah satu atau dua
institusi, tapi menjadi permasalahan bangsa. Keberadaan tenaga kerja Tiongkok
ibarat dua sisi mata uang, yang (mungkin) dapat mensejahterakan masyarakat,
tapi juga mengganggu keamanan negara. Tidak hanya itu, dalam jangka panjang
dapat memberikan pengaruh negatif terhadap perkembangan ideologi, sosial, politik,
dan ekonomi. Jangan sampai kita yang punya wilayah dan sumber daya, malah
menjadi penonton di negara sendiri. Indonesia adalah negara berdaulat.
Kedaulatan itulah yang harus dijaga, bukan untuk digadaikan. (Alvi)
Depok, Juli 2016
M. Alvi Syahrin