ANALOGI
ANTISIPASI:
- Angka
8 (delapan) dianggap sebagai kesempurnan dari siklus kehidupan manusia (Numerik
– Sosial Budaya)
Maksudnya: bahwa angka 8 (delapan) memiliki garis melingkar dan tak
putus. Garis yang demikian, dianalogikan dengan kesempurnaan hidup manusia yang
terus mengalami proses pendewasaan menuju kesempurnaan.
- Dunia
tak selebar daun kelor (Spasial – Biotik)
Maksudnya: Walaupun kehidupan manusia di dunia cenderung sempit,
dan tidak tertutup kemungkinan akan bertemu kembali satu sama lain, tapi
percayalah dunia cukup luas untuk diarungi. Ia tidak sesempit yang kita
bayangkan. Oleh karenanya, dunia tidak diibaratkan seperti daun kelor yang
kecil.
- Motor
ini berkekuatan 100 kali tenaga kuda (Kinematik – Biotik)
Maksudnya: Motor yang kuat dan memiliki kecepatan yang tinggi, acap
kali disamakan dengan tenaga kuda yang juga memiliki kecepatan dan kekuatan
yang tangguh.
- Karena
kecerdasannya, lumba-lumba memiliki kemampuan intelektual setara dengan manusia
(Biotik – Sosial Budaya)
Maksudnya: Berdasarkan penelitian para ahli, menjelaskan bahwa otak
lumba-lumba memiliki tingkat kecerdasan di atas fauna lainnya. Oleh karenanya
tidak berelebihan bila hal ini disamakan dengan tingkat kecerdasan dari seorang
manusia sebagai mahluk yang memiliki akal.
- Colloseum
merupakan simbol keagungan peradaban romawi kuno (Spasial – Sosial Budaya)
Maksudnya: Colloeseum merupakan bangunan yang terdapat di
negara Italia. Pada masanya, bangunan ini menjadi saksi sejarah peradaban
romawi kuno. Baik itu dalam pembangunannya, penggunaannya, dan sejarahnya.
Sehingga tidak berlebihan apabila Colloseum menjadi simbol kejayaan
peradaban romawi kuno hingga sekarang.
ANALOGI
RETROSIPASI:
- Hukum
adalah rambu-rambu lalu lintas [Hukum (Sosial Budaya) – Spasial]
Maksudnya: Banyak definisi tentang hukum. Salah satunya hukum
adalah rambu-rambu lalu lintas. Hukum dimaknai demikian, karena berlakunya
hukum sifatnya tentatif. Ia dianalogikan sebagai rambu-rambu lalu lintas,
karena hukum dijumpai dalam konteks penegakan hukum di jalan raya.
- Tegakkanlah
hukum, walau langit runtuh [Hukum (Sosial Budaya) – Spasial]
Maksudnya: Kalimat ini merupakan adagium dari zaman romawi kuno. Ia
mengandaikan penegakan hukum haruslah ekstrim, radiks, dan tak pandang bulu.
Idealisme penegakan hukum inilah yang menjadi tolak ukur timbulnya kalimat ini.
Tegakkanlah hukum, walau langit runtuh. Tentunya ini hanya kiasan, betapapun
hukum harus ditegakkan, walau banyak cobaan yang menghadang.
- Manusia
bagaikan seonggok daging yang hina (Sosial Budaya – Biotik)
Maksudnya: Kalimat ini merupakan penggalan dari syair lagu Raja
Dangdut, Rhoma Irama. Ia menyamakan manusia dengan seonggok daging yang hina.
Tidak berlebihan memang. Manusia dapat menjadi makhluk yang hina di mata
manusia sendiri atapun di hadapan sang Pencipta, bila ia tidak dapat bersikap
layaknya manusia seharusnya (d.k.l binatang).
- Air
susu dibalas dengan air tuba (Sosial Budaya – Spasial)
Maksudnya: Ini merupakan kalimat kuno yang sering kita jumpai di
kala kecil. Bagi anak-anak yang durhaka terhadap orang tuanya, terutama ibu,
diibaratkan seperti membalas air susu dengan air tuba. Kasih sayang dan
perhatian dari orang tua (ibu), hanya
dibalas dengan kedurhakaan dari sang anak.
- Bagaikan
mencari jarum dalam jerami (Sosial Budaya – Spasial)
Maksudnya: Hal ini merupakan pengandaian kondisi di mana,
kemustahilan menjadi suatu keniscayaan. Peluang menjadi berkurang, ketika
persoalan semakin kompleks. Hal ini dianalogikan, ketika kita mencari sebuah
jarum yang kecil, ditengah rimbunnya jerami.
ANALOGI
SERAGAM (SEBIDANG):
- Hukum
adalah seni (Sosial Budaya: Hukum – Seni)
Maksudnya: Hukum diibaratkan seperti seni. Karena menurut pemahaman
social jurist, hukum tidak ubahnya seni. Di mana ia lebih cenderung
untuk merangkai kata-kata yang indah agar terciptanya norma hukum yang baik.
Dan juga kecenderungan mencari celah hukum, menerapkan hukum, merumuskan kaidah
hukum adalah sebuah mahakarya seni tiada tara. Law is Art, begitulah
kata mereka.
- Hukum
adalah kontrak sosial (Sosial Budaya: Hukum – Sosial Ekonomi)
Maksudnya: adagium kuno ini dikemukakan oleh Thomas Hoobes pada
masanya. Ia berdalil bahwa manusia agar dapat hidup rukun dan mencapai
kesejahteraan, haruslah mengikatkan dirinya dalam suatu kontrak sosial. Dalam
kontrak itu tertulis perihal pemilihan pemimpin diantara mereka, hukum yang
ditaati, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak.
- Hukum
adalah alat rekayasa sosial (Sosial Budaya: Hukum – Sosial)
Maksudnya: Pertama kali dikemukakan oleh Roscoe Pound, seorang
begawan sosiologi hukum Amerika. Ia berpendapat bahwa hukum tak ubahnya sebagai
alat untuk membuat kesejahteraan bagi masyarakat. ia dapat membuat rekayasa
positif agar mengubah perilaku bejat masyarakat menjadi lebih humanis.
- Hukum
adalah alat kontrol sosial (Sosial Budaya: Hukum – Sosial)
Maksudnya: Dikemukakan kembali oleh Roscoe Pound. Bahwa hukum
selain sebagai alat rekayasa sosial, ia juga diharapkan untuk menjadi alat
kontrol bagi masyarakat. ia harus menjadi penyeimbang (balancing) dan
alat koreksi bagi masyarakat bila terjadi penyimpangan. Sehingga hukum
diibaratkan sebagai alat kontrol sosial.
- Hukum
adalah alat penguasa (Sosial Budaya: Hukum – Politik)
Maksudnya: Dicetuskan oleh John Austin, sebagai penganut aliran
positivistik. Ia menjelaskan bahwa hukum merupakan produk dari penguasa. Ia berasal
dari penguasa dan untuk penguasa. Sehingga tidak heran hukum menjadi represif
dan cenderung otoriter. Itulah yang terjadi pada masa itu. ia mengibaratkan
hukum sebagai alat penguasa untuk mencapai kekuasaan.
Palembang, Oktober 2011
M. Alvi Syahrin
Sumbernya dari buku mana ya, terimakasih^^
ReplyDeletePemikiran penulis yang dikembangkan dari materi kuliah filsafat ilmu pada PPS Magister Ilmu Hukum.
DeleteHukum yang seragam atau kebijakan yang absolute hehe isu yang menarik.
ReplyDelete