Polemik Nikah Sirri
Polemik
nikah sirri bukanlah suatu hal yang baru. Perdebatan semacam ini telah
berlangsung jauh sebelum diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut UUP). Namun, sekarang permasalahan tersebut kembali
mencuat di tanah air dengan adanya RUU Hukum Materil Peradilan Agama di bidang
Perkawinan (RUU HMPA) yang diajukan oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Umat Islam
Departemen Agama RI. Tidak hanya kaitannya dengan masalah pencatatan yang
selama ini telah menjadi sorotan bersama, tapi juga adanya “pemidanaan” bagi
para pelaku nikah sirri, baik itu calon mempelai suami, isteri maupun saksi dan
wali yang menikahkan mereka yang tercantum dalam Pasal 143 RUU HMPA tersebut.
Terminologi Nikah Sirri dan Nikah Tidak Tercatat
Kata “sirri”
itu sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti berbisik atau rahasia yang
kemudian berkembang menjadi sembunyi, disembunyikan, menyembunyikan. Lawan dari
kata “sirri”, adalah “jahar”, yang berarti kuat dan lantang.
Namun, perlu diketahui bahwasanya,
nikah sirri ini tidak selalu diidentikan dengan agama Islam. Karena banyak
pemeluk agama lain pun yang dapat melakukan hal serupa, bila kita memahami dari
pemaknaan kata sirri tersebut. Agama Islam tidak mengenal istilah nikah sirri,
yang ada hanyalah nikah shahih (nikah yang memenuhi syariat Islam),
nikah fasid (nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dan/atau rukun
dalam syariat islam), serta nikah bathil (nikah yang tidak memenuhi
syariat Islam). Perlu diketahui bersama bahwa sah tidaknya suatu perkawinan
menurut Islam didasarkan pada rukun perkawinan itu sendiri, yaitu adanya kedua
calon suami isteri yang saling setuju, adanya dua orang wali nikah yang
bertanggung jawab (wali mujbir, wali nasab, dan wali hakim), adanya dua orang
saksi laki-laki yang bertanggung jawab, adanya mahar atau mas kawin yang
diberikan oleh calon laki-laki kepada calon perempuan, dan adanya ijab dan
qobul.
Dalam Islam, perkawinan yang
dilangsungkan haruslah “dipublikasikan” kepada para khalayak ke dalam suatu
acara yang disebut dengan walimatul ursy. Sebagaimana sabda Rasulullah
yang menyatakan bahwa: “Dan selenggarakanlah walimah (pesta pernikahan) walau
hanya dengan seekor kambing”.
Berdasarkan perkembangannya, istilah
nikah sirri baru dikenal dalam beberapa tahun terakhir. Sebelum diberlakukannya
UUP, yang dikenal hanyalah perkawinan tidak tercatat, kemudian disamakan dengan
istilah perkawinan dibawah tangan. Dan selanjutnya berubah dengan sendirinya
melalui pemahaman konsep teoritis beberapa golongan, yang dikenal dengan
istilah nikah sirri.
Dalam makalahnya yang berjudul
“Pernikahan Tidak Tercatat dan Nikah Sirri serta Implikasinya Dari Hukum
Negara”, Abdullah Gofar menguraikan dua pendapat terkait dengan istilah nikah
sirri. Pertama, nikah sirri merupakan menikah tanpa adanya seorang wali dan
tidak terpenuhinya rukun pernikahan secara lengkap. Kedua, menikah dengan telah
memenuhi semua rukun menikah, tetapi tidak disahkan secara hukum negara (tidak
didaftarkan ke KUA setempat). Menurut hukum Islam, pernikahan tersebut sudah
sah dan tidak ada satu pun ulama yang menyatakan perkawinan tersebut batal.
Secara terminologi, nikah sirri dirumuskan
oleh para ulil albab sebagai pernikahan dimana salah satu calon mempelai
menyembunyikan identitas dari wali mujbir atau wali aqrub padahal
para wali tersebut masih hidup dan mampu untuk menikahkannya. Penyembunyian
inilah, yang diyakini oleh para ulil albab sebagai penikahan yang
disembunyikan, atau yang dikenal sebagai nikah sirri. Berbeda dengan definisi
nikah sirri yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia yang memaknainya
sebagai suatu pernikahan yang tidak dicatatkan. Maksudnya, pernikahan yang
dilakukan oleh kedua mempelai walaupun dapat dikatakan telah sah menurut hukum
agamanya masing-masing, namun haruslah mendapatkan legitamasi formalitas
melalui pencatatan perkawinan di KUA bagi umat muslim dan KCS bagi umat non-muslim.
Apabila kita telisik lebih jauh, maka
terminologi nikah siri yang berusaha dikembangkan oleh pemerintah sama sekali
tidak berdasarkan konsep agama. Dikarenakan hanya menekankan pada aspek
kepastian hukum dan legalitas. Permasalahannya adalah, apakah perkawinan yang
telah dilakukan secara sah menurut hukum agama bukan merupakan suatu perkawinan
yang diakui oleh negara. Dalam pasal Pasal 2 ayat (1) UUP jo. Pasal 4 KHI
menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal tersebut juga senada dengan
ketentuan Pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan menurut hukum islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiiddan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pencatatan perkawinan yang
termuat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak lain sebagai
kepentingan administrasi dari pemerintah dan bukanlah sesuatu yang prinsipil.
Tanpa menafikan tujuan dan manfaat dari pencatatan tersebut, maka bukan
tempatnya untuk menyatakan bahwa perkawinan yang tidak dilakukan pencatan
bukanlah perkawinan yang diakui oleh negara. Dikarenakan dalam Pasal 2 UUP telah
dengan tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut
hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Sehingga ketentuan pencatatan
perkawinan tersebut dapat dikatakan sebagai hukum pelengkap (aanvullend
recht), karena bukan syarat mutlak sahnya suatu perkawinan.
Dengan demikian, kaitannya
dengan nikah sirri adalah menegaskan bahwa nikah sirri berbeda secara konsepsi
dengan nikah yang tidak tercatat. Sebagaimana dikemukakan pada paragraf
sebelumnya, maka nikah sirri ialah perkawinan yang menyembunyikan identitas
dari wali nikah. Hal tersebut berbeda dengan nikah tidak tercatat yang hanya
menekankan pada aspek adminitrasi yang merupakan manifetasi dari kepentingan
negara. Hal tersebut dikarenakan konsep nikah sirri merupakan terminologi yang
“diberikan” oleh hukum agama (walaupun dalam Islam sendiri tidak mengenal
istilah tersebut), sedangkan nikah tidak tercatat merupakan terminologi yang
dikembangkan oleh hukum negara berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUP, maka pada
dasarnya kedua istilah itu tidak dapat dileburkan menjadi satu definisi yang absolut.
Sehingga terminologi nikah sirri tersebut tidak dapat disamakan dengan nikah
tidak tercatat, karena selain berbeda konsep teoritis antara hukum agama dan
hukum negara, juga kontradiktif dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Nikah Sirri dan Sanksi
Pidana
Sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, dalam Pasal 143 RUU HMPA menegaskan bahwa adanya
sanksi pidana yang diberlakukan bagi pelaku nikah sirri, baik itu kedua calon
mempelai tapi juga saksi dan wali yang menikahkan mereka.
Siti Musdah Mulia
yang merupakan Profesor riset bidang lektur agama dan pendiri Lembaga Kajian
Agama dan Gender dalam salah satu artikelnya di Jawa Pos yang berjudul
“Memahami Realitas Kawin Sirri” menyatakan bahwa spirit dari pemidanaan terhadap pelaku nikah
sirri tidak lain adalah memberikan proteksi terhadap istri dan anak-anak.
Selama ini merekalah yang paling banyak merasakan kesengsaraan akibat tiadanya
pencatatan perkawinan yang menjadi bukti legal bagi pemenuhan hak-hak mereka.
Bahkan, juga memproteksi laki-laki dari tuntutan orang-orang yang mengaku
isteri atau anak. Hal serupa juga disampaikan oleh Eti Sumiati, aktivis perempuan yang tergabung dalam
Jari (Jaringan Relawan Indonesia) yang menyambut
positif keberadaan pasal tersebut. Namun, gelombang kontradiktif terhadap
keberadaan pasal tersebut juga tidak dapat dibilang sedikit, misalnya
pernyataan tegas dari Adian Husaini yang merupakan Ketua Dewan Dakwah Islam
Indonesia (DDII) yang menilai pemidanaan bagi pelaku nikah sirri terlalu
berlebihan
Memang, membutuhkan pemikiran yang jernih
untuk menghadapi ini semua. Menurut hemat saya, bukanlah kewajiban dari hukum
pidana yang notabane-nya hukum publik untuk ikut campur dalam masalah privat
(d.h.i hukum perkawinan). Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UUP jo.
Pasal 4 KHI yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal tersebut juga
senada dengan ketentuan Pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan menurut
hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiiddan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Relevansinya
dengan pasal ini, dengan jelas menggambarkan bahwa nikah sirri pada dasarnya
sama sekali tidak bertentangan dengan hukum positif Indonesia, karena sudah
sesuai dengan hukum agama islam. Menurut hukum Islam sendiri, yang diwujudkan
dalam Pasal 14 KHI menjelaskan bahwa untuk melaksanakan perkawinan yang sah maka
harus memenuhi beberapa rukun dan syarat diantaranya: calon suami, calon
isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab dan Kabul.
Bila didasarkan pada aturan tersebut,
maka sebenarnya tidak ada yang salah dari nikah sirri. Maka kemudian, beberapa
pakar merujuk Pasal 2 ayat (2) UUP yang menurut saya merupakan “pasal sekuler”
menjelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan. Yang kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 5 KHI yang
menyebutkan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat (ayat 1). Begitu juga halnya dengan PP No. 9
Tahun 1975 yang memuat delapan pasal yang berkaitan dengan pencatatan
perkawinan.
Bila kita analisis lebih jauh, tidak
ada satu pasal pun baik itu dalam UU Perkawinan ataupun KHI yang menentukan
bahwa pencatatan perkawinan merupakan syarat mutlak bagi sahnya suatu
perkawinan. Jadi, jelaslah bahwa keberadaan pasal semacam ini dalam
korelasi-nya dengan hukum perkawinan (hukum privat) tidaklah berdasar dan dapat
menghilangkan keabsahan formalitas perkawinan menurut Islam. Dapat saja,
pencatatan perkawinan dijadikan oleh Pemerintah sebagai dalil untuk mewujudkan
asas kepastian hukum dan publisitas demi keteraturan dari sisi adminitrasi.
Namun, sejatinya tidak dapat menghilangakan eksistensi fundamental yang
terkandung dalam sendi-sendi hukum agama itu sendiri.
Demikian halnya juga dengan pengenaan
sanksi pidana bagi para pelaku nikah sirri. Negara ini memang cukup aneh. Untuk
hal-hal yang bersifat remeh temeh semacam ini, para elit penguasa mulai
bersikap seolah-olah memihak kepada rakyat. Apakah terpikir dibenak pemerintah
untuk menaruh perhatian lebih terhadap semakin maraknya perilaku porstitusi
yang di sebagian daerah khususnya di kota Surabaya (Gang Doli), yang menurut
saya lebih jauh membahayakan ketimbang mengurusi masalah nikah sirri itu
sendiri.
Sanksi pidana tidaklah dapat
menyelesaikan masalah semacam ini (baca: nikah sirri), karena tentu saja akan
menimbulkan gejala sosial yang luar
biasa khususnya bagi umat islam. Nashriana yang merupakan Pakar Hukum Pidana FH
UNSRI menyatakan bahwa tidak mudah untuk “mengkriminalisasikan” suatu perbuatan
karena membutuhkan suatu proses yang amat panjang, apalagi dalam bidang hukum
yang terbilang sensitif seperti hukum perkawinan ini.
Rumusan sanksi pidana bagi para
pelaku nikah sirri yang tercantum dalam RUU MPA hanya dapat menyelesaikan
gejala permasalahan, bukan akar permasalahan. Akar permasalahan nikah sirri
hanya dapat diselesaikan melalui dua model pendekatan, yaitu pendekatan religi
persuasif dan pendekatan “jemput bola”.
Untuk yang pertama, para
pemuka-pemuka agama seperti kiyai, ustad, pendeta, biksu, dan sebagainya
haruslah memberikan suatu “pencerahan massal” bagi para pelaku nikah sirri
bahwa dengan dilakukannya pernikahan semacam itu dapat saja menimbulkan
beberapa problematika sosial horizontal dalam masyarakat. Misalnya, adanya
intervensi sosial dari lingkungan tempat tinggal yang tentunya berdampak pada
perkembangan psikologis dari isteri dan anak. Tidak hanya itu, pemasalahan
hukum seperti tidak adanya pengakuan dari negara bagi staus si anak (akta
kelahiran), tidak adanya paksaan yang ditujukan kepada pihak suami untuk
memberikan nafkah kepada isteri dan anak apabila telah terjadi perceraian, dan
masih banyak lagi. Hal semacam ini-lah yang
wajib dijadikan bahan pertimbangan bagi para pemuka agama untuk
membangkitkan nilai spiritual dalam setiap dakwahnya. Sehingga, letak kepentingan
pemuka-pemuka agama sebagai pemimpin spiritual wajib mendapatkan prioritas
utama ketimbang pengenaan sanksi pidana yang merupakan jalan terakhir (final
destination).
Yang kedua, pendekaan “jemput bola”.
Maksudnya, dalam hal ini pejabat KUA diharuskan untuk turun ke lapangan untuk
meregistrasi dan mendaftarkan para pelaku nikah siri untuk dilakukan pencatatan
perkawinan. Merupakan rahasia umum nan klasik, bahwasanya alasan yang dikemukan
oleh pelaku nikah siri untuk enggan melakukan pencatatan perkawinan dikarenakan
tidak adanya biaya yang cukup, walaupun menurut keterangan dari KUA sendiri
bahwa biaya pernikahan di KUA sudah relatif murah sekitar Rp 25. 000 – Rp.
30.000. Namun, apabila melihat relatisas sosial semacam ini, maka bukan saatnya
untuk membicarakan sesuatu yang “das sollen”. Maka dari itu, untuk
mensiasati hal tersebut, sudah sewajarnya-lah pejabat KUA yang merupakan
pelayan masyarakat untuk tidak pasif melainkan bersikap apabila dikaitkan
dengan problematika sosial semacam ini.
Selain itu juga, Umar Said yang
merupakan Ketua FUI Sumsel dalam acara “Diskusi Nikah Sirri dan RUU Materil
Peradilan Agama” yang diselenggarakan oleh FH UNSRI menyatakan bahwa salah satu
upaya untuk mengeleminir tingginya intensitas nikah sirri di Indonesia ialah dengan
mengaktifkan kembali lembaga adat seperti “khatib” (penghulu) di setiap daerah.
Dan juga, para khatib tersebut hendaknya diberikan kewenangan oleh Pemerintah
untuk melakukan pencatatan, sehingga dapat memotong alur birokrasi yang terjadi
selama ini, dimana setiap perkawinan harus dicatatkan langsung ke KUA atau KCS.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketentuan
pemidanaan atau pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku nikah sirri dapat
dikatakan sebagai konsep “sekulerisme”. Dikarenakan dalam hal ini peran
pemerintah sudah terlampau jauh untuk memasuki ranah privasi seseorang dalam
melakukan perkawinan. Walaupun, pemerintah mendalilkan bahwa persentase terbesar
dari penyebab terjadinya perceraian di Indonesia dalam kurun waktu terkakhir
ini disebabkan oleh nikah sirri, namun tidak dapat dijadikan suatu tolak ukur.
Putus tidaknya suatu perceraian banyak sekali disebabkan oleh beberapa faktor
baik itu faktor internal maupun eksternal, tidak hanya nikah sirri.
Oleh karena, masalah pencatatan
perkawinan merupakan pengejewantahan terhadap kepentingan adminitrasi dari
negara, maka sanksi yang lebih tepat dikenakan adalah sanksi administrasi,
bukan sanksi pidana. Dengan demikian, sudah sewajarnya-lah Pemerintah
harus bersikap lebih bijak dalam kaitannya dengan bidang hukum yang sensitif
ini (hukum perkawinan). Apabila, pemerintah memang bersikukuh untuk menerapkan saksi
pidana bagi pelaku nikah sirri, maka lebih tepat dikenakan terhadap pelaku
nikah sirri yang dilatarbelakangi oleh faktor kesengajaan bukan keterpaksaan
karena tidak memiliki biaya untuk melakukan pencatatan perkawinan. Sehingga itu
lebih memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Walaupun hal tersebut,
sejatinya masih debatable di kemudian hari.
Palembang, Maret 2010
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment