Indonesia Seharusnya
Tidak
ada yang dapat menyangkal bahwa Indonesia adalah laboratorium ilmu di dunia.
Dan tidak ada satupun juga pihak yang menyangkal bahwa Indonesia memiliki
beragam sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan. Dan tidak ada satu pun pihak
yang juga menyangkal bahwa Indonesia adalah satu dari sekian banyak negara yang
memiliki potensi besar untuk berkembang. Bukan sekedar berkembang, tapi menjadi
negara maju yang memiliki basis hukum, ekonomi, dan politik yang kuat. Tapi
tidak untuk realitas nya.
Indonesia bukan negara homegenitas nilai yang
dapat diseragamkan dengan satu atau beberapa aturan hukum yang ada. Indonesia
adalah negara hetorogen, yang pada dasarnya menyimpan kekutan besar untuk
menjadikan negara ini menjadi lebih maju. Tapi dibalik kekuatan dan kelebihan
itu, Indonesia tidak berdaya apa-apa saat ini. Negara ini terlalu banyak
mewarisi kesalahan-kesalahan masa lalu. Pemimpin sekarang pun seakan bersikap
apatis dan cenderung meneruskan tongkat estafet kesalahan itu.
Siapa yang Salah?
Mari kita berpikir jernih, dimana sejatinya
letak kesalahan itu. Pada level elit politik kah? Level aturan hukum kah? Atau
level masyarakat nya? Menurut hemat penulis, semuanya memiliki kontribusi
masing-masing dalam menjerumuskan negara ini dalam lembah kemunduran. Ketika berbicara
elit politik (pejabat pemerintah), tentunya kita berbicara moral dan etika. Hal
ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari aturan hukum nya. Ada korelasi kuat
antara hukum dan moral. Inilah yang dikehandaki oleh hukum alam, bahwa harus
ada equilibrium point (titik keseimbangan) antara keduanya. Hakikatnya,
hukum itu terlahir oleh pengaruh kekuasaan. Oleh karenanya bukan hal aneh
apabila aturan hukum bertendensi untuk menindas manusia. Moral malah bersikap
sebaliknya. Ia memiliki nilai-nilai universal yang menghendaki agar setiap
manusia bersikap holistik dan memiliki paradigma kebersamaan. Moral mengajak
manusia agar tunduk pada kodrat dan peran nya masing-masing. Terkait dengan
elit politik maka, harus ada keseimbangan di antara keduanya. Hukum yang
mengatur pengisian elit politik harus dinormakan dalam bentuk yang ideal. Dan
kemudian disempurnakan dalam konteks moral. Sungguhpun, 1 elit politik yang
bermoral dan bermartabat lebih bermanfaat daripada 100 elit politik yang
memiliki intelektual tapi bermental pecundang.
Pada level aturan hukum, maka kita tertuju pada rumusan norma yang
mengaturnya. Hukum haruslah dibangung dalam segi filsafat kebangsaan negara
itu. Hukum harus dikonstruksikan dari level volgeist menjadi konstitusi.
Kemudian dikonkritkan dalam undang-undang organik yang terkait. Itu lah konsep
hukum yang sebenarnya. Lalu realitas saat ini semakin menunjukan arah yang tak
pasti. Wetsgever telah besikap penghianat. Mereka tak lagi memperhatikan
aspek-aspek dasar dari bangsa Indonesia. Mereka lebih memiliih jalan pintas
dengan cara melakukan transplantasi hukum atau bahkan plagiasi hukum. hal ini
mereka kemas dengan bahasa yang menarik, yaitu harmonisasi hukum. Lalu bukankah
ini merupakan hal yang salah? Ia tidak menjadi salah ketika itu dilakukan oleh
elit politik dan adanya sikap apatis dari rakyat.
Adanya
aturan hukum yang berbasis kapitalis menjadi contoh bahwa negara ini telah
gagal dalam menjaga integritas nya sebagai negara yang berdaulat. Kita dengan
mudah ditekan oleh asing agar memproduksi hukum yang berorientasi ekonomi
global. Lalu siapa yang dirugikan? Jawabannya adalah kita saat ini dan generasi
kita yang bernama rakyat Indonesia.
Lalu
ketika elit politik sudah baik, dan aturan hukum sudah menuju kemapanan, lalu
apakah itu sudah cukup untuk menciptakan kepastian hukum dan kesejahteraan bagi
rakyat Indonesia? Jawabannya tidak. Masyarakat juga memiliki andil dalam baik
dan buruknya bangsa ini. Aturan hukum sudah baik, maka harus ada yang
menjalankannya. Maka masyarakat lah yang kemudian yang melakukannya. Ketika ada
yang salah dalam masyarakat, maka sebagai suatu sistem, tidak akan tercipta apa
yang diharapkan. Tekstual hukum harus dihadapkan pada kontekstual hukum. Pada
level masyarakatlah, pintu terakhir hukum itu dapat berbicara realitas. Karena
konsep hukum tidak hanya sebatas peraturan (rules), tapi juga perilaku (behavior).
Indonesia
saat ini telah berada pada posisi yang sulit, dimana keadilan pun semakin sulit
ditemukan, bahkan di dunia peradilan itu sendiri. Elektabilitas kepercayaan
publik terhadap sistem dan lembaga hukum pun terjun bebas pada tingkat yang
terendah. Dimana aparat hukum pun, berlomba-lomba mempertontonkan kebobrokannya.
Tidak cukup polisi dan jaksa yang terlibat kasus hukum, hakim pun demikian.
Lalu kepada siapa masyarakat berharap untuk mendapatkan keadilan dan
kesejahteraan?
Recht Idee (Cita Hukum)
Ada
tokoh hukum dari Amerika menyatakan, berikanlah saya hakim yang baik, jaksa
yang baik, dan polisi yang baik, maka akan saya reformasi negara ini menuju
kesejahteraan. Bolehlah kita sedikit merenungi kalimat ini, bahwa betapa
pentingnya aparat hukum yang tidak hanya berintelektualitas, tapi juga
bermoralitas. Ketika mereka tidak berada dalam performa terbaik, maka sulit
bagi kita untuk menemukan keadilan dan kedamaian hidup. Oleh karenanya, untuk
mencapai cita hukum dan cita hidup, diperlukan sistem yang mapan. Bahkan lebih
dari aturan hukum, tapi juga moralitas bangsa.
Palembang, April 2012
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment