Monday, July 22, 2013

SOSIOLOGI HUKUM ATAS PERKEMBANGAN SOSIAL POLITIK


Hukum = Dependent Value
Ketika kita berada pada susunan masyarakat modern, maka kita tidak dapat hanya bergantung pada konsep hukum dalam makna tunggal. Hukum haruslah dipandang dalam kerangkan interdisipliner. Hukum harus berani keluar dalam zona nyaman untuk melihat apa yang terjadi di luar lingkar hukum. Dalam masyarakat modern, nilai-nilai yang berkembang tidak bersifat homogen, melainkan heterogen. Begitu juga dengan ekspektasi masyarakat nya. Semakin tinggi tingkat mobilitas dan dinamika dalam suatu masyarakat, maka diperlukan konsep hukum yang canggih, yang tidak hanya sekedar melihat persoalan dalam sudut pandang hukum secara inklusif.

Sosiologi hukum dewasa ini memiliki fungsi penting dalam melakukan pemetaan terhadap distorsi realitas hukum yang terjadi. Dalam makna yang lebih jauh, sosiologi hukum tidak hanya melakukan deskripsi masalah hukum semata, tapi juga dapat melakukan penilaian (adjusment) terhadap persoalan hukum yang dihadapkan.

Idealika Sosiologi Hukum (Indonesia)
Indonesia menjadi contoh bagaimana sosiologi hukum dapat tumbuh subur. Sejatinya di negara seperti Indonesia lah, sosiologi hukum dapat menjalankan funsgsi nya secara penuh. Indonesia saat ini pun dihadapkan pada persoalan hukum kronis yang menikam dari segala lini. Oleh karenanya, sosiologi hukum diharapkan dapat memberikan solusi rill terhadap hal ini.

Permasalahan sosial dan politik seakan menjadi topik dalam beberapa dasawarsa terakhir. Bila dulu pemerhati hukum melihat diskursus ini hanya sebatas idealika norma, maka pandangan demikian harus segera diubah. Boleh saja kita menyatakan ada masalah dalam aturan hukumnya. Namun, seburuk-buruk aturan hukum apabila dijalankan oleh instrumen yang bernama manusia secara arif dan bijak, makan lebih baik dari aturan hukum yang baik tapi dijalankan oleh manusia yang laknat.

Isu kenaikan harga BBM misalnya. Apabila kita soroti dalam optik sosiologi terhadap hukum, maka kita akan mendapatkan titik singgung yang fatal, apakah ini disebabkan oleh RUU APBN 2012 yang cacat hukum, ataukah masyarakat kita yang belum siap terhadap dinamikan hukum global? Kiranya elit politik pun mempunyai andil dalam menciptakan kekisruhan yang terjadi. Adanya anomali dalam perilaku masyarakat seperti demonstarsi, pemakaran, pengrusakan (vandalisme), jangan kesalahan itu dibebankan kepada rakyat sepenuhnya. Masyarakat hukum yang baik akan menjalankan sesuatu dengan baik, apabila ada contoh yang baik dari elit politik. Nah, apabila yang terjadi hanya kepura-puraan dari elit politik yang seakan pro kepada masyarakat tapi bermuka dua, apakah itu tidak salah?

Sosilogi hukum menghendaki agar setiap persoalan hukum harus dilihat secara utuh, bukan secara parsial. Sosiologi hukum juga memberikan masukan-masukan non-hukum, agar hukum dalam menjalankan penilaiannya dapat bersikap objektif dan transparatif. Persoalan sosial yang terjadi di Indonesia, seperti kemiskinan, kesenjangan antara kaya dan miskin, maraknya tindak kriminal, atau maraknya perbuatan vandalisme, merupakan buah dari ketidak-utuhan dari hukum melihat suatu persoalan sosial.


Oleh karenanya, sosiologi hukum dalam posisi nya sebagai supporting science, sangat berkontribusi dalam kemajuan hukum itu sendiri. Masalah perbuatan vandalisme misalnya, apabila kita soroti dari optik sosiologi hukum, maka ada kesenjangan yang cukup jauh dari aturan hukum dan perilaku masyarakat itu sendiri. norma hukum telah memberikan batasan-batasan mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, bila tidak ditunjang oleh perilaku dan budaya masyarakat yang bermoral, maka hal itu jauh panggang dari api. Atau bila analisa nya kita balik, mungkin saya yang bermasalah itu pada tataran hukumnya. Masyarakat bersikp anarkis, setidaknya merupakan produk dari kegagalan pemerintah dalam merumuskan aturan hukum  yang baik dan sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.

Saat ini, ada distorsi pemikiran bahwa Indonesia telah mengalami kegagalan dalam melakukan konstruksi hukum. Hukum di Indonesia tidak dibangun atas dasar perilaku, melainkan ide. Ide dan perilaku memiliki basis yang berbeda. Ide peroleh secara manual melalui proses belajar mengajar. Sedangkan perilaku tidak. Perilaku dibangun atas hasil cipta, karya, dan karsa. Perilaku tidak diciptakan, tetapi dilahirkan dan dikembangkan secara turun temurun dari masyarakat. kebiasaan yang telah melembaga inilah yang kemudian dinamakan perilaku. Lalu dimana letak kegagalan dalam mengkonstruksi hukum? Banyak pembuat aturan hukum di Indonesia saat ini, orientasi legislasi nya cenderung kepada kapitalis dan individual. Hal ini berbeda dengan perilaku masyarakat Indonesia secara umum yang lebih cenderung sebaliknya. Alhasil sistem demokrasi yang populer saat ini pun, secara prinsip bukan berasal dari perilaku masyarakat Indonesia. Sehinga menjadi tidak salah, apabila terjadinya tindakan anarkistis dan vandalis dalam tatanan sosial masyarakat.

Palembang, April 2012
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment