BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Investasi merupakan salah satu instrument
pembangunan yang diperlukan oleh suatu bangsa untuk meningkatkan kesajahteraan
masyarakatnya, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia merupakan negara yang
membangun. Untuk membangun, maka diperlukan adanya modal atau investasi yang
tidak sedikit. Banyak faktor yang dilibatkan di dalamnya, termasuk
eksistensi investasi dalam pembangunan.
Investasi menjadi suatu kebutuhan karena investasi
dapat menjadi salah satu metode atau cara bagaimana menyiapkan masa depan yang
belum pasti menjadi suatu kepastian.[1]
Perkembangan investasi sendiri tidak terlepas dari pengaruh globalisasi.[2]
Begitu juga pengaruh investasi terhadap sektor perkebunan di Indonesia.
Semakin menjamurnya perusahaan perkebunan di Indonesia saat ini,
tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya investasi yang dilakukan secara besar-besaran oleh rezim orde baru
melalui pengundangan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dan kini semakin dilegitimasi eksistensinya dengan
diberlakukannya UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Kegiatan investasi dalam bidang perkebunan pada dasarnya
merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan bagi siapa saja, kebutuhan bagi orang
perseorangan, institusi, korporasi maupun masyarakat luas pada umumnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki kekayaan sumber daya alam yang tidak terbatas, tapi memiliki
permasalahan dalam keterbatasan modal. Sehingga pemanfaatan investasi di bidang
perkebunan menjadi solusi alternatif untuk meningkatkan secara progresif (boosting)
nilai tambah sumber daya alam kita terhadap pasar global.
Berdirinya perusahaan
domestik ataupun asing, seperti PTP IV Sungai Bahar
Batanghari, PT. Jamika Raya Bungo Tebo, PT. Agrindo Panca Tunggal Sarko[3] yang bertempat di Jambi, bahkan PT. Musi Hutan Persada yang bertempat di Sumatera Selatan, dan lain sebagainya, merupakan salah satu wujud dari adanya dinamika yang terjadi dalam restruktralisasi dalam perekonomian nasional yang diimplemntasikan dalam bentuk investasi.
Batanghari, PT. Jamika Raya Bungo Tebo, PT. Agrindo Panca Tunggal Sarko[3] yang bertempat di Jambi, bahkan PT. Musi Hutan Persada yang bertempat di Sumatera Selatan, dan lain sebagainya, merupakan salah satu wujud dari adanya dinamika yang terjadi dalam restruktralisasi dalam perekonomian nasional yang diimplemntasikan dalam bentuk investasi.
Itupun belum ditambah dengan keberadaan perusahaan perkebunan di bidang kelapa sawit yang
totalnya mencapai sekitar 50 perusahaan, baik itu domestik maupun asing. Diantaranya
yaitu:[4]
Nama
Perusahaan
|
Pasukan
CPO (ton)
|
Total
Luas Lahan di Indonesia
|
Luas
Lahan yang ditanami di Indonesia
|
Sinar
Mas group/PT Golden Agri Resources
|
15.000
|
320.463
|
113.562
|
Wilmar
International group
|
7.500
|
210.000
|
64.700
|
Duta Palma groupp
|
5.000
|
65.800
|
25.450
|
Salim group/PT Salim Plantations/Indofood group/PT IndoAgri
|
5.000
|
1.155.745
|
95.310
|
Astra
Agro Lestari group/PT Astra Agro Lestari Tbk
|
6.000
|
192.375
|
125.461
|
Dengan semakin
geliat dan bertambah pesatnya jumlah perusahaan perkebunan
di Indonesia dari tahun ke tahun,
maka keberadaan dari investasi sebagai salah satu instrument pembangunan
perekonomian nasional semakin vital dan tak tergantikan.
B.
Permasalahan
Sehubungan
dengan latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, maka dapatlah ditarik suatu
indentifikasi permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini, yaitu apa
sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi minat investor
dalam melakukan
investasi perusahaan perkebunan di Indonesia?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Investasi
Dalam menentukan pengertian apakah yang dimaksud
dengan investasi maka diperlukan batasan-batasan yang jelas dan objektif. Hal
tersebut bertujuan agar tidak terjadi suatu pengertian yang kabur atau kurang
jelas sehingga dapat menimpulkan multi interpretasi dari banyak kalangan.
Istilah investasi berasal dari bahasa latin, yaitu investire (memakai), sedangkan dalam
bahasa Inggris, disebut dengan investment.[5] Di
Indonesia sendiri, pemakaian istilah investasi sering kali disebut sebagai
penanaman modal sebagaimana penyebutan dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal yang berarti bahwa segala bentuk kegiatan menanam modal, baik
oleh penanam modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia.[6]
Sebagaimana diketahui bahwa banyak para kalangan
yang memberikan suatu batasan definisi mengenai penanaman modal atau investasi
itu sendiri. Fitzgeral mengartikan investasi sebagai aktivitas yang berkaitan
dengan usaha penarikan sumber-sumber (dana) yang dipakai untuk mengadakan
barang modal pada saat sekarang, dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran
produk baru dimasa yang akan datang.[7] Pendapat
lain mengenai investasi juga dikemukan oleh Komarudin Ahmad, yang mengartikan
investasi sebagai menempatkan uang atau dana dengan harapan untuk memperoleh
tambahan atau keuntungan tertentu atas uang atau dana tersebut.[8]
Berkaitan dengan defenisi dari investasi maka ada
beberapa teori yang dapat dipelajari dari hubungan antar negara penerima modal
dengan penanaman modal khususnya penanaman modal Asing, diantaranya:[9]
a. Teori Ekstrim:
Teori yang tidak menginginkan
timbulnya ketergantungan dari negara-negara terhadap penanaman modal, khususnya
penanaman modal asing, sehingga dengan tegas menolak adanya penanaman modal
asing karena dianggapnya sebagai kelanjutan dari proses kapitalisme.
b. Teori Nasionalisme dan Populisme:
Menurut teori ini pada
dasarnya diliputi kekhawatiran akan adanya dominasi penanaman modal asing.
Modal asing sering memiliki posisi monopolis bahkan cenderung oligopolis pada
pasar-pasar produksi dimana usaha penanaman modal itu berdomisili.
c. Teori Realistis:
Teori ini melihat
peranan penanaman modal asing secara tradisional dan meninjaunya dari segi
kenyataan, dimana penanaman modal asing dapat membawa pengaruh pada
perkembangan dan modernisasi ekonomi negara penerima modal asing.
Dari uraian tersebut diatas, dapat ditunjukan bahwa
pengertian terhadap penanaman modal oleh masing-masing negara penerima modal
tergantung atau ada keterkaitan dengan salah satu teori yang dianut ataukah
merupakan variasi dari berbagai teori itu.
B.
Pengertian
Hukum Investasi
Istilah hukum investasi berasal dari terjemahan
bahasa Inggris, yaitu investment law.
Dalam peraturan perundang-undangan tidak ditemukan pengertian hukum investasi.
Untuk mengetahui pengertian hukum investasi, maka kita harus merujuk kepada
doktrin-doktrin yang telah ada.
Ida Bagus Wyasa Putra, dkk mengartikan hukum
investasi sebagai norma-norma hukum mengenai kemungkinan-kemungkinan dapat
dilakukannya investasi, syarat-syarat investasi, perlindungan dan yang
terpenting mengarahkan agar investasi dapat mewujudkan kesejahteraan bagi
rakyat.[10]
Definisi lain juga dikemukakan oleh T. Mulya Lubis yang menyatakan bahwa hukum
investasi adalah tidak hanya terdapat dalam undang-undang, tetapi dalam hukum
dan aturan lain yang diberlakukan berikutnya yang terkait dengan masalah-masalah
investasi asing (other the subsequent law
and regulations coming into force relevan to foreign investment matters).[11]
C.
Teori
yang Mempengaruhi
Geliatnya Penanaman Modal Asing
Ada dua teori yang menganalisis faktor penyebab
negara maju menanamkan investasinya di negara berkembang, yaitu:[12]
1. The Product Cycle
Theory
The product cycle
theory atau teori siklus produk ini
dikembangkan Raymond Vernon. Teori ini paling cocok diterapkan pada investasi
asing secara langsung (foreign-direct
investment) dalam bidang manufacturing,
yang merupakan usaha ekspansi awal perusahaan-perusahaan Amerika atau disebut
juga investasi horizontally intergrated,
yakni pendirian pabrik-pabrik untuk membuat barang-barang yang sama atau serupa
di mana-mana.
2. The Industrial
Organization Theory of Vertical Intergration
(Teori Organisasi Industri Integrasi Vertikal)
Teori
ini paling cocok diterapkan pada new
multinasionalisme (multinasionalme baru) dan pada investasi yang
terintegrasi secara vertikal, yakni produksi barang-barang di beberapa pabrik
yang menjadi input bai pabrik-pabrik lain dari suatu perusahaan.
Pendekatan teori ini berawal dari
pemahaman bahwa biaya-biaya untuk melakukan bisnis luar negeri (dengan
ivestasi) harus mencakup biaya-biaya lain yang harus dipikul oleh perusahaan
lebih banyak daripada biaya-biaya yang diperuntukan hanya untuk sekadar
mengekspor barang-barang dari pabrik-pabrik dalam negeri. Oleh karena itu,
perusahaan itu harus memiliki beberapa keunggulan kompensasi (compensating advantages) atau keunggulan
spesifik bagi perusahaan, seperti keahlian teknis manejerial.
BAB III
PEMBAHASAN
Telah disebutkan di dalam bab terdahulu bahwa
investasi merupakan salah satu instrument bagi pemerintah untuk meningkatkan
pembangunan ekonomi secara menyeluruh dimana investasi sendiri bertujuan untuk
meningkatkan restrukturisasi dan modernisiasi
perekonomian nasional.
Begitu juga halnya
dengan investasi dalam bidang perkebunan. Investasi jenis ini merupakan salah satu
macam dari sekian banyaknya investasi di Indonesia yang memiliki peranan
penting dalam masyarakat. Semakin majunya suatu negara serta adanya tuntutan
globalisasi maka peningkatan nilai tambah pendapatan negara dari sektor
perkebunan menjadi hal yang sangat mendesak sifatnya. Ditambah lagi dengan
adanya keterbatasan modal, sarana, dan prasarana, semakin membuat posisi
Indonesia menjadi serba dilematis sebagai pemilik hak penuh atas tanah. Oleh
karenanya, masuk dan berkembangnya investasi perusahaan domestik ataupun asing di sektor
perkebunan, menjadi
tidak terelakkan lagi.
Terkait dengan hal
tersebut, penulis harus membatasi ruang lingkup pembahasan. Penulis menyadari
masih banyak sekali faktor-faktor dominan lainnya yang dapat mempengaruhi
geliatnya minat investor dalam melakukan investasi perkebunan di Indonesia.
Namun dalam konteks ini, penulis berusaha memberikan gambaran faktor-faktor
pengaruh secara umum sehingga diperoleh pemahaman yang cukup holistik dan
komprehensif. Adapaun faktor-faktor yang dimaksud, diantaranya:
1.
Stabilitas
Politik
Stabilitas politik merupakan faktor
penting bagi investor dalam berinvestasi di
Indonesia khususnya di bidang perkebunan. Investasi semacam ini
sangat bergantung pada kondisi investasi di suatu Negara, karena akan menyangkut
banyak hal.
Suatu stabilitas politik yang buruk
maka tentunya akan berdampak pada menurunnya
Gross Domestic
Product (GDP), Gross
National Product (GNP) serta tingkat
pendapatan masyarakat suatu negara.
Dengan semakin rendahnya pendapatan masyarakat maka akan berdampak pada daya
beli masyarakat. Inilah yang menjadi pertimbangan para investor khususnya
investor asing untuk menginvestasikan modalnya di bidang pusat perbelanjaan di
Indonesia.
Sebagai contoh, peristiwa krisis
moneter yang terjadi pada akhir tahun 1997 yang merupakan ekses dari
diturunkannya secara paksa Presiden Soeharto. Dengan adanya peristiwa tersebut
tentunya akan berdampak pada stabilitas politik di Indonesia pada saat itu.
Alhasil, adanya penurunan investasi yang dilakukan oleh investor asing dari tahun sebelumnya sebesar 29,126 miliar dolar AS.[13] Kemudian kasus yang
berkembang akhir-akhir ini, yaitu penyelesaian kasus Nazarudin dengan dugaan
korupsi Wisma Atlit nya, dan beberapa masalah politik dan hukum yang tak
kunjung tuntas. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada bursa saham,
dimana adanya penurunan secara secara massive
di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Merupakan suatu hal yang wajar
apabila dengan kondisi politik yang tidak kondusif seperti yang disebutkan
diatas maka investor tidak mau menginvestasikan modalnya. Jadi, jelaslah
bahwasanya stabilitas politik merupakan faktor utama yang menjadi pertimbangan
bagi para investor khsusnya investor asing yang berkaitan dengan keamanan dalam berinvestasi.
2.
Kepastian
Hukum
Bukan hal yang baru lagi, apabila
hukum mempunyai dampak yang luas dalam kehidupan bermasyarakat. Termasuk dalam
kegiatan investasi di bidang perkebunan.
Para investor baik domestik ataupun asing menjadikan hukum sebagai salah satu
faktor penting dalam kegiatannya untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia.
Salah satunya adalah mengenai
jaminan kepastian hukum dalam setiap kebijakann dan tindakan di bidang
investasi yang menjadikan hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai
dasarnya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 3 huruf a UU No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). Setelah diundangkannya UUPM maka
semua hal tersebut telah diakomodir di dalamnya.
Namun, tidak hanya sebatas itu
saja. Selain harus ada aturan yang menjadi dasar setiap tindakan dan kebijakan
tersebut,tapi harus juga didukung dengan aturan lain yang menunjang dan
berkaitan dengan aturan dasar investasi tersebut. Sebagai contoh, UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, serta
UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara.
Selain itu juga, jaminan dalam
proses penegakan hukumnya (law
enforcement) juga menjadi salah satu dasar pertimbangan dari para investor
khususnya berkaitan dengan proses litigasi dan non-litigasi. Apakah proses
peradilan di suatu negara tersebut sudah dapat berjalan dengan baik atau tidak.
Apakah putusan dari Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) dapat dijamin
kerahasiaannya. Hal tersebut juga perlu diperhatikan oleh para pemerintah.
Merupakan suatu hal yang wajar, apabila para investor menginginkan suatu
keamanan dalam berinvsetasi apabila didukung oleh jaminan kepastian hukum yang
telah memadai.
3.
Konsistensi
Kebijakan
Kebijakan (policy) meruapakan salah satu dari faktor-faktor penting yang
mempengaruhi masuknya investasi dalam bidang pusat perbelanjaan di Indonesia.
Hal ini juga tentunya berkaitan dengan bagaimana hubungan yang terjalin antara
pusat dan daerah berkaitan dengan kebijakan setelah diundangkannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang tersebut menentukan
bahwa pemerintah daerah kabupaten dan/atau kota dapat melakukan pengurusan
sendiri rumah tangganya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat (otonomi
daerah). Tentunya dengan adanya hal ini akan berdampak pada sistem kebijakan
yang dianut seperti sistem perizinan bagi investor untuk melakukan investasi perkebunan di. Apakah dampaknya
akan ada pertentangan aturan baik dari pemerintah pusat ataupun dari pemerintah
daerah itu sendiri.
Masalah perizinan seringkali
menjadi sorotan masyarakat bila dirasa mengalami kesulitan dan hambatan dakam
mengembangkan usahanya. Seperti diketahui, prinsip dasar yang perlu dipegang
dalam masalah perizinan dan kewajiban dunia usaha adalah bahwa dalam setiap
kegiatan usaha diperlukan adanya izin.[14]
Sebagimana diketahui bahwa
konsistensi kebijakan khususnya dalam hal perizinan secara umum menjadi faktor
penting yang mempengaruhi masuknya para investor. Perizinan yang berbelit-belit
dan tidak transpasaran membuat para investor enggan untuk menanamkan modalnya
di Indonesia. Namun demikian, setelah diundangkannya UUPM yang baru maka
kebijakan yang berkaitan dengan perizinan tersebut mulai dibenahi dengan
dilahirkannya sistem pelayanan terpadu satu atap (one stop service) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 ayat (4)
dan (5) serta Pasal 26 UUPM. Adanya Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) tersebut
semakin membuat proses birokrasi di Indonesia menjadi mudah dan transparan
dimana sistem perizinannya hanya dilakukan di satu tempat sehingga mengurangi
ekses KKN. PTSP ini juga memberikan kemudahan investor dalam melakukan
perizinan investasi. Dengan adanya kemudahan semacam ini maka tentunya akan
dengan sendirinya meningkatkan intensitas jumlah para investor untuk
berinvestasi di Indonesia dalam bidang perkebunan.
4.
Regulasi
Regulasi atau peraturan erat
kaitannya dengan faktor kepastian hukum sebagaimana yang diuraikan diatas.
Namun, regulasi ini baru timbul apabila jaminan kepastian hukum mengenai
investasi di sektor perkebunan
telah memadai. Atau dengan kata lain, sebelum kita berbicara regulasi maka
terlebih dahulu ada aturan yang melandasinya.
Faktor regulasi tidak dapat
dikesampingkan begitu saja oleh pemerintah. Regulasi yang menguntungkan para
investor menjadi salah satu faktor peningakatan intensitas investasi. Secara
khusus, pengaturan investasi tersebut haruslah ramah agar dapat menarik minat
para investor. Regulasi yang bersifat rigit dan cenderung merugikan para
investor maka akan menimbulkan hal sebaliknya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
regulasi yang mendukung agar para investor mau menginvestasikan modalnya di
bidang pusat perbelanjaan. Adapun sifat regulasi yang diperlukan untuk
menunjang investasi adalah:
a.
Sesuai dengan peraturan
perundang-undangan tingkat atas;
b.
Mencerminkan tata
kelola perusahaan yang benar;
c.
Jelas dan mudah
dimengerti
d.
Market
friendly, diantaranya globalisasi, simple dan
praktis;
e.
Memberikan kepastian
atau jaminan hukum dan penegakan hukum;
f.
Hak dan kewajiban para
pihak disusun dengan jelas;
g.
Memberikan insentif
bagi investor, misalnya dibidang pajak dan non-pajak;
h.
Memperhatikan potensi
daerah (SDA atau SDM) yang tersedia;
i.
Mendukung pembangunan
berkelanjutan (suistanable development);
j.
Memberdayakan
masyarakat, misalanya dalam hal community
development dan corporate social
responsibility.
Dengan demikian, kedudukan faktor
regulasi dalam kegiatan investasi bagi para investor menjadi sangat penting
karena sifatnya yang cukup urgent. Regulasi yang baik tentunya akan menciptakan
suatu keamanan serta kondisi investasi yang kondusif yang tentunya akan menarik
minat para investor untuk menanamkan modalnya.
5.
Pajak
Pajak merupakan salah satu media
pendapatan bagi pemerintah yang digunakan untuk kepentingan pembiayaan
pengeluaran rutin pemerintahan. Sehingga pajak merupakan salah satu sumber
devisa terbesar bagi pemerintah
saat ini. Walaupun sebagai instrument penyumbang pendapatan terbesar, namun
pajak tersebut juga dapat saja merugikan pemerintah itu sendiri. Proses
pemungutan pajak yang berbelit-belit malah akan menjadi bumerang bagi
pemerintah yang mengakibatkan pengurangan intensitas minat para investor baik
asing maupun dalam negeri terutama di bidang perkebunan.
Demikian halnya juga pengenaan
pajak berganda bagi para investor. Pajak yang semacam ini akan membuat para
investor enggan untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu pajak ataupun proses pengenaannya yang setidaknya dapat
menguntungkan para investor. Sebagai contoh, fasilitas yang diberikan domestik
dalam bentuk pemberian insentif pajak kepada para investor baik itu asing
ataupun domestik yang menanamkan modalnya di Indonesia. Mengenai hal tersebut
telah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUPM. Fasilitas pajak tersebut dapat
berupa:[15]
a.
Pajak penghasilan
melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah
penanaman modal yang dilakukann dalam waktu tertentu;
b.
Pembebasan atau
keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk
keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;
c.
Pembebasan atau
keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi
untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;
d.
Pembebasan atau
penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau
peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri
selama jangka waktu tertentu;
e.
Penyusutan atau
amortisasi yang dipercepat; dan
f.
Keringanan Pajak Bumi
dan bangunan, khsusnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah untuk bidang
usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
Beberapa pemberian insentif perpajakan
tersebut diatas dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi investor untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Karena semakin pajak tersebut tiak
berbelit-belit dan tidak menyusahkan mereka maka keuntungan mereka yang akan didapat pun cukup maksimal.
Sehingga dengan adanya hal tersebut dapat menarik minat para investor
sebanyak-banyaknya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas maka
faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya investasi di bidang pusat perbelanjaan
di Indonesia, antara lain:
1.
Stabilitas politik;
2.
Kepastian hukum;
3.
Konsistensi kebijakan;
4.
Regulasi; dan
5.
Pajak.
B.
Saran
Dengan semakin berkembangnya era globalisasi dimana
suatu negara tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari negara lain, maka investasi merupakan
salah satu instrument yang dapat digunakan untuk meningkatkan pembangunan
perekonomian terutama di bidang perkebunan.
Itulah konsekuensi logis-rasional bagi Indonesia sebagai
negara agraris yang memiliki banyak potensi alam, untuk mensejahterakan
rakyatnya.
Guna meningkatkan minat para investor untuk
menginvestasikan modalnya di Indonesia maka pemerintah juga harus memperhatikan
faktor-faktor terkait, antara lain stabilitas politik, kepastian hukum,
konsistensi kebijakan, regulasi, serta pajak. Pemerintah harus lebih intens
serta harus memiliki suatu “politic will”
agar investasi di sektor
perkebunan ini dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Ade Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia
Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Prenada Media Group, September:
2004
Perspektif
hukum Bisnis Indonesia: Pada Era Globalisasi Ekonomi,
Genta Press
Richard Button Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta,
Edisi Revisi, Juni:2003
Salim HS dan
Budi Sutrisno, Hukum Investasi di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang
No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
INTERNET
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/JAMBI/tabel_2.html diakses pada hari Selasa (6/12/2011), Pukul
09.25 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perusahaan_kelapa_sawit_Indonesia, diakses pada hari Selasa (6/12/2011), Pukul 09.31 WIB
[1] Perspektif
Hukum Bisnis Indonesia: Pada Era Globalisasi Ekonomi, Genta Press, hlm 77
[2]
Baca Ade Maman Suherman, Aspek Hukum
dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, hlm 15. Mengartikan Globalisasi
sebagai suatu keadaan saling keterkaitan dan kesaling tumpang tindihan antara
kepentingan bisnis dan kepentingan masyarakat.
[3] http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/JAMBI/tabel_2.html diakses pada hari Selasa (6/12/2011), Pukul 09.25 WIB; Setidaknya ada
sekitar lebih dari 36 perusahaan perkebunan yang telah ada izin pelepasan areal
di Provinsi Jambi per tahun 2010.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perusahaan_kelapa_sawit_Indonesia, diakses pada hari Selasa (6/12/2011), Pukul 09.31 WIB
[5]
Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum
Investasi di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, hlm 31
[6]
Periksa Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2007
[7]
Salim HS dan Budi Sutrisno, Op. cit.,
hlm 31
[8] Ibid., hlm 32
[9] Perspektif Hukum Bisnis Indonesia: Pada Era
Globalisasi Ekonomi, Genta Press, hal 83; Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia,
Prenada Media Group, September: 2004, hlm 41
[10]
Salim HS dan Budi Sutrisno, Op. cit.,
hlm 9
[11] Ibid., hlm 10
[12] Ibid., hlm 157
[13] Ibid., hlm 3
[14]
Richard Button Siamtupang, Aspek Hukum
Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Edisi Revisi, Juni:2003, hlm 146
[15]
Namun, pemberian fasilitas perpajakan tersebut tidak dapat diberikan kepada
semua investor. Setidaknya investor tersebut harus memenuhi beberapa kriteria
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUPM, diantaranya menyerap
banyak tenaga kerja, termasuk skala prioritas tinggi, termasuk pembangunan
infrastruktur, melakukan alih teknologi, dan melakukan industri primer.
Palembang, Desember 2011
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment