Pendahuluan
Dalam
dunia perbankan terdapat salah satu prinsip yang cukup penting dalam pelaksanaan
suatu kegiatan perbankan. Prinsip tersebut adalah prinsip rahasia bank. Prinsip
rahasia bank bukan merupakan prinsip baru dalam dunia perbankan. Prinsip ini
sama tuanya dengan keberadaan perbankan itu sendiri. Sebagai misal, adanya
pengaturan masalah rahasia bank dibidang keuangan dalam KUHPerdata Jerman serta
di kota-kota Italia bagian utara.
Secara
yuridis formal (hukum positif Indonesia), prinsip rahasia bank ini diatur dalam
Pasal 40 UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Berdasarkan
Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa rahasia bank ialah
segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya.
Sebelum
diatur dalam kedua Undang-undang tersebut, terlebih dahulu prinsip tersebut
telah diatur dalam UU No. 23 Prp 1960 tentang Rahasia Bank dan UU No. 14 Tahun
1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.
Layaknya
beberapa prinsip perbankan lainnya, relevansi prinsip perbankan dalam
implementasinya berkaitan dengan dunia perbankan memang tidak selalu berjalan
dengan mulus. Pertentangan antara das
solen dan das sein merupakan
suatu hal yang lumrah dalam suatu penerapannya tersebut. Berikut beberapa
problematika eksistensi prinsip perbankan dalam dunia perbankan:
Apakah Prinsip Rahasia
Bank Berlaku terhadap Mantan Nasabah?
Di dalam praktek perbankan atau
praktek bisnis, sangat lazim seorang nasabah berpindah-pindah atau
berganti-ganti bank, seperti juga adalah lazim seorang nasabah mempunyai
simpanan pada beberapa bank. Sehingga timbul pertanyaan dibenak kita, apakah
bank masih terikat terhadap kewajiban prinsip rahasia bank setelah nasabahnya
tidak lagi menjadi nasabah bank yang bersangkutan? Berkenaan dengan hal
tersebut, ternyata UU No. 7 Tahun 1992 maupun UU No. 10 Tahun 1998 sama sekali
tidak diatur baik itu secara umum ataupu khusus.
Namun, mengingat tujuan dari
diadakannya ketentuan mengenai kewajiban rahasia bank, adalah untuk menjaga
kerahasiaan dari si nasabah penyimpan maka sebaiknya undang-undang perbankan
Indonesia menentukan kewajiban rahasia bank tetap diberlakukan sekalipun
nasabah yang bersangkutan telah tidak lagi menjadi nasabah bank yang
bersangkutan. Sehingga dengan demikian kerahasiaan tersebut memang dapat
terjaga secara efektif walaupun si nasabah tersebut sudah tidak lagi menjadi
nasabah di bank yang bersangkutan.
Apakah
Prinsip Rahasia Bank Berlaku Terhadap Mantan Pegawai Bank?
Seorang pegawai bank, ada
kemungkinan tak selamanya menjadi pegawai bank tersebut, bisa karena telah tiba
masa pensiun, keluar dan menjadi pegawai di perusahaan lain, meninggal dan
sebagainya. Pada krisis moneter, banyak pegawai bank yang terkena PHK karena
bank-nya terkena likuidasi.
Pertanyaan yang muncul, apakah
mantan pegawai bank masih tetap terkena oleh kewajiban memegang teguh rahasia
bank yang menjadi kewajibannya sewaktu yang bersangkutan masih menjadi pegawai
aktif di bank yang bersangkutan? Ternyata Undang-undang no.7/1992 maupun
Undang-undang no.10/1998 tak mengaturnya.
Beberapa negara menentukan bahwa mantan pengurus dan pegawai
bank terikat oleh kewajiban rahasia bank. Ada yang menentukan keterikatannya
itu berakhir setelah beberapa tahun sejak saat yang bersangkutan berhenti
sebagai pengurus atau pegawai bank, ada pula yang menentukan kewajiban tersebut
melekat terus sampai seumur hidup.
Dengan demikian, terhadap mantan pegawai bank yang sudah
tidak lagi bekerja pada bank yang bersangkutan maka berlaku juga prinsip
kerahasaiaan tersebut. Hal tersebut tidak lain adalah untuk melindungi
kepentingan dari bank itu sendiri ataupun nasabah penyimpan. Karena mungkin
saja mantan pegawai tersebut memiliki motif dan itikad tidak baik (te kwader trouw-in bad faith) untuk mebocorkan rahasia identitias dan simpanan si
nasabah kepada bank lain.
Apakah Prinsip Rahasia Bank berlaku
Terhadap Kredit Macet?
Terdapat perbedaan pendapat diantara
para sarjana tentang apakah kredit dari seorang nasabah termasuk dalam ruang
lingkup rahasia bank sehingga tidak boleh dibuka oleh bank yang bersangkutan.
Dalam hal ini, Undang-Undang Perbankan yang lama, yaitu UU No. 7 Tahun 1992
tidak memberikan indikasi apa-apa tentang hal ini.
Namun, dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Perbankan yang baru, yaitu UU No. 10 Tahun 1998, dengan tegas
ditentukan bahwa yang termasuk ke dalm kategori rahasia bank hanyalah informasi
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya itu. Jadi informasi mengenai nasabah
debitur atau kreditur tidak tergolong ke dalam kategori rahasia bank tersebut
(lihat Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan). Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa bank dapat saja memberikan keterangan kepada khalayak banyak mengenai
informasi dari debitur berkenaan dengan kredit macet-nya tersebut.
Siapa
Saja Pihak-pihak yang Berkewajiban Untuk Memegang Teguh Prinsip Rahasia Bank?
Telah dijelaskan diatas bahwa
rahasia bank harus tetap menjadi tanggung jawab pihak bank untuk tidak
membocorkannya kepada pihak lain, walaupun ada beberapa alasan pengecualian
prinsip tersebut [baca Pasal 41, 41A, 42, 43, 44, 44A ayat (1), dan 44 ayat (2)
UU No. 10 Tahun 1998]
Adapun pihak-pihak secara eksplisit
yang berkewajiban untuk memegang teguh prinsip rahasia bank berdasarkan Pasal
40 jo. Pasal 47 UU No. 10 Tahun 1998, antara lain:
-
Anggota
Dewan Komisaris Bank;
-
Anggota
Direksi Bank;
-
Pegawai
Bank; serta
-
Pihak
Terafiliasi Lainnya dari Bank (baca Pasal 1 angka 22 UU No. 10 tahun 1998)
Apakah
Pengecualian Prinsip Rahasia Bank Juga Berlaku Terhadap Kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Pengecualian prinsip rahasia bank
yang telah ditentukan dalam Undang-undang Perbankan tidak berlaku terhadap
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang secara yuridis diberikan kewanangan
dalam membuka rahasia bank. Kewenangan tersebut didasarkan pada Surat Mahkamah
Agung No. KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan hukum atas pelakasanaan
kewenangan KPK terkait dengan ketentuan rahasia bank yang merupakan jawaban
atas Surat Gubernur Bank Indonesia No. 6/2/GBI/DHk/Rahasia.
Dalam Surat Keputusan dari Mahkamah
agung tersebut, memuat penegasan hukum bahwa Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002
tentang KPK merupakan ketentuan khusus (lex
specialis) yang memberikan kewenangan kepada KPK dalam melaksanakan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Misalnya, dalam hal menyelidiki
rekening nasabah yang diduga sebagai hasil kejahatan (money laundering).
Atas dasar tersebut, maka prosedur
izin membuka rahasia bank sebagaiamana diatur dalam pasal 29 ayat (2) dan ayat
(3) UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 42 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
yang telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 menjadi tidak berlaku bagi KPK.
Kesimpulan
Ketentuan
mengenai rahasia bank ini merupakan suatu hal yang sangat penting peranannya
bagi nasabah penyimpan maupun bank itu sendiri. Beberapa fakta problematika
yang terjadi dalam penerapannya, merupakan suatu hal yang lumrah dan wajar yang
terjadi. Secara tidak disadari akan menjadi bagian dari suatu proses perbankan
itu sendiri kedepannya.
Palembang, April 2010
M. Alvi Syahrin