BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perlu diketahui bahwa, periode filsafat Yunani merupakan periode sangat
penting dalam sejarah peradaban manusia, karena pada waktu ini terjadi
perubahan pola fikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Perubahan
pola fikir yang kelihatan sangat sederhana tetapi sebenarnya memiliki implikasi
tidak sederhana. Alam yang selama ini ditakuti dan dijauhi kemudian didekati
bahkan dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif menjadi aktif sehingga alam
digunakan sebagai objek penelitian atau pengkajian. Dari proses inilah kemudian
ilmu berkembang dari rahim filsafat. Sejak zaman ini filsafat terus berkembang,
mulai dari masa kejayaan, kemunduran, dan kebangkitannya kembali.[1]
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles.[2]
Aristoteles yang membagi filsafat pertama kali pada dua hal, yaitu hal yang
teoritis dan hal yang praktis. Pembagian ini juga yang menjadi pedoman bagi
klasifikasi ilmu dikemudian hari. Aristoteles dianggap bapak ilmu karena ia
mampu meletakan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis. Namun, setelah
Aristoteles menuangkan fikirannya ini, mutu filsafat semakin merosot dan puncak
kemundurannya adalah pada ujung zaman Helenisme. Kemunduran filsafat sejalan
dengan kemunduran politik pada zaman itu, terpecahnya kerajaan Macedonia
setelah wafatnya Alexander The Great.[3]
Dalam sejarahnya filsafat mengalami perkembangan pada abad modern, yang
diawali terlebih dahulu dengan adanya zaman Renaissance, yaitu peralihan abad
pertengahan ke abad modern. Zaman ini terkenal dengan era kelahiran kembali
kebebasan manusia dalam berfikir. Sejak zaman ini kebenaran filsafat dan ilmu
pengetahuan didasarkan pada kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap
ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan
pemikiran yang dapat diuji. Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada abad
modern khususnya abad ke-17 adalah persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok
dalam bidang ini adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan yang benar,
serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dalam abad ke-17 muncullah dua aliran
filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran
tersebut adalah aliran rasionalisme dan empirisme. Kerjasama antara beberapa
aliran dari rasionalisme dan empirisme lahirlah metode sains dan
dari metode inilah lahir pengetahuan sains.[4]
Metode pencaraian hakikat dalam filsafat ilmu adalah epistimologi.
Secara etimologis, epistimologi berasal dari bahasa yunani, yaitu epiteme
yang berarti pengetahuan, dan logos artinya teori. Epstimologi dapat
didefensikan sebagai cabang filsfasat yang mempelajari asal mula, sumber, struktur,
metode, dan syahnya (validitas) pengetahuan.[5]
Dalam epistimologi juga terdapat beberapa perbedaan mengenai teori
pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu pengetahuan memiliki potensi
objek, metode, sistem, dan tingkat kebenaran yang berbeda. Jadi bisa dikatakan
segala perbedaan tersebut terutama berkembang dari perbedaan sudut pandang dan
metode yang bersumber dari empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain
epistimologi merupakan suatu bidang filsafat yang mempersoalkan tentang metode
dari hakekat kebenaran, karena semua pengetahuan mempersoalkan kebenaran.[6]
Satu dari sekian banyak cara dalam menemukan esensi dari
epistimologi adalah dengan memahami konsep-konsep dari pelbagai paradigma ilmu
yang ada. Oleh karena nya pembahasan tentang paradigma ilmu termasuk bagian
dari materi filsafat ilmu. Sedangkan filsafat ilmu merupakan salah satu cabang
kajian filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu.[7]
Dalam proses perkembangan keilmuan tersebut, paradigma keilmuan memegang
peranan penting, karena fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka,
mengarahkan, bahkan menguji konsestensi dari proses keilmuan. Dalam paradima
ilmu, ilmu telah mengembang seperangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan
dalam mengungkapkan hakekat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk
mendapatkannya.[8]
Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini terdapat empat paradigma
ilmu yang dikembangkan oleh para ilmuan dalam menemukan ilmu pengetahuan yakni:
positivisme, postpositivime, critical teori, constuctivisme.[9]
Dalam tahapan epistimologi tahapan konstruktivisme, kita mengenal sosok
Thomas S. Kuhn dengan switch theory nya. Atau lebih dikenal dengan
sebutan revolusioner ilmiah pengetahuan. Ia berpendapat bahwa perkembangan atau
kemajuan ilmiah haruslah bersifat revolusioner, bukan kumulatif sebagaimana
anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentuh wilayah
paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau
praktik ilmiah konkret.[10] Atau
dengan kata lain, pembenaran suatu teori bergantung pada struktur menyeluruh
yang baru (paradigma). Verifikasi dan falsifikasi bukanlah hal yang menentukan.
Heuristik mulai memegang peranan penting bagi metode suatu ilmu, khususnya bagi
pembaharuannya.[11]
Namun yang menarik adalah Kuhn sendiri sejauh ini mengalami kesulitan dalam
melakukan redefenisi tunggal terkait dengan paradigma yang baik, karena dari
tahun ke tahun selalu mengalami pergeseran.[12]
Revolusi ilmiah pengetahuan juga terjadi pada dunia bisnis,
terutama dalam konteks jual beli. Sebagai bidang ilmu yang dinamis, perdagangan
menjadi sangat urgent dibahas seiring dengan meningkatknya tuntutan teknologi
dan globalisasi, terutama dalam sektor perdagangan elektronik (e-commerce).
Sehingga, penulis berhipotesa bahwa ada relevansi kuat antara paradigma Kuhn
dan dinamika yang terjadi pada dunia perdagangan dewasa ini.
Menurut hemat penulis, dengan sifat dan karakteristik dari dunia
perdagangan inilah yang membuat permasalahan ini menarik untuk dikaji lebih
lanjut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis menarik satu
permasalahan yang hendak dikaji, yaitu: Apakah perkembangan dunia
perdagangan (dunia bisnis) dewasa ini memang liniear dan sesuai dengan
paradigma Thomas S. Kuhn (“The Structure of Scientific
Revolutions”)?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan hukum yang ingin dicapai oleh penulis
adalah untuk mengetahui kesesuaian antara perkembangan dunia perdagangan (dunia
bisnis) dewasa ini memang linear dan sesuai dengan paradigma Thomas S. Kuhn (“switch
theory”).
D.
Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan oleh dari penulisan hukum ini adalah
:
1.
Manfaat
Teoritis
Dengan adanya
penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih berupa
wawasa, informasi, dan pengetahuan bagi penulis sendii dan juga para pembaca
perihal aplikasi paradigma Thomas S. Kuhn dalam perkembangan dunia perdagangan
(bisnis) dewasa ini.
2.
Manfaat Praktis
Dengan adanya
penulisan makalah ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat
kalangan filsuf dan pelaku bisnis sendiri, perihal pemaknaan masalah diatas.
E.
Metode
Penelitian
Dalam penulisan makalah ini, penulis memakai metode penelitian
deduktif verifikaif.[13] Maksudnya,
penelitian masalah-masalah dalam ilmu yang bersangkutan tidak didasarkan atas pengalaman
indrawi atau empiris, melainkan atas dasar induksi atau penjabaran. Induksi
adalah proses pemikiran di mana akal budi manusia dari pengetahuan tentang
hal-hal yang bersifat khusus dan individual menarik kesimpulan atau menjabarkan
kepada hal-hal yang bersifat umum dan abstrak.[14]
Terkait dengan permasalahan pada makalah ini, maka penulis akan melakukan
penjabaran paradigma Thomas S. Kuhn terhadap perkembangan dunia perdagangan
saat ini. Kemudian akan ditarik kesimpulan yang bersifat umum atas penjabaran
permasalahan tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Umum Paradigma
Thomas S. Kuhn
1.
Biografi
Singkat Thomas S. Kuhn[15]
Thomas S. Kuhn
dilahirkan di Cicinnati, Ohio pada tanggal 18 juli 1922. Kuhn lahir
dari pasangan Samuel L, Kuhn seorang Insinyur industri dan Minette Stroock
Kuhn. Dia mendapat gelar B.S di dalam ilmu fisika dari Harvard University pada
tahun 1943 dan M.S. Pada tahun 1946. Khun belajar sebagai fisikawan namun baru
menjadi pengajar setelah mendapatkan Ph.D dari Harvard pada tahun 1949. Tiga
tahunnya dalam kebebasan akademik sebagai Harvard Junior Fellow sangat penting
dalam perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah(dan filsafat)
ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor pada pengajaran
umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James Conant.
Setelah meninggalkan
Harvard dia belajar di Universtitas Berkeley di California sebagai pengajar di
departemen filosofi dan sains. Dia menjadi profesor sejarah ilmu pada 1961. Di
berkeley ini dia menuliskan dan menerbitkan bukunya yang terkenal The
Structure Of Scientific Revolution pada tahun 1962. Pada tahun 1964
dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton pada tahun
1964-1979. Kemudian di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini hingga
1991(Muslih, 2004).
Pada tahun 1994 dia
mewawancarai Niels Bohr sang fisikawan sebelum fisikawan itu
meninggal dunia. Pada tahun 1994, Kuhn didiagnostik dengan kanker dari Bronchial
tubes. Dia meninggal pada tahun 1996 di rumahnya di Cambridge Massachusetts.
Dia menikah dua kali dan memiliki tiga anak. Kuhn mendapat banyak penghargaan
di bidang akademik. Sebagai contohnya dia memegang posisi sebagai Lowel
lecturer pada tahun 1951, Guggeheim fellow dari 1954
hingga 1955, Dan masih banyak penghargaan lain (Muslih, 2004).
Karya Kuhn cukup
banyak, namun yang paling terkenal dan mendapat banyak sambutan dari filsuf
ilmu dan ilmuan adalah The Structure of Scientific Revolution,sebuah
buku yang terbit pada tahun 1962, dan direkomendasikan sebagai bahan bacaan
dalam kursus dan pengajaran berhubungan dengan pendidikan, sejarah, psikologi,
riset dan sejarah serta filsafat sains.
2. Latar Belakang
Pemikiran Thomas S. Kuhn tentang Ilmu dan Perkembangannya[16]
Latar belakang pemikiran Kuhn tentang ilmu dan perkembangannya,
merupakan respon terhadap adanya pandangan Positivisme dan Popper.
Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta objektif merupakan
pengetahuan yang sahih, mereka mengklaim bahwa kekacauan kaum idealis dengan
berbagai pendekatan metafisika yang digunakan dalam melihat realitas, karena
bahasa yang mereka pakai secara esensial tanpa makna, dan secara umum mereka
berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman dan proses verifikasi
dan konfirmasi – eksperimen dari bahasa ilmiah meruapakn langkah dan proses
perkembangan ilmu. Sementara itu popper berpendapat bahwa proses
perkembangan ilmu menurutnya harus berkemungkinan mengandung salah dengan
proses yang disebut falsifikasi ( proses eksperimental untuk membuktikan
salah dari suatu ilmu) dan refutasi (penyangkalan teori).
Kuhn menolak pandangan di atas, Kuhn memandang ilmu dari
perspektif sejarah, dalam arti sejarah ilmu. Rekaman sejarah ilmu merupakan
titik awal pengembangan ilmu karena merupakan rekaman akumulasi konsep untuk melihat
bagaimana hubungan antara pengetahuan dengan mitos dan takhayul yang
berkembang. Sejarah ilmu digunakan untuk mendapatkan dan
mengkonstruksi wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya
terjadi. Hal-hal baru baru yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting
bagi pengembangan ilmu di masa berikutnya.
Perbedaan pendapat Kuhn dengan Popper adalah Kuhn lebih mengekplorasi
tema-tema yang lebih besar misalnyanya hakekat ilmu baik dalam prakteknya
yangnyata maupun dalam analisis kongkret dan empiris. Jika Popper menggunakan
sejarah ilmu untuk mempertahankan pendapatnya, Kuhn justru menggunakan sejarah
ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya.
Dari pendapat Kuhn tersebut bisa dikatakan bahwa filsafat ilmu harus
berguru kepada sejarah ilmu, sehingga seorang ilmuan dapat memahami hakikat
ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.
Thomas Samuel Kuhn mula-mula meniti karirnya sebagai ahli fisika, tetapi
kemudian mendalami sejarah ilmu. Lewat tulisannya, The Structure of
Scientific Revolutions, ia menjadi seorang penganjur yang gigih yang
berusaha meyakinkan bahwa titik pangkal segala penyelidikan adalah berguru pada
sejarah ilmu. Sebagai penulis sejarah dan sosiolog ilmu kuhn mendekati ilmu
secara eksternal. Kuhn dengan mendasarkan pada sejarah ilmu, justru berpendapat
bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang berarti tidak pernah terjadi
berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah (falsifikasi) suatu teori
atau sistem, melainkan berlangsung melalui revolusi-revolusi ilmiah.
Kuhn memakai istilah paradigma untuk mengambarkan sistem keyakinan yang
mendasari upaya pemecahan teka-teki di dalam ilmu. Fokus pemikiran Kuhn
menyatakan bahwa perkembangan sains berlaku pada apa yang disebut paradigm
ilmu. Menurut Kuhn paradigm ilmu adalah suatu kerangka teoritis, atau suatu
cara memandang dan memahami alam, yang telah digunakan sebagai sekelompok
ilmuan sebagai pandangan dunianya. Paradigma ilmu berfungsi seabagai lensa yang
melaluinya para ilmuan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah
dalam bidang masing-masingdan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah – masalah
tersebut.
Dari analisis pendapat Kuhn di atas, penulis bisa menyimpulkan bahwa
Sains lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya. Dari
rekaman sejarah ilmu bisa diketahui bahwa terjadinya perubahan-perubahan
mendalam selama sejarah ilmu tidak didasarkan pada upaya empiris untuk
membuktikan suatu teori atau sistem, tetapi melalui revolusi-revolusi ilmiah,
sehingga kemajuan ilmiah pertama-tama bersifat revolusioner dan bukan
kumulatif.
Kuhn menamakan sekumpulan ilmuan yang telah memiliki pandangan bersama
sebagai suatu komunitas ilmiah. Suatu komunitas ilmiah memiliki suatu paradigma
bersama tentang alam ilmiah, memiliki kesamaan bahasa, nilai-nilai, asumsi-asumsi,
tujuan-tujuan, norma-norma dan kepercayaan-kepercayaan.
Dari pendapat Kuhn diatas, maka bisa dikatakan bahwa pergeseran paradigma
merupakan suatu istilah untuk menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran
manusia dalam bingkai filsafat. Pergeseran paradigma merupakan letupan ide yang
merangsang timbulnya letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus,
sambung menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi
berantai ini akhirnya menjadi kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan
dunia serta peradaban manusia ke arah suatu kemajuan.
Dengan demikian paradigma ilmu tidak lebih dari suatu konstruksi segenap
komunitas ilmiah, Dalam komunitas tersebut mereka membaca, menafsirkan,
mengungkap, dan memahami alam, sehingga menurut Kuhn paradigmalah yang
menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuawan, tanpa
paradigma tertentu para ilmuawan tidak bisa mengumpulkan fakta-fakta, dengan
tiadanya paradigma atau calon paradigma tertentu, semua fakta yang mungkin
sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu tampak seakan sama-sama relevan,
akibatnya pengumpulan fakta hamper semuanya merupakan aktivitas acak.
Menurut Larry Laudan
ada beberapa bagian besar dari pemikiran paradigma Kuhn, diantaranya:[17]
a.
Paradigma memberikan
kerangka konseptual untuk mengklasifikasikan dan menjelaskan obyek
alamiah;
b.
Paradigma
menspesifikasikan metoda, teknik, danalat yang layak di dalam inkuiri untuk
mempelajariobyek pada wilayah aplikasi yang relevan;
c.
Penganut paradigma
berbeda akan mendukung perangkat tujuan dan ideal yang berbeda.
Sehingga diperoleh
konklusi bahwa perangkat ilmu paradigma Kuhn ialah:[18]
a.
Melihat teori sebagai
struktur terorganisasi;
b.
Struktur teori
berbentuk paradigma;
c.
Teori bisa mengalami
krisis sehingga dapat saja diganti oleh teori lawannya.
3.
Teori Paradigma Thomas S. Kuhn
Segi penting pendekatan
yang digunakan Kuhn adalah terdapatnya peranan penting yang dimainkan oleh
sifat-sifat sosiologis masyarakat ilmiah dan pendekatannya yang menggunakan
pandangan filosofis yang tahan menghadapi kritik yang berdasarkan sejarah ilmu.
Paradigma Kuhn ini juga dijadikan sebagai salah satu alasan terjadinya proses
perkembangan pemikiran (ilmu).[19]
Dalam karyanya yang
berjudul The Structure of Scienteific Revolutions yang terbit pada tahun 1962
yang kemudian pada tahun 1970 dilengkapi dengan Postscirpt yang memuat
modifikasi pandangannya serta tanggapan terhadap kritik, Kuhn mendekati
pengertian ilmu secara internal yang kemudian berbeda dengan pemikiran Popper.[20] Dalam
buku tersebut, Kuhn mengemukakan pandangan tentang ilmu yang berputar pada lima
tahapan yang kemudian dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu:[21]
Tahap Pertama, paradigma ini
membimbing dan mengarahkan aktivitas olmiah dalam masa ilmu normal (normal
science). Di sini para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan
paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam.
Dalam tahapan ini, para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang
membimbingnya. Selama menjalanka aktivitas ilmiah, para ilmuwan menjumpai
berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang
dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya. Inilah yang
dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya
ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap Kedua, menumpuknya anomali
menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma
mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu
norma.
Tahap ketiga, para ilmuwan bisa
kembali pada cara-cara ilmiah yang sama dengan memperluas dan mengembangkan
suatu paradigma tangingan yang dipandang
bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses
peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi
ilmiah.
B. Terminologi Sederhana Perdagangan Elektronik (E-Commerce)
Secara
terminologi, e-commerce[22]
terdiri dari dua kata dalam bahasa inggris, yaitu Electronic dan Commerce
yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti Elektronik dan
Perdagangan. Adapun yang dimaksud dengan perdagangan (dagang) adalah pekerjaan
yang berhubungan dengan menjual dan membeli (berniaga) barang untuk memperoleh
keuntungan.[23]
Sedangkan yang dimaksud dengan elektronik adalah pengetahuan mempraktekkan
tenaga listrik pada berbagai alat.[24]
Julian
Ding dalam bukunya E-Commerce: Law and
Practice, mengemukakan bahwa e-commerce
adalah suatu konsep yang tidak dapat didefenisikan.[25]
Hal ini dikarenakan, e-commerce
sebagai suatu perdagangan yang relatif baru dibandingkan dengan sistem
perdagangan lainnya[26]
serta memiliki permasalahan yang kompleks baik dipandang dari perspektif
sains-teknologi maupun dari perspektif lainnya seperti ekonomi dan hukum[27].
Alhasil terdapat kesukaran dan ketidakjelasan dalam mengartikan e-commerce sebagai suatu definisi yang
definitif. Berikut ini akan diuraikan beberapa definisi dari para ahli yang
diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai e-commerce.
Secara
umum, e-commerce dapat didefenisikan
sebagai bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang dan jasa (trade of goods and sevice) dengan
menggunakan media elektronik.[28]
Hal serupa juga dikemukakan oleh Howard E. Abrams yang menyatakan bahwa “electronic commerce refers to the use of
computer networks to facilitate transactions involving the production,
distribution, sale, and delivery of goods and services in the market”.[29]
Definisi
yang tidak jauh berbeda juga dinyatakan oleh David Baum yang menjelaskan bahwa “e-commerce is a dynamic set of
technologies, applications, and business process that link enteprises,
consumers, and communities throught electronic transactions[30] and the electronic exchange of goods,
services, and information”.[31]
Albarta sebagaimana dikutip oleh M.
Fikri Salman, et. al menyatakan bahwa
e-commerce merupakan “salah satu
bentuk transaksi perdagangan yang paling banyak dipengaruhi oleh teknologi
informasi”.[32]
Sementara itu, Niniek Suparni dalam bukunya Cyberspace: Problematika dan Aspek
Pengaturannya, mengungkapkan bahwa e-commerce
adalah “kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufacturs),
service providers, dan pedagang
perantara (intermediaries) dengan
menggunakan jaringan-jaringan komputer (computer
networks)”.[33]
Beberapa organisiasi
yang bergerak di bidang ekonomi internasional juga turut memberikan defenisi
terhadap e-commerce. Seperti OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) yang
menjelaskaan bahwa e-commerce adalah
“transaksi yang berdasarkan proses dan transmisi data secara elektronik”.
Sedangkan Alliance for Global Business,
suatu asosiasi di bidang perdagangan terkemuka, mengartikan e-commerce sebagai “seluruh transaksi
nilai yang melibatkan transfer informasi, produk, jasa atau pembayaran melalui
jaringan elektronik sebagai media”.[34] Dari beberapa definisi
yang diuraikan di atas, defenisi yang paling lengkap adalah defenisi yang
dikemukakan oleh ECEG (Electronic Commerce Expert Group) yang
mendefenisikan e-commerce sebagai:[35]
“a
broad concept that covers any commercial transaction that is effected via
electronic means and would include such means as facsimile, telex, EDI,
internet, and the telephone. For the purpose of this report the term is limited
to those trade and commercial transaction involving computer to computer
communications wheter utilising an open or closed network”.
Disamping beberapa
definsi yang dikemukakan oleh para ahli dan organisasi ekonomi internasional di
atas, UNCITRAL Model Law on Electronic
Commerce juga memberikan defenisi terkait dengan e-commerce. Secara singkat dalam Pasal 1 dan 2, e-commerce didefenisikan sebagai “setiap
aktivitas perdagangan yang dilaksanakan dengan cara melakukan pertukaran
informasi yang diberikan, diterima atau disimpan melalui jasa elektronik, optik
atau alat serupa lainnya termasuk, tetapi tidak terbatas pada EDI, e-mail,
telegram, telex, atau telekopi”.[36]
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Diskursus
Kekinian: Apakah Perkembangan Dunia Perdagangan (Dunia Bisnis) Dewasa Ini
Memang Liniear Dan Sesuai Dengan Paradigma Thomas S. Kuhn (“Switch Theory”)?
1.
Paradigma Tahapan
Ilmu Normal: Perdagangan Konvensional
Sejarah perdagangan dunia diawali dengan sistem kovensional, dimana
para pihak bertemu secara langsung (face to face) dalam suatu tempat
tertentu. Penjual dan pembeli bertemu langsung dan kemudian melakukan transaksi
perdagangan. Begitulah sejarah perdagangan yang kita kenal selama ini hingga
kemudian, muncul sistem perdagangan antar negara.
Perdagangan antar negara pun tidak ada bedanya. Saudagar-saudagar
kaya dari suatu negara kemudian melakukan petualangan baharinya untuk melakukan
transaksi komoditi dengan saudagar dari negara lain. Sehingga konsepnya tetap
sama, yaitu para pihak harus bertemu secara langsung dalam suatu tempat yang
telah disepakati.
Secara historis, Eropa dikenal dua kota sebagai pusat perdagangan terbesar
sejak abad IX. Oleh karena perkembangan pusat perdagangan itu demikian pesat,
para pelaku pedagang dibeberapa negara lain memperlajarinya karena ingin
menerapkan model perdagangan untuk mengembangkan perekonomian. Para pedagang di
kawasan Italia Utara bersaing ketat dengan para pedagang asia yang berupaya
menembus pasar Eropa. Pada waktu yang bersamaan, perdagangan tumbuh subur di
Eropa Utara yang berpusat di kawasan Flanders yang sekarang bernama negara
Belanda dan Belgia. [37]
Kedua
pusat perdagangan yakni Belanda dan Belgia sudah terkenal sejak masa kekaisaran
Romawi sebagai pusat perdagangan pakaian yang memiliki koneksi dengan kerajaan
Inggris sebagai produsen benang wol di Eropa. Pada zaman itu, para saudagar di
Italia dikenal sangat piawai melakukan perdagangan sutera alam,rempah-rempah,
logam mulia, dan parfum.
Berkembangnya
perdagangan menciptakan pertukaran barang dagangan (komoditi) yang dilakukan
oleh para pedagang atau saudagar Italia dan perdagangan Belanda-Belgia.
Kegiatan para pedagang itu meluas dan melintas kawasan yang dikuasai seorang
pangeran yang berasal dari Champagne, Prancis. Para pedagang menyimpan
barang-barang dagangan seperti pakaian, anggur,garam,kayu olahan dan perkakas
yang terbuat dari besi di Champagne. Pada tahun 1114, pangeran yang mewakali
bangsawan Perancis meresmikan Champagne sebagai pusat perniagaan. Dipusat
perdagangan itu dilakukan berbagai kegiatan perdagangan lengkap dengan
fasilitas perdagangan seperti gudang penyimpanan barang dagangan. Pihak
pengelola pusat perdagangan memungut komisi sebagai ongkos pengguna sarana dan
prasarana yang digunakan oleh para pedagang.[38]
Di
pusat perniagaan itu yakni Champagne, para saudagar melakukan pemesanan dan
penyerahan barang dagangan antara penjual dan pembeli melalui suatu mekanisme
kontrak barang yang disepakati para pihak, dan inilah cikal bakal perdagangan
berjangka untuk pertama kali dilakukan.
Setelah
diresmikan, pusat perniagaan Champagne berkembang dan makin dikenal luas, dan
kemudian menjadi pusat perniagaan di Eropa ketika itu. Para pelaku perdagangan
bukan hanya berasal dari Italia, Belanda atau Belgia, akan tetapi para saudagar
dari negara Skandinavia, Inggris, dan Rusia juga tertarik melakukan perdagangan
dengan menggunakan fasilitas dan model perdagangan yang ada di Champagne. Model
dan sistem perniagaan yang berlaku di Champagne peraturan (hukum), sarana alat
tukar, dan gudang penyimpanan.[39]
Kegiatan
perdagangan dipusat perniagaan Champagne Berlangsung sepanjang tahun. Perdagangan
diawali dengan penawaran dan permintaan beberapa bahan mentah serta hasil
olahan yang sudah dikenal oleh kalangan pedagang. Biasanya beberapa hari
menjelang berakhirnya transaksi, disediakan waktu untuk membayar nota tanda
terima dan menukarkannya dengan barang yang dikehendaki
2. Anomali Dunia
Perdagangan: Perdagangan Konvensional versus Perdagangan Elektronik (E-Commerce)
Sejarah pun kini berubah. Sistem perdagangan konvensional pun mulai
ditinggalkan oleh pelaku bisnis. Dengan adanya perkembangan teknologi dan
keharusan mengikuti pola globalisasi, maka munculah yang dinamakan perdagangan
elektronik (e-commerce). E-Commerce sendiri diakibatkan oleh
pengaruh teknologi dan informasi. Anomali dunia perdagangan pun kini mencuat.
Di satu sisi, pelaku bisnis belum siap untuk melakukan revolusi dunia
perdagangan, tetapi tuntuntan terhadap pengaruh globalisasi menjadi tidak
terelakkan. Anomali inilah yang menjadi suatu krisis ilmiah yang kemudian akan
menimbulkan paradigma baru.
Tahapan krisis dan anomali ilmiah inilah yang menimbulkan kegalauan
di kalangan ilmuwan. Apakah benar, urgensi atas e-commerce memang sangat
dibutuhkan dalam konteks kekinian. Sedangkan masih banyak pelaku bisnis yang
belum siap atas perubahan demikian. Tapi menafikan tunutan globalisasi dan informasi
akan menjadi suatu ketidakniscayaan. Oleh karenanya, pada tahapan ini,
e-commerce pun harus siap diuji secara ilmiah kelayakannya. Kalau memang
ternyata belum siap, maka paradigma di dunia perdagangan pun tidak akan berubah
dan akan tetap konvensional seperti sebelumnya.
Distorsi dan anomali dunia perdagangan, dimulai ketika adanya perkembangan
teknologi informasi[40]
pada awal abad dua puluh satu yang telah menyebabkan informasi dapat bergerak
dengan cepat. Informasi mengalir dari suatu lokasi ke lokasi lain tanpa
dibatasi oleh jarak di antara lokasi-lokasi itu sendiri.[41]
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semacam ini telah pula
menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) [42]
dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan
berlangsung sedemikian cepat.[43]
Tidak hanya itu, pemanfaatannya pun telah semakin meluas sehingga memasuki
hampir semua segi kehidupan.[44]
Secara etimologis, kata “teknologi” berasal dari kata dalam bahasa
Yunani, yaitu techniqos (yang berarti keterampilan atau kesenian) dan logos
(yang berarti ilmu atau asas-asas utama)[45].
Sedangkan di dalam Webster Dictionary, makna teknologi disamakan dengan
makna applied science (ilmu terapan) atau technical to achieve
practical purposes (metode teknis untuk mencapai tujuan-tujuan praktis).[46]
Sedangkan teknologi informasi sendiri menurut Bryon Belitos dan Jay Misra
merupakan perkembangan teknologi perangkat-perangkat pengolah informasi yang
merupakan hasil dari bertemunya sistem jaringan komunikasi dengan teknologi
informasi.[47]
Menurut Didik J. Rachbini, teknologi informasi dan media
elektronika dinilai sebagai simbol pelopor yang akan mengintegrasikan seluruh
sistem dunia baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan. Dari
sistem-sistem kecil lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun
terakhir bergerak cepat, bahkan terlalu cepat menuju suatu sistem global. Dunia
akan menjadi ”global village” yang menyatu saling menyatu, saling tahu
dan terbuka, serta bergantung satu sama lain.[48]
Sehingga akan berdampak pada terciptanya dunia kedua bagi kehidupan manusia
selain dunia nyata yang selama ini dihuni oleh manusia. Dunia ini dinamakan
dunia maya atau dunia siber (cyberspace)[49],
yaitu dunia tanpa batas (borderless world). Oleh karenanya, Heru
Soepraptomo menyatakan bahwa hal ini merupakan pertanda telah dimulainya era
siber dalam dunia bisnis.[50]
Secara singkat, perkembangan tekonologi informasi yang terjadi saat
ini akan membawa konsekuensi logis terjadinya globalisasi. Menurut pendapat Manfred
B Steger dalam bukunya Globalization: A Very Short Introduction
mengemukakan bahwa globalisasi pada hakikatnya merupakan suatu proses
transformasi sosial yang akan membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda
dan terpencar-pencar di banyak wilayah negara di dunia ini ke satu kondisi
tunggal yang tidak mengenal lagi batas-batas wilayah.[51]
Sedangkan menurut Tonelson seorang ahli ekonomi mengartikan globalisasi sebagai
suatu keadaan dimana terjadi suatu peningkatan yang disebabkan oleh hubungan
integrasi pasar di tingkat internasional, yang ditandai oleh perkembangan
masuknya berbagai barang di pasaran internasional di seluruh dunia.[52]
Globaliasasi sebagai bagian dari proses aktualiasasi kehidupan
modern telah merubah kondisi pola aktivitas manusia yang sebelumnya serba
konvensional menjadi non-konvensional (elektronik).[53]
Hal ini tentunya berpengaruh pada pola pikir manusia dewasa ini, dimana mereka
menginginkan keputusan yang serba cepat dan tepat melalui informasi yang
lengkap dan akurat.
Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980) telah
memprediksikan bahwa di era milenieum ketiga, teknologi akan memegang peranan
yang signifikan dalam kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern ini akan mengimplikasikan berbagai perubahan dalam kinerja
manusia.[54]
Salah satu produk inovasi teknologi telekomunikasi adalah internet[55] (interconnection
networking), yaitu koneksi antar jaringan komputer. Internet yang merupakan
implementasi dari Transmission Control Protocol atau Internet Protocol (TCP atau IP) telah memberikan
kemudahan dalam berkomunikasi secara global tanpa batasan geografis antar
negara. Komunikasi tersebut dapat meliputi komunikasi antar pribadi dengan
menggunakan elektronik mail (e-mail) atau tayangan informasi
bebas baca yang disebut sebagai World Wide Web atau yang disingkat WWW atau lebih singkat disebut Web.[56]
Perkembangan internet yang terjadi
dewasa ini menjadi suatu fenomena yang tak terelakkan lagi. Hampir semua
tingkatan aktivitas masyarakat dapat dipastikan berhubungan dengan dunia
internet.[57]
Maka tidak heran apabila internet menjadi salah satu dari kebutuhan pokok
manusia saat ini. Dari tahun ke tahun, jumlah pengguna internet (Netter)
di Indonesia bahkan dunia telah mengalami peningkatan yang cukup drastis.
Berikut ini, jumlah pertumbuhan Netter di dunia berdasarkan data yang
dihimpun oleh Internet World Stats selama kurun waktu 15 tahun terakhir
(1995-2009).[58]
Tabel I
Pertumbuhan
Pengguna Internet (Netter) di Dunia
(Tahun
1995-Desember 2009)
Tahun
|
Pengguna Internet (Netter)
|
Penduduk Dunia (%)
|
1995
|
16,000,000
|
0.4%
|
1996
|
36,000,000
|
0.9%
|
1997
|
70,000,000
|
1.7%
|
1998
|
147,000,000
|
3.6%
|
1999
|
248,000,000
|
4.1%
|
2000
|
361,000,000
|
5.8%
|
2001
|
513,000,000
|
8.6%
|
2002
|
587,000,000
|
9.4%
|
2003
|
719,000,000
|
11.1%
|
2004
|
817,000,000
|
12.7%
|
2005
|
1,018,000,000
|
15.7%
|
2006
|
1,093,000,000
|
16.7%
|
2007
|
1,319,000,000
|
20.0%
|
2008
|
1,565,000,000
|
23.3%
|
2009
|
1.802.330.457
|
26,6%
|
Sumber: Internet
World Stats
Berdasarkan
data dari Internet World Stats
tersebut, dalam satu dasawarsa terakhir jumlah pengguna internet (Netter)
di dunia meningkat pesat. Dari 0,4% pengguna dari seluruh penduduk dunia di tahun
1995, kini naik hampir 60 kali lipat pada 2008. Dan sejak tahun 2000,
pertumbuhan Netter dunia naik
rata-rata 2% terhadap total populasi dunia. Bahkan pada per 31 Desember 2009,
jumlah Netter di dunia mencapai 1.802.330.457 orang. Berarti telah mengalami
peningkatan sebesar 26,6% dari tahun sebelumnya.
Sedangkan untuk Indonesia sendiri, jumlah Netter mengalami
progress yang cukup pesat. Sehingga tidak heran apabila Indonesia kini menjadi
pangsa pasar Netter yang sangat potensial di Asia. Berikut jumlah
pertumbuhan Netter Indonesia di kawasan Asia pada tahun 2009.[59]
Tabel II
Pertumbuhan Pengguna Internet (Netter)
Indonesia di Kawasan Asia
(Tahun 2009)
Negara
|
Jumlah Pengguna Internet (Netter)*
|
China
|
384,0
|
Jepang
|
96,0
|
India
|
81,0
|
Korea
Selatan
|
37,5
|
Indonesia
|
30,0
|
Filiphina
|
24,0
|
Vietnam
|
22,8
|
Pakistan
|
18,5
|
Malaysia
|
16,9
|
Thailand
|
16,1
|
Sumber: Internet World Stats
Ket: *dalam hitungan juta
Dari data tersebut, maka Indonesia menjadi satu dari 10 besar negara di
Asia yang memiliki Netter terbanyak, dengan jumlah 30 juta orang.
Walaupun jumlah ini masih kalah jauh dengan negara-negara lain seperti China
dan Jepang, namun hal ini cukup merepresentasikan bagaimana pesatnya
perkembangan teknologi informasi dalam bentuk internet di Indonesia.
Dengan meningkatnya penggunaan internet, khususnya di Indonesia maka
secara tidak langsung berdampak besar bagi perkembangan dunia bisnis. Sebagaimana diketahui bahwa dewasa ini aplikasi internet telah
memasuki berbagai segmen aktivitas manusia baik dalam sektor politik sosial,
budaya, maupun ekonomi dan bisnis. Dalam bidang perdagangan, internet mulai
banyak dimanfaatkan sebagai media aktvitas bisnis terutama karena kontribusinya
terhadap efesiensi.[60]
Aktivitas perdagangan melalui media internet ini terkenal dengan sebutan electronic
commerce (e-commerce).[61] E-commerce
tersebut terbagi atas dua segmen, yaitu business to business e-commerce
(perdagangan antar pelaku usaha) dan business to consumer e-commerce
(perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen).[62]
Sistem perdagangan dengan memanfaatkan sarana internet, yang
selanjutnya disebut e-commerce telah mengubah tatanan transaksi bisnis
di Indonesia. Selain disebabkan oleh adanya perkembangan teknologi informasi, e-commerce
lahir atas tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah dan
praktis melalui internet. Sehingga masyarakat memiliki ruang gerak yang cukup
luas dalam memilih produk (barang dan jasa) yang akan dipergunakan tentunya
dengan berbagai kualitas dan kuantitas sesuai dengan yang diinginkan.[63]
E-commerce seringkali
diartikan sebagai jual beli[64]
barang dan jasa melalui media elektronik, khususnya melalui internet. Di
Indonesia, e-commerce itu sendiri sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan
munculnya situs http://www.sanur.com
sebagai toko buku on-line pertama.[65]
Memasuki awal tahun 2000-an, maka mulai bermunculan situs-situs on-line
lainnya, seperti netmarket.com, amazon.com, dan plasa.com.
Dalam website tersebut biasanya Merchant (Produsen atau
Penjual) menampilkan barang-barang yang ditawarkan, mulai dari harganya, nilai
rating atau poll otomatis tentang barang yang akan diisi oleh pembeli (Buyer)
sebelumnya. Dan apabila si calon pembeli tersebut tertarik, maka ia dapat
memesan barang tersebut cukup hanya dengan beberapa klik[66]
pada mouse dan ketikan nomor kartu kredit pada tombol keyboard komputer.
E-Commerce yang terjadi
saat ini pun tidak hanya terjadi dalam transaksi bisnis yang bersifat nasional,
tapi juga internasional. Tujuan sederhananya ialah untuk meningkatkan kemajuan
perekonomian nasional dengan cara yang maksimal. Salah satunya ialah dengan
cara penggunaan media elektronik. Hal tersebut selaras dengan pernyataan yang
dikemukakan oleh Assafa Endeshaw dalam bukunya yang berjudul Internet and
E-Commerce Law bahwa perkembangan perdagangan internasional tidak akan
pernah terlepas dari perkembangan teknologi.[67]
Oleh karena itu, dalam upaya bangsa-bangsa mencapai kemakmuran, maka teknologi
tidak terlepas dari upaya tersebut.
Bahkan Richard Roserrance memaparkan betapa besarnya kekuatan yang
dapat diwujudkan suatu bangsa melalui kemampuan dagangnya. Sehingga ia
menyimpulkan bahwa manfaat perdagangan dan kerja sama internasional dewasa ini
jauh melampaui manfaat persaingan militer dan perluasan wilayah.[68]
Begitu juga halnya dengan Indonesia, dimana perdagangan internasional memiliki
peranan vital bagi upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara
berkesinambungan.[69]
Konsekuensi logis untuk merealisasikan hal tersebut tentunya
dibutuhkan penggunaan perangkat media elektronik sebagai sarana transaksi
bisnis internasional. Sebagai suatu perdagangan yang berbasis teknologi
canggih, transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce telah mereduksi
bahkan mereformasi perdagangan konvensional, dimana interaksi antara pihak yang
sebelumnya dilakukan secara langsung (face to face) menjadi interaksi
yang tidak langsung.[70]
Hal tersebut di antaranya dapat dilakukan melalui jasa layanan EDI[71], telex, fax, EFT[72],
dan internet. Internet ini pada akhirnya dipecah menjadi intranet, ekstranet, e-mail,
dan lain-lain.[73]
Tidak hanya itu, e-commerce juga telah merubah paradigma bisnis klasik
dengan menumbuhkan model-model interaksi antara para pihak di dunia virtual.[74]
3.
Paradigma Baru: Revolusi
Ilmiah Dunia Perdagangan = E-Commerce
Dengan adanya
perkembangan teknologi informasi dan tuntutan terhadap globalisasi, maka
munculah sistem perdagangan baru yang dinamakan perdagangan elektronik (e-commerce).
Setelah melewati masa krisis dan anomali ilmiah, maka timbulah suatu paradigma
baru dalam dunia perdagangan. Paradigma yang dihasilkan dari adanya revolusi
ilmiah pengetahuan setelah melewati batas ruang dan waktu.
E-commerce sebagai pradigma baru di dunia perdagangan tidak begitu saja muncul ke
permukaan. Ia harus melewati beberapa tahapan sebelum akhirnya menjadi suatu
paradigma yang mapan. Dalam pergolakan masa krisis itulah e-commerce
diuji, apakah layak disebut sebagai paradigma baru atau tidak. Dengan adanya
pengaruh globalisasi dan meningkatnya kebutuhan akan informasi dan teknologi,
maka membuat e-commerce menjadi mudah berkembang.
Setelah memasuki tahap
kemapanan paradigma, maka e-commerce memasuki babak ilmu baru. Ia harus
membuktikan bahwa sebagai suatu ilmu, e-commerce harus dapat bertahan
dan mematangkan eksistensi nya.
Berikut ruang lingkup
dan area utama e-commerce sebagai paradigma baru dalam dunia perdagangan:
E-commerce
merupakan
suatu istilah yang menjadi populer setelah berkembangnya layanan-layanan
komersial di internet. Namun, e-commerce
melalui internet sejatinya hanyalah sebagian dari keseluruhan ruang lingkup e-commerce, karena ada pula jenis-jenis
transaksi elektronik lainnya yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi
selain internet.
Menurut World Trade Organization (WTO),
ruang lingkup atau cakupan dari e-commerce
meliputi bidang produksi, distribusi, pemasaran, penjualan, dan pengiriman
barang atau jasa melalui cara elektronik.[75]
Dalam perspektif lain, seorang sarjana
Inggris bernama Whiteley membagi ruang lingkup e-commerce menjadi tiga area utama, yaitu Electronic Market (EM), Electronic Data Interchange (EDI), dan Internet Commerce (IM).
Pasar Elektronik (Elektronik Market-EM)
banyak dilaksanakan di berbagai macam segmen perdagangan dengan penekakan untuk
melakukan pencarian fasilitas-fasilitas tertentu. Sedangkan Pertukaran Data
Secara Elektronik (Electronic Data
Interchange-EDI) biasa dilaksanakan untuk transaksi-transaksi reguler dan
terstandarisasi yang terjadi antar perusahaan atau organisasi (Business to Business-B2B). Ketiga
kategori e-commerce tersebut akan
diuraikan lebih detail sebagai berikut:[77]
a.
Elektronic
Market (EM)
Elektronic
Market atau dalam bahasa Indonesia yang berarti pasar
elektronik dimaknai sebagai pemanfaatan informasi dan komunikasi untuk
menyajikan beragam penawaran di suatu segmen pasar, sehingga para calon pembeli
dapat membandingkan harga (serta atribut-atribut lainnya) dari setiap penawaran
tersebut dan kemudian membuat keputusan-keputusan pembelian yang tepat. Ketika
suatu pasar berwujud elektronik, maka yang menjadi pusat perbelanjaan adalah
suatu lokasi berbasis jaringan yang didalamnya terjadi interaksi-interaksi bisnis.
Pasar elektronik ini juga merupakan
suatu tempat bertemunya pembeli dan penjual. Dalam pasar tersebut terjadi
pemrosesan berbagai macam transaksi, termasuk transfer dana antar bank. Contoh
utama dari pasar elektronik ini adalah sistem pemesanan tiket pesawat terbang.
Sementara itu, Been et. al
berpandangan bahwa pasar elektronik adalah suatu sistem informasi
interorganisasional yang menyediakan fasilitas-fasilitas bagi pihak pembeli dan
penjual untuk dilakukannya pertukaran informasi tentang harga dan produk-produk
yang ditawarkan.
Mekanisme
Kerja Electronic Market (EM)
Keterangan:
2.
Pembeli mencari produk yang diinginkan
(buku, software, dan lain-lain) di dalam homepage/content server;
3.
Pembeli memilih produk yang dikehendaki
dari katalog-katalog yang ada di homepage;
4.
Selanjutnya pembeli harus mengisi order
pembelian (pesanan), lalu transaksi diproses;
5.
Order pembelian (antara lain: berisi
data tentang profil pembeli dan sistem yang diplih oleh pembeli) dikirm ke
penjual;
6.
Penjual mengkonfirmasi data pesanan
(data lain: informasi tentang pesanan, profil pembeli, dan sistem
pembayarannya);
7.
Pembeli membayar barang yang dipesannya
sesuai dengan opsi pembayaran yang ia pilih, lalu transaksi diproses;
8.
Informasi pembayaran dikirim ke bank;
9.
Bank memeriksa permohonan kredit
pembeli;
10. Bank
menyetujui permohonan kredit pembeli;
11. Barang
yang dibeli dikirim hingga sampai ke pembeli.
Mekanisme di atas dikenal juga sebagai
transkasi online order di pasar
elektronik. Transaksi online order
merupakan transaksi bisnis dimana pemesanan barang tersebut dilakukan melalui
internet. Untuk lebih jelasnya terkait dengan transaksi online order tersebut, maka dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Proses
Transaksi Online Order
|
Keterangan:
1.
Find
it,
pada tahap ini, pembeli bisa mengetahui dengan pasti dan mudah jenis barang
yang ia inginkan;
2.
Explore
it,
setelah memilih jenis barang yang diinginkan, maka pembeli akan menjumpai
keterangan dan informasi yang lebih jelas mengenai barang tersebut;
3.
Select
it,
pada tahap ini pembeli akan memilih barang yang akan dibeli setalah melalui
proses pertimbangan yang matang;
4.
Buy
it, setelah
semua tahap di atas dilakukan, maka selanjutnya dilakukan proses check out dengan cara pembelian, dimana
pada tahap ini dilakukan proses transaksi pembayaran terlebih dahulu kepada merchant;
5.
Ship
it,
setelah semua proses transaksi selesai, maka pihak merchant akan mengirimkan e-mail
(pemberitahuan) kepada pembeli bahwa pengiriman barang telah dilakukan.
b.
Electronik
Data Interchange (EDI)
Secara harfiah, EDI adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk pertukaran sebuah
data. EDI dapat digunakan untuk
mentransmisikan dokumen-dokumen secara elektronik seperti dokumen pemesanan
pembelian, invoice, catatan
pengangkutan barang, penerimaan advis (advice)
dan korepondensi bisnis standar lainnya di antara mitra dagang.[80]
Sementara itu, Baumer mendefenisikan Electronic Data Interchange atau dalam
bahasa Indonesia disebut Pertukaran Data Secara Elektronik sebagai “suatu
kontrak B2B yang dilaksanakan melalui jaringan-jaringan tertutup yang di
dalamnya di antara para pihak telah ada kesepakatan sebelumnya tentang
transaksi-transaksi apa saja yang dapat dilaksanakan melalui EDI”. Lebih lanjut Baumer juga
mengatakan bahwa karena EDI ini
dilaksanakan dengan menggunakan jaringan-jaringan tertentu (private and closed network), maka EDI tidak sefleksibel kontrak atau
transaksi-transaksi yang dilaksanakan dengan menggunakan internet.
Ketika digunakan untuk melakukan suatu
pembayaran, EDI biasanya disebut
dengan Financial EDI atau Electronical Fund Transfer (EFT). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa EDI merupakan transaksi
elektronik yang berhasil menggantikan posisi transaksi yang menggunakan kertas.
Bahkan lebih dari sekedar menggantikannya, karena EDI dapat menjadi alat untuk memadatkan atau mengurangi prosedur
yang ada dan meningkatkan efesiensi dan produktifitas.[81]
Hal tersebut juga ditegaskan oleh
Whitley yang menjelaskan bahwa di dalam EDI
ini terdapat sebuah sistem yang telah tersandarisasi yang digunakan untuk
mengkode (to code) data-data atau
dokumen-dokumen transaksi dagang, sehingga data atau dokumen tersebut dapat
dikomunikasikan secara langsung dari satu komputer ke komputer lainnya tanpa
perlu lagi menggunakan surat pesanan barang atau surat tagihan tercetak
sebagaimana yang terjadi dalam transaksi-transaksi berbasis kertas.
EDI
ini bisa dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan yang biasa melakukan
transaksi-transaksi reguler dalam jumlah besar. EDI juga biasa digunakan dalam transkasi reguler yang dilakukan
secara berulang-ulang. Salah satu sektor yang di dalamnya EDI biasa dipergunakan
secara luas adalah jaringan supermarket besar yang biasa menggunakan EDI untuk bertranskasi dengan menggunakan
supplier-supplier mereka.
c.
Internet
Commerce (IM)
Tekonologi informasi dan komunikasi juga
dapat dipergunakan untuk mengiklankan dan menjual sejumlah besar barang dan
jasa. Jenis e-commerce ini biasanya memiliki karakteristik berupa
memanfaatkan internet untuk keperluan komersial. Misalnya, internet
dipergunakan untuk membeli buku yang kemudian akan dikirim melalui pos, atau
untuk memesan tiket yang kemudian tiket tersebut dapat diambil oleh pemesan
pada saat mereka tiba di tempat pertunjukan.
Perlu dicatat bahwa internet bukan
merupakan satu-satunya teknologi yang dapat dipergunakan untuk memberikan
layanan-layanan seperti ini, dan fungsi tersebut juga bukan merupakan
satu-satunya kegunaan internet dalam e-commerce.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
diketahui bahwa ruang lingkup e-commerce
menurut Whiteley terbagi menjadi tiga area utama, yaitu Electronic Market (EM), Electronic Data Interchange (EDI), dan Internet Commerce (IM).
Pasar Elektronik (Elektronik Market-EM).
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Edmon Makarim yang mengklasifikasikan ruang
lingkup e-commerce sebagai suatu
lingkup perdagangan atau perniagaan yang dilakukan secara elektronik dalam arti
sempit, termasuk di antaranya:[82]
a.
Perdagangan via internet (Internet Commerce);
b.
Perdagangan dengan fasilitas Web
Internet (Web Comerce);
c.
Perdangangan dengan Sistem Pertukaran
Data Terstruktur Secara Elektronik (Electronic
Data Interchange).
Selain ruang lingkup dan area utama,
kita harus juga memahami jenis-jenis e-commerce dalam aplikasi nya untuk lebih
memahami e-commerce sebagai suatu ilmu yang utuh. Rayport dan Jaworski berpendapat bahwa
ada empat kategori aplikasi (jenis) dalam transaksi e-commerce, yaitu Business to
Business (perusahaan ke perusahaan), Business
to Consumer (perusahaan ke konsumen), Consumer
to Consumer (konsumen ke konsumen), dan Consumer
to Business (konsumen ke perusahaan).
Empat Kategori E-Commerce
Berikut uraian secara detail dari
keempat kategori e-commerce tersebut:[84]
a.
Business
to Business (B2B)
Aplikasi
e-commerce B2B merujuk pada spektrum
penuh e-commerce yang terjadi antara
dua perusahaan. Aktivitas aplikasi B2B ini meliputi, pembelian, penjualan, supplier management, inventory management, payment management, serta service dan support. E-commerce B2B
ini antara lain dipelopori oleh Chemdex
(www.chemdex.com),
FastParts (www.fastparts.com),
dan FreeMarkets (www.freemarkets.com).
b.
Business
to Consumer (B2C)
E-commerce
B2C merujuk pada pertukaran yang terjadi antara perusahaan dan konsumen.
Transkasi yang sama dalam konteks
e-commerce B2B juga terjadi dalam aplikasi B2C ini. Pelopor kategori e-commerce B2C ini, antara lain Amazon.com, Yahoo.com, Schwab.com.
a.
Consumer
to Consumer (C2C)
Pertukaran
C2C ini mencakup transaksi-transaksi yang terjadi di antara konsumen dan
konsumen. Pertukaran tersebut bisa dilibatkan atau tidak melibatkan pihak
ketiga, seperti yang terjadi dalam pertukaran lelang melalui situs e-bay.
b.
Consumer
to Business (C2B)
Dalam
hubungan C2B ini, konsumen-konsumen dapat mengikatkan diri bersama-sama untuk
membentuk dan menjadikan diri mereka sebagai kelompok pembeli untuk suatu
perusahaan. Dalam melakukan aktivitasnya tersebut, para konsumen itu bisa didorong
oleh orientasi ekonomi atau orientasi sosial.
B. Refleksi
Epistimologis Paradigma Thomas S. Kuhn atas Eksistensi E-Commerce[85]
Peran
rekaman sejarah merupakan titik awal pengembangan ilmu, karena merupakan
rekaman akumulasi konsep untuk melihat bagaimana hubungan antara pengetahuan
dengan mitos dan takhayul yang berkembang. Sejarah ilmu digunakan untuk
mendapatkan dan mengkonstruksi wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang
sesungguhnya terjadi. Hal-hal baru baru yang ditemukan pada suatu masa menjadi
unsur penting bagi pengembangan ilmu di masa berikutnya. Sains lebih dicirikan
oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya. Dari rekaman sejarah ilmu bisa
diketahui bahwa terjadinya perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu
tidak didasarkan pada upaya empiris untuk membuktikan suatu teori atau sistem,
tetapi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Sehingga, kemajuan ilmiah pertama-tama
bersifat revolusioner dan bukan kumulatif. Pergeseran paradigma adalah istilah
untuk menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai
filsafat. Pergeseran paradigma merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya
letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik
pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini akhirnya
menjadi kekuatan yang bisa me-rubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban
manusia ke arah suatu kemajuan. Paradigma dan sains normal merupakan kerangka
referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah nyata
yang diterima dalam periode tertentu. Saat pertama kali muncul, masih sangat
terbatas baik cakupan maupun ketepatannya tetapi menjanjikan suatu
keberhasilan. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari
saingannya dalam memecahkan masalah keilmuan yang dianggap rawan. Paradigma
membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal sehingga ilmuwan bisa
mengembangkan secara rinci dan mendalam, dan tidak sibuk de-ngan hal-hal yang
mendasar. Pada sains normal, ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma
yang membimbing aktifitas ilmiahnya. Tiga fokus kajian sains normal adalah
memperluas pengetahuan tentang fakta, meningkatkan kesesuaian antara prakiraan
paradigma dan artikulasi lebih lanjut. Kegiatan ilmiah ada dua yaitu pemecahan
teka-teki (puzzle solving) dan penemuan paradigma baru. Dalam puzzle
solving, ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi untuk memecahkan
teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan
untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka
paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya
diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil,
maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Anomali dan munculnya
penemuan baru berbagai fenomena (anomali) bisa dijumpai oleh seorang ilmuwan
selama menjalankan riset di sains normal. Jika anomali kian menumpuk, akan timbul krisis dan paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang
ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Data anomali (penyimpangan terhadap teori-teori
dalam paradigma) berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru.
Penemuan baru diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni pengakuan bahwa alam
dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma
yang menguasai sains normal.
Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi
yang sedikit banyak diperluas ke wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir bila
teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi
sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga, dalam penemuan baru harus ada
penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru. Revolusi sains muncul karena
adanya anomali dalam riset ilmiah yang ma-kin parah dan munculnya krisis yang
tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset. Untuk
mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama
sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan
yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang
terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi sains. Revolusi sains merupakan
episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti sebagian atau
seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan. Transformasi-transformasi
paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya
melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah
matang. Jalan revolusi sains menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan.
Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima
paradigma baru dan ini menimbulkan masalah sendiri. Dalam pemilihan para-digma
tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang
bersangkutan. Untuk menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita
harus meneliti dampak sifat dan dampak logika juga teknik-teknik argumentasi
persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat
sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi
sains, hanya sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan
ma-syarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh
mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud. Selama
revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika
menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat
yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba
dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya
tampak dalam penerangan yang berbeda, berbaur dengan obyek-obyek yang tidak
dikenal. Ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya,
dan tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat
dukungan dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas risetnya tidak berguna
sama sekali.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang
dikemukakan oleh penulis diatas, maka terdapat relevansi yang kuat dan linear
antara perkembangan dunia bisnis berupa perdagangan elektronik (e-commerce)
terhadap paradigma Thomas S. Kuhn (“switch theory”). Hal tersebut
diperkuat atas dalil yang dikemukakan oleh bahwa suatu perkembangan ilmu yang
mengharapkan terjadi nya revolusi ilmiah, haruslah melewati beberapa tahapan
uji. Dan secara ilmiah, e-commerce telah membuktikan “tantangan” yang
diberikan oleh Kuhn tersebut. Adapun tahapan ilmiah yang dilewati oleh e-commerce
sehingga dapat membentuk suatu paradigma ilmu baru, ialah:
1.
Paradigma Tahapan
Ilmu Normal: Perdagangan Konvensional
Sejarah
perdagangan dunia diawali dengan sistem kovensional, dimana para pihak bertemu
secara langsung (face to face) dalam suatu tempat tertentu. Penjual dan
pembeli bertemu langsung dan kemudian melakukan transaksi perdagangan.
2.
Anomali Dunia
Perdagangan: Perdagangan Konvensional versus Perdagangan Elektronik (E-Commerce)
Sistem
perdagangan konvensional pun mulai ditinggalkan oleh pelaku bisnis. Dengan
adanya perkembangan teknologi dan keharusan mengikuti pola globalisasi, maka
munculah yang dinamakan perdagangan elektronik (e-commerce). E-Commerce
sendiri diakibatkan oleh pengaruh teknologi dan informasi. Anomali dunia
perdagangan pun kini mencuat. Di satu sisi, pelaku bisnis belum siap untuk
melakukan revolusi dunia perdagangan, tetapi tuntuntan terhadap pengaruh
globalisasi menjadi tidak terelakkan. Anomali inilah yang menjadi suatu krisis
ilmiah yang kemudian akan menimbulkan paradigma baru. Tahapan krisis dan
anomali ilmiah inilah yang menimbulkan kegalauan di kalangan ilmuwan. Apakah
benar, urgensi atas e-commerce memang sangat dibutuhkan dalam konteks kekinian.
Sedangkan masih banyak pelaku bisnis yang belum siap atas perubahan demikian.
Tapi menafikan tunutan globalisasi dan informasi akan menjadi suatu
ketidakniscayaan. Oleh karenanya, pada tahapan ini, e-commerce pun harus siap
diuji secara ilmiah kelayakannya. Kalau memang ternyata belum siap, maka
paradigma di dunia perdagangan pun tidak akan berubah dan akan tetap
konvensional seperti sebelumnya.
3.
Paradigma Baru:
Revolusi Ilmiah Dunia Perdagangan = E-Commerce
Dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan tuntutan terhadap
globalisasi, maka munculah sistem perdagangan baru yang dinamakan perdagangan
elektronik (e-commerce). Setelah melewati masa krisis dan anomali
ilmiah, maka timbulah suatu paradigma baru dalam dunia perdagangan. Paradigma
yang dihasilkan dari adanya revolusi ilmiah pengetahuan setelah melewati batas
ruang dan waktu. E-commerce sebagai pradigma baru di dunia perdagangan
tidak begitu saja muncul ke permukaan. Ia harus melewati beberapa tahapan
sebelum akhirnya menjadi suatu paradigma yang mapan. Dalam pergolakan masa
krisis itulah e-commerce diuji, apakah layak disebut sebagai paradigma
baru atau tidak. Dengan adanya pengaruh globalisasi dan meningkatnya kebutuhan
akan informasi dan teknologi, maka membuat e-commerce menjadi mudah
berkembang. Setelah memasuki tahap kemapanan paradigma, maka e-commerce memasuki
babak ilmu baru. Ia harus membuktikan bahwa sebagai suatu ilmu, e-commerce harus
dapat bertahan dan mematangkan eksistensi nya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Adolf,
Huala. 2005. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
AK,
Syahmin. 2006. Hukum Dagang Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Hariningsih,
SP. 2005. Teknologi Informasi.
Jakarta: Graha Ilmu
Kantaatmadja, Mieke Komar et.
al. 2002. Cyberlaw: Suatu Pengantar
(Seri Dasar Hukum Ekonomi). Bandung: ELIPS II
Mansur,
Didik M. Arief dan Elisatiris Gultom. Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi. Cet-2. Bandung: PT.
Refika Aditama
Makarim,
Edmon. 2004. Kompilasi Hukum Telematika. Cet-2. Jakata: PT. RajaGrafindo Persada
Purbo,
Onno W. 2001. Mengenal E-Commerce.
Jakarta: Elexmedia Komputindo
Ramli, Ahmad M. 2006. Cet-2.
Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem
Hukum Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama
Riswandi,
Budi Agus. 2006. Hukum Cyberspace.
Yogyakarta: Gita Nagari
Sanusi,
M. Arsyad. 2001. E-Commerce: Hukum dan Solusinya. PT. Mizan Grafika Sarana
Sanusi,
M. Arsyad. 2005. Hukum Teknologi Informasi. Cet-3. Tim KemasBuku
Shidarta,
Bernard Arief. 2000. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian
tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Suherman,
Ade Maman. 2001. Aspek Hukum dalam Ekonomi Global. Jakarta: Ghalia Indonesia
Suparni,,
Niniek. 2009. Cet-1. Cyberspace:
Problematika dan Aspek Pengaturannya. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika
Susanti,
Ida dan Bayu Seto. 2003. Aspek Hukum dari
Perdagangan Bebas. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Surajiyo.
2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu Pengantar.
Cet-4. Jakarta: Bumi Aksara.
Susanti, Ida dan Bayu Seto. 2003. Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Ustadianto,
Riyeke. 2001. Cet-1. Framework E-Commerce. Yogyakarta: Penerbit Andi
Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar.
Jakarta: Penerbit Indeks. 2008
Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. 2005. Kejahatan Mayantara: Cyber Crime. Bandung: PT. Refika Aditama
Wiradipradja, E. Saefullah, et. al. Cyber Law: Suatu Pengantar, Perspektif Hukum Internasional tentang
Cyberlaw. Bandung: Ellips II
Zein,
Yahya Ahmad. 2009. Kontrak Elektronik dan Penyelesaian Sengketa Bisnis E- Commerce: Dalam Transaksi Nasional dan
Internasional. Bandung: Mandar Maju
Jurnal Ilmiah
Sjahdeini, Sutan Remy. 2001. “E-Commerce: Tinjauan dari Perspektif
Hukum”. Jurnal Hukum Bisnis. Volume
12 Tahun 2001. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis
Soepraptomo, Heru. 2001. “Kejahatan Komputer dan Siber serta
Antisipasi Pangaturan dan Pencegahannya di Indonesia”. Jurnal Hukum Bisnis. Volume 12 Tahun 2001. Jakarta: Yayasan Pengembangan
Hukum Bisnis
Karya
yang Tidak Diterbitkan
Emirzon,
Joni dan Firman Muntaqo. Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Liek
Wiliardjo. Semarang: PDIH Universitas Diponegoro (Tidak Dipublikasikan)
Melia, Dita. 2008. Landasan Teoritis Unsur Kesepakatan Para
Pihak dalam Perjanjian
E-Commerce. Skripsi. Inderalaya: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
C.A Van Peursen, 2005, Filsafat Ilmu-Ilmu, diterjemahkan oleh B.
Arief Sidartha, Bandung: Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik
Parahiyangan (Tidak untuk Dipublikasikan)
Salman, M. Fikri et. al.,
2006. Bahan Ajar Hukum Dagang.
Inderalaya: Penerbit Bagian Hukum dan Bisnis, Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya (Tidak untuk Diterbitkan)
Wiratno, Hendra. 2009. Analisis mengenai Penerapan Ketentuan
Pajak pada Transaksi E-Commerce.
Skripsi. Inderalaya: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
Kamus
Tim
Pustaka Phoenix. 2009. Cet-4. Edisi Revisi. Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru). Jakarta: PT. Media Pustaka Phoenix
Internet
dan lainnya
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/02/28/daftar-jumlah-pengguna-internet-dunia-1995-2008/ diakses pada hari Rabu. 21 Juli 2010. Pukul 19.17 WIB
http://www.internetworldstats.com/stats.htm, diakses pada hari Rabu, 21 Juli 2010, Pukul 19.17 WIB.
Maghfirah,
Eshter Dwi. Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce. Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
diakses dari http://www.pkditjenpdn.depdag.go.id/.../index.php?Perlindungan%20Konsumen%20Dalam%20E...- pada hari Rabu. 21 Juli 2010. Pukul
13.56 WIB
Running
Text pada acara Metro Hari Ini pada hari Jum’at. 28 Mei 2010. Pukul
17.25 WIB
http://www.scribd.com/doc/52234149/51/Paradigma-Kuhn-menurut-Larry-Laudan. Dikutip pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 09.20 WIB
http://filsafat.kompasiana.com/2010/05/27/sekilas-tentang-periodesasi-ilmu-hingga-lahirnya-paradigma-kuhn/, diakses pada hari Senin (12/12/2011), pukul 09.18 WIB
http://blog.unsri.ac.id/hidayati/filsafat-ilmu/paradigma-kuhn/mrdetail/29380, diakses pada hari Senin (12/12/2011), pukul 09.57 WIB
http://ilmubagi.blogspot.com/2010/11/paradigma-ilmu-positivisme.html, diakses pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 07.53 WIB
http://filsafat.kompasiana.com/2010/05/27/sekilas-tentang-periodesasi-ilmu-hingga-lahirnya-paradigma-kuhn/, diakses pada hari Selasa (13/12/2011), pukul10.18 WIB
http://www.askapfutures.com/index.php/knowledges/bacaan-umum/45-sejarah-perdagangan-komoditi, diakses
pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 11.12 WIB
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786497-sains-normal-dan-revolusi-sains/#ixzz1gHAasYbT. Diakses pada hari Rabu (14/12/2011), pukul 15.33 WIB
Peraturan
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek)
Indonesia, Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, UU No. 11 Tahun 2008, LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843
[1] Marleny Aribah,
dalam http://filsafat.kompasiana.com/2010/05/27/sekilas-tentang-periodesasi-ilmu-hingga-lahirnya-paradigma-kuhn/,
diakses pada hari Senin (12/12/2011), pukul 09.18 WIB
[2]
Asasl usul ditemukannya ilmu filsafat di tanah Yunani masih menjadi perdebatan
hangat. Ach. Maimun Syamsuddin menyatakan, pada umumnya para ilmuwan menganggap
bahwa tanah tumpah darah filsafat adalah Yunani. Namun Al-Farabi dalam Tahsil
al-Sa’adahmencatat bahwa orang-orang Kaldan (kawasan Mesopotamia) sejak
zaman purba merupakan pemilik tradisi filsafat yang diwarisi orang-orang Mesir
lalu turun ke Yunani. Di Yunani inilah memang tradisi mencari kearifan
dilakukan lebih intensif, dengan metode yang kian teratur dan sistematis,
berusaha melepaskan diri dari berbagai mitos.
Begitu juga halnya
dengan Muhammad Al Bahi dalam Al-Janibul Ilahi minat afkiril Islami menerangkan
pula adanya sumber-sumber filsafat termasuk dari kebudayaan Timur yakni dari
agama-agama Aria, yaitu: Brahma, Budha, Zuruastra dan Manu, serta dari
agama-agama Semit, yaitu: Yahudi dan Masehi (Kristen).
Pendapat sama juga
dikemukakan oleh Al Bahi,yang menyatakan, filsafat Greek (Yunani) bukanlah
ciptaan para filsuf Greek. Bukti dan argumen yang dikemukannya adalah bahwa di
dalam filsafat Yunani terdapat hubungan dengan agama primitif Yunani yang
menjadi unsur-unsur filsafatnya. Contohnya, filsafat Yunani menjadikan “api
hiraqlith” sebagai asal alam, sebagai indikasi bahwa ada pengaruh agama Timur
di dalamnya, sebab penyucian dengan api pada umumnya ada di agama-agama Timur.
Selain itu dalam filsafat Yunani juga menjadikan “akal iliyah-i” sebagai asal
alam, barangkali adalah konklusi penyucian jiwa, sebagai asal akidah agama
primitif. Lihat Subagyo, dalam http://ilmubagi.blogspot.com/2010/11/paradigma-ilmu-positivisme.html,
dikutip pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 07.53 WIB
[3] Ibid.
[4]
Hidayati, dalam website blog http://blog.unsri.ac.id/hidayati/filsafat-ilmu/paradigma-kuhn/mrdetail/29380,
diakses pada hari Senin (12/12/2011), pukul 09.57 WIB
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Dani Vardiansyah, Filsafat
Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Jakarta: Penerbit Indeks, 2008, hlm. 20
[8]
Hidayati, Loc.cit
[9] Ibid.
[10]
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu Pengantar,
Cet-4, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, Hlm. 70
[11]
Subagyo, Loc.cit
[12]
Joni Emirzon dan Firman Muntaqo,Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Liek
Wiliardjo, Semarang: PDIH Universitas Diponegoro (Tidak Dipublikasikan),
hlm. 14
[13]
Baca juga Joni Emirzon dan Firman Muntaqo,Op. cit., hlm. 13. Metode
serupa juga dikemukakan oleh Karl R. Popper dengan istilah lain, yaitu “Metode
Dedukto-Falsifikasi”. Yang menerapkan konsep: (i) masalah, (ii) teori, (iii)
ramalan teruji, (iv) falsifikasi (berhasil, maka teori tumbang, atau gagal,
maka akan menciptakan pengetahuan baru), (v) kalau ada beberapa teori yang
bersaing maka diperlukan teori yang lebih baik (tata, saksama, rampat, dan
apik).
[14]
Surajiyo, Op. cit., hlm. 62
[15]
Hidayati, Loc. cit
[16] Ibid.
[17] Laurry Laudan, dalam http://www.scribd.com/doc/52234149/51/Paradigma-Kuhn-menurut-Larry-Laudan.
Dikutip pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 09.20 WIB
[18] Ibid.
[19] Marleny Aribah, Loc.
cit ; lihat juga C.A Van Peursen, 2005, Filsafat Ilmu-Ilmu, diterjemahkan
oleh B. Arief Sidartha, Bandung: Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik
Parahiyangan (Tidak untuk Dipublikasikan), hlm. 19
[20]
Bernard Arief Shidarta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung: Penerbit
Mandar Maju, 2000, hlm. 89
[21]
Surajiyo, Op.cit., hlm. 70
[22]
Dari beberapa survei yang dilakukan, mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan
pendapat antara para praktisi dan para peneliti di dalam memandang e-commerce. Kalangan praktisi cenderung
memandang e-commerce dalam arti
sempit, yaitu hanya sebagai proses jual beli barang yang dilakukan melalui
internet. Sebaliknya, kebanyakan peneliti lebih cenderung memandang e-commerce dalam arti luas, yaitu e-commerce dimaknai lebih daripada
sekedar jual beli barang melalui internet, tetapi mencakup pula berbagai
aktifitas pra jual beli dan pasca jual beli yang dilakukan untuk memfasilitasi
fokus perusahaan pada konsumen. Lihat M. Arsyad Sanusi, 2005, Hukum
Teknologi Informasi, Cet-3, Tim KemasBuku, (selanjutnya disebut M. Arsyad
Sanusi I), hlm. 135
[23] Tim
Pustaka Phoenix, 2009, Cet-4, Edisi Revisi, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta: PT. Media Pustaka Phoenix,
hlm. 166
[24] Ibid., hlm. 216
[25]
Niniek Suparni, 2009, Cet-1, Cyberspace:
Problematika dan Aspek Pengaturannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, hlm.
30
[26]
Didik M. Arief Mansur dan Elisatiris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum
Teknologi Informasi, Cet-2, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 170
[27] M.
Arsyad Sanusi, 2001, E-Commerce: Hukum dan Solusinya, PT. Mizan Grafika
Sarana, (selanjutnya disebut M. Arsyad Sanusi II), hlm. 14
[28]
Riyeke Ustadianto, 2001, Framework E-Commerce, Cet-1,
Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 139. Dalam bukunya, Riyeke Ustadiyanto
menyimpulkan bahwa “e-commerce is a part
of e-business”
[29]
Howard E. Abrams sebagaimana dikutip dari Didik M. Arief Mansur dan Elisatiris
Gultom, Loc. cit
[30] Electronic Transaction atau yang dikenal
dengan Transaksi Elektronik adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Lihat Indonesia, Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU
No. 11 Tahun 2008, LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843 (selanjutnya disebut
UU ITE), Pasal 1 angka 2
[31]
David Baum sebagaimana dikutip oleh Onno W. Purbo, 2001, Mengenal E-Commerce, Jakarta: Elexmedia Komputindo, hlm. 2
[32] M.
Fikri Salman, et. al., 2006, Bahan Ajar Hukum Dagang, Inderalaya:
Penerbit Bagian Hukum dan Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, hlm. 47
[33]
Niniek Suparni, Loc. cit
[34] Ade
Maman Suherman, 2001, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 179
[35] M.
Arsyad Sanusi II, hlm. 15
[36]
Niniek Suparni, Op. cit., hlm. 32
[37]
Lihat selengkpanya di website http://www.askapfutures.com/index.php/knowledges/bacaan-umum/45-sejarah-perdagangan-komoditi,
diakses pada hari Selasa (13/12/2011), pukul 11.12 WIB
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[40]
Menurut Ade Maman Suherman, teknologi informasi dikategorikan sebagai revolusi
industri tahap ketiga (tahun 1950-sekarang), setelah sebelumnya revoulsi
industri pertama (tahun 1760-1840) dan revolusi industri kedua (tahun
1840-1950). Pada masa revolusi industri tahap ketiga ini, semua tingkatan
masyarakat industri sangat bergantung pada kegiatan ekonomi yang berbasiskan
informasi, dimana peranan teknologi komputer memiliki peranan yang sangat
menentukan, seperti halnya semakin banyaknya praktik bisnis yang sangat
bergantung pada IT (Information Technology), khususnya komputer. Lihat
Ade Maman Suherman, 2001, Op. cit., hlm. 178
[42]
Baca Ahmad M. Ramli, 2006, Cet-2, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum
Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 1
[45] Ibid., hlm. 4
[49] Ada
perdebatan dari para ahli, apakah hukum di dunia nyata juga berlaku pada dunia
siber (cyberspace) atau tidak. Baca Sutan Remy Sjahdeini, 2001, “E-Commerce:
Tinjauan dari Perspektif Hukum”, Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 12 Tahun 2001, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum
Bisnis, hlm. 18
[50]
Baca Heru Soepraptomo, 2001, “Kejahatan Komputer dan Siber serta Antisipasi
Pangaturan dan Pencegahannya di Indonesia”, Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 12 Tahun 2001, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum
Bisnis, hlm. 1
[51]
Manfred B Steger sebagaimana yang dikutip oleh Hendra Wiratno, 2009, Analisis
mengenai Penerapan Ketentuan Pajak pada Transaksi E-Commerce, Skripsi,
Inderalaya: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, hlm. 1; Lihat juga Ida
Susanti dan Bayu Seto, 2003, Aspek Hukum
dari Perdagangan Bebas, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 3
[52]
Tonelson dalam Dita Melia, 2008, Landasan Teoritis Unsur Kesepakatan Para
Pihak dalam Perjanjian E-Commerce, Skripsi, Inderalaya: Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya, hlm. 2; Pendapat lain juga dikemukakan oleh A. Nawawi
Rambe yang memandang globalisasi sebagai suatu proses sosial, atau proses
sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di
dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kahidupan baru atau
kesatuan koeksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geogragfis, ekonomi dan
budaya masyarakat. A. Nawawi Rambe dalam Abdul Wahid dan Mohammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara: Cyber Crime,
Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 4
[53]
Menurut E. Saefullah, hubungan interaksi dalam globalisiasi yang melalui konsep
teknologi informasi tidak lagi terjadi secara fiskal, melainkan interkasi yang
terjadi secara virtual atau cyberspace (dunia maya). Lihat E.
Saefullah Wiradipradja, et. al, Cyber Law: Suatu Pengantar, Perspektif Hukum
Internasional tentang Cyberlaw, Bandung: Ellips II, hlm. 88
[54]
Alvin Toffler sebagaimana yang dikutip oleh Eshter Dwi Maghfirah, Perlindungan
Konsumen dalam E-Commerce, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, diakses dari http://www.pkditjenpdn.depdag.go.id/.../index.php?Perlindungan%20Konsumen%20Dalam%20E...- pada
hari Rabu, 21 Juli 2010, Pukul 13.56 WIB
[55]
Secara singkat, internet adalah sebuah alat penyebaran informasi secara global,
sebuah mekanisme penyebaran informasi dan sebuah media untuk berkolaborasi dan
berinteraksi antar individu dengan menggunakan komputer tanpa terhalang batas
geografis. Periksa Riyeke Ustadianto, 2001, Framework E-Commerce, Cet-1,
Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 1; Sementara itu, SP Hariningsih, mengemukakan
bahwa internet adalah media komunikasi alternatif yang dalam batas-batas
pemakaian tertentu dapat digunakan untuk menggantikan media komunikasi
tradisionil, seperti pos, telepon, dan fax. Baca SP Hariningsih, 2005, Teknologi Informasi, Jakarta: Graha
Ilmu, hlm. 125
[57] Ada
beberapa, konsep-konsep baru dalam aktivitas manusia yang berhubungan dengan
internet, di antaranya e-education, e-goverment, e-democracy, e-commerce,
dan e-business. Lihat Budi Agus
Riswandi, 2006, Hukum Cyberspace,
Yogyakarta: Gita Nagari, hlm. 19
[61]
Baca Mieke Komar Kantaatmadja et. al,
2002, Cyberlaw: Suatu Pengantar (Seri
Dasar Hukum Ekonomi), Bandung: ELIPS II, hlm. 28
[64]
Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) diterjemahkan oleh
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983, Cet-16, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm.
327
[66] Di
sebagian negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa telah
memberikan garis-garis petunjuk kepada para negara anggotanya dengan
memberlakukan sistem 3 (tiga) klik. Cara kerja sistem ini adalah: Petama,
seteleah calon pembeli melihat di layar komputer adanya penawaran dari calon
penjual (klik pertama), maka calon pembeli memberikan penerimaan terhadap
penawaran tersebut (klik kedua), dan masih diisyaratkan adanya peneguhan dan
persetujuan dari penjual ke calon pembeli perihal diterimanya penerimaan dari
calon pembeli (klik ketiga). Sistem tiga klik ini jauh lebih aman daripada
sistem dua klik yang berlaku sebelumnya. Sebab dalam sistem dua klik, penjual
dapat mengelak dengan menyatakan kepada calon pembeli bahwa ia tidak pernah
menerima “penerimaan” dari calon pembeli dan ini tentunya akan merugikan calon
pembeli. Baca Edmon Makarim, Op. cit,
hlm. 235
[75] Ade
Maman Suherman, Loc. cit
[76] M.
Arsyad Sanusi I, hlm. 151
[77] Ibid.
[78] Ibid., hlm. 152
[79]
Yahya Ahmad Zein, 2009, Kontrak Elektronik dan Penyelesaian Sengketa Bisnis
E-Commerce: Dalam Transaksi Nasional dan Internasional, Bandung: Mandar
Maju, hlm. 54
[80] M.
Arsyad Sanusi II, hlm. 20
[81] Ibid.
[82]
Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, Cet-2, Jakata: PT.
RajaGrafindo Persada, hlm. 225
[83] M.
Arsyad Sanusi I, hlm. 154
[84] Ibid.
[85] Elvira Syamsir dalam http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786497-sains-normal-dan-revolusi-sains/#ixzz1gHAasYbT.
Diakses pada hari Rabu (14/12/2011), pukul 15.33 WIB
Palembang, Oktober 2011
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment