Historia Politik Hukum Sistem Pemerintahan Daerah
Politik
Hukum di Indonesia mengalami perubahan terus menerus dari masa ke masa sesuai
dengan kehendak pemerintahan suatu negara. Politik Hukum pada masa pemerintahan
Orde Lama tentu saja berbeda dengan Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde
Baru.
Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Lama direpresentasikan oleh kehendak pemerintahan yang berkuasa saat itu, yakni untuk membawa hukum yang cenderung diarahkan pada pengawalan politik, di mana politik pada saat itu dianggap sebagai panglima. Artinya, politik dalam negara Indonesia ketika itu kedudukannya diletakkan di atas segala-galanya, melebihi ekonomi maupun hukum.
Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Lama direpresentasikan oleh kehendak pemerintahan yang berkuasa saat itu, yakni untuk membawa hukum yang cenderung diarahkan pada pengawalan politik, di mana politik pada saat itu dianggap sebagai panglima. Artinya, politik dalam negara Indonesia ketika itu kedudukannya diletakkan di atas segala-galanya, melebihi ekonomi maupun hukum.
Dengan
demikian hukum pada saat itu tidak ubahnya hanya sekadar sebagai alat pembenar
dari aktivitas politik negara. Pemerintahan Orde Baru memiliki kecenderungan
kuat ke arah Liberalisasi dan Kapitalisasi Sistem Ekonomi Indonesia. Titik
berat arah Politik Hukum yang diambil pemerintah saat itu adalah Pembangunan
Nasional. Pembangunan Nasional ini dimaknai sebagai pembentukan TRILOGI yakni
Stabilitas Nasional yang mantab, Pertumbuhan Ekonomi yang tinggi, dan
Pemerataan hasil-hasil Pembangunan. Oleh sebab itu maka konsekwensi logis dari
Trilogi Pembangunan ini adalah Kekuasaan Orde Baru yang dengan efisien dan
efektif digunakan mengendalikan kekuasaan politik di legislatif, kekuasaan
birokrasi di eksekutif, maupun kekuasaan hukum di yudikatif.
Politik
hukum mengenai pemerintahan daerah pun tidak terlepas dari kehendak pemerintah
yang berkuasa. Sejarah panjang politik hukum pemerintahan daerah tidak terlepas
dari konfigurasi politik yang berkembang pada pemerintahan yang berkuasa.
Sejarah penyelenggaraan pemerintah daerah dapat diklasifikasikan dalam beberapa
periode, sebagai berikut :
1.
Periode Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949);
2.
Pasca Kemerdekaan (1950-1959);
3.
Demokrasi Terpimpin (1959-1965);
4.
Orde Baru (1965-1998);
5.
Pasca Orde Baru atau Era Reformasi (1998-sekarang).
Problematika dan Tantangan[1]
Pada era
reformasi atau jatuhnya orde baru terjadi banyak perubahan yang fundamental
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal itu terjadi karena adanya amandemen
konstitusi Indonesia, yaitu Amandemen UUD 1945. Perubahan tersebut membawa
pengaruh yang besar pula dalam politik hukum pemerintahan daerah. Berbagai
eksperimen pun dilakukan untuk menemukan formula yang sesuai dengan Negara
kesatuan Republik Indonesia. Bahkan isu federalisme[2]
pun sempat mencuat dalam perbincangan dalam taraf nasional. Atas dasar tersebut,
maka mencuat satu pertanyaan besar. Bagaimana politik hukum pemerintahan daerah
yang dicanangkan oleh pemerintah, dalam dimensi reformasi seperti saat ini, dimana
tuntutan terhadap globalisasi tidak dapat dihindari? Oleh karena itu merumuskan
dua nilai kepentingan (global – bangsa) menjadi suatu keharusan.
Politik Hukum dan Format Otonomi Daerah
Menurut
Mahfud M.D politik hukum diartikan sebagai “legal policy” atau arah
hukum yang akan diberlakukan oleh Negara untuk mencapai tujuan Negara yang
bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan pergantian hukum lama. Sehingga
politik hukum otonomi daerah dapat diartikan sebagai “legal policy” atau
arah hukum yang akan diberlakukan Negara untuk mencapai tujuan Negara yang
bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama tentang
otonomi daerah.
Arah hukum
dalam pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama tidak terlepas dari
konsep konstitusi, yaitu UUD 1945. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa
Indonesia pada kurun waktu 1999-2002 mengalami perubahan/amandemen konstitusi.
Hal ini tentunya merubah beberapa konsep hukum tertentu tentang otonomi daerah.
Kebijakan
otonomi daerah muncul tidak hanya atas kehendak dari pemerintah pusat, tetapi
juga terbentuk dan terlaksana atas kehendak masyarakat daerah itu sendiri.
Dalam satu negara kesatuan, negara adalah tunggal dan tidak dibagi
kedaulatannya. Oleh karena itu, luas dan besarnya kekuasaan daerah otonom dalam
negara kesatuan yang terdesentralisasi, tidak akan pernah memiliki kekuasaan
dalam membentuk konstitusi sendiri yang akan berbeda dengan konstitusi negara
induknya. Hal inilah yang membedakan sistem Negara kesatuan dan Negara federal.
Dimana dalam sistem federalistik, kedaulatan diperoleh dari unit-unit politik
yang terpisah-pisah dan kemudian sepakat membentuk sebuah pemerintahan bersama.
Dilihat dari
pemahaman kesejarahan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, daerah
memberikan dukungan yang sukarela dan penuh pada pergerakan kemerdekaan
nasional. Oleh karena itu, pemerintah tidak dapat mengabaikan sejarah
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam memaknai otonomi daerah.
Kebijakan otonomi daerah merupakan pengakuan pemerintah terhadap daerah berupa
hak, identitas lokal, budaya, entitas politik, dan sumber daya ekonomi.
Pengakuan ini menjadi dasar pembagian kekuasaan dan/atau kekayaan secara
seimbang dan adil antara pusat dan daerah untuk tetap terjaganya integritas
negara kesatuan dengan baik.
Argumentasi Urgensi Otonomi Daerah
Ada tiga
argumentasi mendasar yang melandasi asumsi otonomi daerah memperkuat dimensi
kebersamaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu :
1.
Otonomi daerah merupakan kebijakan dan pilihan
strategis dalam rangka memelihara kebersamaan nasional dimana hakikat khas
daerah tetap dipertahankan dengan memberikan kewenangan yang proporsional dalam
mengurus rumah tangga daerah itu sendiri. Pemerintah pusat dalam hal ini
memberikan jaminan kewenangan tersebut dengan tetap membimbing daerah pada
koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2.
Melalui otonomi daerah pemerintah menguatkan sentra
ekonomi kepada daerah dengan memberikan kesempatan untuk mengurus dan mengelola
potensi ekonominya sendiri secara proporsional. Apabila potensi ekonomi
tersebut menyebar secara merata dan berkelanjutan, kesatuan ekonomi nasional
akan memiliki fundamental yang sangat kuat;
3.
Otonomi daerah akan mendorong pemantapan demokrasi politik
di daerah dengan landasan desentralisasi yang dijalankan secara konsisten dan
proporsional.
Politik Hukum Otonomi Daerah di Era Reformasi (Jilid I)
Pada masa
orde baru, visi dan konsep otonomi daerah lebih terfokus pada pembangunan
ekonomi nasional yang menekankan stabilitas, integrasi dan pengendalian secara
sentralistik melalui perencanaan yang terpusat. Sehingga konsep pemerintahan
daerah menjadi sentralistik dimana daerah tidak memiliki kewenangan untuk
mengurus dan mengelola urusan rumah tangganya sendiri. Pada masa orde baru, otonomi
daerah pada hakekatnya merupakan kewajiban daerah untuk ikut melancarkan
jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang
harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tangung jawab. Ketergantungan
daerah pada pemerintah pusat, yang disebabkan konsep tersebut diatas, membuat
daerah menjadi tidak kreatif dalam menghadapi permasalahan yang timbul akibat
krisis moneter tahun 1998. Untuk itu terjadi perubahan paradigma dalam UU
Pemerintahan Daerah dari paradigma pembangunan ke paradigma pelayanan dan
pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik .
Pemerintah
yang berkuasa pasca jatuhnya orde baru membentuk UU Pemerintah Daerah dengan
visi dan konsep yang berbeda dengan pemerintah orde baru, yaitu dengan
disahkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Ryass Rasyid,
ada 3 (tiga) hal yang menjadi visi dalam UU No 22 Tahun 1999 tersebut, yaitu:
1. Membebaskan pemerintah pusat dari beban mengurus
soal-soal domestik dan menyerahkannya kepada pemerintah lokal agar pemerintah
lokal secara bertahap mampu memberdayakan dirinya untuk mengurus urusan
domestiknya.
2. Pemerintah pusat bisa berkonsentrasi dalam masalah makro
nasional.
3. Daerah bisa lebih berdaya dan kreatif
Visi
tersebut kemudian dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama
sebagai berikut :
1. Di Bidang Politik. DIkarenakan otonomi merupakan buah
dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka harus dibuka kemungkinan
adanya peluang untuk lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokratis,
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat
luas, terpeliharanya mekanisme pengambilan keputusan yang bertanggung jawab,
adanya transparansi kebijakan, pembangunan struktur pemerintahan yang sesuia
dengan kebutuhan daerah, pembangunan sistem dan pola karier politik dan
administrasi yang kompetitif, serta pengembangan sistem manajemen pemerintahan
yang efektif.
2. Di Bidang Ekonomi. Untuk menjamin kelancaran
pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah sekaligus memberi kesempatan
bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan regional dan local untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah.
3.
Di Bidang Sosial dan Budaya. Untuk membangun
harmoni sosial sekaligus memelihara nilai-nilai local yang dipandang bersifat
kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di
sekitarnya.
Dalam
Penjelasan UU No. 22 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan
prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah, yaitu:
1.
Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan
memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keaneka
ragaman Daerah;
2.
Pelaksanaan otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas,
nyata, dan bertanggungjawab;
3.
Pelaksanaan otonomi Daerah yang luas dan utuh
diletakkan pada Daerah Kabupaten dan daerah Kota, sedang daerah Provinsi merupakan
otonomi yang terbatas;
4.
Pelaksanaan otonomi Daerah harus sesuai dengan
konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan
Daerah serta Antar Daerah;
5.
Pelaksanaan otonomi Daerah harus lebih meningkatkan
kemandirian Daerah Otonomi, dan karenanya dalam Daereh Kabupaten dan Daerah
Kota tidak lagi ada Wilayah Administrasi. Demikian pula dikawasan-kawasan yang
khusus yang dibina oleh Pemerintah (Pusat) atau pihak lain, seperti badan
otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan
perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan, baru
kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonomi;
6.
Pelaksanaan Otonomi daerah harus lebih meningkatkan
peran dan fungsi badan legisfatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif,
fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah;
7.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah
Provinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah (Pusat);
8.
Pelaksanaan asas tugas pembantuan (medebewing, peny)
dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah (Pusat) kepada Daerah, tetapi juga
dari Pemerintah (Pusat) kepada Desa, yang disertai dengan pembiayaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertangungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Politik Hukum Otonomi Daerah di Era Reformasi (Jilid II)
Pada
prakteknya, UU No.22 Tahun 1999 mengalami berbagai permasalahan, diantaranya
kekuasaan legislatif yang semakin kuat (legislative heavy). Hal ini
sangat bertolak belakang dengan pelaksanaan yang terjadi pada masa orde baru,
dimana pada masa itu kekuasaan eksekutif yang sangat kuat (eksekutive heavy).
Posisi DPRD dikatakan kuat karena lembaga ini memiliki kewenangan yang sangat
besar dan kuat. DPRD berwenang memilih kepala daerah, mengawasi, meminta
laporan pertanggung jawaban, bahkan dapat menjatuhkan/menurunkan jabatan kepala
daerah. Dengan posisi dan kewenangan tersebut, praktek KKN di lembaga DPRD
semakin subur melalui politik uang dalam bentuk pembelian suara anggota-anggota
DPRD, pemerasan terhadap kepala daerah dengan menjadikan laporan pertanggung
jawaban tahunan sebagai alatnya, serta adanya kolusi antara Pemda dan angota
DPRD dalam penanganan proyek-proyek.
Pada tahun
2000, terjadi perubahan/amandemen UUD 1945 termasuk perubahan Pasal 18 yang
menjadi dasar pelaksanaan pemerintahan di daerah. Perubahan tersebut menghendaki
pengaturan tentang pemerintahan daerah yang berbeda dengan pengaturan dalam UU
No 22 Tahun 1999. Sehingga perubahan yang terjadi dalam Pasal 18 UUD 1945
tersebut mengakibatkan adanya keharusan penggantian hukum lama dengan hukum
baru, yang kemudian terbentuklah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Adapun isi perubahan UUD 1945 yang dituangkan dalam ketentuan-ketentuan
dalam UU No. 32 tahun 2004 adalah sebagai berikut :
1.
Prinsip Otonomi, Pembagian Urusan, dan Hubungan Hierarkis
Prinsip otonomi dalam UU No. 32
tahun 2004 tidak mengalami banyak perubahan, yaitu prinsip otonomi
seluas-luasnya dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang
ditetapkan dalam UU. Adapun urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
adalah urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal nasional, dan agama . Selain itu, dalam UU No.32 Tahun 2004 diatur
kembali hubungan hierarkis antara pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota walaupun tidak secara eksplisit disebutkan secara tegas.
2.
Pemilihan Kepala Daerah
UU No.32 tahun 2004 menganut sistem
pemilihan langsung yang memberi kesempatan luas kepada masyarakat didaerah
untuk memilih sendiri Kepala Daerah dan Wakilnya. Hal ini sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Amandemen yang
menyatakan bahwa: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala
daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”.
3.
Pertanggungjawaban Kepala Daerah
UU No 32 Tahun 2004 menggariskan
bahwa Pemerintah Daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD, karena hubungan
Pemerintah Daerah dan DPRD adalah hubungan kemitraan. Berdasarkan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 120/1306/SJ tanggal 7 Juli 2005, Pemerintah Daerah
hanya menyampaikan informasi yang bersifat laporan kepada DPRD, yaitu berupa
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) tentang pelaksanaan tugasnya dalam
satu tahun terakhir atau laporan tentang akhir masa jabatan. Terhadap laporan
tersebut DPRD tidak dapat menolak atau menerima LKPj tersebut, sehingga DPRD
tidak dapat menjatuhkan Kepala Daerah .
Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah
dilakukan kepada Pemerintah Pusat. Dalam hal ini, Gubernur menyampaikan Laporan
Pertanggungjawaban Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri, sedangkan Bupati/Walilkota menyampaikan Laporan
Pertanggungjawaban Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Gubernur .
4.
Sistem Pengawasan
Ketentuan tentang pengawasan, yang
diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, diseimbangkan dengan pembinaan melalui
pengawasan yang berupa penilaian atas produk-produk daerah dengan cara dan
sampai waktu tertentu. Pembinaan pemerintah pusat terhadap daerah tidak
dimaksudkan untuk mengurangi atau bahkan merintangi pelaksanaan otonomi daerah.
Namun pembinaan tersebut ditujukan agar tidak terjadinya disintegrasi nasional
dan disharmonisasi hukum nasional.
5.
Keuangan Daerah
Ketentuan mengenai sumber keuangan
daerah diatur dalam pasal 157 UU No.32 Tahun 2004, yaitu terdiri atas
pendapatan asli daerah (PAD) dan dana perimbangan serta pendapatan lain yang
sah. Sedangkan pendapatan asli daerah terdiri atas hasil pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipusatkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Selain itu daerah dapat melakukan
pinjaman luar negeri melalui pemerintah pusat.
6.
Kepegawaian Daerah
Pasal 129 UU No. 32 Tahun 2004
menyebutkan bahwa pemerintah (pusat) melaksanakan pembinaan manajemen pegawai
negeri sipil di daerah dalam satu penyelenggaraan manajemen pegawai sipil
secara nasional. Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pada Jabatan Eselon
II pada pemerintah provinsi ditetapkan oleh Gubernur, sedangkan Pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian pada jabatan eselon II pada pemerintah
kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi kepada
Gubernur .
7.
Pemberhentian Kepala Daerah
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 peluang
DPRD untuk memberhentikan Kepala Daerah di dalam masa jabatannya agak
dipersulit. DPRD hanya dapat mengajukan pendapat mengenai alasan pemberhentian
Kepala Daerah karena melanggar sumpah/janji dan tidak melaksanakan kewajibannya
kepada Mahkamah Agung, yang kemudian dari putusan Mahkamah Agung tersebut
diusulkan kepada Presiden. Pendapat DPRD yang akan diajukan kepada MA tersebut
harus melalui mekanisme rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya
tiga perempat dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir. Pemberhentian
Kepala Daerah hanya dapat dilakukan oleh Presiden tanpa atau dengan adanya
usulan DPRD.
Politik Hukum Otonomi Daerah di Era Reformasi (Jilid III)
Pembenahan
sektor otonomi daerah terus dilakukan. Merasa UU No. 32 Tahun 2004 belum dapat
memuaskan aspirasi rakyat di daerah, maka pemerintah bersama DPR sedang
merumuskan format paket rancangan UU Pemerintahan Daerah yang baru. Kelak, UU
No. 32 Tahun 2004 tersebut akan dipecah menjadi 3 (tiga) undang-undang baru,
yaitu: (i) UU tentang Pemerintah Daerah, (ii) UU tentang Pemilihan Kepala
Daerah, dan (iii) UU tentang Desa.
Argumentasi
muculnya isu ini adalah karena ada gejolak politik dari masyarakat bawah yang
menghendaki agar pelaksanaan otonomi daerah tidak bersifat “dualisme” lagi.
Selain itu juga pemilihan kepala daerah secara langsung seperti saat ini,
dirasa sia-sia. Karena pemilihan secara demokratis hanya akan membuat
masyarakat menjadi bodoh. Masyarakat Indonesia yang cenderung masih berada di
bawah garis kemiskinan, ternyata belum siap untuk berkontribusi langsung dalam
pemilihan kepala daerah. Oleh karenanya, pengembalian sistem pemilihan kepada DPRD menjadi wacana hangat saat ini.
Selain itu juga, usulan lain
yang tertuang dalam RUU Pemilihan Kepala Daerah tersebut adalah peniadaan wakil
bagi gubernur, bupati, dan walikota. Alasannya adalah karena UUD 1945 hanya
menyebut gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis, tanpa
menyebut wakilnya. Namun, terhadap usulan ini sebagian anggota DPR belum bersepakat
menyetujuinya karena menganggap posisi wakil adalah bagian dari representasi
kemajemukan masyarakat di daerah. Argumentasinya adalah dimana paket gubernur
dan wakilnya, atau bupati atau walikota dan wakilnya merupakan bagian dari
akomodasi kemajemukan politik, golongan, atau kelompok dalam masyarakat.
Peniadaan wakil kepada daerah tentu sedikit banyak dapat mengurani representasi
kemajemukan itu sendiri. Sehingga dapat menciderai sisi demokrasi dan aspirasi
dari masyarakat.
Kemudian, ada isu yang cukup
menyita perhatian, yaitu adanya aspirasi dari warga desa di setiap daerah agar
sesegera mungkin diundangkannya UU tentang Desa. Dimana dalam undang-undang
tersebut diamanatkan bahwa ada persentase dana yang dialokasikan dari APBN
untuk kemakmuran desa. Setidaknya ada 6 (enam) isu hangat yang dibahas dalam
rancangan UU tentang Desa ini, yaitu perihal kedudukan desa, penataan desa,
kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, keuangan desa, serta
pembangunan desa dan kawasan pedesaan.
Oleh karena itu, bila selama ini desa hanya dipandang sebagai struktur kecil
dari sistem pemerintahan di republik ini dan cenderung diabaikan oleh
pemerintah pusat, maka kini mulai menuntut haknya.
Dinamika
yang terjadi semacam ini, tentua akan menciptkan konsep otonomi daerah yang
ideal. Mengingat demografi Indonesia yang tidak memungkinkan untuk celah
sentralisasi, maka otonomi daerah secara penuh menjadi solusi yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi.
Konklusi
Penyelenggaraan
pemerintahan di daerah mengalami berbagai eksperimen sistem. Hal tersebut dapat
terlihat dari perubahan yang terjadi sepanjang sejarah UU tentang pemerintah
daerah. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak terlepas dari konfigurasi
politik yang berkuasa atau berpengaruh pada masa berlakunya UU tentang
Pemerintahan Daerah tersebut.
Politik hukum otonomi daerah pada era reformasi ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah yang kemudian dirubah dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kedua UU tersebut pada dasarnya merupakan perubahan paradigma pembangunan nasional yang dikonsep oleh orde baru menjadi paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik. Pemerintah pusat memberikan kewenangan tertentu kepada daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri dalam konsep Negara kesatuan Republik Indonesia. Asas penyelenggaraan pemerintah di daerah tidak lagi sentralistik melainkan desentralisasi.
Politik hukum otonomi daerah pada era reformasi ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah yang kemudian dirubah dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kedua UU tersebut pada dasarnya merupakan perubahan paradigma pembangunan nasional yang dikonsep oleh orde baru menjadi paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik. Pemerintah pusat memberikan kewenangan tertentu kepada daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri dalam konsep Negara kesatuan Republik Indonesia. Asas penyelenggaraan pemerintah di daerah tidak lagi sentralistik melainkan desentralisasi.
BAHAN BACAAN
M.D, Moh.
Mahfud. 2006. Membangun Politik Hukum: Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Pustraka
LP3ES Indonesia.
Syaukani.
H.R, Afan Gaffar, dan M. Ryaas Rasyid. 2003. Otonomi Daerah Dalam Negara
Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sabarno,
Hari. 2008. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta: Sinar Grafika.
Soemanto, R.B. Tantangan Pelaksanaan Otonomi Daerah:
Perspektif Hukum dan Perubahan Sosial. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Sosiologi Hukum Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (Surakarta),
Disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret, Pada 29 Desember 2007
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
[1]
Lihat Prof. Dr. R.B. Soemanto, M.A., Tantangan
Pelaksanaan Otonomi Daerah: Perspektif Hukum dan Perubahan Sosial, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Hukum Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret (Surakarta),
Disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret, Pada 29 Desember 2007.
Dalam orasi nya tersebut, Soemanto mengemukakan bahwa setidaknya ada 5 (lima)
tantangan besar dalam mewujudkan otonomi daerah secara komprehensif (perspektif
hukum dan perubahan sosial), yaitu: (1) perubahan yang
berlangsung sepanjang waktu mempengaruhi individu dan masyarakat, (2) perubahan
atas kesadaran manusia tentang satu hal merupakan akibat dari perubahan atas
imbalan dan hukuman, (3) tingkat perubahan individu disebabkan oleh lingkungan
dekatnya dan kesungguhan memahami diri sendiri (4) perubahan kepentingan
individu berhubungan dengan perubahan
struktur, pengalaman hidup individu dan masyarakat (5) perubahan sosial dalam
pelaksanaan otonomi daerah menjadi keadaan yang tidak bisa dihindari dan selalu
memberikan tantangan. Dan apakah arah, kecepatan dan hasil yang dicapai oleh
proses perubahan memberi manfaat bagi meningkatnya kesejahteraan
masyarakat atau tidak?
[2] Prof. Amzulian
Rifai, SH., LL.M., Ph.D, seorang begawan hukum dari Universitas Sriwijaya,
pernah menawarkan gagasan menarik bahwa pada dasarnya sistem pemerintahan yang
paling cocok dengan demografi Indonesia saat ini adalah “Federasi Provinsi”,
dan bukanlah Otonomi Daerah yang setengah-setengan seperti sekarang.
Menurutnya, sebagai negara yang besar dan dihadapkan atas tantangan yang
kompleks, maka konsep otonomi daerah yang secara struktural masih
disentralisasikan ke pusat, malah akan membuat dualisme pemerintahan yang tidak
jelas. Sejauh ini, otonomi daerah tidak memberikan solusi yang memuaskan bagi
masyarakat di daerah (adat). Otonomi daerah sejatinya tidak diberikan kepada
kabupatendan/atau kota, melainkan diberikan secara penuh kepada provinsi. Maka
tawaran “Federasi Provinsi” ini, menghendaki agar suatu provinsi memiliki
“kedaulatan” yang sama dengan negara dalam mengelola pemerintahannya akan lebih
efesien dan efektif. Tentunya dengan tidak menimbulkan gerakan separatis di
kemudian hari.
Palembang, September 2011
M. Alvi Syahrin
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment