Herbert Lionel Adolphus Hart (18 July 1907 – 19 December 1992) was an influential legal philosopher of the 20th century. He was Professor of Jurisprudence at Oxford University and the Principal of Brasenose College, Oxford. His most famous work is The Concept of Law (1961).
H. L. A. Hart dalam bukunya yang berjudul The Concept of Law dan Law, Liberty, dan Morality telah menjelaskan bahwa ada kaitan yang erat antara konsep hukum dan moralitas dan otoritas aparat. Bahkan terhadap hal ini, Lord Acton juga pernah menegmukakan bahwa "Absolutely Power tends to Absolutely Corrupt".
Oleh karenanya, dapat dimaknai bahwa hukum tidak dapat dilihat sebagai
makna tunggal. Hukum bukan berdiri pada wilayah yang otonom, sehingga
untuk menghasilkan hukum yang baik tentunya sangat berpengaruh atas
nilai dan konsep lain.
Dialektika Otoritas Hukum dan Moralitas
Perdebatan antara otoritas legal (wewenang hukum)
terhadap eksistensi moralitas sampai saat ini masih menjadi diskusi yang
menarik. Bagi sebagian kalangan, klaim terhadap otoritas legal tentulah harus
dikedepankan dengan rasionalitas yang otonom. Otoritas legal lah yang kemudian
akan membuat instrumen hukum menjadi lebih berwibawa. Tentu yang menjadi soal,
wibawa hukum juga harus dijewantahkan dalam rumusan norma yang aplikatif dan
responsif. Terhadap otoritas legal yang sah sekalipun, apabila tidak diikuti
oleh moralitas aparat yang baik, akan menciderai wibawa hukum itu sendiri.
Bagi negara-negara berkembang, konsep pembangunan
haruslah didasarkan atas periodik top to bottom. Oleh karenanya, untuk
menunjang hal tersebut dibutuhkan instrumen hukum yang tidak hanya sekedar
menjamin keadilan, tapi juga kepastian hukum. Bahkan lebih dari itu, kalau
memang diperlukan, hukum jugalah yang harus merekayasa sosial masyarakat. Hukum
diproyeksikan sebagai peranti sosial agar setiap anggota masyarakat untuk
tunduk kepada norma hukum dalam kondisi apapun. Tidak ada kesempatan bagi masyarakat
untuk melakukan komplain terhadap hukum. Hukum dalam hal ini sangat dipengaruhi
oleh otoritas pemerintah yang berkuasa. Tanpa adanya otoritas, tentulah misi
hukum sebagai peranti rekayasa sosial tidak akan tercapai.
Ada kesalahan terhadap tafsir makna “negara hukum (rechtstaat)”
yang kita pahami selama ini. Kalau terminologi negara hukum yang dipakai, maka
semua aktivitas suatu negara haruslah berpedoman terhadap hukum. Negara yang
kemudian mengabdi kepada hukum. Lalu, bagaimana ketika hukum tersebut dirumuskan
oleh pemegang kekuasaan yang koruptif dan oportunis? Maka output yang didapat
dari proses hukum pun akan tidak jauh berbeda. Apabila hukum yang diutamakan
tanpa melihat proses pembentukannya, maka konsep yang demikian tidak akan jauh
berbeda dengan paradgima negara kekuasaan (machtstaat). Jadi pada
dasarnya, negara hukum itu tidak lain merupakan penghalusan makna dari negara
kekuasaan.
Urgensi Moralitas terhadap Otoritas Hukum
Aparat hukum merupakan instrumen yang mengarahkan
bagaimana hukum itu dijalankan. Aparat hukum memiliki peran yang strategis.
Suatu kondisi dimana dapat dikatakan harmonis, apabila ada sinergitas antara
konsep hukum yang ideal dan aparat hukum yang kredibel. Akan menjadi soal
apabila aparat hukum hanya dididik secara formalitas semata. Tidak ada nuansa
moralitas bahkan spritualitas yang diajarkan pada kurikulum pendidikan
hukumnya. Oleh karenanya, jangan mengharapkan lebih terhadap penegakan hukum
yang responsif.
Dewasa ini, Indonesia mengalami dialektika kronis, apakah
tetap menjunjung tinggi nilai kepastian hukum ataukah keadilan hukum. apabila
kepastian hukum yang ingin dicapai, maka otoritas hukum haruslah yang
diutamakan. Lain halnya apabila, keadilan hukum yang ingin dikehendaki.
Tentulah harus ada infiltrasi nilai moralitas terhadap norma hukum dan aparat
hukumnya. Hal ini tidak dapat dipisahkan begitu saja, karena ketiganya
merupakan konsep yang integratif.
Bagi negara-negara yang menjunjung tinggi nilai keadilan
hukum, moralitas sangatlah diutamakan. Tidak ada klaim otoritas penguasa
disana. Semuanya didasarkan atas keadilan moralitas masyarakat. menjadi suatu
masalah besar apabila, moralitas tersebut tidak diintegrasikan dalam konsep
pembangunan hukum. bahkan dialektika keduanya pun sudah mulai mengakar sejak
awal abad ke-19. Memang terkesan sulit untuk menyatukan antara otoritas hukum
dan moralitas hukum. namun, tidak menjadi sulit apabila ada keinginan politik
yang kuat (political will) untuk menyatukan hal tersebut.
Lebih lanjut, ada kecenderungan logis bahwa otoritas
hukum yang tidak dibatasi oleh moralitas akan menurunkan tingkat responsibiltas
hukumnya. Begitu juga sebaliknya. Sebagai misal, terhadap aparat hukum yang
diberi otoritas penuh dalam proses penegakan hukum, bila tidak diiringi oleh
moralitas hukum yang baik pula, maka tendensi untuk melakukan penyimpangan
hukum semakin besar. Maka contoh konkritnya ialah banyak ditangkapnya aparat
hukum seperti jaksa, polisi, bahkan hakim pun yang terlibat dalam tindak pidana
korupsi. Ini setidaknya diakibatkan oleh sikap otoritas yang tidak diikuti oleh
moralitas yang mumpuni.
Oleh karenanya, menjadi sangat krusial apabila dialektika
ini semakin menjurus kepada inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.
Integritas di antara keduanya menjadi urgensi tersendiri bagi perumus norma
hukum di Republik ini. Jangan ada lagi separasi yang membuat jarak antara
otoritas dan moralitas semakin besar. Keduanya harus menjadi satu bagian yang
tersistematis dalam menciptakan hukum yang harmonis dan responsif demi
kemaslahatan umat manusia.
Palembang, Mei 2012
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment