BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam konteks negara hukum, lembaga yudikatif merupakan salah satu
cabang kekuasan (kehakiman)[1]
yang berdiri tegak tanpa adanya intervensi dari pihak manapun (baik itu
eksekutif dan legislatif).[2]
Namun, dalam praktiknya, pengadilan kini tidak hanya menjadi
lembaga hukum yang berasal dan bermuara kepada hukum, melainkan juga
dikelilingi oleh anasir-anasir non-hukum yang harus diakui bersama merupakan
tuntutuan dalam perubahan sistem reformasi untuk menciptakan putusan yang
bermartabat.[3]
Sebagai sarana yang banyak dipakai oleh warga negara dalam mencapai
keadilan, pengadilan yang merupakan lembaga hukum (non-politik) tentunya
diharapkan dapat menjadi lembaga yang dapat memuaskan keinginan dan kehendak
dari warga pencari keadilan.
Dengan semakin meningkatnya problematika dan hasrat manusia dalam
mencari keadilan, maka tidak dapat dipungkiri lagi akan berdampak pada
meningkatnya volume perkara yang masuk ke pengadilan[4].
Perkara ini tidak hanya meliputi perkara pidana misalnya, tetapi juga perdata,
tata usaha negara, dan juga militer. Dengan beragamnya jenis perkara ini, maka
pengadilan selalu dituntut untuk selalu berada dalam kondisi prima, tidak hanya
dalam sisi aparatur (pejabat pengadilan) nya, fasilitasnya, tapi juga
sistemnya.
Penumpukan perkara di Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA), yang
merupakan tingkatan tertinggi dalam hierarkis penanganan hukum di republik ini,
menjadi suatu realitas hukum yang tidak dapat dibantahkan lagi. Dimana antara
komparitas perkara, aparat, dan fasilitas kian tidak seimbang. Data terakhir
yang dilansir oleh MA, kian menasbihkan bahwa perbandingan tersebut menjadi
sangat tajam.[5]
Jenis Perkara
|
Jumlah
Perkara
|
Persentase
|
Perdata umum
|
7.915
|
35,47 %
|
Perdata
khusus
|
1.655
|
7,42 %
|
Pidana umum
|
3.965
|
17,77 %
|
Pidana Khusus
|
5.025
|
22,52 %
|
Peradilan
Agama
|
982
|
4,04 %
|
Tata Usaha
Negara
|
2.475
|
11,11 %
|
Militer
|
373
|
1,67 %
|
Sumber: MA RI
Angka-angka
tersebut tentunya akan terus meruncing, ketika basis permasalahan tidak diatasi.
Memang masih banyak yang perlu dibenahi. Tidak hanya jumlah aparat yang perlu
diperhatikan, tetapi juga kualitas aparat juga perlu dikritisi dan diperbaiki
ke depannya.
Sistem peradilan di Indonesia yang buruk dan cenderung mengalami
kemunduran dari masa ke masa, harus segera menjadi perhatian serius para
pemangku jabatan di republik ini (d.h.i
penumpukan perkara yang overload). Karena salah satu terbentuknya esensi
negara hukum yang berdaulat adalah tercipatanya lembaga peradilan yang sehat,
kredibel, berkualitas, dan independen. Hal ini tidak akan pernah tercapai apabila
tidak adanya kerja sama politik (d.h.i politik hukum) yang memadai dari para
elit politik itu sendiri (d.h.i eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Penumpukan perkara di MA saat ini cukup mengkhawatirkan. Tentunya
hal ini akan berimpilkasi pada kualitas putusan hakim yang menjadi mahkota
keadilan dalam penegakan hukum itu sendiri. Jimly Asshidiqie yang merupakan
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menuturkan bahwa peradilan indonesia saat ini
kebanjiran perkara.[6]
Di pengadilan tingkat pertama ada sekitar tiga juta perkara yang masih dalam
proses persidangan. Belum lagi ditambah kebiasaan pengadilan-pengadilan tingkat
pertama yang menganggap enteng dengan membuat putusan yang tidak berkualitas,
dengan harapan agar pengadilan diatasnya (pengadilan tinggi dan MA) yang
menyelesaikannya. Ini tentunya logika hukum yang dangkal dan tidak berwibawa. Cara
ini tidak lebih sebagai pengalihan kewenangan yang abnormal. Alhasil,
penumpukan perkara sudah menjadi hal lumrah yang terjadi di dunia peradilan
kita.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka penulis beranggapan bahwa
kenyataan dan realitas politik hukum[7]
sangatlah diperlukan guna menciptakan lembaga peradilan yang berkualias dengan
metode reduktisasi penumpukan perkara (khususnya di tingkat MA). Sebagai suatu
sistem yang terintegrasi, lembaga peradilan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Oleh karenanya butuh suatu keinginan politik (political will) yang
kuat guna menyelesaikan problematika tersebut. Politk hukum tersebut tidak
hanya datang dari pejabat yudikatif, tetapi juga eksekutif dan legislatif, yang
tentunya harus ada kesamaan visi dan misi dalam menciptakan dunia peradilan
yang diidamkan.
B.
Rumusan Masalah
Beradasarkan uraian diatas, maka penulis mengangkat satu
permasalahan krusial yang akan menjadi topik utama (main topic) dalam
makalah ini, yakni: bagaimana politik hukum yang diformulasikan oleh MA demi
menciptakan dunia peradilan yang berkualitas, dengan cara mengurangi penumpukan
perkara di MA?
BAB II
PEMBAHASAN
Sebagai salah satu pilar penting negara, MA diletakkan pada posisi
yang paling utama dalam sistem kekuasaan kehakiman. Oleh karenanya secara tidak
langsung (ex officio), MA juga memiliki kebijakan strategis baik itu
dalam konteks hukum ataupun politik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan
kekuasaan kehakiman itu sendiri.[8]
Hal ini karena politik hukum bukan hanya didominasi oleh kalangan eksekutif
ataupun legislatif (walaupun ketiganya harus berjalan beriringan), tetapi juga
yudikatif.
Dalam konteks reduktisasi pembebanan perkara, politik hukum yang
dikeluarkan oleh MA cenderung minim, malah terkesan tidak ada. Penulis kurang
mengetahui, apakah kebijakan tersebut tidak dikeluarkan sama sekali, ataukah
memang kebijakan tersebut kurang populis, sehingga pada level implementasinya
sangat jauh dari harapan. Memang ada beberapa upaya yang telah dilakukan oleh MA
untuk menanggulangi membengkaknya masuknya perkara. Namun, dengan semakin
banyaknya upaya, maka semakin tinggi pula volume perkara yang masuk. Apakah ini
didasari atas problem internal ataukah eksternal sehingga kebijakan politik
hukum tersebut terkesan kurang efektif.
Dalam tulisan ini, setidaknya akan dikemukakan 2 (dua) bentuk
politik hukum yang dikeluarkan oleh MA terkait dengan reduktisasi beban perkara
yang semakin membengkak. Penulis menyadari bahwa ada banyak kebijakan dan
alternatif yang telah dikeluarkan oleh MA, namun dalam kesempatan ini, penulis
hanya membeberkan 2 (dua) format, yang penulis anggap kebijakan politik hukum
ini cukup representatif dalam mengatasi permasalahan yang telah dikemukakan.
Kedua format tersebut adalah:
Dengan adanya
pembeludakkan beban perkara yang cukup signifikan, maka menjadi tantangan
serius bagi MA sebagai lembaga peradilan tertinggi di republik ini. Betapa tidak,
ditengah menurunnya pusaran arus ketidakpercayaan publik terhadap penjaga
terakhir benteng keadilan ini, serta inkonsistensi martabat hakim, dan semakin
merosotnya kualitas putusan hakim, maka sudah seharusnya apabila MA segera
berbenah. Maka pada tahun ini, MA mulai menerapkan sistem kamar dalam
penanganan perkara di tingkat kasasi.
Sistem kamar (chamber
system)[10]
merupakan sistem pengelompokkan hakim berdasarkan kompetensi dan latar belakang
pendidikannya masing-masing. Dengan sistem tersebut, hakim dengan keahlian yang
sama dijadikan satu kelompok dan hanya menangani perkara yang menjadi keahliannya.[11]
Dalam buku
Laporan Tahunan MA 2010 disebutkan bahwa MA ingin menjadikan penerapan sistem
kamar di lembaganya sebagai prioritas program pada tahun 2011. Dalam buletin
Komisi Yudisial Vol. V No. 5 (April – Mei 2011) disebutkan bahwa MA saat ini tengah
menyiapkan pemberlakuan sistem kamar yang rencananya akan dimulai pada
pertengan tahun 2011 ini. Dimana Hakim Agung Atja Sondjaja menjadi Ketua Tim
Sistem Kamar, dibantu oleh Hakim Agung Takdir Ismail.
Menurut Ketua MA, Harifin A. Tumpa menjelaskan tujuan penerapan sistem kamar adalah untuk:
Menurut Ketua MA, Harifin A. Tumpa menjelaskan tujuan penerapan sistem kamar adalah untuk:
a.
Mengembangkan
keahlian hakim di dalam memeriksa dan memutus perkara, karena hakim hanya
memutus perkara yang sesuai dengan kompetensinya.
b.
Meningkatkan
produktivitas pemeriksaan perkara, dimana hakim hanya akan memutus perkara yang
sejenis menurut keahlian secara terus menerus, yang pada akhirnya tercipta
suatu standarisasi.
c.
Memudahkan
pengawasan putusan dalam rangka menjaga kesatuan hukum, karena sudah
terstandarisasi dalam kamar. Hal ini tentu akan membawa dampak dalam jangka
waktu panjang tentang terpeliharanya kesatuan dan kepastian hukum.
Penerapan
sistem kamar bertujuan antara lain dalam hal proses pemeriksaan dan memutus
perkara menjadi lebih terfokus dan tertata. Hal ini akan mendorong konsistensi
putusan (d.k.l mencegah terjadinya disparitas putusan), serta meningkatkan
kualitas pertimbangan hukum.
Konsistensi
putusan tersebut akan memunculkan sebuah kesatuan hukum (law unification)
di lingkungan peradilan, sehingga bisa mengurangi disparitas dalam putusan. Produktivitas
juga diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan pelaksanaan sistem
kamar ini.
Sistem kamar
juga akan memudahkan MA untuk mengawasi putusan hakim. Pasalnya, di setiap
kamar, perkara tidak lantas kemudian diputuskan oleh seluruh anggota kamar.
Perkara tetap ditangani oleh majelis yang terdiri dari tiga, atau lima hakim
agung.
Namun, untuk
menjaga konsistensi pertimbangan hukum, tiap majelis dapat memaparkan
pertimbangan hukum yang diambil dalam sebuah perkara di dalam rapat kamar.
Masing-masing kamar dapat menyelenggarakan rapat secara terpisah. Situasi ini
juga berlaku di Mahkamah Agung Belanda di mana ada rapat kamar yang
diselenggarakan setiap minggu.
Berdasarkan
cetak biru (blue-print) MA tahun 2010-2035, MA menargetkan penerapan sistem
kamar ini dapat berjalan penuh dan efektif pada tahun 2014. Di mana antara masa
2011 hingga 2014 merupakan masa transisi menuju sistem kamar. Dalam masa
inilah, semua hal termasuk dukungan dari peraturan perundang-undangan baik itu
bersifat internal ataupun eksernal perlu dipersiapkan secara matang.
Namun, seperti
yang sudah-sudah, tentunya kebijakan politik hukum MA ini tidak dapat berjalan
dengan mulus. Banyak kendala-kendala yang harus dihadapi. Sebagai misal, jumlah
hakim agung yang ada saat ini belumlah cukup representatif untuk menjadi sub
bagian dari sistem kamar ini.[12]
Kebutuhan hakim agung yang diperlukan masih jauh dari harapan. Karena apabila
kita sudah komitmen untuk menerapkan sistem kamar, berarti kita juga harus siap
dengan segala kebutuhan yang dibutuhkan dan konsekuensi realitas yang dihadapi.
Pada tahun 2010
misalnya, MA menerima perkara sebanyak 13.480 perkara.[13]
MA menerima permohonan kasasi atau peninjauan kembali terbanyak pada jenis
perkara perdata (umum) dan pidana (khusus). Melihat banyaknya perkara yang
datang ke MA, maka tak ada pilihan lain kecuali dengan membatasi aliran
perkara. Pembatasan perkara melalui sistem kamar akan menjadi percuma dan
sia-sia, apabila rencana pembatasan kasasi tidak dilaksanakan.[14]
Namun, terlepas
dari hal itu, tentunya perombakan sistem yang ada saat ini menuju sistem kamar
masih sangat diharapkan. Prof. Dr. Laica Marzuki, yang merupakan mantan hakim
agung serta ahli hukum tata negara, menuturkan bahwa dengan adanya sistem kamar
ini, maka hakim agung akan lebih fokus dalam menjalankan tugasnya. Mereka akan
lebih mampu mengasah kemampuan dalam memeriksa perkara yang ditanganinya.
Semakin lama mereka berkutat pada satu bidang, maka dalam periode tertentu
mereka akan menjadi ahli dalam bidang tersebut.
Oleh karenanya,
terlepas dari pro dan kontra penerapan sistem kamar ini, setidaknya kita perlu
mengapresiasi terobosan progresif yang dibalut dalam kerangka kebijakan politik
hukum MA ini, sehingga penumbukan volume perkara menjadi semakin berkurang. Dan
pada akhirnya, sistem peradilan ideal yang kita harapkan selama ini, dapat
terwujud dan terlaksana.
2.
Maksimalitas
Peran Mediasi (Perdamaian) dalam sebagai subsistem Peradilan di Indonesia
Sama halnya
dengan penerapan sistem kamar pada tingkat kasasi, salah satu instrumen penting
guna mengurangi beban perkara di Mahkamah Agung adalah dengan memaksimalkan
lembaga mediasi (baik itu dalam jalur litigasi ataupunnon-litigasi) yang sudah
ada. Pada dasarnya, lembaga mediasi bukanlah hal baru dalam sistem penegakan
hukum di Indonesia. Keberadaannya sama tua dengan usia hukum di negeri ini.
Namun, kenyataannya perangkat hukum ini tidak lebih sebagai aksesoris hukum
belaka. Wujudnya ada tapi tidak bernyawa.
Dalam
sejarahnya, upaya mewujudkan keadilan atau penyelesaian perkara perdata melalui
cara-cara mufakat para pihak (d.h.i mediasi) bukanlah suatu tradisi asing bagi
bangsa Indonesia. Hali ini terbukti dengan adanya HIR dan RBg (secara eksplisit
diatur dalam Pasal 130 HIR dan 154 RBg) yang dibuat oleh Pemerintah Belanda dan
berlaku bagi kelompok bumi putera yang secara tegas mewajibkan agar sebelum
suaut perkara diadili oleh hakim haruslah dan wajib untuk mendamaikan para
pihak. Ketentuan sama tidak ditemukan dalam hukum acara bagi kelompok bangsa
eropa. Kebijakan hukum (baca: politik hukum) pemerintah belanda, sebagaimana
terkandung dalam HIR dan RBg, tetap mendorong agar kelompok bumi putera sebaiknya
memanfaatkan cara-cara atau kebijakan tradisional musyawarah mufakat dalam
penyelesaian sengketa perdata.
Perlu diketahui
bahwa kualitas dan kuantitas lembaga mediasi sebagai instrumen reduktisasi
penumpukan perkara di Mahkamah Agung telah mengalami pasang surut. Sebagai
misal, dalam perkembangan lebih lanjut di era kemerdekaan, upaya perdamaian
sebagai penyelesaian sengketa perdata tampaknya telah kehilangan “ruhnya”,
sehingga para pelaku dalam sistem peradilan perdata menganggapnya hanya sebagai
formalitas belaka untuk sekedar memenuhi perintah norma hukum acara perdata.
Dalam hukum
positif indonesia, mediasi sendiri hanya diatur pada level yang kurang
menguntungkan. Argumentasi ini dapat saja diterima, karena sebagai lembaga yang
bersifat teknis, pengaturan mediasi haruslah diformulasikan dalam kerangka yang
lebih praktis dan implementatif. Berikut rincian dasar hukum mediasi, sepanjang
republik ini berdiri:[15]
a.
Pasal 130 HIR
dan Pasal 154 RBg. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa hakim wajib terlebih
dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa;
b.
SEMA No. 1
Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian dalam Pasal 130 HIR/154 RBg;
c.
PERMA No. 2
Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;
d.
Sedangkan untuk
mediasi di luar pengadilan (non-litigasi) diatur dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Berdasarkan
keterangan diatas, maka aturan positivistik untuk mediasi di dalam pengadilan
(karena terkait dengan reduktisasi beban perkara di MA) yang berlaku adalah
ketentuan PERMA No. 1 Tahun 2008. Dalam aturan ini, tentunya banyak hal-hal
yang telah diperbaiki. Norma-norma yang dilekatkan semakin progresif.
Sebelum kita
menguraikan secara rinci berkenaan dengan perubahan revolusioner yang terdapat
dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu latar
belakang mengapa MARI mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi sebelum
perkara diputus oleh hakim melalui Peraturan Mahkamah Agung sebelumnya, yaitu:
PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Kebijakan MA
memberlakukan mediasi ke dalam proses berperkara di pengadilan didasari atas
beberapa alasan, namun terkait dengan reduktisasi penumpukan perkara, MA
beranggapan bahwa Proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah
penumpukan perkara, khususnya pada level kasasi (MA).[16]
ika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh
hakim, maka jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan jauh berkurang
pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, maka para pihak
tidak akan menempuh upaya hukum kasasi, karena perdamaian merupakan hasil dari
kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum
lagi. Sebaliknya, jika perkara diputus hakim, maka putusan merupakan hasil dari
pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak.
Pandangan dan penilaian hakim tersebut belum tentu sejalan dengan pandangan
para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu
menempuh upaya hukum banding dan/atau kasasi. Pada akhirnya semua perkara akan
bermuara ke MA, yang sudah barang tentu mengakibatkan terjadinya penumpukan
perkara.[17]
Berikut
beberapa inovasi dan terobosan baru yang diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2008
yang tidak diatur dalam aturan-aturan sebelumnya, diantaranya:[18]
a.
Penegasan sifat
wajib mediasi yang jika tidak dipatuhi berakibat putusan atas perkara
bersangkutan batal demi hukum (Pasal 2 ayat 3 dan 4);
b.
Pihak penggugat
lebih dahulu menanggung biaa pemanggilan para pihak (Pasal 3);
c.
Hakim pemeriksa
perkara diperkenankan menjadi mediator (Pasal 8 ayat 1 huruf d);
d.
Mediator lebih
dari satu orang (Pasal 8 ayat 1 huruf e dan ayat 2);
e.
Pembuatan
resume perkara oleh para pihak tidak lagi bersifat wajib (Pasal 13 ayat 1 dan
2);
f.
Lama proses
mediasi menjadi 40 hari dan dapat diperpanjang serta masa untuk proses mediasi
itu terpisah dari masa pemeriksaan perkara (Pasal 13 ayat 3, 4, dan 5);
g.
Kewenangan
mediator untuk menyatakan mediasi gagal dan tidak layak (Pasal 14);
h.
Hakim wajib
mendorong para pihak menempuh perdamaian pada tiap tahap pemeriksaan perkara
sebelum pembacaan putusan (Pasal 18 ayat 3);
i.
Mediator tidak
bertanggung jawab secara perdata dan pidana atas isi kesepakatan (Pasal 19 ayat
4);
j.
Pengaturan
lebih rinci tentang perdamaian pada tingkat banding dan kasasi (Pasal 21 dan
Pasal 22);
k.
Adanya
pengaturan kesepakatan perdamaian yang diselenggarakan di luar pengadilan
(Pasal 23);
l.
Serta adanya
teroboson untuk memaksimalkan peran serta masyarakat dalam penggunaan mediasi.
Dengan adanya
beragam terobosan pembaharuan hukum tersebut, maka diharapkan dapat menjadi
stimulasi posiif bagi para pihak (prinsipal) guna lebih memaksimalkan peran
mediasi dalam menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Bukankah itu tujuan
awal dari dibentuknya lembaga ini.
Adapun tujuan
yang lebih jauh adalah agar penumpukan perkara yang selama ini menjadi problem
besar di MA sedikit demi sedikit menjadi jauh lebih berkurang. Dengan semakin
efektifnya peran mediasi, maka akan berdampak luar biasa bagi institusi
mahkamah agung. Sistem penyelesaian perkara menjadi jauh lebih cepat, kualitas
putusan menjadi lebih bermartabat, pencari keadilan menjadi lebih terpuaskan,
dan lain sebagainya. Sehingga, penulis berpendapat dengan adanya “penjaringan
perkara” semacam ini secara tidak langsung dapat meningkatkan kinerja dari MA
itu sendiri. karena, pada dasarnya tidak semua perkara perdata layak untuk
diadili pada tingkat kasasi. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah perkara yang
menumpuk di MA, mayoritas didominasi oleh sengketa perdata (umum). Dengan
adanya mediasi ini, klasifikasi perkara dapat terwujud. Bukan berari menafikan
perkara yang masuk (dan hendak ditolak), tetapi lebih mengedapankan asas
efektifitas hukum. Inilah yang hendak dicapai dan dipikirkan bersama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian pada bab sebelumnya, maka penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa format kebijakan hukum (baca: politik hukum) yang
dapat mengurangi (reduktisasi) penumpukan jumlah beban perkara di MA adalah
dengan mendayagunakan format:
1. Urgensitas dibentuknya Sistem Kamar (Chamber) di Level MA
2. Maksimalitas Peran Mediasi (Perdamaian) dalam sebagai subsistem
Peradilan di Indonesia
Dengan adanya kedua format politik hukum tersebut, setidaknya dapat
memberikan jaminan kepastian hukum bagi MA dan para pencari keadilan itu
sendiri, sehingga dapat menciptakan sistem peradilan yang mumpuni. Dengan
berkurangnya jumlah beban perkara pada tingkat kasasi, juga diharapkan dapat
meningkatkan kinerja dan kualitas putusan hakim ke depannya.
B.
Saran
Memang
tidak ada gading yang tak retak. Penulis masih beranggapan bahwa walaupun
sejauh ini kedua format politik hukum tersebut cukup representatif dalam
reduktisasi penumpukan jumlah perkara di MA, namun sejatinya masih banyak
faktor lain yang dapat dimaksimalkan. Kita tidak dapat hanya bergantung pada
perbaikan sistem, tapi lebih dari itu, kita juga harus memperhatikan
faktor-faktor terkait seperti rekrutmen hakim, penyedian sarana dan prasarana,
peningkatan kesejahteraan hakim (melalui pembayaran penuh remunerasi), dan
sebagainya. Penulis berpendapat, tidak mungkin suatu sistem akan baik, apabila
tidak disertai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia nya jua. Oleh
karena itu, kedepannya MA harus lebih memperhatikan faktor-faktor non-teknis
seperti ini, bila ingin mewujudkan MA yang bermartabat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Budiarjo,
Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
Hijibers,Theo.
2010. Filsafat Hukum. Cet-15, Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Huda,
Ni’matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Dasar 1945 (Setelah Amandemen)
Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
BULETIN
DAN MAKALAH
Buletin
Komisi Yudisial. “Menyongsong Sistem
Kamar di Mahkamah Agung”. Vol. V No. 5 (April – Mei 2011)
Sondjaja,
Atja. 2009. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Makalah. Disampaikan di Balai
Sidang Bung Hatta Convention Hall, Hotel The Hills Bukit Tinggi. Tanggal 24
Maret 2009
Mahkamah
Agung RI, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan Indonesian
Institute for Conflict Transformation (IICT). 2008. Buku Komentar Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan
Rahmadi,
Takdir. 2009, Pengenalan Mediasi Secara Umum dan Perbandingan Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan serta Tahapan Mediasi, Makalah.
Disampaikan di Balai Sidang Bung Hatta Convention Hall, Hotel The Hills Bukit
Tinggi. Tanggal 24 Maret 2009
[1] Periksa
Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen), Pasal 24 ayat (1) menyebutkan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dan ayat (2) nya
menyebutkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
[2] Ini dalam
kerangka ideal pembagian kekuasaan (trias politica), seperti yang pernah
dikemukakan oleh John Locke, seorang filsuf Inggris, dan Montesquiue, seorang
filsuf prancis. Namun, teori ini dalam penerapannya dalam sistem hukum tata
negara Indonesia, tidak diterapkan sepenuhnya. Terbukti pasca adanya amandemen
UUD 1945, posisi dan porsi ketiga lembaga tersebut saling berkaitan, dalam
konteks check and balances. Lihat Miriam Budiarjo, 2010, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm.
281-291
[3] Dewasa ini,
pengadilan tidak lagi menjadi lembaga yang ortodoks. Hakim yang menangani
perkara haruslah memperhatikan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat,
selain juga tidak terlepas dari nilai-nilai hukum. Baca Pasal 5 UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[4] Baca Buletin
Komisi Yudisial, “Menyongsong Sistem Kamar di Mahkamah Agung”, Vol. V No. 5
(April – Mei 2011), hlm. 15-21
[5] Ibid.,
16
[6] Ibid.,
17
[7] Banyak pemikir
berpendapat, tujuan utama politik hukum ialah menjamin keadilan dalam
masyarakat. Melalui hukum, pemerintah harus mengimbangi kepentingan umum dengan
kepentingan-kepentingan lainnya. Cita-cita akan keadilan yang hidup dalam jiwa
rakyat tidak lain daripada simbol suatu harmonisasi kepentingan-kepentingan
tersebut. Dengan kata lain, tugas utama pemerintah suatu negara ialah
mewujudkan keadilan sosial. Terkait dengan reduktisasi penumpukkan perkara di
MA, sudah tepat kiranya dengan akan diterapkannya sistem kamar ini, dikehendaki
agar terciptanya suatu mekanisme dan sistem peradilan yang lebih baik. Sehingga
pada akhirnya, akan menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat
itu sendiri. Theo Hijibers,2010, Filsafat Hukum, Cet-15, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, hlm. 118
[8]
Dalam sejarahnya, tidak banyak politik hukum yang dilahirkan oleh Mahkamah
Agung dalam posisinya sebagai lembaga negara. Politik hukum yang dikeluarkan
banyak berasal dari tataran eksekutif maupun yudikatif yang berbentuk
undang-undang ataupun peraturan pemerintah. Mahkamah agung sendiri terlihat
sedikit kurang reaktif dan progresif dalam melakukan hal tersebut. Terobosan
politik hukum yang paling monumental adalah ketika diletakkannya kembali posisi
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang independen dan terlepas dari campur tangan
eksekutif (dicetuskannya peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung). Hal ini
karena, dalam kurun waktu hampir 60 tahun, kekuasaan kehakiman “harus rela
berbagi tempat” dengan eksekutif. Namun hal itu dapat terselesaikan ketika
diundangkannya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lihat Ketentuan
Peralihan Pasal 42-45), yang berlaku efektif tahun 2005. Baca Ni’matul Huda,
2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
hlm. 198-199
[9] Pembahasan ini
merupakan intisari dari tulisan yang terdapat dalam Buletin Komisi Yudisial,
“Menyongsong Sistem Kamar di Mahkamah Agung”, Vol. V No. 5 (April – Mei 2011),
hlm. 15-21
[10] Sistem kamar
biasanya digunakan di negara-negara penganut civil law, seperti belanda,
jerman, dan sejumlah negara di Eropa Kontinental. Lawan dari sistem kamar
adalah satu kamar (satu hakim menangani semua perkara), seperti yang diterapkan
di negara-negara Common Law (Amerika, Inggris, dan negara jajahannya).
Sebagai bekas
negara jajahan Belanda, Indonesia sebenarnya sudah mengenal sistem kamar ini
sejak awal atau sejak zaman penjajahan Belanda. Namun, sistem kamar ini tidak
lagi diterapkan pada tahun 1950 atau sejak Pengadilan Banding atau
Hooggerrechtshof diserahkan ke Mahkamah Agung yang saat itu hanya memiliki lima
hakim agung.
Pada
pertengahan 1960-an, ada keinginan untuk kembali pada sistem kamar tersebut.
Ini terlihat dari ketentuan UU No. 13 Tahun 1965 tentang MA yang memunculkan
jabatan Ketua Muda. Namun jabatan Ketua Muda itu tidak dirinci kewenangannya.
Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1969, UU tersebut
dinyatakan tidak berlaku kembali.
[11]
Dalam syariat islam, seperti yang diterangkan oleh Rasulullah dalam hadistnya,
dijelaskan bahwa “barang siapa suatu perkerjaan tidak diserahkan pada ahlinya,
maka tunggulah kehancuran. Namun, apabila kita telisik lebih jauh (tanpa
membawa nama agama dalam konteks ini), pada dasarnya sistem kamar ini dapat
dikatakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan adanya sistem kamar tersebut, secara
tidak langsung telah menganjurkan hakim untuk dapat tidak menangani dan memutus
perkara yang menurut mereka bukan merupakan bagian dari kompetensi dan
keahliannya.
[12] Dewasa ini,
komparasi antara jumlah perkara yang masuk ke MA dan jumlah Hakim Agung yang
ada sangatlah tidak berimbang. Betapa tidak, pada tahun 2010 kemarin misalnya,
jumlah perkara yang masuk berkisar pada angka 13.480. Sedangkan jumlah hakim
agung yang diamanatkan oleh undang-undang harusah tidak lebih dari 60 orang.
Dimana pada jumlah tersebut, komposisi hakim yang diperlukan masih sangat
minim. Realitasnya, mayoritas jenis perkara yang masuk adalah perkara perdata
atau pidana. Sedangkan kompetensi hakim agung yang ada lebih banyak berlatar
belakang hakim agama dan tata usaha negara.
[13] Buletin
Komisi Yudisial, hlm. 18
[14] Dalam hal ini
perlu suatu regulasi khusus, yang mengatur bahwa setiap perkara tingkat pertama
dan tingkat banding yang akan diajukan ke tingkat kasasi haruslah memenuhi
syarat dan ketentuan tertentu. Bukan berarti membatasi hak asasi manusia untuk
melakukan upaya hukum, tetapi lebih melihat kepada efektifitas dan perbaikan
kinerja MA yang lebih baik lagi. Hal ini tentunya akan berdampak pada
meningkatnya kualitas putusan dan akhirnya lebih menjunjung tinggi nilah HAM
itu sendiri.
[15] Atja Sondjaja,
2009, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, Makalah, disampaikan di Balai Sidang Bung
Hatta Convention Hall, Hotel The Hills Bukit Tinggi, Tanggal 24 Maret 2009
[16] Pada dasarnya,
inilah niat awal dinormakannya lembaga mediasi sebagai subsistem peradilan
perdata di Indonesia. Dengan adanya kebijakan hukum (baca: politik hukum)
semacam ini, diharapkan akan mengurangi jumlah penumpukan perkara di MA.
[17] Mahkamah Agung
RI, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan Indonesian Institute for
Conflict Transformation (IICT), 2008, Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung
RI No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, hlm. 7
[18] Takdir
Rahmadi, 2009, Pengenalan Mediasi Secara Umum dan Perbandingan Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan serta Tahapan Mediasi, Makalah,
disampaikan di Balai Sidang Bung Hatta Convention Hall, Hotel The Hills Bukit
Tinggi, Tanggal 24 Maret 2009
Palembang, September 2011
M. Alvi Syahrin
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment