Degradasi Nilai Hukum Adat
Banyak pihak yang menyimpulkan bahwa mempelajari hukum adat adalah
orang yang tidak mengikuti perkembangan
zaman. Orang yang mempelajari hukum adat dianggap kuno. Bahkan saat ini
saja, kita sulit untuk menemukan dosen atau orang yang menaruh perhatian lebih
terhadap hukum adat. Lebih dari itu, dalam pandangan orang yang positivistik,
hukum adat dipandang bukan sebagai hukum dalam konteks sebenarnya, melainkan
hanya kaidah yang berisikan norma yang membicarakan hal yang ideal. Ia tidak
dapat dikualifikasikan sebagai ajaran hukum modern yang sesuai dengan tuntutan
abad globalisasi.
Kira-kira seperti itulah gambaran eksistensi hukum adat di tengah kehidupan
bernegara di Republik Indonesia yang kita cintai ini. Hukum adat kini telah
hilang jati dirinya sebagai landasan dasar berbangsa. Sebagai hukum yang hidup
dalam masyarakat beratus-ratus tahun lalu, tidak salah apabila kita tetap
mempertahankan hukum adat sebagai bagian dari sistem dan struktur hukum di
Indonesia. Bukankah konstitusi kita telah mengakui keberadaan hukum adat dalam
rumusan pasal-pasal nya? Lalu apa yang salah, sehingga kita seakan durhaka
terhadap pendiri bangsa ini. Tidak lain karena kita sudah melupakan nilai-nilai
adi luhum (nilai yang lebih tinggi dari nilai luhur) yang terdapat dalam hukum
adat yang kemudian dikristalisasikan dan dijewantahkan dalam sila-sila
Pancasila.
Dewasa ini, masyarakat kita (mungkin termasuk penulis sendiri) mungkin
sudah lupa bahkan tidak peduli lagi dengan apa itu hukum adat. Hukum adat hanya
ditafsirkan sebagai warisan hukum kuno yang tidak relevan dengan perkembangan
globalisasi. Hukum adat hanya dianggap sebagai hukum pelengkap yang hanya
dipakai ketika diperlukan saja. Ia tidak menjadi dasar berpikir bagaimana
bangsa ini sejatinya didirikan atas keberagaman adat. Sebagai bukti, di hampir
setiap fakultas hukum, hukum adat hanya diberikan porsi sks (sistem kredit
semerter) dalam batas minimal, yaitu 2 sks. Yang lebih memprihatinkan, ketika
sudah memasuki tahap pemilihan pembidangan hukum, maka tidak ada satu pun
mahasiswa/i yang berminat untuk menekuni hukum adat. Sehingga tidak heran
apabila, regenarasi pengajaran hukum adat mengalami staganasi yang luar biasa
dan tentunya ini akan berdampak bagaimana eksistensi hukum adat di Indonesia ke
depannya.
Relevansi Hukum Adat di Era Global: Tantangan Atas Realita
Terkait dengan relevansi hukum adat di era global, maka
perbincangan dalam beberapa halaman kertas ini, tidak akan cukup untuk membahasnya.
Dalam tantangan global yang semakin mengancam, maka hukum adat mengalami dilema
paradigma. Di satu sisi mempertahankan hukum adat menjadi suatu kewajiban
bangsa yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, tapi di sisi lain mempertahankan
hukum adat ibarat bumerang bagi pemerintah dalam melakukan pembangunan ekonomi
yang berkelanjutan. Inilah yang akan menjadi diskursus kontemporer yang kita
alami sekarang.
Dalam mengahadapi era globalisasi, dimana untuk mengikuti pola menjadi
suatu yang terelakkan lagi, maka keberlangsungan hukum adat menjadi sangat
penting. Pada posisi ini, ia tidak lagi sebatas hukum asli indonesia yang harus
dijaga keberadaannya, tapi lebih dari itu, hukum adat seyogya-nya memiliki
fungsi sebagai “alat filter” bagi masuknya pengaruh asing di Indonesia.
Filterisasi inilah yang pada saat ini tidak dimiliki oleh kita sebagai bangsa
yang besar. Hukum adat menjadi tidak berdaya ketika dihadapkan pada intervensi
asing. Ini dikarenakan hukum adat tidak dipelajari, dipahami, dan diterapkan
secara mendalam oleh masyarakat.
Berikut adalah contoh ketika hukum adat dapat melakukan filterisasi
nilai global, tapi akan menghambat misi pemerintah dalam menciptakan
pembangunan global, yaitu bagaimana norma-norma dalam paket UU HAKI tidak
berjalan efektif di Indonesia. Hal ini dikarenakan, semangat dan jiwa yang
terkandung dalam UU itu bukanlah berasal dari nilai-nilai yang terkandung dalam
hukum adat. Masyarakat Indonesia (dalam beberapa wilayah tertentu) masih
menganut dan memahami nilai “kolektivistik-spiritualistik”. Nilai ini
menggiring masyarakat agar untuk bersikap saling tolong menolong dalam
menciptakan susana kebersamaan (nilai kolektivistik), sehingga bagi mereka
sendiri hal ini akan mendekatkan diri kepada sang pencipta (spritualistik). Nah
kemudian, sebagai bagian dari tuntutan global, maka kehadiran paket UU HAKI
tentunya ingin melindungi hak-hak komersial bagi setiap individu (nilai
individuailistik – komersialistik) dalam menciptakan sesuatu hal yang baru.
Apabila kutub nilai global ini dihadapkan, maka akan menciptakan pertarungan
nilai yang tidak akan bertemu. Sehingga tidak heran apabila paket UU HAKI ini
tidak akan berjalan efektif di Indonesia, karena pengaruh hukum adat di
beberapa wilayah tertentu masih tetap terjaga.
Contoh realita lain adalah, bagaimana usaha masyarakat Minang
(Sumatera Barat) untuk tetap mempertahankan nilai-nilai hukum adat di wilayahnya.
Kita sudah mahfum apabila investasi di Sumatera Barat tidak berjalan efektif
dan cenderung stganan, sehingga pembangunan di provinsi ini tertinggal jauh
untuk level Pulau Sumatera. Ini bukan karena Sumatera Barat tidak memiliki
potensi investasi, tetapi yang menjadi permasalahan adalah masyarakat adat
disana tetap menjunjung tinggi nilai adat. Sehingga untuk BUMN sekelas PT.
Semen Padang pun harus rela melakukan “profit sharing” kepada masyarakat
setempat, karena PT. Semen Padang telah menggunakan tanah ulayat dalam
melakukan aktivitas produksi-nya.
Begitu juga sebaliknya ketika nilai global dapat mengintervensi
nilai hukum adat. Kita ambil contoh kasus populer belakangan ini, yaitu
kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Kabupaten Mesuji (Sumsel – Lampung).
Kejahatan luar biasa ini tidak akan terjadi seandainya kita kembali pada
nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat itu sendiri (baca: Pancasila). Secara
sederhana, hal ini dilatarbelakangi adanya pengambil-alihan tanah adat oleh
perusahaan perkebunan secara sepihak, sehingga menimbulkan reaksi protes oleh
warga yang kemudian berhadapan dengan PAM Swakarsa dari pihak perusahaan.
Alhasil tindakan kekerasan pun tidak terelakkan lagi.
Konflik agraria semacam ini, pada dasarnya tidak hanya terjadi di Kabupaten
Mesuji saja, tapi dapat penulis pastikan hampir semua daerah di Indonesia juga
mengahadapi problem yang sama. Dan akar permasalahannya pun sama, yaitu tidak
adanya “political will” yang sunguh-sungguh dari pemerintah untuk
melindungi dan menghargai hukum adat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem hukum di Indonesia.
Seharusnya kita tidak dapat menyalahkan pengaruh globalisasi dalam
konteks kekinian. Setiap negara tentunya tidak dapat menafikan keberadaan
negara lain. Sehingga bukan menjadi hal tabu apabila terdapat akulturasi dan
intervensi budaya asing untuk masuk dalam tatanan budaya Indonesia. Tapi kita
juga perlu memperkuat dan mempertahankan nilai hukum adat, agar kita tidak terlalu
jauh mengikuti arus global.
Contoh menarik yang dapat kita jadikan pelajaran adalah bagaimana Jepang
yang mampu memasuki abad modern dengan tetap mempertahankan dan menjaga
kepribadian sosial dan kulturalnya. Kemampuan tersebut menempatkan Jepang dalam
posisi yang serba sulit. Pada satu sisi harus menerima dan menggunakan
institusi modern (birokrasi, demokrasi, dan hukum), tapi di sisi lain
mempertahankan hukum adat nya menjadi hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Oleh karena itu, untuk tetap mempertahankan “ke-jepangan-nya” tersebut, maka
bangsa ini menciptakan berbagai konstruksi nilai agar bisa dengan aman
“mendamaikan” Jepang dengan modernitas dan pengaruh barat.
Misalnya dibuatlah metode konstruksi “omote” dan “ura”,
atau depan dan belakang. Maksudnya, hal-hal yang datang dari dunia luar hanya
boleh bergerak di ranah omote, tetapi tidak masuk sampai ke ranah ura.
Dalam hukum kemudian dibangun konstruksi “tatemae” dan “honne”, dimana hukum modern hanya
akan diterima sebagai “tatemae” (formal acceptance), tetapi tidak
sampai ke tingkat “honne” (nurani Jepang). Hal tersebut menyebabkan
Jepang harus melakukan “Japanese Twist” untuk mempertahankan
ke-jepangan-nya. Atau dalam kalimat sederhana, Jepang menciptakan prinsip:
“ambil semua yang baik-baik dari barat, kemudian buang jauh-jauh hal yang buruk
dari barat”. Hal ini lah yang sampai saat ini
belum dapat diterapkan secara komprehensif oleh bangsa Indonesia.
Pemahaman yang masih minim dalam kehidupan sehari-hari menjadi salah satu
faktor dominan melemahnya penerapan hukum adat di Indonesia.
Persepsi yang berkembang selama ini menyatakan bahwa dengan tetap
menggunakan hukum adat, maka suatu negara tidak akan pernah menjadi negara maju.
Negara yang masih menjunjung nilai hukum tradisional dipastikan tidak dapat
bersaing di kancah internasional. Namun, apabila kita melihat kiprah Malaysia,
Amerika, Inggris, dan negara-negara Common Law lainnya, maka hipotesa
demikian dapat dengan mudah dipatahkan. Persoalannya bukan terletak pada sistem
hukum adatnya, tetapi bagaimana hukum adat (hukum tidak tertulis) itu dapat
diselaraskan dengan tuntuntan penerapan hukum modern (hukum positivistik).
Relevansi di antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Sekarang tinggal
bagaimana pemerintah dapat menyerasikan keduanya dalam format aturan yang
progresif.
Kita dapat lihat bagaimana, Inggris dengan “customary law”
(hukum kebiasaan) nya dapat bersaing di percaturan global. Lantas apakah kita
dengan mudah menyalahkan hukum adat lalu meninggalkannya? Bukan itu solusi yang
diharapkan. Seharusnya, sebelum republik ini sepakat untuk terjun di konteks
global, maka sudah menjadi kewajiban agar pemerintah menguatkan terlebih dahulu
sendi-sendi kehidupan masyarakat adat yang ada di daerah. Dengan adanya
pemahaman dan penguatan secara struktural, maka fungsi hukum adat sebagai alat filterisasi
dapat berjalan dengan semestinya. Bukan dengan cara terburu-buru meratifikasi
Konvensi Internasional, tetapi fondasi masyarakat kita lemah.
Tawaran Solusi Progresif
Atas dasar tersebut, maka setidaknya ada 4 (empat) solusi progresif
yang penulis tawarkan dalam “meredakan” konflik antara pengaruh globalisasi
terhadap ekistensi hukum adat. Pertama, menjadikan mata kuliah hukum
adat sebagai mata kuliah wajib di setiap fakultas hukum di Indonesia. Dengan
adanya keharusan seperti ini, maka akan menjadi stimulasi bagi para mahasiswa,
tidak terkecuali para dosen agar tetap memasukan nilai hukum adat dalam setiap
kegiatan ilmiahnya. Kedua, tidak melakuan indoktrinasi hukum adat (baca:
Pancasila) dalam setiap level pengajaran, melainkan pengamalan nilai-nilai adat
dalam kegiatan sehari-hari. Ketiga, pemberian porsi lebih terhadap
nilai-nilai hukum adat dalam setiap perumusan aturan hukum di Indonesia.
Apabila persentase selama ini lebih menunjukan arogansi hukum modern (baca:
hukum barat) dalam setiap pembuatan aturan hukum, maka logika tersebut harus
diubah. Setidaknya 40% berbanding 60% setiap aturan hukum di Indonesia harus
memuat ketentaun hukum adat. Empat, melakukan moratorium investasi asing
di berbagai sektor strategis
Apabila, keempat model ini dapat diterapkan denga baik, maka
konflik horizontal yang terjadi selama ini dapat diminimalisir secara bertahap.
Walaupun kita tidak dapat menafikan keberadaan hukum modern sebagai tuntutan
dari perkembangan globalisasi, tetapi hukum adat sebagai hukum asli Indonesia
juga harus mendapatkan perhatian lebih, agar terciptanya keserasian hukum di
tengah masyarakat.
Palembang, November 2011
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment