BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sistem pembebanan pembuktian
terbalik dalam hukum pidana korupsi Indonesia adalah diadopsi dari hukum
pembuktian perkara korupsi dari negara anglo saxon seperti Inggris, Singapura
dan Malaysia. Sistem pembebanan pembuktian terbalik hanya diterapkan pada
tindak pidana yang berkenaan dengan gratification
yang berhubungan dengan suap.
Banyak orang menganggap
bahwa sistem pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 (selanjutnya disebut UUPTPK) lebih baik,
karena menganut sistem pembuktian terbalik. Dengan pemikiran bahwa sistem
terbalik lebih mudah untuk membuktikan TPK yang didakwakan, sehingga secara
otomatis lebih mudah pula untuk memberantas korupsi. Pendapat seperti itu
ternyata tidak seluruhnya benar. Memang benar dalam UUPTPK menganut sistem
pembuktian terbalik, tetapi pertanyaan seperti apa yang dimaksud dengan sistem
terbalik, bagaimana cara penerapannya, apa standar bukti yang digunakan dan
sebagainya, pertanyaanpertanyaan seperti itu tidak mudah dijawab oleh setiap
orang.
Terbukti dalam praktik dapat
dilihat bahwa peran Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum atau Majelis Hakim
dalam menjalankan fungsi pembuktian dari TPK yang didakwakan, tidak berbeda
dengan proses dan prosedur pembuktian menurut KUHAP. Seolah-olah sistem
pembuktian korupsi tidak berbeda dengan sistem biasa (KUHAP). Keadaan ini
membuktikan bahwa sistem pembuktian terbalik maupun semi terbalik belum berperan
dalam memberantas korupsi.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas adalah: Bagaimana pelaksanaan Sistem Pembuktian
Terbalik menurut hukum positif pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sistem
Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi
Regelement
of Strafvordering (RSv)
dan HIR (dulu) maupun KUHAP, begitu pula semuanya menganut sistem atau teori
pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) yang dapat kita simpulkan berdasarkan Pasal 183
KUHAP[1].
Standar bukti[2] tersebut ialah (1) harus
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan (2) dari alat bukti tersebut
hakim mendapatkan keyakinan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan tindak
pidana. Dengan syarat itu, barulah hakim dapat menjatuhkan pidana.
Hukum pidana korupsi yang merupakan lex specialis, sehingga tentang
pembuktian dibedakan 3 sistem beban pembuktian. Pertama sistem terbalik, kedua
sistim biasa (seperti KUHAP), ketiga semi terbalik atau juga bisa disebut
sistem berimbang terbalik.
1. Sistem
Terbalik
Sistem terbalik terdapat
dalam Pasal 37 jo 12B ayat (1) jo 38A dan 38B UUPTPK. Dilihat dari sudut objek
apa yang harus dibuktikan terdakwa, maka pembuktian terbalik ada 2 (dua) macam,
ialah:
a.
Pembuktian
terbalik pada TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih
(Pasal 12B ayat 1 jo 37 ayat 2 jo 38A);
b.
Pembuktian
terbalik pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B).
Sistem beban terbalik
ditujukan untuk membuktian dua hal saja.Oleh karena itu dapat disebut
pembuktian terbalik yang terbatas. Pembuktian melalui beban pembuktian terbalik
terbatas mempunyai tujuan yang pertama membuktikan bahwa benar ataukah tidak
menerima suap gratifikasi. Kedua membuktian bahwa harta benda yang belum
didakwakan mempunyai sumber yang haram ataukah halal.
a.
Pembuktian
Terbalik dalam hal menerima gratifikasi (Ps 12B (1) jo 37 jo 38A)
Pasal 37
menyatakan bahwa terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak
melakukan tindak pidana korupsi (ayat 1); dalam hal terdakwa dapat membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut
digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti (ayat 2).
Ketentuan
ayat (2) merupakan inti sistem beban pembuktian terbalik tindak pidana korupsi.
Pasal 37 berhubungan dengan Pasal 12B dan Pasal 37A ayat (3). Hubungannya
dengan Pasal 12B, ialah bahwa sistem beban pembuktian terbalik pada Pasal 37
berlaku pada TPK menerima suap gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih
[Pasal 12B ayat (1) huruf a]. Sementara itu hubungannya dengan Pasal 37A
khususnya ayat (3), bahwa sistem terbalik menurut Pasal 37 berlaku dalam hal
pembuktian tentang sumber (asal) harta benda terdakwa dan lain-lain, diluar
perkara pokok pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 37A, dalam hal ini hanya
TPK suap menerima gratifikasi yang tidak disebut dalam Pasal 37A ayat (3).
Isi
rumusan Pasal 12B ayat (1) UUPTPK mengandung 4 arti yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1)
Norma
huruf a berhubungan erat dengan (dijelaskan oleh) Pasal 37. Artinya ialah
tentang apa yang dimaksud beban pembuktian menurut norma ayat (1) huruf a dalam
hal ini ada pada terdakwa dan penerapannya dirumuskan pada Pasal 37.
2)
Sistem
terbalik berlaku pada TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta
atau lebih.
3)
Sedangkan
TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta, beban pembuktian
ada pada JPU. Artinya dengan sistem biasa sesuai KUHAP.
4)
Mengenai
unsur-unsur tindak pidana menerima suap gratifikasi, ialah: (1) subjek hukumnya
adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara; (2) perbuatannya menerima
gratifikasi; (3) berhubungan dengan jabatannya; dan (4) berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya.[3]
Ada yang
menarik dari ketentuan Pasal 12 C. Menurut ketentuan Pasal 12C dengan
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,
maka akan meniadakan pidana pada Pasal 12B. Apakah ketentuan mengenai
melaporkan penerimaan gratifikasi ini merupakan alasan penghapus pidana?
Kiranya tidak, karena alasan peniadaan pidana dalam doktrin hukum terdiri atas
alasan pemaaf dan alasan pembenar yang terbentuk oleh hal-hal yang sudah ada
dan berlaku pada saat perbuatan dilakukan.
Bahkan
perbuatan tersebut merupakan bagian dari perbuatan yang dilakukan pembuat dan
atau bagian dari keadaan batin si pembuat, yang memang harus sudah ada/terdapat
pada saat perbuatan dilakukan, dan bukan sesudah perbuatan dilakukan. Sedangkan
tindakan pegawai negeri penerima gratifikasi “melaporkan penerimaan
gratifikasi” kepada KPK adalah sesudah perbuatan terjadi, atau jauh setelah
terjadinya perbuatan, bisa jadi pada ke 30 (tiga puluh) hari kerja. Oleh karena
itu dari sudut ini tindakan melaporkan penerimaan gratifikasi tidak dapat
dianggap sebagai alasan peniadaan pidana.[4]
Syarat
pelaporan bagi pegawai negeri yang menerima gratifikasi, ditujukan pada 3
(tiga) hal, ialah: pertama, untuk tidak mempidana pegawai negeri yang secara
sukarela melaporkan tentang penerimaan gratifikasi. Pelaporan dapat dinilai
sebagai suatu kesadaran bagi pegawai negeri untuk berbuat jujur, menegakkan
moral dan menjujung tinggi derajat dan martabat serta sumpah jabatan oleh pegawai
negeri atau penyelenggara negara sebagai pelaksana pelayanan publik. Kedua,
bertujuan pendidikan moral bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam
waktu 30 hari kerja, adalah waktu yang cukup bagi pegawai negeri untuk
merenungkan dengan hati, memikirkan dengan akal tentang haramnya pemberian
gratifikasi. ketiga, ditujukan untuk menentukan apakah penerimaan gratifikasi
menjadi milik negara atau milik pegawai negeri yang menerima gratifikasi (Pasal
12C ayat (3).[5]
b.
Pembuktian
Terbalik Mengenai Harta Benda yang Belum Didakwakan (Pasal 38B jo 37)
Norma Pasal 38B ayat (1) dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1)
Norma
ayat (1) adalah dasar hukum sistem beban pembuktian terbalik dalam hal objek
pembuktian harta benda terdakwa yang belum didakwakan, tapi diduga berasal dari
TPK.
2)
Pembuktian
mengenai harta benda yang belum didakwakan sebagai bukan hasil korupsi adalah
berlaku dalam hal tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok, adalah TPK
Pasal: 2, 3, 4, 14, 15 UUPTPK[6] Hanya TPK suap menerima
gratifikasi Pasal 12B saja yang tidak disebut dalam Pasal 38B ayat (1).
Walaupun
Pasal 37 merupakan dasar hukum pembuktian terbalik. Namun khusus mengenai objek
harta benda terdakwa yang belum didakwakan (termasuk juga yang didakwakan dalam
surat dakwaan), tidaklah dapat menggunakan Pasal 37. Karena Pasal 37 adalah
khusus diperuntukkan bagi pembuktian terdakwa mengenai dakwaan tindak pidana
(khususnya suap menerima gratifikasi Rp 10 juta atau lebih), dan bukan dakwaan
mengenai harta benda. Maka keberhasilan terdakwa membuktikan tentang
kekayaannya itu bersumber pada pendapatan yang halal, tidaklah harus ia
dibebaskan dalam dakwaan perkara pokok melakukan TPK, melainkan sekedar
menyatakan harta benda yang belum didakwakan tersebut bukan hasil korupsi, dan
menolak tuntutan JPU untuk menjatuhkan pidana perampasan harta benda tersebut
saja.[7]
2. Sistem
Semi Terbalik dan Biasa
Dasar hukum sistem semi
terbalik ada pada Pasal 37A ayat (3) UUPTPK.
TPK selain suap menerima
gratifikasi penerapan pembuktikan tentang harta benda terdakwa (yang telah
didakwakan) dilakukan dengan cara yang dirumuskan dalam Pasal 37A. Tentang
beban pembuktikan kepada siapa dan bagaimana cara membuktikan menurut ketentuan
Pasal ini dapat disebut dengan sistem pembuktian semi terbalik. Karena hasil
pembuktian terbalik mengenai harta benda menurut ketentuan ini, dapat digunakan
oleh jaksa untuk memperkuat alat buktinya, yakni bila pembuktiannya itu tidak
berhasil membuktikan keseimbangan antara hartanya dengan sumber pendapatannya.
Contohnya, kelebihan
kekayaan (diluar) dari kekayaan yang sebenarnya yang diperoleh dari sumber
kekayaan atau sumber tambahan kekayaan yang sah. Pada kenyataannya kekayaan
yang demikian ini adalah kekayaan yang tidak jelas cara perolehannya atau tidak
jelas asal usulnya. Sebagai contoh wajarkah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS)
golongan III A yang gajinya 2 juta/ bulan mempunyai mobil Alpard dan rumah
mewah di pondok Indah.
Jika menggunakan sistem biasa
seperti pada KUHAP, dalam hal untuk membuktikan tindak pidana beban pembuktian
sepenuhnya pada JPU. Sedangkan terdakwa tidak wajib, dalam arti pasif. Namun
demikian dalam sistem akusator (accusatoir), demi hukum terdakwa mempunyai hak
untuk menyangkal dakwaan dan membuktikan sebaliknya.[8] Dalam hukum pidana
korupsi, sistem pembuktian TPK suap menerima gratifikasi yang nilai objeknya
kurang dari Rp 10 juta (Pasal 12B ayat huruf b) menggunakan beban pembuktian
biasa, yakni pada jaksa.
Apabila dilihat dari sudut
pembebanan pembuktian Pasal 37A, maka dalam hal pembuktian kekayaan terdakwa
ternyata seimbang dengan sumber pendapatannya, dimana JPU juga tetap wajib
membuktikan tentang tindak pidana yang didakwakannya, maka dapat disebut dengan
sistem semi terbalik. Karena dibebani kewajiban membuktikan terbalik secara
berimbang, maka dapat juga disebut dengan sistem berimbang terbalik. Mengenai
alat bukti dan syarat pembuktiannya baik oleh terdakwa atau JPU mengikuti
ketentuan dalam KUHAP, karena mengenai hal ini tidak ada ketentuan khusus dalam
UUPTPK.
Bagi terdakwa pembuktian
tentang kekayaan terdakwa yang seimbang dengan sumber pendapatannya diperlukan,
agar harta benda tersebut tidak dijatuhi pidana perampasan barang. Bagi jaksa
baru menjadi penting, apabila terdakwa tidak berhasil membuktikan kekayaannya
sesuai dengan sumber pendapatannya. Dalam kenyataannya harta yang demikian ini
adalah harta yang tidak jelas cara perolehannya atau asal usulnya. Keadaan
terdakwa tidak dapat membuktikan sumber kekayaannya yang sah tersebut digunakan
untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa melakukan korupsi (Pasal
37 ayat 2).
Tidak semua keadaan terdakwa
yang tidak berhasil membuktikan tentang sahnya sumber kekayaannya dapat
menguntungkan JPU. Baru dapat digunakan memperkuat alat bukti yang sudah ada,
apabila keadaan terdakwa tidak berhasil membuktikan sumber kekayaannya itu
memenuhi 2 syarat, yaitu:
a.
Pertama,
JPU telah menggunakan minimal 2 alat bukti yang sah, dan
b.
Kedua,
ketidak berhasilan terdakwa membuktikan keseimbangan antara kekayaan dengan
sumber pendapatannya ada hubungan dengan berhasilnya JPU membuktikan perolehan
kekayaan dari tindak pidana yang didakwakan. Hubungan ini adalah berupa
kekayaan yang tidak dapat dibuktikan sumbernya yang halal oleh terdakwa tadi
bersesuaian dengan hasil pembuktian JPU tentang tindak pidana yang didakwakan
menurut sifat dan kenyataannya menghasilkan suatu kekayaan.
JPU memperkuat alat bukti
yang sudah ada sebagaimana dimaksud Pasal 37A ayat (2), boleh dengan cara
menggunakan alat bukti petunjuk. Dan didukung pula oleh Ketentuan Pasal 188
ayat (1) KUHAP.
Oleh karena alat bukti
petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari
hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang,
maka sifat subjektifitas hakim lebih dominan. Oleh karena itu Pasal 188 ayat
(3) mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu harus dilakukan dengan arif dan bijaksana, setelah
hakim memeriksa dengan cermat dan seksama yang didasarkan hati nuraninya.[9]
Keadaan terdakwa yang tidak
berhasil membuktikan dalam konteks sistem semi terbalik dinilai sebagai
keterangan terdakwa yang memberatkan dan digunakan sebagai bahan membentuk alat
bukti petunjuk. Karena hukum korupsi tidak mengatur secara khusus syarat-syarat
bukti petunjuk harus berdasarkan KUHAP (UU korupsi hanya memperluas bahan untuk
membentuk alat bukti petunjuk). Untuk dapatnya dibentuk alat bukti petunjuk JPU
perlu menggunakan minimal 2 alat bukti termasuk alat bukti informasi dan atau
dokumen sebagaimana dimaksud Pasal 26A.
Disinilah letak peran JPU
dalam sistem pembuktian semi terbalik, khususnya kalimat dalam Pasal 37A,
“.......digunakan memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan TPK” (ayat 2) dan kalimat: “...... sehingga penuntut umum tetap
berkewajiban untuk membuktikannya” (ayat 3).
Sedangkan sistem beban
pembuktian biasa, berpijak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (presumtion of innocence) dalam hukum
acara pidana yang diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) UU Nomor 48/2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP.
Sebagian orang berpendapat
bahwa asas presumtion of innocence
hanya berlaku di depan sidang pengadilan. Pendapat itu salah dan menyesatkan.
Dalam rumusan norma Pasal 8 (1) UU Nomor 48/2009 sangat jelas, bahwa presumtion of innocence berlaku sejak
orang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut sampai di sidang pengadilan. Orang
yang berpendapat salah tadi hanya melihat sepotong dari rumusan normanya.
Oleh karena terdakwa
dianggap tidak bersalah, maka jika terdakwa didakwa oleh Jaksa, maka Jaksa yang
dibebani untuk membuktikan apa yang didakwakan itu benar. Setiap orang dianggap
tidak bersalah sampai kesalahannya itu dibuktikan dengan suatu putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.[10]
Dalam sistem ini, terdakwa
atau penasihat hukum tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan dirinya tidak
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Terdakwa dan atau penasihat
hukum justru mempunyai hak untuk membuktikan sebaliknya, atau hak menolak
dengan membuktikan sebaliknya.
Mengenai beban pembuktian
tindak pidana yang didakwakan dalam hukum pembuktian korupsi selalu diletakkan
pada JPU. Kecuali terhadap pembuktian TPK menerima suap gratifikasi yang
nilainya Rp 10 juta atau lebih, yang dibebankan pada terdakwa. Dari sudut
pembuktian mengenai objek tindak pidana yang didakwakan, maka sistem beban
pembuktian korupsi dapat disebut sistem beban pembuktian terbatas. Hanya
sebagian kecil (satu) saja tindak pidana yang menggunakan beban pembuktian
terbalik murni, yakni hanya objek tindak pidana menerima suap gratifikasi dalam
Pasal 12 B saja. Selebihnya tidak, menggunakan sistem beban pembuktian biasa.
Semua prosedur pembuktian
semi terbalik dan yang di dalamnya terdapat cara sistem biasa sebagaimana
diuraikan sebelumnya, tiada lain diarahkan oleh JPU pada tujuan akhir adalah
untuk membuktikan tentang telah terjadinya TPK yang didakwakan dan terdakwa bersalah
melakukan TPK tersebut.
B. Permasalahan
Beban Pembuktian Terbalik TPK
Jenis korupsi menerima suap
gratifikasi Pasal 12B adalah suatu jenis tindak pidana suap pasif. Cara
merumuskan TPK suap gratifikasi ini tidak lazim. Dalam rumusannya nampak
seolaholah subjek hukumnya adalah si penyuap, tetapi sesungguhnya bukan.
Alasannya ialah oleh Pasal 12B tidak diberikan ancaman pidana pada pemberi suap
gratifikasi. Justru yang diancam pidana pada ayat (2) adalah pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi. Oleh karena itu rumusan
suap gratifikasi bukan ditujukan pada subjek hukum pemberi suap, tetapi ditujukan
pada penerima suap/menerima gratifikasi. Ancaman pidananya jelas ditujukan pada
pegawai negeri.
Pasal 12B ayat (1)
merumuskan secara sumir tentang sistem pembebanan pembuktian terbalik.
Ketentuan Pasal ini juga menerangkan hal syarat mengenai jumlah (rupiah)
menerima suap gratifikasi yang beban pembuktiannya pada terdakwa, sedangkan
selebihnya tidak cukup membuat terang setidak-tidaknya tentang bagaimana
prosedur atau cara terdakwa dalam membuktikan dan apa syarat-syarat (standar)
yang harus ada untuk dapat dinyatakan terdakwa berhasil membuktikan dan tidak
berhasil membuktikan.[11]
Apabila tidak diatur lain,
pembuktian harus sesuai dengan KUHAP. Artinya masalah seperti di atas,
sepanjang tidak jelas dalam UU TPK maka kembali pada KUHAP. Apabila dalam hubungannya
dengan KUHAP belum terang juga, maka diserahkan pada praktik hukum melalui
penemuan hukum.
Unsur sistem pembuktian,
ialah alat-alat bukti yang boleh digunakan dan caranya membuktikan serta
standard yang harus dipenuhi untuk menyatakan terbukti atau tidaknya mengenai
objek apa yang dibuktikan. Alat-alat buktinya jelas ialah dengan menggunakan
alat-alat bukti Pasal 183 ayat (1) KUHAP jo Pasal 26A UUPTPK
Mengenai objek harta benda
yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan tidak menyangkut langsung dengan
unsur-unsur tindak pidana dakwaan. Sistem terbalik untuk objek harta benda
terdakwa yang tidak disebut dalam dakwaan, bukan untuk membuktikan kesalahan
terdakwa melakukan TPK yang didakwakan, melainkan apabila terdakwa tidak
berhasil membuktikan, untuk menjatuhkan pidana perampasan barang atau
sebaliknya. Pada hal untuk menjatuhkan pidana apapun jenisnya, syaratnya ialah
harus dibuktikan dahulu tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang
didakwakan. Membuktikan tindak pidana adalah membuktikan unsur-unsurnya.
Membuktikan kesalahan terdakwa adalah membuktikan adanya hubungan batin
(subjektif) terdakwa dengan terwujudnya tindak pidana yang didakwakan. Dalam
hukum korupsi, untuk membuktikan unsur-unsur TPK justru tidak menggunakan sistem
beban pembuktian terbalik.
Oleh karena itu pada tahap
akhir pembuktian terhadap dua objek yang berbeda (yang satu objek kekayaan
yakni sumbernya dan yang lain mengenai unsur-unsur tindak pidananya) dengan
sistem beban pembuktian yang berbeda. Dengan begitu bisa saja menghasilkan
sesuatu yang berbeda.
Apabila perbedaan hasil
pembuktian, misalnya terdakwa berhasil membuktikan sumber kekayaanya (yang
belum didakwakan) adalah sumber yang halal, tidak ada masalah meskipun perkara
pokoknya terbukti dan terdakwa dipidana karena perbuatannya itu. Sebaliknya
akan menjadi masalah hukum, apabila disatu pihak terdakwa tidak berhasil
membuktikan sumber kekayaan misalnya sebuah deposito 12 miliar rupiah, tetapi
dilain pihak JPU juga tidak berhasil membuktikan misalnya dakwaan menggelapkan
uang negara (Pasal 8 UUPTPK).[12] Perbedaan hasil
pembuktian tersebut menimbulkan akibat hukum yang ganjil. Deposito Rp 12 miliar
bisa dirampas untuk negara, tetapi dibebaskan dari perkara pokok Pasal 8 karena
tidak terbukti.
Keganjilan itu bisa terjadi
dikarenakan pembuktian Pasal 8 adalah membuktikan semua unsur-unsurnya.
Sedangkan membuktikan harta benda yang belum didakwakan adalah tentang sumber
(yang halal) dari mana diperoleh deposito Rp 12 miliar tersebut. Walaupun
dengan adanya ketentuan Pasal 38B ayat (6)[13] hal perampasan barang
tidak boleh dilakukan. Namun masalah tersebut tidak bisa dijawab dengan hanya
tidak menjatuhkan pidana perampasan barang. Karena deposito itu tidak jelas
asal usulnya, tapi negara tidak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya kejadian
seperti ini dapat dihindari, apabila JPU mendakwakan TPK yang sesuai dengan
perolehan kekayaan terdakwa yang tidak jelas sumbernya tersebut.
Jika didakwa TPK menerima
suap gratifikasi, maka objek dan cara pembuktian ialah:
1.
Bahwa
tidak ada gratifikasi yang diterima, atau bukan terdakwa yang menerima
gratifikasi tersebut;
2.
Bahwa
jika terbukti ada sesuatu penerimaan (gratifikasi), maka terdakwa membuktikan
bahwa penerimaan itu bukan berhubungan dengan jabatannya dan atau tidak
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jadi mengacu pada unsur-unsurnya,
tetapi kebalikan (negatif) yakni tidak ada unsurunsur TPK tersebut;
3.
Bahwa
ia telah melaporkan pada KPK tentang penerimaan itu dalam waktu 30 hari kerja
sejak menerimanya. Menurut Pasal 37 ayat (2) bila terdakwa dapat membuktikan
seperti itu, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai
dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Oleh karena pembuktian
(negatif) oleh terdakwa ini mengenai objek TPK (menerima suap gratifikasi) tentu
harus diikuti dengan diktum pembebasan terdakwa. Disini letak sistem terbalik
justru menguntungkan terdakwa. Karena hakim tidak perlu mempertimbangkan hasil
pembuktian JPU.[14]
Meskipun objek pembuktian
sistem terbalik sangat terbatas, untuk memaksimalkan penerapannya, diperlukan
JPU mendakwakan Pasal 12B tentang TPK menerima suap gratifikasi. Dalam hal
perkara yang tepat bagi JPU untuk mendakwakan Pasal 12B sehingga pembuktiannya
dapat menggunakan sistem terbalik, adalah dalam perkara korupsi suap pasif yang
nilainya besar yang dilakukan dalam waktu yang lama dan sukar pembuktiannya
dengan sistem biasa. Misalnya Rekening gendut di kepolisian yang sampai kini
tidak jelas hasil penyelidikan atau penyidikannya atau rekening gendut para
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pegawai dirjen Pajak yang tidak jelas asal-usulnya.
Memang tidak mudah
membuktikan satusatu penerimaan suap dari tiap-tiap pengusaha atau para pencari
keadilan serta kapan saat penerimaan itu terjadi. Hanya tepat untuk kasuskasus
semacam itu. Sesungguhnya sistem beban pembuktian terbalik TPK bertumpu pada
konsep memudahkan pembuktian bagi TPK yang sukar pembuktiannya dengan sistem
biasa. Demikianlah itulah maksud pembentuk Undang-undang memasukkan sistem
pembebanan pembuktian terbalik bagi TPK suap menerima gratifikasi dalam UU TPK.
BAB
III
KESIMPULAN
Dilihat dari siapa yang
dibebani membuktikan serta objek pembuktiannya, dapat dibedakan antara tiga
sistem, ialah: (1) sistem terbalik, (2) sistem semi terbalik dan (3) sistem
biasa. Mengenai sistem beban pembuktian terbalik dalam UUPTPK, terbatas pada
dua objek saja. Objek tindak pidana menerima suap gratifikasi yang nilainya Rp
10 juta atau lebih (Pasal 12B) dan objek mengenai harta benda terdakwa yang
tidak/belum disebut dalam surat dakwaan (Pasal 38B).
Sistem semi terbalik berlaku
dalam hal pembuktian tentang harta benda terdakwa yang telah didakwakan,
khususnya bagi terdakwa membuktikan tentang kekayaannya seimbang dengan sumber
pendapatannya. Sebaliknya keadaan tidak berhasilnya terdakwa membuktikan
kekayaan itu didapat dari sumber yang halal, dipergunakan JPU untuk memperkuat
alat bukti yang membuktikan unsur-unsur TPK yang didakwakan. Sedangkan sistem
biasa (beban pembuktian pada JPU) berlaku pada TPK suap menerima gratifikasi
yang nilainya kurang dari Rp 10 juta dan semua TPK selain suap menerima
gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih. Dalam memberantas korupsi,
sistem terbalik tidak banyak manfaatnya. Bermanfaat karena objek pembuktiannya
sangat terbatas, yakni pada TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10
juta atau lebih saja.
Sistem terbalik, disatu
pihak memang memudahkan pembuktian dalam hal didakwa suap menerima gratifikasi.
Memudahkan artinya lebih berpihak dan menguntungkan JPU. Tetapi sebaliknya
sistem terbalik dapat menjadi sangat menguntungkan terdakwa dan merugikan JPU.
Hal ini bisa terjadi disebabkan karena dalam sistem terbalik JPU pasif dalam
pembuktian. Sistem terbalik harus digunakan dalam kasuskasus besar dengan
syarat-syarat: (1) pegawai negeri atau penyelenggara negara diduga telah
menerima suap terutama dari banyak pihak, dalam waktu yang lama dan
berkali-kali, (2) penerimaan suap tersebut sukar dibuktikan misalnya kapan saat
menerima suap, dari siapa saja penyuapnya dan berapa masing-masing jumlahnya,
(3) yang menimbulkan atau menjadikan kekayaannya berlimpah ruah, (4) yang tidak
seimbang dengan gaji atau sumber pendapatan lainnya yang sah.
Tangerang, Agustus 2015
M. Alvi Syahrin
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Adami
Chazawi (I), 2011, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Bayumedia
Publishing, Malang.
, (II), 2005, Hukum Pidana Materiil dan
Formil Korupsi di Indonesia (Cetakan Kedua), Penerbit Bayumedia Pulishing,
Malang.
Andi
Hamzah, 2011, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi
[1] Andi Hamzah, Hukum
Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 250
[2] Penyebutan standar
bukti digunakan oleh Adami Chazawi. Lihat Adami Chazawi (I), Hukum Pembuktian
Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2011, hlm. 23.
[3] Ibid., hlm. 78.
[4] Adami Chazawi (II),
Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia (Cetakan Kedua), Penerbit
Bayumedia Pulishing, Malang, 2005, hlm. 264.
[5] Ibid., hlm. 267.
[6] Ibid., hlm. 92.
[7] Ibid.
[8] Andi Hamzah, Op. Cit.,
hlm. 64.
[9] Adami Chazawi (I), Op.
Cit., hlm. 49.
[10] Ibid., hlm. 12.
[11] Adami Chazawi (I), Op.
Cit., hlm. 121.
[12] Pasal 8 UUPTPK,
mengenai penggelapan uang/surat berharga yang dilakukan oleh PNS karena
jabatannya.
[13] Apabila terdakwa
dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok,
maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) harus ditolak oleh hakim.