Sebagian orang tentu populer dengan istilah Cegah dan
Tangkal. Namun, tidak sedikit yang mengerti istilah Denial of Entry (DoE).
Penangkalan adalah larangan terhadap orang asing untuk masuk wilayah Indonesia
berdasarkan alasan keimigrasian (Pasal 1 angka 29 UU No. 6 Tahun 2011).
Sedangkan DoE sendiri adalah penolakan masuk bagi orang asing berdasarkan
alasan-alasan sah menurut hukum yang telah disepakati oleh Negara-negara G20.
Ada perbedaan mendasar antara penangkalan dan DoE.
Jika dalam penangkalan, nama orang asing sudah tercantum dalam daftar
penangkalan di sistem keimigrasian Negara yang bersangkutan. Berbeda halnya
dengan DoE, dimana orang asing yang ditolak masuk belum tentu tercantum dalam
daftar penangkalan suatu Negara.
Namun, penangkalan dan DoE memiliki beberapa persamaan
di antaranya pelaksanaannya harus didahului oleh permintaan atau permohonan
dari Negara lain. Bila tidak, maka dikhawatirkan tindakan DoE akan melanggar
prinsip HAM dan menimbulkan perselisihan dari Negara lain. Dalam praktek,
Negara yang dituju wajib menerima permohonan pengangkalan dan DoE dari Negara
lain, tanpa harus menghilangkan nilai kedaulatan dari suatu Negara. Hal ini
dikarenakan kewenangan penangkalan dan DoE merupakan wujud dari pelaksanaan
kedaulatan Negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum yang dilaksanakan
berdasarkan alasan keimigrasian.
Ada tiga pandangan mekanisme DoE, yaitu:
- Didasarkan pada Keputusan Bersama yang dilakukan oleh TNI, Polri, BIN, BNN, KPK, Kejaksaaan, dan lembaga penegak hukum lainnya.
- Pemberian persetujuan didasarkan pada mutual legal assistance (bantuan hukum timbal balik) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum
- Alasan yang didasarkan pada Pasal 13 huruf h U No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“termasuk dalam dalam Daftar Pencarian Orang Asing untuk ditangkap dari suatu Negara asing”)
Timbulnya wacana DoE sendiri didasari atas pertemuan
yang dilakukan oleh The Financial Action Task Force (FATF) dan Kelompok Kerja
G-20 Anti Korupsi yang menyelenggarakan Rapat Pemberantasan Korupsi pada
tanggal 12 Oktober 2013. Pertemuan tersebut dihadir oleh 95 Delegasi dari 27
yurisdiksi dan 15 organsisasi internasional lainnya.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Presiden FATF, Mr
Vladimir Nechaev (Federasi Rusia), di markas OECD di Paris. FATF terus
menekankan agenda anti-korupsi dan menghindari duplikasi peran dan kewenangan
dari lembaga anti-korupsi yang telah diamanatkan. Pekerjaan difokuskan pada
persoalan anti pencucian uang dan pendanaan kontra teroris sebagai tujuan isu
bersama negara para pihak.
Adapun hasil ringkasan dari rapat tersebut,
diantaranya adalah penggunaan prinsip mutual legal assistance (bantuan hukum
timbal balik) dan denial of entry (penolakan masuk) bagi para pelaku tindak
pidana korupsi dan pencucian uang yang akan masuk ke suatu negara tertentu.
Tangerang, Maret 2016
M. Alvi Syahrin