Migrasi Internasional
Membicarakan Hukum Pengungsi Internasional harus juga
dikaitkan dengan konteks Hukum Imigrasi Internasional. Masalah migrasi
internasional telah menjadi persoalan yang dihadapi oleh setiap negara, baik
negara berkembang maupun negara maju. Banyak negara maju membuat suatu
parameter sendiri, yang kemudian menjadi standar universal dalam menghadapi
persoalan mengenai migrasi internasional, di antaranya dari aspek hukum,
ekonomi, sosial dan hak asasi manusia. Hal tersebut merupakan paradigma baru
dalam mengatur persoalan migrasi agar tidak bersinggungan antar negara yang
sama menghadapi persoalan mengenai migrasi internasional.
Pada umumnya negara-negara di dunia berpandangan bahwa
masalah migrasi internasional tidak bisa diselesaikan secara parsial. Masalah
ini harus dipecahkan dengan pola kerja sama internasional dengan
mempertimbangkan secara kompleks.[1]
Migrasi internasional tidak sekedar masalah perpindahan penduduk dari suatu
negara ke negara lain, tetapi juga menyangkut dampak sosial-politik, status
hukum, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, diperlukan manajemen migrasi
masing-masing negara baik secara teknis birokrasi, maupun dari aspek hukum.
Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk
menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi
internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Dengan kata lain,
migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah
(negara) ke daerah (negara) lain. Ada dua dimensi penting dalam penelaahan
migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial/locus) dan dimensi waktu (tempus).
Jenis-jenis migrasi mencakup dua bidang. Pertama, migrasi internasional, yaitu
perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain. Migrasi ini lazim
dilakukan oleh para pengungsi dan para pencari suaka internasional yang melewati dan menduduki suatu negara tertentu. Kedua, migrasi internal, yaitu perpindahan yang terjadi dalam satu
negara, misalnya antar provinsi, antar kota/kabupaten, migrasi perdesaan ke
perkotaaan atau suatu administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat
kabupaten, seperti kecamatan, kelurahan, dan seterusnya. Jenis migrasi ini terjadi
antar unit administratif dalam satu negara. Seseorang dikatakan migran, jika
dia tinggal di tempat yang baru atau berniat tinggal di tempat yang bari itu
paling lama enam bulan lamanya.[2]
Terkait dengan migrasi internasional, maka hadirlah Hukum Imigrasi
Internasional yang mengatur lalu lintas atau pergerakan manusia dari satu
negara ke negara lain. Pengaturan lalu lintas penduduk tersebut berfokus pada
pengawasan terhadap orang asing yang berada di negaranya. Pada pokoknya
keimigrasian mengatur warga negara suatu negara saat keluar dari negaranya
serta mengatur pula bagaimana orang dapat masuk ke negaranya. Hukum Imigrasi
Internasional mencakup pula tata cara keimigrasian antar negara atau yang
berlaku di negara-negara pada umumnya.
Urgensi Separatisme Instrumen Hukum
UNHCR dalam rekomendasinya, menyatakan bahwa perlu
dilakukan pemisahan regulasi antara Undang-Undang tentang Keimigrasian dan
(Rancangan) Undang-Undang tentang Perlindungan Pencari Suaka[3].
Pembedaan menjadi dua undang-undang yang terpisah ini didasarkan pada sifat
yang berbeda dari perlindungan pengungsi jika dibandigkan dengan aturan-aturan
umum dalam keimigrasian.
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tidak mengenal
istilah pencari suaka atau pengungsi. Singkatnya, dalam undang-undang tersebut
hanya mengatur keabsahan soal imigran legal dan ilegal. Terminologi pencari
suaka dan pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia, harus dimaknai pada tidak
didasarkan atas dokumen perjalanan dan dokumen keimigrasian yang sah, serta
tidak melewati tempat pemeriksaan keimigrasian yang telah ditentukan, sehingga
pada akhirnya mereka akan dikategorikan sebagai imigran ilegal.
Lain halnya, apabila regulasinya dibuat secara terpisah,
dimana untuk pengaturan hukum terhadap pencari suaka dan pengungsi diatur
secara khusus dalam aturan tertentu. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri telah mengamanatkan agar dibentuk Peraturan Presiden tentang Penanganan
Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi. Namun, hingga saat ini Perpres
tersebut masih terus dilakukan pembahasan, sehingga ketentuan terhadap pencari
suaka dan pengungsi akan tetap tunduk pada ketentuan keimigrasian.
Menurut UU No. 6 Tahun 2011, status dan keberadaan
imigran ilegal di Indonesia harus dilakukan tindakan administratif
keimigrasian, ataupun tindak pidana keimigrasian, sesuai dengan derajat
pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan. Prinsip-prinsip ini merupakan norma
hukum baku, yang apabila diterapkan maka akan bertentangan dengan semangat
perlindungan HAM dan prinsip kemanusiaan yang hendak diberlakukan bagi para
pencari suaka dan pengungsi. Oleh karenanya, urgensi pemisahan regulasi
perlindungan pencari suaka dan pengungsi menjadi suatu keniscayaan.
Negara-negara yang telah melakukan pemisahan regulasi
tersebut, di antaranya Portugal, Brazil, dan Mozambique. Pemisahan instrumen
perlindungan hukum bagi pencari suaka dan pengungsi dari aturan-aturan umum
imigrasi, lebih kepada penekanan aspek kemanusiaan dan perlindungan khusus yang
harus diberikan oleh negara dibandingkan dengan bentuk dan pola migrasi
lainnya.
Penanganan Imigran Ilegal
Penyelesaian masalah imigran ilegal di wilayah Indonesia,
khususnya yang mengaku sebagai pencari suaka (asylum seeker) dan
pengungsi (refugee) semakin sering terjadi. Masuknya imigran ilegal ke
wilayah Indonesia yang jumlahnya cenderung meningkat, dapat menimbulkan
gangguan kehidupan sosial, politik, keamanan, dan ketertiban masyarakat. Tidak
menutup kemungkinan mereka disusupi oleh kegiatan terorisme internasional, people
smuggling, dan human trafficking atau kegiatan kriminal lainnya.
Untuk mencegah terjadinya hal negatif yang mengancam kedaulatan negara
tersebut, maka penanganan imigrai ilegal ini harus dilakukan dengan
komprehensif berdasarkan asas kebijakan selektif (selective policy principle)
melalui pengamanan (maximum security) di setiap perbatasan wilayah
negara Indonesia.
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri merupakan institusi
terdepan dalam menangani kebijakan bagi orang asing yang menyatakan diri
sebagai pencari suaka atau pengungsi. Namun secara teknis di lapangan,
Direktorat Jenderal Imigrasi mejadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan dan
pintu gerbang negara (bhumi pura wira wibawa) serta penegakan hukum
keimigrasian terhadap lalu lintas orang (asing) yang keluar masuk wilayah
Indonesia, baik itu secara sah ataupun tidak sah tanpa membedakan status
pencari suaka, pengungsi, ataupun bukan.
Secara internasional, penanganan pengungsi diatur dalam Konvensi
tentang Status Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951)
beserta Protokol-nya 31 Januari 1967.
Namun, sampai dengan saat ini Konvensi tersebut beserta Protokolnya belum
diratifikasi. Begitu juga, Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing
Pencari Suaka dan Pengungsi sebagai pelaksanaan mandat dari UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri belum disahkan. Aturan yang diterapkan kepada
mereka pencari suaka dan pengungsi sampai saat ini masih terbatas pada UU No. 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Konsekuensi logis dan yuridisnya adalah mereka
dikategorikan sebagai orang asing yang melanggar hukum keimigrasian Indonesia
dan keberadaannya di Indonesia adalah ilegal. Oleh karena itu, berdasarkan
norma hukum yang berlaku, mereka harus ditolak masuk ke Indonesia. Namun, bagi
mereka yang sudah terlanjur berada di Indonesia, segera dikeluarkan dari
wilayah Indonesia, baik itu dipulangkan kembali ke negara asal (refoulment
principle) ataupun tindakan pen-deportasi-an.
Namun, penerapan hukum untuk menolak dan mengeluarkan
imigran ilegal harus juga mempertimbangkan aspek hak asasi manusia, seperti apa
yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 dan instrumen hukum internasional yang
sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Penolakan orang asing untuk masuk
ke Indonesia dilakukan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) dengan
mengembalikan mereka ke bandara keberangkatan terakhir sebelum masuk ke
Indonesia. Bagi mereka yang sudah terlanjur masuk dan berada di wilayah
Indonesia, maka dilakukan tindakan deportasi ke negara asalnya, atau
dipindahkan secara sukarela ke negara asal atau negara pihak ketiga melalui
proses yang melibatkan United Nations High Commissioner for Refugee
(UNHCR). Selama menunggu proses deportasi, mereka ditempatkan di Rumah Detensi
Imigrasi atau tempat lain yang ditentukan Imigrasi. Sejauh ini sebagian dari
para imigran ilegal ditempatkan di di 13 Rumah Detensi Imigrasi dan sebagian di
penampungan di luar Rumah Detensi Imigrasi yang difasilitasi oleh UNHCR dan Internasional
Organization for Migration (IOM) yang ditetapkan dan disupervisi oleh
Kantor Imigrasi.
Ekspansi Terstruktur
Minimnya sarana dan prasarana, sumber daya manusia, dan
anggaran merupakan tantangan bagi jajaran imigrasi dalam melakukan strategi
penanganan imigran ilegal di wilayah Indonesia. Optimalisasi penanganan imigrai
ilegal dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi melalui koordinasi, baik
dalam lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, maupun antar instansi terkait serta
lembaga resmi yang menangani pengungsi seperti UNHCR dan IOM.
Beragam upaya telah dilakukan guna menanggulangi ekspansi
imigran ilegal yang masuk ke wilayah Indonesia. Upaya pre-emptif, preventif,
dan represif terus dilakukan secara stimultan. Direktorat Jenderal Imigrasi
(Kementerian Hukum dan HAM) sebagai institusi yang berhadapan langsung dengan
para imigran ilegal telah mengeluarkan pelbagai instrumen hukum dalam
menghadapi persoalan tersebut, di antaranya: Surat Edaran Direktur Jenderal
Imigrasi Nomor: F-IL.01.10-1297 tentang Penanganan Imigran Ilegal dan Peraturan
Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1487.UM.08.05 Tahun 2010 yang
ditandatangani pada tanggal 17 September 2010.
Namun, usaha yang dilakukan tidak sebanding dengan
semakin banyaknya keberadaan imigran ilegal di Indonesia, baik itu mengaku sebagai
pencari suaka ataupun berstatus pengungsi. Kelebihan kapasitas di hampir semua
Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) atau Ruang Detensi Imigrasi, menjadi tolak
ukur bahwa angka imigran ilegal di Indonesia setiap tahun semakin meningkat.
Penempatan mereka di luar Rudenim, yaitu di community house, atau tempat
penampungan sementara yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah setempat, tidak
dapat menyelesaikan persoalan. Belum lagi biaya hidup yang harus dikeluarkan
oleh pemerintah, tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat
yang kondisi ekonominya semakin terjepit akibat dampak kenaikan harga BBM.
Rudenim merupakan unit pelaksana teknis yang menjalankan
fungsi keimigrasian untuk menampung sementara para Deteni yang akan dikenakan
tindakan administrasi keimigrasian. Namun faktanya, mayoritas penghuni Rudenim
adalah mereka para pengungsi dan pencari suaka yang hendak menuju Australia.
Indonesialah yang kemudian dijadikan sebagai negara transit, bahkan tidak
mungkin mayoritas dari mereka memang sedari awal menjadikan Indonesia sebagai
negara tujuan, mengingat Australia kini lebih selektif bagi para “manusia
perahu”.
Kedatangan para imigran ke Austtralia dalam jumlah besar
kini telah dirasakan mengganggu oleh pemerintah Australia. Menurut ahli kependudukan
Australia, pertumbuhan penduduk Australia bukan dipicu oleh angka kelahiran,
melainkan karena migrasi penduduk yang daang ke Australia. Diperkirakan migrasi
telah menyumbang pertumbuhan penduduk sekitar 60% sedangkan proporsi kelahiran
justru menurun dari 60% menjadi 40%.
Menurut Australian Department of Immigration and
Citizenship, dalam empat tahun terakhir terjadi peningkatan pencari suaka
yang kebanyakan datang menggunakan perahu melewati perairan Indonesia. Pada
tahun 2010 ada sebanyak 6.535 orang yang masuk ke wilayah Australia, kemudian
pada tahun 2011 sekitar 4.565 orang, lalu pada tahun 2012 menjadi 17.202, dan
melonjak pada tahun 2013 yang mencapi kurang lebih 20.000 orang lebih.
Politik hukum keimigrasian Australia kini tidak
memungkinkan bagi para pencari suaka dan pengungsi untuk dapat masuk ke wilayah
kedaulatan Australia. Kebijakan turn back the boat dan penempatan ke negara
ketiga (Papua Nugini dan Selandia Baru) bagi para pencari suaka pemberian visa
sementara selama tiga tahun (bukan izin menetap), dan sebaginya, merupakan
bagian dari janji Tony Abbot dalam kampanye-nya dalam pemilihan Perdana Menteri
Australia beberapa waktu lalu. Bahkan reallitas, Australia kini sangat selektif
bahkan terkesan membatasi masuknya para imigran, baik itu yand datang secara
legal, ataupun ilegal (manusia perahu). Kebijakan-kebijakan tidak populer
Australia ini tentu akan merugikan Indonesia yang berdampak pada stabilitas dan
kedaulatan negara.
Fenomena demikian, akan menjadi pekerjaan rumah yang
berat bagi Indonesia, khususnya Direktorat Jenderal Imigrasi yang akan
berhadapan langsung dengan para imigran ilegal. Sampai saat ini, Indonesia
bukanlah negara yang meratifikasi Konvensi tentang Status
Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta
Protokol-nya 31 Januari 1967.
Konsekuensi logis dan yuridisnya, Indonesia tidak dibebani tanggung jawab
apapun terhadap keberadaan para pencari suaka dan pengungsi. Lain halnya,
dengan Australia yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Dengan beralasan
atas nama HAM, rasanya sulit untuk diterima dengan akal sehat, agar Indonesia
berkewajiban atas penanganan imigran ilegal, mengingat Indonesia bukanlah
negara dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi (non welfare state).
Oleh karena itu, keberadaan imigran ilegal di Indonesia pastinya akan membawa
dampak bagi tatanan nilai dan kehidupan bangsa Indonesia, yaitu ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan, serta potensi
keimigrasian.
Dampak secara ideologi. Keberadaan imigran ilegal (baca:
pencari suaka dan pengungsi) di Indonesia, akan berdampak pada falsafah dan
pandangan hidup negara Indonesia. Perbedaan latar belakang bangsa, bahasa, dan
budaya tentu berpotensi merubah cara pandang dam kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai bangsa yang selama ini menjadi kesepakatan bersama, akan tercancam
apabila pola dan perilaku yang dibawa oleh para imigran ilegal tidak sesuai
dengan Pancasila sebagai ide bangsa (staat idee).
Dampak secara politik. Dengan semakin banyaknya manusia
perahu yang melintasi perairan Indonesia, lalu semakin maraknya kasus
penyelundupan manusia dan perdagangan orang yang menjadikan Australia sebagai
negara tujuan, maka menyebabkan hubungan bilateral antara Indonesia dan
Australia menjadi tidak harmonis. Belum lagi adanya kasus penyadapan yang
dilakukan oleh Australia terhadap pemerintahan Indonesia, akan membuat situasi
menjadi memanas. Roll back a boat policy dan politik hukum keimigrasian
yang tidak populer dari Australia terhadap para imigran (legal dan ilegal),
akan memicu ketidakharmonisan hubungan di antara kedua negara, bahkan bagi
negara pihak ketiga penerima pencari suaka dan pengunsi (Papua Nugini dan
Selandia Baru).
Dampak secara ekonomi. Para imigran ilegal, baik itu
pengungsi ataupun pencari suaka, bahkan yang melibatkan jaringan penyelundupan
manusia, ataupun perdagangan orang sekalipun, yang masuk wilayah Indonesia
secara tidak sah telah mempengaruhi pendapatan negara dari sekor pemberian
visa. Dalam kasus ini negara akan dirugikan, dimana setiap orang asing yang
masuk wilayah Indonesia harus menggunakan visa (kecuali bagi negara tertentu) ,
sehingga akan mengurangi devisa negara.
Dampak secara sosial budaya. Adanya perbedaan fisik,
bahasa, dan budaya akan mempengaruhi sistem sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
Mayoritas pencari suaka dan pegungsi yang masuk ke wilayah Indonesia adalah
berasal dari negara kawasan asia selatan, asia tengah, dan asia barat, dan
afrika yang merupakan negara rawan konflik. Perilaku mereka cenderung agresif
dan sukar diatur. Hal ini tentu akan meresahkan warga sekitar, yang daerahnya
dijadikan tempat penampungan sementara diluar Rudenim. Belum lagi pengaruh
agama dan kepercayaan yang dibawa dari negara asal. Kemudian kecemburuan sosial
yang mungkin akan timbul akibat adanya perlakuan berbeda (baca: eksklusif) yang
diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap pencari suaka dan pengungsi.
Dampak keamanan pertahanan dan keamanan nasional.
Menurut prinsip hukum UU No. 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian, bagi Orang asing yang masuk wilayah Indonesia harus
memiliki dokumen perjalanan dan dokumen keimigrasian yang sah dan masih
berlaku, serta melewati tempat pemeriksaan keimigrasian yang telah ditentukan
oleh Keputusan Menteri. Pencari suaka dan pengungsi tidak memenuhi prinsip
hukum tersebut, yang mengakibatkan mereka masuk ke wilayah Indonesia secara
ilegal. Negara Indonesia adalah negara berdaulat. Lantas, terhadap praktek dan
perilaku tersebut apakah Indonesia masih dapat dikatakan sebagai negara
berdaulat? Potensi kerawasan nasional menjadi ancaman nyata, mengingat eksodus
imigran ilegal setiap tahun semakin meningkat.
Dampak potensi keimigrasian. Pola dan praktik ekspansi
imigran ilegal ke Indonesia membawa konsekuensi keimigrasian tersendiri,
terutama pada aspek pelanggaran dan kejahatan keimigrasian, yang meliputi
pemalsuan dokumen perjalanan (paspor), pemalsuan visa, izin tinggal, bahkan
penyalahgunaan izin tinggal. Modus-modus demikian harus menjadi perhatian
serius bagi Imigrasi Indonesia, guna mengantisipasi masuknya imigran ilegal ke
wilayah Indonesia
Dampak dampak tersebut diatas, harus menjadi fokus dan
perhatian bersama. Indonesia merupakan negara strategis bagi para imigran
ilegal (baca: pencari suaka dan pengungsi). Sehingga menjadi suatu fakta tak
terbantahkan, apabila Indonesia kini dijadikan sebagai negara tujuan imigran
ilegal. Menjadikan Indonesia sebagai negara transit untuk ke Australia, hanya
dalih dan modus belaka. Apalagi Australia saat ini sangat selektif bahkan
secara tegas sudah menolak kehadiran para imigran, baik itu legal dan ilegal.
Oleh karena itu, imigran ilegal memanfaatkan kelemahan posisi Indonesia
tersebut, agar dapat masuk ke wilayah Indonesia atas dasar HAM. Inilah yang
menjadi tantangan serius yang harus dihadapi, khususnya bagi Imigrasi
Indonesia, karena baik buruknya wibawa dan citra negara, merupakan tugas utama
dalam menjaga kedaulatan negara.
Muara Enim, November 2014
M. Alvi Syahrin
[2] Chotib, Migrasi: Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan,
Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
[3] Hingga saat ini, pembahasan Rancangan Peraturan Presiden
tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi terus dilakukan.
Pembahasan ini melibatkan beberapa instantsi terkaitt, di antaranya Direktorat
Jenderal Imigrasi, Kepolisian, TNI, dan sebagainya, yang dikomandoi oleh
Kementerian Politik, Hukum dan Kemananan.