Christian Gonzalez adalah pesepak bola asal Uruguay yang kemudian dinaturalisasi oleh Pemerintah Indonesia
Naturalisasi dalam Makna
Sebagaimana diketahui bahwa
pewarganegaraan atau yang sering disebut naturalisasi merupakan salah satu
bentuk atau cara mekanisme kewargenegaraan selain yang telah ditetapkan dalam
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewargenegaraan RI. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU
No. 12 Tahun 2006 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan naturalisasi adalah
tata cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan RI melalui
permohonan. Permohonan inilah yang akan menjadi “pintu masuk” bagi WNA yang berkeinginan untuk mejadi WNI
berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Periode Naturalisasi
Berkaitan dengan periode pengaturan
naturalisasi atau lebih tepatnya produk hukum penetapan dari naturalisasi, sejatinya
telah mengalami beberapa perubahan yang tentunya berdampak pada kekuatan hukum
dari legitimasi naturalisasi tersebut. Pada masa UU No. 3 Tahun 1946, produk
hukum penetapan naturalisasi dimuat dalam bentuk Undang-undang. Sedangkan pada
masa UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan, produk hukum tersebut dimuat
dalam Keputusan Pengadilan atau dengan kata lain diputus oleh Pengadilan
berdasarkan rekomendasi dari Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan
HAM). Lain lagi pada masa UU No. 12 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa produk
hukum penetapan naturalisasi seseorang dimuat dalam bentuk Keputusan Presiden
(Keppres), melalui rekomendasi dari Menteri Hukum dan HAM sebagaimana diatur
dalam Pasal 13 ayat (2).
Permasalahan timbul dibenak para
khalayak adalah mengapa sampai ada tiga masa periode berbeda yang menjadi
produk hukum dari naturalisasi tersebut. Hal tersebut tentunya juga telah
didasarkan pemikiran yang matang dari para wetsgever.
Secara tidak langsung, perubahan tersebut tentunya telah membawa konsekuensi
hukum tersendiri khususnya berkaitan dengan legitimasi di mata hukum dan
tinjuan teoritis yang sudah pasti memilki perspektif yuridis yang berbeda satu
sama lain.
Namun, berdasarkan analisa hukum yang
ada, produk penetapan naturalisasi yang diatur dalam UU No. 12 tahun 2006,
yaitu dimuat dalam Keppres lebih tepat bila dibandingkan dengan periode hukum
sebelumnya, seperti yang dimuat dalam Undang-undang ataupun Keputusan Pengadilan.
Ada beberapa argumentasi yang dapat dikemukakan dalam hal yang berkaitan dengan
Keppres sebagai produk hukum dari naturalsiasi.
Diantaranya bila ditinjau dari Teori
Trias Politika. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara itu
hendaknya dipisah kedalam tiga lembaga kekuasaan (separation of power), yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan
legislatif, serta kekuasaan yudikatif. Nah, berkaitan dengan produk hukum dari
penetapan naturalisasi, kekuasaan eksekutif dalam hal ini dipegang oleh
Presiden (sistem presidensial) memilki peran sentral dalam menetukan pihak-pihak
mana saja yang “berhak” untuk menjadi
WNI. Hal ini tentu saja berangkat dari pemikiran bahwa Presiden yang bertindak
sebagai kepala negara (selain kepala pemerintahan), memilki kekuasaan absolut
dalam menentukan dan menetapkan pihak-pihak mana saja yang dapat dijadikan
sebagai WNI. Walaupun terkesan otoriter, namun itulah hakikat dari kekuasaan
eksekutif.
Timbul pertanyaan, apakah dalam hal ini legislatif tidak mempunyai kewenangan dalam menentukan dan menetapkan pihak mana saja yang berhak untuk menjadi WNI? Sebagaimana diketahui bahwa ada tiga fungsi utama yang melandasi lembaga legislatif (Pasal 20A ayat 1 UUD 1945), yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Berkaitan dengan naturalisasi, legislatif hanya memiliki kekuasaan untuk merumuskan dan membentuk Undang-undang yang melandasi pengaturan serta landasan hukum bagi proses naturalisai secara umum, tapi tidak untuk menetapkan karena itu merupakan kewenangan dari Presiden. Presiden dalam menetapkan naturalisasi tersebut, tentunya harus berpedoman pada aturan umum yang menjadi landasan bagi pengaturan naturalisasi. Dengan adanya pemisahan kekuasaan seperti ini, tentunya akan menciptakan suatu kondisi yang sehat sehingga tidak ada kesan tumpang tindih kewenangan dan tentunya bertujuan untuk menciptakan check and balances system diantara kedua lembaga tersebut.
Begitu juga dengan kedaulatan
rakyat. Dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat yang dituangkan
dalam bentuk ideologi demokrasi. Demokrasi sendiri berarti kekuasaan yang
berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi jelas bahwa rakyat memiliki
kedudukan tertinggi dalam “mengatur”
sebuah negara. Namun dalam mengorganisir suatu negara rasanya tidak mungkin rakyat
secara massive harus memerintah
sebuah negara, dalam hal ini menentukan dan menetapkan pihak-pihak mana saja yang
dapat dijadikan sebagai WNI. Oleh karena itu, kekuasaan rakyat tersebut
diserahakan kepada Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan,
berdasarkan pemilihan umum yang demokratis dan secara langsung. Dengan adanya
pemberian kekuasaan rakyat tersebut, maka Presiden memiliki kewenangan untuk
menentukan dan menetapkan naturalisasi seseorang atas dasar “perpanjangan tangan” rakyat yang kemudian dituangkan dalam bentuk
Keppres sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2006.
Tidak jauh beda dengan kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum juga menjadi dasar dari Keppres sebagai produk hukum dari penetapan naturalisasi. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi adalah hukum. Hal tersebut tentunya berimpilkasi bahwa semua sikap tindak haruslah berdasarkan hukum, bukan yang lain. Begitu juga mengenai produk hukum dari naturalisasi. Walaupun hukum arti demikian dapat ditafsirkan luas, namun hakikat dari penetapan tersebut harus dituangkan dalam bentuk hukum, konkritnya ialah produk hukum. Tujuannya tidak lain adalah untuk mendapatkan kekuatan hukum serta pengakuan hukum dimata negara.
Proses naturalisasi tentunya
berkaitan dengan proses birokrasi dalam hal ini fungsi pemerintah (bestuur). Dimana “calon WNI”
tersebut terlebih dahulu harus mengajukan permohonan naturalisasi kepada
instansi terkait. Bila dikaitkan dengan fungsi pemerintah yang bertujuan unutk
mengatur masyarakat, maka sudah dapat dipastikan bahwa domain dari penentuan
dan penetapan dari naturalisasi tersebut merupakan wewenang dari pemerintah.
Dimana produk hukum yang dihasilkan adalah berbentuk Keppres, sebagai
konsekuensi yuridis atas kewenangan yang dikeluarkan oleh Presiden selaku
Kepala Pemerintahan.
Sebagaimana diketahui bahwa naturalisasi lebih bersifat individual bukan kelompok. Maksudnya bahwa tidak mungkin produk hukum yang dihasilkan yang berkaitan dengan naturalisasi tersebut dinyatakan secara massive. Inilah yang menjadi sumber permasalahan mendasar, dimana undang-undang dijadikan sebagai produk hukum dari naturalisasi.
Berdasarkan teori perundang-undangan, undang-undang termasuk dalam bentuk regeling (mengatur), dimana materi muatannya bersifat umum, abstrak dan berlaku terus menerus. Apabila dikatkan dengan naturalisasi yang bersifat individual dan konkrit, maka logika hukumnya bila produk hukum dari naturalisasi itu adalah undang-undang, tentunya akan banyak sekali undang-undang yang berkaitan dengan penetapan naturalisasi. Hal ini dikarenakan tidak sedikit WNA yang mengajukan permohonan untuk menjadi WNI di Republik ini. Tentunya ini akan berdampak pada pemborosan anggaran serta akan menghilangkan esensi dari naturalisasi tersebut.
Oleh karenanya, produk hukum yang lebih tepat untuk penetapan permohonan naturalisasi adalah Keppres. Sesuai dengan materi muatannya yang bersifat individual, konret dan berlaku sekali selesai. Secara teoritis wettenschaft, Keppres sama sekali tidak bertentangan dengan konsep naturalisasi, karena Keppres tidak lain adalah beschiking.
Namun, menurut Prof. Hamid Attammimi,
SH (Guru Besar Ilmu Perundang-undangan), tidak semua Keppres bersifat layaknya beschiking. Beliau membagi keppres
tersebut menjadi dua bentuk, yaitu einmalig
dan dauerhaftig. Keppres yang
bersifat einmalig mengandung muatan individual, konkrit, dan berlaku sekali
selesai sehingga lebih menitikberatkann kepada beschiking. Sedangkan Keppres yang bersifat dauerhaftig mengandung muatan umum, abstark, dan berlkau terus
menerus sehingga bentuknya lebih kepada peraturan perundang-undangan. Jadi,
walaupun produk hukum dari penetapan naturalisasi adalah Keppres namun tidak
semua Keppres dapat berlaku demikian karena hanya Keppres yang bersifat einmalig saja yang dapat dijadikan
sebagai produk hukum dari penetapan naturalisasi.
Kaitannya dengan filosofis warga
negara, naturalisasi memiliki hubungan yang cukup erat. Sebagaimana
diketahui bahwa secara filosofis warga negara merupakan salah satu unsur dari
suatu negara. Sehingga dapat dikatakan warga negara merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya suatu negara (d.h.i Republik Indonesia). Sehingga
akibat hukumnya, bagi setiap orang yang berkeinginan untuk menjadi WNI yang melalui
proses naturalisasi, maka harus diatur secara yuridis baik itu mengenai
landasan umumnya ataupun penetapannya.
Begitu juga kaitanya dengan kewarganegaraan
secara sosiologis, dimana naturalisasi tersebut sangat dipengaruhi oleh
latar belakang sosial budaya sehingga menimbulkan kecenderungan untuk melakukan
naturalisasi, misalnya karena adanya perkawinan campuran dan lain sebagainya.
Lain halnya dengan kewarganegaraan
secara yuridis yang memfokuskan kepada aturan formalnya, dalam hal ini UU No.
12 tahun 2006. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang tersebut, yang
dimaksud dengan kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan
warga negara. Termasuk dalam hal ini mekanisme kewarganegaraannya, yang
berkaitan dengan naturalisasi. Secara umum, proses naturalisasi telah diatur
dalam BAB III UU No. 12 Tahun 2006. Dimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (2)
bahwa pengabulan permohonan pewarganegaraan ditetapkan dengan Keputusan
Presiden (Keppres).
Berdasarkan beberapa argumentasi
diatas, dapat disimpulkan bahwa penetapan naturalisasi dalam bentuk Keppres
sebagai produk hukumnya, dapat dkatakan sudah tepat, bila dibandingkan dengan
produk-produk hukum yang sebelumnya, seperti undang-undang ataupun keputusan
pengadilan. Dengan merujuk pada landasan-landasan teori yang dikemukakan
diatas.
Palembang, Juni 2010
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment