Wednesday, July 24, 2013

PRODUK HUKUM PENETAPAN NATURALISASI (STATUS WNA MENJADI WNI)


Christian Gonzalez adalah pesepak bola asal Uruguay yang kemudian dinaturalisasi oleh Pemerintah Indonesia


Naturalisasi dalam Makna
Sebagaimana diketahui bahwa pewarganegaraan atau yang sering disebut naturalisasi merupakan salah satu bentuk atau cara mekanisme kewargenegaraan selain yang telah ditetapkan dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewargenegaraan RI. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 2006 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan naturalisasi adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan RI melalui permohonan. Permohonan inilah yang akan menjadi “pintu masuk” bagi WNA yang berkeinginan untuk mejadi WNI berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Periode Naturalisasi
Berkaitan dengan periode pengaturan naturalisasi atau lebih tepatnya produk hukum penetapan dari naturalisasi, sejatinya telah mengalami beberapa perubahan yang tentunya berdampak pada kekuatan hukum dari legitimasi naturalisasi tersebut. Pada masa UU No. 3 Tahun 1946, produk hukum penetapan naturalisasi dimuat dalam bentuk Undang-undang. Sedangkan pada masa UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan, produk hukum tersebut dimuat dalam Keputusan Pengadilan atau dengan kata lain diputus oleh Pengadilan berdasarkan rekomendasi dari Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM). Lain lagi pada masa UU No. 12 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa produk hukum penetapan naturalisasi seseorang dimuat dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres), melalui rekomendasi dari Menteri Hukum dan HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2).

Permasalahan timbul dibenak para khalayak adalah mengapa sampai ada tiga masa periode berbeda yang menjadi produk hukum dari naturalisasi tersebut. Hal tersebut tentunya juga telah didasarkan pemikiran yang matang dari para wetsgever. Secara tidak langsung, perubahan tersebut tentunya telah membawa konsekuensi hukum tersendiri khususnya berkaitan dengan legitimasi di mata hukum dan tinjuan teoritis yang sudah pasti memilki perspektif yuridis yang berbeda satu sama lain.

Namun, berdasarkan analisa hukum yang ada, produk penetapan naturalisasi yang diatur dalam UU No. 12 tahun 2006, yaitu dimuat dalam Keppres lebih tepat bila dibandingkan dengan periode hukum sebelumnya, seperti yang dimuat dalam Undang-undang ataupun Keputusan Pengadilan. Ada beberapa argumentasi yang dapat dikemukakan dalam hal yang berkaitan dengan Keppres sebagai produk hukum dari naturalsiasi.

Diantaranya bila ditinjau dari Teori Trias Politika. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara itu hendaknya dipisah kedalam tiga lembaga kekuasaan (separation of power), yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, serta kekuasaan yudikatif. Nah, berkaitan dengan produk hukum dari penetapan naturalisasi, kekuasaan eksekutif dalam hal ini dipegang oleh Presiden (sistem presidensial) memilki peran sentral dalam menetukan pihak-pihak mana saja yang “berhak” untuk menjadi WNI. Hal ini tentu saja berangkat dari pemikiran bahwa Presiden yang bertindak sebagai kepala negara (selain kepala pemerintahan), memilki kekuasaan absolut dalam menentukan dan menetapkan pihak-pihak mana saja yang dapat dijadikan sebagai WNI. Walaupun terkesan otoriter, namun itulah hakikat dari kekuasaan eksekutif.

Timbul pertanyaan, apakah dalam hal ini legislatif tidak mempunyai kewenangan dalam menentukan dan menetapkan pihak mana saja yang berhak untuk menjadi WNI? Sebagaimana diketahui bahwa ada tiga fungsi utama yang melandasi lembaga legislatif (Pasal 20A ayat 1 UUD 1945), yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Berkaitan dengan naturalisasi, legislatif hanya memiliki kekuasaan untuk merumuskan dan membentuk Undang-undang yang melandasi pengaturan serta landasan hukum bagi proses naturalisai secara umum, tapi tidak untuk menetapkan karena itu merupakan kewenangan dari Presiden. Presiden dalam menetapkan naturalisasi tersebut, tentunya harus berpedoman pada aturan umum yang menjadi landasan bagi pengaturan naturalisasi. Dengan adanya pemisahan kekuasaan seperti ini, tentunya akan menciptakan suatu kondisi yang sehat sehingga tidak ada kesan tumpang tindih kewenangan dan tentunya bertujuan untuk menciptakan check and balances system diantara kedua lembaga tersebut.

Begitu juga dengan kedaulatan rakyat. Dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat yang dituangkan dalam bentuk ideologi demokrasi. Demokrasi sendiri berarti kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi jelas bahwa rakyat memiliki kedudukan tertinggi dalam “mengatur” sebuah negara. Namun dalam mengorganisir suatu negara rasanya tidak mungkin rakyat secara massive harus memerintah sebuah negara, dalam hal ini menentukan dan menetapkan pihak-pihak mana saja yang dapat dijadikan sebagai WNI. Oleh karena itu, kekuasaan rakyat tersebut diserahakan kepada Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, berdasarkan pemilihan umum yang demokratis dan secara langsung. Dengan adanya pemberian kekuasaan rakyat tersebut, maka Presiden memiliki kewenangan untuk menentukan dan menetapkan naturalisasi seseorang atas dasar “perpanjangan tangan”  rakyat yang kemudian dituangkan dalam bentuk Keppres sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2006.

Tidak jauh beda dengan kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum juga menjadi dasar dari Keppres sebagai produk hukum dari penetapan naturalisasi. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi adalah hukum. Hal tersebut tentunya berimpilkasi bahwa semua sikap tindak haruslah berdasarkan hukum, bukan yang lain. Begitu juga mengenai produk hukum dari naturalisasi. Walaupun hukum arti demikian dapat ditafsirkan luas, namun hakikat dari penetapan tersebut harus dituangkan dalam bentuk hukum, konkritnya ialah produk hukum. Tujuannya tidak lain adalah untuk mendapatkan kekuatan hukum serta pengakuan hukum dimata negara.

Proses naturalisasi tentunya berkaitan dengan proses birokrasi dalam hal ini fungsi pemerintah (bestuur). Dimana “calon WNI” tersebut terlebih dahulu harus mengajukan permohonan naturalisasi kepada instansi terkait. Bila dikaitkan dengan fungsi pemerintah yang bertujuan unutk mengatur masyarakat, maka sudah dapat dipastikan bahwa domain dari penentuan dan penetapan dari naturalisasi tersebut merupakan wewenang dari pemerintah. Dimana produk hukum yang dihasilkan adalah berbentuk Keppres, sebagai konsekuensi yuridis atas kewenangan yang dikeluarkan oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan.

Sebagaimana diketahui bahwa naturalisasi lebih bersifat individual bukan kelompok. Maksudnya bahwa tidak mungkin produk hukum yang dihasilkan yang berkaitan dengan naturalisasi tersebut dinyatakan secara massive. Inilah yang menjadi sumber permasalahan mendasar, dimana undang-undang dijadikan sebagai produk hukum dari naturalisasi.

Berdasarkan teori perundang-undangan, undang-undang termasuk dalam bentuk regeling (mengatur), dimana materi muatannya bersifat umum, abstrak dan berlaku terus menerus. Apabila dikatkan dengan naturalisasi yang bersifat individual dan konkrit, maka logika hukumnya bila produk hukum dari naturalisasi itu adalah undang-undang, tentunya akan banyak sekali undang-undang yang berkaitan dengan penetapan naturalisasi. Hal ini dikarenakan tidak sedikit WNA yang mengajukan permohonan untuk menjadi WNI di Republik ini. Tentunya ini akan berdampak pada pemborosan anggaran serta akan menghilangkan esensi dari naturalisasi tersebut.

Oleh karenanya, produk hukum yang lebih tepat untuk penetapan permohonan naturalisasi adalah Keppres. Sesuai dengan materi muatannya yang bersifat individual, konret dan berlaku sekali selesai. Secara teoritis wettenschaft, Keppres sama sekali tidak bertentangan dengan konsep naturalisasi, karena Keppres tidak lain adalah beschiking.

Namun, menurut Prof. Hamid Attammimi, SH (Guru Besar Ilmu Perundang-undangan), tidak semua Keppres bersifat layaknya beschiking. Beliau membagi keppres tersebut menjadi dua bentuk, yaitu einmalig dan dauerhaftig. Keppres yang bersifat einmalig mengandung muatan individual, konkrit, dan berlaku sekali selesai sehingga lebih menitikberatkann kepada beschiking. Sedangkan Keppres yang bersifat dauerhaftig mengandung muatan umum, abstark, dan berlkau terus menerus sehingga bentuknya lebih kepada peraturan perundang-undangan. Jadi, walaupun produk hukum dari penetapan naturalisasi adalah Keppres namun tidak semua Keppres dapat berlaku demikian karena hanya Keppres yang bersifat einmalig saja yang dapat dijadikan sebagai produk hukum dari penetapan naturalisasi.

Kaitannya dengan filosofis warga negara, naturalisasi memiliki hubungan yang cukup erat. Sebagaimana diketahui bahwa secara filosofis warga negara merupakan salah satu unsur dari suatu negara. Sehingga dapat dikatakan warga negara merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya suatu negara (d.h.i Republik Indonesia). Sehingga akibat hukumnya, bagi setiap orang yang berkeinginan untuk menjadi WNI yang melalui proses naturalisasi, maka harus diatur secara yuridis baik itu mengenai landasan umumnya ataupun penetapannya.

Begitu juga kaitanya dengan kewarganegaraan secara sosiologis, dimana naturalisasi tersebut sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya sehingga menimbulkan kecenderungan untuk melakukan naturalisasi, misalnya karena adanya perkawinan campuran dan lain sebagainya.

Lain halnya dengan kewarganegaraan secara yuridis yang memfokuskan kepada aturan formalnya, dalam hal ini UU No. 12 tahun 2006. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan warga negara. Termasuk dalam hal ini mekanisme kewarganegaraannya, yang berkaitan dengan naturalisasi. Secara umum, proses naturalisasi telah diatur dalam BAB III UU No. 12 Tahun 2006. Dimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (2) bahwa pengabulan permohonan pewarganegaraan ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres).

Berdasarkan beberapa argumentasi diatas, dapat disimpulkan bahwa penetapan naturalisasi dalam bentuk Keppres sebagai produk hukumnya, dapat dkatakan sudah tepat, bila dibandingkan dengan produk-produk hukum yang sebelumnya, seperti undang-undang ataupun keputusan pengadilan. Dengan merujuk pada landasan-landasan teori yang dikemukakan diatas.

Palembang, Juni 2010
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment