Metode
Argumentum Per Analaogium (Analogi)[1]
Analogi semacam ini merupakan metode penemuan hukum di mana hakim
mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum
baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada pengaturannya.
Sebagai contoh untuk mempermudah pemahaman yaitu, Pasal 1576 KUHPerdata hanya
mengatur bahwa “jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa”. Dalam
praktik, hakim dihadapkan pada kasus lain, yaitu hibah. Maka pertanyaannya, apakah
ia tidak memutuskan sewa menyewanya?
Dalam
hal ini hakim wajib melakukan penemuan hukum, karena pengaturannya tidak
mengatur masalah hibah, supaya ada putusan yang dapat dikeluarkan oleh hakim.
Langkah yang ditempuh hakim ialah mencari esensi dari jual beli itu apa. Dan
ternyata esensinya adalah “peralihan hak”. Kemudian apa yang menjadi esensi
dari hibah, ternyata juga “peralihan hak”. Dengan demikian ditemukan
jawabannya, bahwa oeralihan hak merupakan “genus” (peristiwa umum), sedangkan
jual beli dan hibah masing-masing sebagai “spesiesnya” (peristiwa khusus).
Simpulannya, hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa menyewa. Dari kasus ini
berarti metode analogi ini menggunakan penalaran induksi, berfikir dari khusus
ke yang umum. Dengan analogi, maka peristiwa yang serupa, sejenis, atau mirip
dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.
Metode
analogi merupakan salah satu jenis konstruksi hukum yang sering digunakan dalam
perkara perdata, tetapi menimbulkan polemik penggunaannya dalam perkara pidana.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum Inggris yang sebagian tertulis (statuta
law) dan sebagian tidak tertulis (common law) memperkenalkan analogi
terhadap hukum pidana. Sementara di Denmark merupakan satu-satunya negara yang
dengan tegas membolehkan analogi. Dengan catatan, peristiwa yang dihukum dengan
jalan analogi harus “entierenment assimilable” (sepenuhnya menyatu)
dengan tindakan-tindakan yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-undang.
Kalau hakim berpegang pada ketentuan ini, jarang terjadi pelaksanaan
undang-undang secara analisis. Jadi hanya analogi undang-undang saja yang
dibolehkan.
Di
Indonesia, penerapan analogi dalam kasus pidana nampaknya belum diterima,
walaupun Hakim Bismar Siregar pernah melakukan terobosan penggunaannya dalam
kasus perkosaan bahwa kemaluan wanita dianalogikan sebagai “barang”. Tetapi
dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung, putusan/ terobosan Bismar ini dibatalkan.
Metode
Argumentum a Contrario[2]
Metode
ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk menemukan hukum dengan
pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal tertentu untuk
peristiswa tertentu , maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu
dan untuk peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya. Jadi esensi nya
mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan pengertian antara peristiwa
konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Pada
metode argumentum a contratio ini, titik berat diletakkan pada ketidaksamaan
peristiwanya. Disini diperlukan segi negatifnya dair undang-undang.
Salah
satu contoh klasik tentang penerapan metode ini yaitu pada ketentuan tentang
masa tunggu (masa iddah) bagi janda yang hendak kawin lagi karena perceraian
dengan suaminya. Menurut Pasal 39 PP No.
9 Tahun 1975, masa tunggu bagi janda ditetapkan 130 hari. Bagaimana halnya
dengan duda yang hendak kawin lagi setelah bercerai dengan isterinya.
Solusinya, hakim dapat menerapkan metode argumentum a contrario ini,
sehingga seorang duda tidak perlu menunggu waktu tertentu (masa iddah) dan dia
bisa langsung melakukan pernikahan lagi dengan wanita pujaannya yang baru.
Metode
Penyempitan/Pengkonkritan Hukum (Rechsvervijnings)[3]
Metode
ini bertujuan untuk mengkonkritkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu
abstrak, luas, dan umum, supaya dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa
tertentu.
Sebagai
contoh Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi: “Tiap perbuatan melawan hukum yang
membawa kerugian pada pihak lain, mewajibkan si pelaku karena salahnya
menimbulkan kerugian itu, untuk mengganti kerugian itu”. Persoalannya, apa yang
dimaksud dengan “perbuatan melawan hukum itu”?
Sebelum
tahun 1919, sebagai akibat dianutnya aliran legisme, maka para hakim
mengindentifikasikan perbuatan melawan hukum itu adalah pebuatan yang melanggar
undang-undang. Kemudian setelah keluarnya Arrest HoogRaad 31 Januari 1919 dalam
kasus Lindenbauw versus Cohen, maka hakim telah menyempitkan arti perbuatan
melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) itu adalah berbuat atau tidak berbuat
yang:
a.
Melanggar hak subjektif hukum lain
b.
Bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pelaku
c.
Bertentangan dengan nilai kepatutan yang seyogyanya diindahkan
dalam kehidupan bersama terhadap integritas subjek hukum maupun harta bendanya.
Khusus
untuk butir (c) di atas, yaitu “nilai kepatutan” telah dikualifisir sebagai
salah satu indikator perbuatan melawan hukum. Dalam hukum administrasi negara,
“nilai kepatutan” itu masuk dalam pembahasan tentang “Asas-Asas Umum
Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPPL)”. Dalam hasil penelitian yang
dilakukan oleh Jazim Hamidi telah merekomendasikan perlunya pengaturan yang
lebih spesifik tentang keberadaan AAUPL, sehingga ketentuan Pasal 53 ayat (2)
UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ditambah butir (d)
AAUPPL. Kemudian setelah diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada Pasal 53
ayat 2 butir (b) secara tegas menjadikan AAUPPL sebagai salah satu alasan yang dapat
digunakan orang atau badan hukum perdata untuk mengajukan gugatan tertulis
kepada Pengadilan supaya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakannya dinyatakan batal atau tidak sah. Dengan demikian sejak 29
Maret 2004 dimana undang-undang ini disahkan, AAUPPL telah menjadi bagian
integral dari hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Palembang, November 2011
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment