Pengumpulan data atau informasi
sangat diperlukan untuk memproduksi analisa intelijen. Ada banyak
sumber-sumber informasi termasuk informasi terbuka seperti berita radio asing,
surat kabar, majalah, internet, buku, dan lain-lain yang dapat digunakan dalam pengumpulan
informasi intelijen keimirasian.
Informasi terbuka merupakan salah satu sumber utama intelijen yang harus
dimekanisasikan secara disiplin menjadi sebuah rutinitas sehari-hari yang
menjadi supply tidak terbatas yang akan
mendukung analisa intelijen.
Selain terbuka, ada juga informasi yang bersifat
rahasia. Informasi tersebut berasal dari sumber-sumber yang rahasia pula. Informasi ini hanya
memiliki presentase yang kecil namun sifatnya amatlah sangat penting sehingga
sering juga menjadi penentu dari sebuah produk intelijen. Biasanya diperoleh
dari operasi tertutup oleh para agen intelijen atau melalui informan. Secara
teknis pengumpulan data juga dilakukan oleh peralatan canggih secara elektronik
dan fotografi serta satelit.
Teknik pengumpulan informasi intelijen dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu: terbuka dan tertutup.
Pengumpulan Informasi Intelijen
|
|
Terbuka
|
Tertutup
|
1.
Media Cetak
2.
Media Elektronik
3.
Buku /
Majalah
4.
Internet
5.
Dan
lain-lain
|
1.
Perekrutan
Agen Luar
2.
Petugas
Intelijen (Internal):
-
Pengumpulan
bahan keterangan:
·
Wawancara
·
Cek
lapangan
·
Penggerebekan
·
Profiling
-
Berdasarkan
Standard Operational Procedure
(SOP)
Sampai saat ini belum ada regulasinya
|
Belum adanya SOP yang mengatur prosedur pengumpulan
informasi intelijen yang harus dilakukan, tentu sangat berpengaruh terhadap
kinerja Direktorat Intelijen Keimigrasian sejauh ini. Direktorat Intelijen
Keimigrasian belum dapat bekerja secara maksimal, karena petugas imigrasi di
lapangan masih terkendala aturan hukum yang menjadi dasar melakukan operasi
intelijen.
Kesulitan ini terwujud dari masih minimnya kuantitas
produk intelijen yang dihasilkan oleh Direktorat Intelijen Keimigrasian cq. Sub
Direktorat Produk Intelijen. Murdo Danang Laksono, Kepala Seksi Produk
Perikiraan Intelijen, menjelaskan sampai saat ini Sub Direktorat Produk
Intelijen masih kesulitan menganalisis, mengkaji, dan menghasilkan produk
intelijen yang akuratif, karena masih minimnya informasi yang masuk.
Menurutnya, analisa intelijen sangat bergantung pada informasi dan data, baik
itu yang bersifat primer ataupun sekunder. Suplai data dan informasi itulah
yang menjadi bahan untuk membuat produk intelijen.
Sejauh ini, permasalahan terbesar yang dihadapi oleh
Direktorat Intelijen Keimigrasian adalah masih kurangnya produk intelijen yang
dihasilkan. Padahal produk intelijen tersebut akan menjadi dasar bagi para
pemangku kepentingan (stakeholders)
untuk mengambil keputusan. Ini tentu menjadi tantangan yang harus diselesaikan,
mengingat Direktorat Intelijen Keimigrasian sebagai instansi strategis untuk melakukan
deteksi dini (early warning) dalam
pengamanan keimgrasian secara keseluruhan.
Berikut persoalan-persoalan yang menjadi kendala bagi
Direktorat Intelijen Keimigrasian dalam melakukan tugas dan fungsinya:
1. Ego Sektoral
Jelas, ego
sektoral menjadi masalah klasik dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat
Intelijen Keimigrasian. Pengumpulan informasi sulit terlaksana apabila
masing-masing instansi menutup diri untuk saling terbuka memberikan informasi.
Direktorat Intelijen Keimigrasian, sebagai institusi supervisi yang melakukan
pengumpulan informasi intelijen keimigrasian harus dapat melakukan pendekatan
ke berbagai institusi lain.
Namun
kenyataannya, masing-masing institusi terkait malah terkesan menunjukkan
arogansinya. Misalnya, sejauh ini Direktorat Intelijen Keimigrasian kesulitan
mendapatkan data dan informasi keimigrasisan yang berasal dari Direktotat
Sistem Informasi dan Teknologi Kemigrasian (Dit. Sistik). Dit Sistik selaku
institusi yang mengelola pusat data informasi keimigrasian enggan untuk
memberikan data tersebut karena menganggap Direktorat Intelijen Keimigrsian
tidak berhak dan berwenang untuk itu. Padahal dalam tugas dan fungsinya,
Direktorat Intelijen Keimigrasian dapat meminta data dan informasi apapun
kepada siapapun.
Belum lagi, bila
harus meminta data dan informasi ke instansi di luar Direktorat Jenderal
Imigrasi. Setiap instansi merasa berkepentigan untuk menangani suatu kasus,
sehingga menyulitkan Direktorat Intelijen Keimigrasian melakukan pengumpulan
bahan dan keterangan.
2. Belum ada Standard Operational Procedure (SOP)
Sampai saat ini,
Direktorat Intelijen Keimigrasian belum memiliki SOP yang mengatur bagaimana
teknis operasi intelijen. Petugas Imigrasi akan menghadapi kesulitan apabila
berhadapan dengan institusi lain, ketika harus menjelaskan prosedur teknis
pengumpulan bahan tersebut. Tidak adanya panduan yang konkrit dan praktis dalam
melakukan operasi intelijen, tentu saja menyulitkan Petugas Imigrasi dalam
melaksanakan pengumpulan data dan informasi intelijen keimigrasian di lapangan
3. Belum ada Sistem
Informasi Intelijen Imigrasi (Si3)
Direktorat
Intelijen Keimigrasian dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sangat
bergantung pada data dan informasi keimigrasian yang berbasis pada teknologi.
Hingga saat ini, Direktorat Intelijen Keimigrasian menghadapi kesulitan, ketika
membutuhkan informasi keimigrasian secara tepat dan akurat. Hal tersebut tidak
dapat terwujud apabila belum ada pusat data yang dapat menjawab permasalahan
itu. Misalnya, data perlintasan yang hanya dapat diperoleh secara manual. Lalu
kemudian, data keberadaan orang asing di wilayah Indonesia yang masih belum update, dan lain sebagainya.
Ketiadaan sistem
semacam ini, akan menyulitkan gerak dan langkah petugas informasi dalam
melakukan pengumpulan bahan dan keterangan. Ditambah lagi, tekanan pimpinan
yang menghendaki agar segera dilakukan analisis intelijen. Produk intelijen
tentu akan kehilangan nilai ilmiahnya, bila tidak didukung dengan sistem data
dan informasi intelijen keimigrasian yang terpadu. Sehingga, urgesi atas
kebutuhan Si3 menjadi suatu keniscayaan guna menunjang kinjera dari Direktorat
Intelijen Keimigrasian.
4. Dana yang
Terbatas
Ruang lingkup
kegiatan intelijen keimigrasian tidak terbatas. Begitu juga dalam hal
pendanaan. Dalam melaksanakan tugasnya, seharusnya dana yang dianggarkan untuk
Direktorat Intelijen Keimigrasian bersifat unlimited.
Hal ini disebabkan, kegiatan operasi intelijen yang berupa pengumpulan bahan
keterangan memungkinkan untuk bekerja tanpa hari kerja, dengan kata lain setiap
waktu. Sifat pekerjaan yang tentatif yang bertujuan untuk mendapatkan produk
intelijen yang informatif tentu membutuhkan alokasi dana yang melimpah. Belum
lagi bila harus mencari informasi ke instansi lain, atau bahkan ke
daerah-daerah. Lalu, melakukan koordinasi baik secara vertikal atau ke instansi
lain. Pelaksanaan semua kegiatan itu menuntut anggaran yang tidak sedikit.
Namun, realita
berbeda dengan idealita. Kerap kali, kegiatan dan program Direktorat Intelijen
Keimigrasian terhambat karena anggaran yang belum cair, atau sudah habis
sebelum waktunya. Kiranya, ini perlu menjadi perhatian serius bagi para stakeholder, mengingat tugas dan fungsi
Direktorat Intelijen Keimigrasian yang vital dan strategis dalam rangka menjaga
kedaulatan dan pengamanan negara.
5. Kompetensi
Sumber Daya Manusia (SDM) yang Masih Minim
Kualitas dan
kuantitas SDM yang minim tentu menjadi masalah klasik di semua instansi dari
tahun ke tahun. Begitu juga dengan Direktorat Intelijen Keimigrasian. Permasalahan
intelijen keimigrasian merupakan masalah khusus yang butuh penanganan khusus
dan berbeda dengan permasalahan serupa lainnya. Oleh kerenanya, diperlukan SDM
yang khusus pula. SDM yang mumpuni dan mampu menjawab isu-isu intelijen
keimigrasian yang aktual.
Faktanya,
minimnya produktifitas Direktorat Intelijen Keimigrasian tidak terlepas dari
masih minimnya kompetensi SDM yang dimiliki. Telah dijelaskan diawal, bahwa
penyelesaian masalah intelijen keimigrasian memerlukan SDM yang khusus dan
terampil dalam bidang intelijen. Kompetensi tersebut tidak dapat dimiliki
dengan sendirinya, melainkan melalui pendidikan dan pelatihan intelijen yang
intensif. Selain minat dan bakat, tentu secara formal setiap petugas imigrasi
yang menjadi agen intelijen keimigrasian harus menempuh dan melewati pendidikan
dimaksud.
Alhasil, sukses
tidaknya Direktorat Intelijen Keimigrasian sangat dipengaruhi oleh kualitas dan
kuantitas petugas imigrasi yang memiliki pendidikan dasar inteijen keimigrasian.
Direktorat Inteiljen Keimigrasian membutuhkan petugas yang siap, terampil, dan
terfokus di bidang intelijen keimigrasian. Sehingga, sangat dibutuhkan Petugas
yang mampu melakukan operasi intelijen, menganalisis, serta menghasilkan produk
intelijen yang akuratif, untuk melaksanakan tugas dan fungsi Direktorat
Intelijen Keimigrasian.
6. Koordinasi yang
Lemah
Koordinasi
menjadi topik permasalahan yang selalu ditemui, termasuk dalam pelaksanaan
tugas dan fungsi Direktorat Intelijen Keimigrasian. Koordinasi yang lemah
menjadi akumulasi dari semua kendala dan hambatan yang terjadi. Misalnya,
koordinasi yang lemah dapat terjadi karena adanya ego sektoral dari
masing-masing instansi. Atau juga, dapat terjadi karena belum adanya SOP
Operasi Intelijen (pulbaket) dan Si3.
Lebih lanjut,
minimnya dana (anggaran) dan kompetensi SDM turut memberi sumbangsih terhadap
lemahnya koordinasi yang dilakukan Direktorat Intelijen Keimigrasian dengan
instansi lain. Selain itu juga, koordinasi membutuhkan sikap saling terbuka dan
butuh satu sama lain. Koordinasi tidak dapat berjalan apabila masing-masing
instansi saling tertutup dan menunjukan ego masing-masing. Arogansi sektoral
demikian akan mematikan fungsi koordinasi yang menjadi bagian penting dalam
setiap kegiatan dan program Direktorat Intelijen Keimigrasian.
Oleh karenanya,
diperlukan kesadaran pada setiap instansi bahwa masalah intelijen keimigrasian
merupakan masalah bangsa yang memerlukan perhatian dan kerja keras bersama. Apalagi
isu keimigrasian dewasa ini menjadi diskusi serius, mengingat semakin
meningkatnya perlintasan orang keluar dan masuk wilayah Indonesia. Sehingga
dibutuhkan koordinasi yang intensif, guna menunjang kerja Direktora Intelijen
Keimigrasian dalam memberi data dan informasi yang akurat demi menjaga kedaulatan
dan keamanan negara.
Jakarta Selatan, April 2015
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment