Thursday, May 22, 2014

BHUMI PURA....

Hak Asasi Bermigrasi
Salah satu aspek terpenting bila kita berbicara daerah perbatasan tentu berkaitan dengan masuk dan keluarnya orang dari satu negara ke negara lain dengan melewati garis perbatasan. Kebebasan pergerakan manusia untuk berpindah antar negara merupakan suatu hak dasar atau asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Hal ini diatur dalam Pasal 28E UUD 1945 (Amandemen), yang menentukan bahwa: “Setiap warga negara bebas untuk .... memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Lebih lanjut, dalam Pasal 2 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan: “Setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan masuk dan keluar wilayah Indonesia”. Sehingga dapat dipahami, kebebasan untuk bergerak melintas atau berpindah antar negara (hak berimigrasi) merupakan hak asasi manusia yang mendasar.

Namun untuk tertib hukum agar tidak melanggar hak orang lain, kebebasan tersebut perlu dilakukan pengaturan melalui pelbagai peraturan perundang-undangan tentang bagaimana caranya, prosedur serta persyaratan yang diperlukan. Oleh karena itu, negara perlu hadir untuk menjawab persoalan itu semua. 

Hadirnya Lembaga Imigrasi
Wilayah negara Indonesia yang sangat luas serta terbuka baik di daratan maupun perairan, memudahkan terjadinya lalu lintas pergerakan orang keluar masuk negara. Masuk dan keluar wilayah suatu negara mempunyai implikasi hukum yang sangat luas sehingga negara mempunyai kewajiban untuk mengatur tertib hukum lalu lintas orang antara negara. Hal ini bertujuan untuk menjamin penegakan hukum serta menjaga keamanan negara dari unsur-unsur yang merugikan kepentingan bangsa.

Potensi ancaman kedaulatan negara pun dapat saja terjadi. Ketertiban hukum diperlukan dengan maksud untuk melindungi setiap orang agar patuh terhadap hukum negara nya sendiri ataupun hukum negara lain. Untuk itu negara perlu mengatur tempat-tempat dimana saja bagi setiap orang untuk dapat masuk dan keluar wilayah Indonesia, serta instansi mana yang berwenang melakukan tugas tersebut. Peran negara dalam mengatur hal ihwal lalu lintas orang antara negara dan pengawasannya diemban oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI.

Instrumen Hukum
Pengaturan terkait tempat masuk dan keluar wilayah negara telah ada sejak masa pemerintahan Hindia Belanda yang diatur dalam Toelatingsbesluit, Staatsblad 1916 Nomor 47, sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 160 ayat (1) Wet op de Staatsinrichting van Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia kemudian diubah dan ditambah dengan Staatsblad 1949 Nomor 330 tentang Penetapan Izin Masuk dan Staatsblad 1949 Nomor 331 tentang Hak Bertempat Tinggal, Izin Masuk dan Pendaratan Orang Asing. Dalam ordonansi tersebut ditetapkan pelabuhan-pelabuhan pendaratan (pintu keluar masuk) wilayah negara seperti pelabuhan laut dan udara. Pelabuhan laut di antaranya adalah Belawan Deli, Bagan Siapi-Api, Tanjung Balai Kariumun, Tanjung Pinang, Jambi, Palembang, Muntok, Belinyu, Pangkal Pinang, Pontianak, Pemangkat, Tanjung Priok, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang, dan Kupang. Sedangkan pelabuhan udara di antaranya adalah Medan, Palembang, Pangkal Pinang, Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Kupang.

Instrumen hukum untuk mengatur lalu lintas orang antar negara Indonesia kini diatur dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Peraturan perundangan tersebut mengatur antara lain tentang tempat masuk dan keluar wilayah negara yang disebut sebagai Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Pasal 1 angka 12 UU No. 6 Tahun 2011 menjelaskan: “Tempat Pemeriksaan Imigrasi adalah tempat pemeriksaan di pelabuhan laut, bandar udara, pos lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan keluar wilayah Indonesia”. Keberadaan TPI hanya dapat ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM berdasarkan Keputusan Menteri (vide Pasal 3), bukan pihak lain. Institusi lain seperti Angkasa Pura, PT. Pelindo, hanya sebatas instrumen penyedia sarana dan prasarana fisik, tetapi kewenangan atau legalitas yang menyatakan sebagai tempat masuk dan keluar wilayah negara berada pada otoritas Imigrasi.

TPI sebagai Pintu Gerbang Negara

Sasanti Imigrasi Indonesia adalah Bhumi Pura Wira Wibawa. Istilah tersebut berasal dari bahasa sansekerta, yang berarti Penjaga Pintu Gerbang Negara yang Berwibawa. Imigrasi merupakan otoritas sah yang diberi mandat oleh negara  untuk menjaga pintu gerbang negara (bhumi pura) tersebut. Istilah otentik pintu gerbang negara yang ditafsirkan oleh pembentuk undang-undang (wets gever) adalah TPI, sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU No. 6 Tahun 2011. Urgensinya, keberadaan TPI dewasa ini memiliki peran strategis bagi lalu lintas masuk dan keluar orang di wilayah Indonesia.

Berdasarkan data yang penulis himpun dari website imigrasi.go.id per tanggal 22 Mei 2014, ada 203 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia (konvensional dan tradisional), yang terdiri dari 91 pelabuhan laut, 33 bandar udara, dan 79 pos lintas batas di perbatasan darat. Dari sekian banyak pintu gerbang negara tersebut, 5 (lima) di antaranya berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu: (1) Entikong, di Entikong, Kalbar (Indonesia-Malaysia, Negara Bagian Serawak); (2) Mato’ain, di Atambua, NTT (Indonesia-Timor Leste, Mainland); (3) Metameuk, di Atambua, NTT (Indonesia-Timor Leste); (4) Napan, di Atambua, NTT (Indonesia-Timor Leste, Enclave of Oecusse); dan (5) Skou, Jayapura, Papua (Indonesia-Papua New Guinea).



Mobilitas lalu lintas orang antara negara yang semakin tinggi di daerah perbatasan, memunculkan tuntutan untuk menambah lagi tempat keluar masuk wilayah negara. Namun, perlu dilakukan uji kelayakan apakah tempat tersebut layak atau tidak sebagai perlintasan antara negara. Dengan semakin banyaknya TPI, maka pintu gerbang negara pun semakin banyak. Logisnya, akan semakin banyak pintu gerbang negara yang harus dijaga. Oleh karena itu, perlu prinsip kehati-hatian untuk menentukan suatu tempat sebagai TPI, mengingat TPI berkaitan dengan wibawa dan kedaulatan negara.

Secara normatif, TPI merupakan tempat yang dilegalisasi oleh Menteri Hukum dan HAM sebagai pintu gerbang negara Indonesia. Sebagai jalur resmi, TPI memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang sah di mata hukum. Sehingga, setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi [vide Pasal 9 ayat (1)]. Bahkan, dalam Pasal 113 disebutkan: “Setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar wilayah Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).

TPI memiliki peran vital dan strategis sebagai pintu keluar masuk wilayah suatu negara. Keberadaan TPI, akan membawa tanggung jawab yang besar bagi mereka yang bertugas disana. Sebagai pintu gerbang negara, TPI merupakan representasi wibawa dan kedaulatan negara. Untuk menjaga TPI dan daerah perbatasan (baca: kedaulatan negara) dari ancaman negara lain, maka perlu dilakukan pengawasan baik di wilayah darat, laut dan udara oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Institusi ini secara organik melakukan pengawasan langsung dengan membentuk satuan-satuan di sepanjang garis perbatasan negara khususnya di perbatasan darat, melakukan patroli dengan kapal-kapal perang di wilayah perairan Indonesia, serta pemantauan kawasan udara Indonesia. Sedangkan tertib hukum terkait masuk dan keluar orang dari perbatasan negara menjadi tanggug jawab institusi Imigrasi.

TPI: Inner Border dan Outer Border
Pada umumnya, pelabuhan laut dan bandar udara merupakan pintu gerbang negara yang berada di dalam perbatasan negara (inner border). Sebaliknya, pintu gerbang negara seperti terminal darat atau pos lintas batas merupakan pintu gerbang negara yang berada di perbatasan negara sesungguhnya (outer border), karena langsung berbatasan dengan negara lain. Perbedaan istilah ini harus dipahami dengan baik, karena tidak sedikit masyarakat menyebutkan istilah inner border dan outer border dalam satu istilah, yaitu border.

Prosedur masuk dan keluar wilayah negara melalui inner border dan outer border, hampir sama di seluruh negara-negara di dunia. Misalnya, setiap orang yang masuk dan keluar wilayah negara harus memiliki dokumen perjalanan yang sah dari negara asalnya, memiliki visa untuk memasuki negara yang dituju, visa tersebut harus diberikan oleh pejabat dari pemerintahan negara yang dituju, orang yang akan masuk dan keluar wilayah negara tidak termasuk dalam daftar cekal (cegah dan tangkal), dan lain sebagainya. Prosedur ini merupakan prosedur standar yang wajib dimiliki hampir semua negara dunia. Namun dapat saja ada perubahan minor, tergantung situasi negara atau tingkat hubungan internasional suatu negara.

Standar dan prosedur yang dilakukan oleh negara-negara dunia tersebut, dapat dikategorikan sebagai prosedur lalu lintas antar negara yang bersifat konvensional. Namun ada juga perlintasan yang bersifat tradisional seperti praktik lalu lintas orang di pos-pos lintas batas (outer border, di daerah perbatasan riil).


Berikut penulis sajikan perbedaan antara perlintasan konvensional dan tradisional: (a) Perlintasan konvensional terbuka untuk umum, dimana seluruh warga negara dari negara manapun selama memenuhi syarat sah dapat melintas TPI yang telah ditetapkan, sedangkan perlintasan tradisional terbatas hanya bagi masyarakat di daerah perbatasan dengan syarat yang dipermudah; (b) Perlintasan konvensional menggunakan dokumen perjalanan yang diakui oleh seluruh negara (passport), sedangkan perlintasan tradisional menggunakan dokumen yang hanya diakui oleh kedua negara berbatasan (kartu pas lintas batas); (c) Perlintasan konvensional berada pada perbatasan dalam (inner border) seperti pelabuhan udara, pelabuhan laut dan terminal perbatasan. Sedangkan perlintasan tradisional terdapat diluar tempat-tempat tersebut dan beberapa di antaranya menjadi satu. Sebagai contoh, Pos Lintas Batas Entikong, Skow, Mota Ain, Mota Masin, Napan, Marore, Miangas, dan Nunukan; (d) Perlintasan konvensional dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM (sepihak), sedangkan perlintasan tradisional dibentuk berdasarkan kesepakatan bilateral negara berbatasan.

Wibawa TPI
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki jalur perlintasan yang harus dijaga. Itu merupakan konsekuensi logis yang harus diterima. Banyaknya TPI, membuat mobilitas lalu lintas orang masuk dan keluar wilayah negara semakin tinggi, baik itu melalui perlintasan konvensional ataupun tradisional. Khusus untuk perlintasan tradisional, perlintasan ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, sehingga harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Wibawa pos lintas batas di beberapa daerah perbatasan akan menjadi cerminan negara secara keseluruhan. Menjaga dan melalukan pengawasan di perlintasan TPI, sama pentingnya dengan menjaga keutuhan negara. Karena sejatinya, eksistensi TPI adalah wibawa dan kedaulatan bangsa. (alvi)


Muara Enim, Mei 2014
M. Alvi Syahrin


1 comment: