Hak Asasi Bermigrasi
Salah satu aspek terpenting bila kita
berbicara daerah perbatasan tentu berkaitan dengan masuk dan keluarnya orang
dari satu negara ke negara lain dengan melewati garis perbatasan. Kebebasan
pergerakan manusia untuk berpindah antar negara merupakan suatu hak dasar atau
asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Hal ini diatur dalam Pasal 28E UUD
1945 (Amandemen), yang menentukan bahwa: “Setiap warga negara bebas untuk ....
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.” Lebih lanjut, dalam Pasal 2 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
disebutkan: “Setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan masuk
dan keluar wilayah Indonesia”. Sehingga dapat dipahami, kebebasan untuk
bergerak melintas atau berpindah antar negara (hak berimigrasi) merupakan hak
asasi manusia yang mendasar.
Namun untuk tertib hukum agar tidak
melanggar hak orang lain, kebebasan tersebut perlu dilakukan pengaturan melalui
pelbagai peraturan perundang-undangan tentang bagaimana caranya, prosedur serta
persyaratan yang diperlukan. Oleh karena itu, negara perlu hadir untuk menjawab
persoalan itu semua.
Hadirnya
Lembaga Imigrasi
Wilayah negara
Indonesia yang sangat luas serta terbuka baik di daratan maupun perairan, memudahkan
terjadinya lalu lintas pergerakan orang keluar masuk negara. Masuk dan keluar
wilayah suatu negara mempunyai implikasi hukum yang sangat luas sehingga negara
mempunyai kewajiban untuk mengatur tertib hukum lalu lintas orang antara
negara. Hal ini bertujuan untuk menjamin penegakan hukum serta menjaga keamanan
negara dari unsur-unsur yang merugikan kepentingan bangsa.
Potensi ancaman kedaulatan negara
pun dapat saja terjadi. Ketertiban hukum diperlukan dengan maksud untuk
melindungi setiap orang agar patuh terhadap hukum negara nya sendiri ataupun
hukum negara lain. Untuk itu negara perlu mengatur tempat-tempat dimana saja bagi
setiap orang untuk dapat masuk dan keluar wilayah Indonesia, serta instansi
mana yang berwenang melakukan tugas tersebut. Peran negara dalam mengatur hal
ihwal lalu lintas orang antara negara dan pengawasannya diemban oleh Direktorat
Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI.
Instrumen
Hukum
Pengaturan
terkait tempat masuk dan keluar wilayah negara telah ada sejak masa
pemerintahan Hindia Belanda yang diatur dalam Toelatingsbesluit, Staatsblad
1916 Nomor 47, sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 160 ayat (1) Wet op de Staatsinrichting van Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia kemudian diubah dan ditambah dengan Staatsblad 1949 Nomor 330 tentang
Penetapan Izin Masuk dan Staatsblad
1949 Nomor 331 tentang Hak Bertempat Tinggal, Izin Masuk dan Pendaratan Orang
Asing. Dalam ordonansi tersebut ditetapkan pelabuhan-pelabuhan pendaratan
(pintu keluar masuk) wilayah negara seperti pelabuhan laut dan udara. Pelabuhan
laut di antaranya adalah Belawan Deli, Bagan Siapi-Api, Tanjung Balai Kariumun,
Tanjung Pinang, Jambi, Palembang, Muntok, Belinyu, Pangkal Pinang, Pontianak,
Pemangkat, Tanjung Priok, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang, dan Kupang.
Sedangkan pelabuhan udara di antaranya adalah Medan, Palembang, Pangkal Pinang,
Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Kupang.
Instrumen hukum untuk mengatur
lalu lintas orang antar negara Indonesia kini diatur dalam UU No. 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian dan PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU
No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Peraturan perundangan tersebut mengatur
antara lain tentang tempat masuk dan keluar wilayah negara yang disebut sebagai
Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Pasal 1 angka 12 UU No. 6 Tahun 2011
menjelaskan: “Tempat Pemeriksaan Imigrasi adalah tempat pemeriksaan di pelabuhan
laut, bandar udara, pos lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan
keluar wilayah Indonesia”. Keberadaan TPI hanya dapat ditetapkan oleh Menteri
Hukum dan HAM berdasarkan Keputusan Menteri (vide Pasal 3), bukan pihak lain. Institusi lain seperti Angkasa
Pura, PT. Pelindo, hanya sebatas instrumen penyedia sarana dan prasarana fisik,
tetapi kewenangan atau legalitas yang menyatakan sebagai tempat masuk dan
keluar wilayah negara berada pada otoritas Imigrasi.
TPI
sebagai Pintu Gerbang Negara
Sasanti Imigrasi Indonesia adalah Bhumi
Pura Wira Wibawa. Istilah tersebut berasal dari bahasa sansekerta, yang berarti
Penjaga Pintu Gerbang Negara yang Berwibawa. Imigrasi merupakan otoritas sah
yang diberi mandat oleh negara untuk
menjaga pintu gerbang negara (bhumi pura)
tersebut. Istilah otentik pintu gerbang negara yang ditafsirkan oleh pembentuk
undang-undang (wets gever) adalah TPI,
sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU No. 6 Tahun 2011. Urgensinya, keberadaan
TPI dewasa ini memiliki peran strategis bagi lalu lintas masuk dan keluar
orang di wilayah Indonesia.
Berdasarkan data yang penulis himpun dari website imigrasi.go.id per tanggal 22 Mei 2014, ada 203 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia (konvensional dan tradisional), yang terdiri dari 91 pelabuhan laut, 33 bandar udara, dan 79 pos lintas batas di perbatasan darat. Dari sekian banyak pintu gerbang negara tersebut, 5 (lima) di antaranya berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu: (1) Entikong, di Entikong, Kalbar (Indonesia-Malaysia, Negara Bagian Serawak); (2) Mato’ain, di Atambua, NTT (Indonesia-Timor Leste, Mainland); (3) Metameuk, di Atambua, NTT (Indonesia-Timor Leste); (4) Napan, di Atambua, NTT (Indonesia-Timor Leste, Enclave of Oecusse); dan (5) Skou, Jayapura, Papua (Indonesia-Papua New Guinea).
Mobilitas lalu lintas orang
antara negara yang semakin tinggi di daerah perbatasan, memunculkan tuntutan
untuk menambah lagi tempat keluar masuk wilayah negara. Namun, perlu dilakukan
uji kelayakan apakah tempat tersebut layak atau tidak sebagai perlintasan
antara negara. Dengan semakin banyaknya TPI, maka pintu gerbang negara pun
semakin banyak. Logisnya, akan semakin banyak pintu gerbang negara yang harus
dijaga. Oleh karena itu, perlu prinsip kehati-hatian untuk menentukan suatu
tempat sebagai TPI, mengingat TPI berkaitan dengan wibawa dan kedaulatan
negara.
Secara normatif, TPI merupakan
tempat yang dilegalisasi oleh Menteri Hukum dan HAM sebagai pintu gerbang
negara Indonesia. Sebagai jalur resmi, TPI memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang sah di mata hukum. Sehingga,
setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan
yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi [vide Pasal 9 ayat (1)]. Bahkan, dalam
Pasal 113 disebutkan: “Setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar
wilayah Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan Pejabat Imigrasi di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).
TPI memiliki peran vital dan
strategis sebagai pintu keluar masuk wilayah suatu negara. Keberadaan TPI, akan
membawa tanggung jawab yang besar bagi mereka yang bertugas disana. Sebagai
pintu gerbang negara, TPI merupakan representasi wibawa dan kedaulatan negara.
Untuk menjaga TPI dan daerah perbatasan (baca: kedaulatan negara) dari ancaman
negara lain, maka perlu dilakukan pengawasan baik di wilayah darat, laut dan
udara oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Institusi ini secara organik
melakukan pengawasan langsung dengan membentuk satuan-satuan di sepanjang garis
perbatasan negara khususnya di perbatasan darat, melakukan patroli dengan
kapal-kapal perang di wilayah perairan Indonesia, serta pemantauan kawasan
udara Indonesia. Sedangkan tertib hukum terkait masuk dan keluar orang dari
perbatasan negara menjadi tanggug jawab institusi Imigrasi.
TPI:
Inner Border dan Outer Border
Pada umumnya,
pelabuhan laut dan bandar udara merupakan pintu gerbang negara yang berada di
dalam perbatasan negara (inner border).
Sebaliknya, pintu gerbang negara seperti terminal darat atau pos lintas batas
merupakan pintu gerbang negara yang berada di perbatasan negara sesungguhnya (outer border), karena langsung
berbatasan dengan negara lain. Perbedaan istilah ini harus dipahami dengan
baik, karena tidak sedikit masyarakat menyebutkan istilah inner border dan outer border
dalam satu istilah, yaitu border.
Prosedur masuk dan keluar wilayah
negara melalui inner border dan outer border, hampir sama di seluruh
negara-negara di dunia. Misalnya, setiap orang yang masuk dan keluar wilayah
negara harus memiliki dokumen perjalanan yang sah dari negara asalnya, memiliki
visa untuk memasuki negara yang dituju, visa tersebut harus diberikan oleh
pejabat dari pemerintahan negara yang dituju, orang yang akan masuk dan keluar
wilayah negara tidak termasuk dalam daftar cekal (cegah dan tangkal), dan lain
sebagainya. Prosedur ini merupakan prosedur standar yang wajib dimiliki hampir
semua negara dunia. Namun dapat saja ada perubahan minor, tergantung situasi
negara atau tingkat hubungan internasional suatu negara.
Standar dan prosedur yang
dilakukan oleh negara-negara dunia tersebut, dapat dikategorikan sebagai
prosedur lalu lintas antar negara yang bersifat konvensional. Namun ada juga
perlintasan yang bersifat tradisional seperti praktik lalu lintas orang di
pos-pos lintas batas (outer border,
di daerah perbatasan riil).
Berikut penulis sajikan perbedaan
antara perlintasan konvensional dan tradisional: (a) Perlintasan konvensional
terbuka untuk umum, dimana seluruh warga negara dari negara manapun selama
memenuhi syarat sah dapat melintas TPI yang telah ditetapkan, sedangkan
perlintasan tradisional terbatas hanya bagi masyarakat di daerah perbatasan dengan
syarat yang dipermudah; (b) Perlintasan konvensional menggunakan dokumen
perjalanan yang diakui oleh seluruh negara (passport),
sedangkan perlintasan tradisional menggunakan dokumen yang hanya diakui oleh
kedua negara berbatasan (kartu pas lintas batas); (c) Perlintasan konvensional
berada pada perbatasan dalam (inner
border) seperti pelabuhan udara, pelabuhan laut dan terminal perbatasan.
Sedangkan perlintasan tradisional terdapat diluar tempat-tempat tersebut dan beberapa di antaranya menjadi satu. Sebagai contoh, Pos Lintas Batas Entikong,
Skow, Mota Ain, Mota Masin, Napan, Marore, Miangas, dan Nunukan; (d)
Perlintasan konvensional dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM
(sepihak), sedangkan perlintasan tradisional dibentuk berdasarkan kesepakatan
bilateral negara berbatasan.
Wibawa TPI
Sebagai negara
kepulauan, Indonesia memiliki jalur perlintasan yang harus dijaga. Itu
merupakan konsekuensi logis yang harus diterima. Banyaknya TPI, membuat
mobilitas lalu lintas orang masuk dan keluar wilayah negara semakin tinggi,
baik itu melalui perlintasan konvensional ataupun tradisional. Khusus untuk
perlintasan tradisional, perlintasan ini berbatasan langsung dengan negara
tetangga, sehingga harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Wibawa pos
lintas batas di beberapa daerah perbatasan akan menjadi cerminan negara secara
keseluruhan. Menjaga dan melalukan pengawasan di perlintasan TPI, sama
pentingnya dengan menjaga keutuhan negara. Karena sejatinya, eksistensi TPI adalah wibawa dan kedaulatan bangsa. (alvi)
Muara Enim, Mei 2014
M. Alvi Syahrin
terimakasih atas postingannya sangat bermanfaat min
ReplyDelete