Berdasarkan Deklarasi Juanda, tanggal 13 Desember 1957, Indonesia dikenal
sebagai negara kepulauan (archipelago
state). Sebagai negara yang diapit oleh dua benua dan dua samudera,
Indonesia memiliki tantangan sendiri dalam melakukan implementasi fungsi
keimigrasian. Setidaknya ada sepuluh negara yang berbatasan langsung ataupun
tidak langsung dengan Indonesia, baik itu perbatasan darat ataupun laut.
Berdasarkan data yang penulis himpun dari website imigrasi.go.id per tanggal 22 Mei 2014, ada 203 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia (konvensional dan tradisional), yang terdiri dari 91 pelabuhan laut, 33 bandar udara, dan 79 pos lintas batas. Keberadaan TPI sebanyak ini tentu membuat peran institusi Imigrasi menjadi sangat penting. Sejauh ini mungkin Indonesia merupakan negara dengan tempat pemeriksaan imigrasi terbanyak di dunia. Luar biasa bukan?
Berdasarkan data yang penulis himpun dari website imigrasi.go.id per tanggal 22 Mei 2014, ada 203 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia (konvensional dan tradisional), yang terdiri dari 91 pelabuhan laut, 33 bandar udara, dan 79 pos lintas batas. Keberadaan TPI sebanyak ini tentu membuat peran institusi Imigrasi menjadi sangat penting. Sejauh ini mungkin Indonesia merupakan negara dengan tempat pemeriksaan imigrasi terbanyak di dunia. Luar biasa bukan?
Daerah Perbatasan dan TPI
Tradisonal
Sebagai daerah yang paling banyak memiliki TPI tradisional, melakukan
fungsi keimigrasian di daerah perbatasan tentu tidak mudah bila kita bandingkan
dengan TPI konvensional yang rata-rata berada di daerah “layak huni”. Selama
ini daerah perbatasan di Indonesia seringkali luput dari perhatian pemerintah. Menjadi bagian dari wilayah yang
tertinggal, sudah pasti daerah tersebut sangat minim infrastruktur untuk
mendukung pembangunannya. Pembangunan daerah perbatasan hanya menjadi janji
komoditas politik bagi setiap pemangku kepentingan. Ekstrimnya, baik dan buruknya kondisi pembangunan di daerah
perbatasan negara, sama dengan buruknya wajah negara Indonesia secara
keseluruhan.
Pemerintah
secara holistik, belum mampu mengangkat citra daerah perbatasan sebagai
cerminan negara. Daerah perbatasan tetaplah daerah perbatasan, yang selalu
tertinggal dengan segenap kekurangannya. Terkait dengan fungsi keimigrasian
sebagai lembaga penjaga pintu gerbang negara, Imigrasi
telah berusaha menjalankan tugasnya secara maksimal. Oleh karenanya, bertugas
di daerah perbatasan tentu menjadi suatu kewajiban setiap petugas imigrasi.
Banyak hambatan yang ditemui, baik itu dari segi materil ataupun imateril.
Apakah itu terkait dengan internal kelembagaan, ataupun minimnya intensitas
koordinasi lintas lembaga.
Hambatan yang Dihadapi
Sehubungan
dengan penertiban pelintas batas tradisional oleh institusi yang berwenang (baca: Imigrasi), ditemui kesulitan-kesulitan sebagai
berikut: (1) banyaknya pos-pos lintas batas yang harus dilayani petugas
imigrasi (79 pos lintas batas); (2) sebagian besar pos-pos lintas batas tersebut
sulit dijangkau, karena tidak ada akses transportasi yang memadai; (3) belum
adanya sarana dan prasarana imperatif dan fakultatif di tempat-tempat tersebut;
(4) kekurangan tenaga SDM dan keengganan petugas imigrasi untuk ditempatkan
pada pos-pos lintas batas; dan (5) belum adanya sistem penggajian serta
penghargaan (reward) yang pantas
untuk petugas di daerah terpencil.
Kerja Sama Lintas Sektoral
Untuk mengatasi
permasalahan ini seharusnya, institusi yang bertanggung jawab atas perlintasan
orang melalui garis perbatasan dapat bekerja sama dengan institusi lainnya
dalam memberikan pelayanan di daerah perbatasan. Imigrasi, Bea dan Cukai,
Perdagangan, dan Petanian dan Kehewanan misalnya, dapat melakukan kerja sama
dengan instansi pemerintah daerah untuk memaksimalkan fungsi inter-instansi
tersebut. Kerja sama dapat dilakukan dengan Pemerintah Daerah atau Kepolisian
atau instansi terkait lainnya yang dapat dirumuskan dalam Surat Keputusan
Bersama dengan jangka waktu tertentu oleh pimpinan pada tingkat pusat.
Konkritnya, Direktorat Jenderal
Imigrasi selaku otoritas yang
memiliki kewenangan
hal ihwal keimigrasian di Indonesia, dapat melakukan kerja sama dengan
Kementerian Dalam Negeri yang memuat pelimpahan wewenang kepada para Camat di
wilayah perbatasan negara tertentu untuk melakukan pemberian Pas Lintas Batas
(PLB) atau Kartu Lintas Batas, serta melakukan pengawasan perlintasannya,
termasuk pula di dalamnya melakukan administrasi penerbitan Pas Lintas Batas
atau Kartu Lintas Batas. Model pengaturan lintas batas seperti ini bukanlah hal
baru, karena pada awal implementasi Permufakatan Dasar Lintas Batas antara
Indonsia dan Malaysia Tahun 1967, Menteri Kehakiman RI dan Menteri Dalam Negeri
membuat Surat Keputusan Bersama dimana tugas-tugas keimigrasian pada pos lintas
batas di daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur diserahkan kepada
Pemerintah Daerah yang selanjutnya didelegasikan kepada para Camat di
masing-masing daerah. Dengan cara ini, maka masyarakat perbatasan dapat
menikmati fasilitas lintas batas tradisional yang disediakan pemerintah. Namun
sejauh ini, fasilitas tersebut hanya baru dalam tahap ketentuan persetujuan
bilateral semata.
Untuk kepentingan bangsa, jangan
sampai muncul arogansi sektoral bahwa masalah perlintasan perbatasan negara
adalah wewenang institusi tertentu saja. Ini merupakan kewenangan kolektif yang
melibatkan berbagai instansi di dalamnya. Masalah keimigrasian tentu menjadi
wewenang Imigrasi, begitu juga Bea dan Cukai, Karantina, TNI, Kepolisian,
dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
keberadaan institusi tersebut secara kolektif saja belum tentu mampu menjangkau
(baca: pelayanan dan pengawasan) check
points yang bertebaran di sepanjang perbatasan darat dan laut. Tentu, pada check points yang intensitas perlintasannya relatif
cukup tinggi dapat ditempatkan petugas imigrasi. Perlu diingat, penyerahan
kewenangan keimigrasian kepada instansi tertentu hanya bersifat tentatif,
hingga ada petugas imigrasi yang ditugaskan di daerah tersebut.
Dengan demikian, Kantor-Kantor
Imigrasi yang berada jauh di wilayah perbatasan (pos lintas batas), dapat
menjadi supervisor terhadap pejabat
pemerintah daerah (Camat), yang secara rutin memberikan pelatihan dan petunjuk
pelaksanaan tugas. Model kerja seperti ini mungkin lebih baik daripada
membiarkan pos-pos lintas batas tidak berfungsi, disaat semakin tingginya
aktivitas pelintas batas tradisional tanpa adanya pengawasan.
Apabila kewenangan keimigrasian
dapat dilimpahkan kepada instansi lainnya seperti kecamatan, maka pelintas
batas ini dapat terpantau, terawasi, dan akan data yang berguna bagi evaluasi
tugas-tugas keimgrasian. Sejauh ini pelaksanaan perlintasan tradisional di
perbatasan laut belum maksimal di Selat Malaka. Sementara di perbatasan darat
juga belum berfungsi dengan baik seperti di perbatasan Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, perbatasan negara di Papua dengan negara Papua New Guinea,
serta perbatasan negara di Nusa Tenggara Timur dengan negara Timor Timur.
Perbatasan dengan Philipina
Perlintasan yang
cukup baik terdapat di perbatasan antara Indonesia dengan negara Philipina di Kabupaten
Sangihe dan Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Hal ini lebih disebabkkan antara
lain: (1) perlintasan tersebut dilakukan melalui laut dimana jarak kedua negara
cukup jauh; (2) pos lintas batas hanya ada dua, yaitu di Pos Lintas Batas
Marore dan Miangas; (3) pemberian Kartu Lintas Batas cukup tertib karena camat
ditunjuk sebagai koordinator aparat yang bertugas di Border Crossing Area (BCA); (4) adanya kerja sama patroli /
pengawasan secara rutin oleh kedua negara; (5) adanya Sistem Countersigned antara petugas kedua
pejabat ngara atas Kartu Lintas Batas, yang menjadi sarana check and re-check pengawasan terhadap para pelintas batas
tradisional; dan (6) adanya koordinasi di antara para petugas lintas batas di
lapangan.
Imigrasi dan Pemerintah Daerah (Kecamatan)
Mengingat keterbatasan yang dihadapi,
perlu adanya inovasi dalam membuat suatu terobosan kebijakan yang progresif.
Mungkin untuk perbatasan darat dapat dikembangkan dengan model kerja sama
dengan pemerintah daerah, dimana mereka lebih tahu secara mendalam soal
administrasi kependudukan di wilayahnya sendiri dan dapat menjangkau ke seluruh
pelosok daerah-derah perbatasan. Dengan demikian, pengawasan dan ketertiban
lalu lintas manusia antara negara baik yang dilakukan secara konvensional,
maupun tradisional benar-benar dapat terlaksana dengan baik. Perlintasan
konvesional menjadi fokus dari institusi keimigrasian, sedangkan perlintasan
tradisional “dapat” menjadi fokus dari aparat pemerintah daerah (kecamatan),
dengan catatan dibawah supervisi institusi keimigrasian. (alvi)
Muara Enim, Mei 2014
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment