Thursday, May 15, 2014

MEMAKSIMALKAN PERAN IMIGRASI DI DAERAH PERBATASAN

Archipelago State
Berdasarkan Deklarasi Juanda, tanggal 13 Desember 1957, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan (archipelago state). Sebagai negara yang diapit oleh dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki tantangan sendiri dalam melakukan implementasi fungsi keimigrasian. Setidaknya ada sepuluh negara yang berbatasan langsung ataupun tidak langsung dengan Indonesia, baik itu perbatasan darat ataupun laut.

Berdasarkan data yang penulis himpun dari website imigrasi.go.id per tanggal 22 Mei 2014, ada 203 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia (konvensional dan tradisional), yang terdiri dari 91 pelabuhan laut, 33 bandar udara, dan 79 pos lintas batas. Keberadaan TPI sebanyak ini tentu membuat peran institusi Imigrasi menjadi sangat penting. Sejauh ini mungkin Indonesia merupakan negara dengan tempat pemeriksaan imigrasi terbanyak di dunia. Luar biasa bukan?

Daerah Perbatasan dan TPI Tradisonal
Sebagai daerah yang paling banyak memiliki TPI tradisional, melakukan fungsi keimigrasian di daerah perbatasan tentu tidak mudah bila kita bandingkan dengan TPI konvensional yang rata-rata berada di daerah “layak huni”. Selama ini daerah perbatasan di Indonesia seringkali  luput dari perhatian pemerintah. Menjadi bagian dari wilayah yang tertinggal, sudah pasti daerah tersebut sangat minim infrastruktur untuk mendukung pembangunannya. Pembangunan daerah perbatasan hanya menjadi janji komoditas politik bagi setiap pemangku kepentingan. Ekstrimnya, baik dan buruknya kondisi pembangunan di daerah perbatasan negara, sama dengan buruknya wajah negara Indonesia secara keseluruhan.



Pemerintah secara holistik, belum mampu mengangkat citra daerah perbatasan sebagai cerminan negara. Daerah perbatasan tetaplah daerah perbatasan, yang selalu tertinggal dengan segenap kekurangannya. Terkait dengan fungsi keimigrasian sebagai lembaga penjaga pintu gerbang negara, Imigrasi telah berusaha menjalankan tugasnya secara maksimal. Oleh karenanya, bertugas di daerah perbatasan tentu menjadi suatu kewajiban setiap petugas imigrasi. Banyak hambatan yang ditemui, baik itu dari segi materil ataupun imateril. Apakah itu terkait dengan internal kelembagaan, ataupun minimnya intensitas koordinasi lintas lembaga.
 
Hambatan yang Dihadapi
Sehubungan dengan penertiban pelintas batas tradisional oleh institusi yang berwenang (baca: Imigrasi), ditemui kesulitan-kesulitan sebagai berikut: (1) banyaknya pos-pos lintas batas yang harus dilayani petugas imigrasi (79 pos lintas batas); (2) sebagian besar pos-pos lintas batas tersebut sulit dijangkau, karena tidak ada akses transportasi yang memadai; (3) belum adanya sarana dan prasarana imperatif dan fakultatif di tempat-tempat tersebut; (4) kekurangan tenaga SDM dan keengganan petugas imigrasi untuk ditempatkan pada pos-pos lintas batas; dan (5) belum adanya sistem penggajian serta penghargaan (reward) yang pantas untuk petugas di daerah terpencil.

Kerja Sama Lintas Sektoral
Untuk mengatasi permasalahan ini seharusnya, institusi yang bertanggung jawab atas perlintasan orang melalui garis perbatasan dapat bekerja sama dengan institusi lainnya dalam memberikan pelayanan di daerah perbatasan. Imigrasi, Bea dan Cukai, Perdagangan, dan Petanian dan Kehewanan misalnya, dapat melakukan kerja sama dengan instansi pemerintah daerah untuk memaksimalkan fungsi inter-instansi tersebut. Kerja sama dapat dilakukan dengan Pemerintah Daerah atau Kepolisian atau instansi terkait lainnya yang dapat dirumuskan dalam Surat Keputusan Bersama dengan jangka waktu tertentu oleh pimpinan pada tingkat pusat.

Konkritnya, Direktorat Jenderal Imigrasi selaku otoritas yang memiliki kewenangan hal ihwal keimigrasian di Indonesia, dapat melakukan kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri yang memuat pelimpahan wewenang kepada para Camat di wilayah perbatasan negara tertentu untuk melakukan pemberian Pas Lintas Batas (PLB) atau Kartu Lintas Batas, serta melakukan pengawasan perlintasannya, termasuk pula di dalamnya melakukan administrasi penerbitan Pas Lintas Batas atau Kartu Lintas Batas. Model pengaturan lintas batas seperti ini bukanlah hal baru, karena pada awal implementasi Permufakatan Dasar Lintas Batas antara Indonsia dan Malaysia Tahun 1967, Menteri Kehakiman RI dan Menteri Dalam Negeri membuat Surat Keputusan Bersama dimana tugas-tugas keimigrasian pada pos lintas batas di daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur diserahkan kepada Pemerintah Daerah yang selanjutnya didelegasikan kepada para Camat di masing-masing daerah. Dengan cara ini, maka masyarakat perbatasan dapat menikmati fasilitas lintas batas tradisional yang disediakan pemerintah. Namun sejauh ini, fasilitas tersebut hanya baru dalam tahap ketentuan persetujuan bilateral semata.


Untuk kepentingan bangsa, jangan sampai muncul arogansi sektoral bahwa masalah perlintasan perbatasan negara adalah wewenang institusi tertentu saja. Ini merupakan kewenangan kolektif yang melibatkan berbagai instansi di dalamnya. Masalah keimigrasian tentu menjadi wewenang Imigrasi, begitu juga Bea dan Cukai, Karantina, TNI, Kepolisian, dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan institusi tersebut secara kolektif saja belum tentu mampu menjangkau (baca: pelayanan dan pengawasan) check points yang bertebaran di sepanjang perbatasan darat dan laut. Tentu, pada check points yang intensitas perlintasannya relatif cukup tinggi dapat ditempatkan petugas imigrasi. Perlu diingat, penyerahan kewenangan keimigrasian kepada instansi tertentu hanya bersifat tentatif, hingga ada petugas imigrasi yang ditugaskan di daerah tersebut.

Dengan demikian, Kantor-Kantor Imigrasi yang berada jauh di wilayah perbatasan (pos lintas batas), dapat menjadi supervisor terhadap pejabat pemerintah daerah (Camat), yang secara rutin memberikan pelatihan dan petunjuk pelaksanaan tugas. Model kerja seperti ini mungkin lebih baik daripada membiarkan pos-pos lintas batas tidak berfungsi, disaat semakin tingginya aktivitas pelintas batas tradisional tanpa adanya pengawasan.


Apabila kewenangan keimigrasian dapat dilimpahkan kepada instansi lainnya seperti kecamatan, maka pelintas batas ini dapat terpantau, terawasi, dan akan data yang berguna bagi evaluasi tugas-tugas keimgrasian. Sejauh ini pelaksanaan perlintasan tradisional di perbatasan laut belum maksimal di Selat Malaka. Sementara di perbatasan darat juga belum berfungsi dengan baik seperti di perbatasan Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, perbatasan negara di Papua dengan negara Papua New Guinea, serta perbatasan negara di Nusa Tenggara Timur dengan negara Timor Timur.

Perbatasan dengan Philipina
Perlintasan yang cukup baik terdapat di perbatasan antara Indonesia dengan negara Philipina di Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Hal ini lebih disebabkkan antara lain: (1) perlintasan tersebut dilakukan melalui laut dimana jarak kedua negara cukup jauh; (2) pos lintas batas hanya ada dua, yaitu di Pos Lintas Batas Marore dan Miangas; (3) pemberian Kartu Lintas Batas cukup tertib karena camat ditunjuk sebagai koordinator aparat yang bertugas di Border Crossing Area (BCA); (4) adanya kerja sama patroli / pengawasan secara rutin oleh kedua negara; (5) adanya Sistem Countersigned antara petugas kedua pejabat ngara atas Kartu Lintas Batas, yang menjadi sarana check and re-check pengawasan terhadap para pelintas batas tradisional; dan (6) adanya koordinasi di antara para petugas lintas batas di lapangan.

Imigrasi dan Pemerintah Daerah (Kecamatan)
Mengingat keterbatasan yang dihadapi, perlu adanya inovasi dalam membuat suatu terobosan kebijakan yang progresif. Mungkin untuk perbatasan darat dapat dikembangkan dengan model kerja sama dengan pemerintah daerah, dimana mereka lebih tahu secara mendalam soal administrasi kependudukan di wilayahnya sendiri dan dapat menjangkau ke seluruh pelosok daerah-derah perbatasan. Dengan demikian, pengawasan dan ketertiban lalu lintas manusia antara negara baik yang dilakukan secara konvensional, maupun tradisional benar-benar dapat terlaksana dengan baik. Perlintasan konvesional menjadi fokus dari institusi keimigrasian, sedangkan perlintasan tradisional “dapat” menjadi fokus dari aparat pemerintah daerah (kecamatan), dengan catatan dibawah supervisi institusi keimigrasian. (alvi)

Muara Enim, Mei 2014
M. Alvi Syahrin


No comments:

Post a Comment