Nasionalisme dalam
Konsep
Nasionalisme merupakan
suatu konsep yang meletakkan kesetiaan tertinggi seseorang kepada suatu negara
(modern) tertentu. Konsep ini semakin lama semakin berperan dalam penyelenggaraan
setiap segi kehidupan, baik yang bersifat publik, maupun yang bersifat privat. Mereka
yang terikat secara yuridis dan politis pada suatu negara tertentu pada
gilirannya membentuk suatu ikatan yang disebut Bangsa Modern atau dalam bahasa
Inggris disebut Nation.
Konsep nasionalisme ini
berakar dari peradaban kuno yang dikembangkan oleh bangsa Yunani Purba dan
Ibrani Purba (Hans Kohn, 1984). Kedua bangsa ini sadar bahwa mereka lain dari
bangsa yang lain. Kesadaran ini bukan disebabkan oleh ikatan terhadap figur raja
atau kerajaan tertentu seperti sejarah bangsa-bangsa lain, melainkan pada
ikatan rakyat itu sendiri. Rakyat kedua bangsa itu sendirilah yang secara
keseluruhan menjalin sejarah mereka. Bangsa Ibrani Purba terbentuk dan terbina
oleh kenangan akan masa lampaunya serta harapan di masa yang akan datang yang
sama. Sementara bangsa Yunani Purba meletakkan kesetiaan mereka yang tertinggi
pada polis. Disinilah letak akar
nasionalisme yang kemudian mewarnai corak bangsa-bangsa modern dewasa ini.
Kosmopolitanisme
Pada akhir abad
ke-empat sebelum masehi, muncullah Alexander Agung atau Iskandar Zulkarnain
yang memimpikan dan mempertaruhkan segalanya untuk mewujudkan suatu imperium
yang meliputi seluruh dunia. Di bawah pengaruh cita-cita orang Makedonia ini,
para filsuf Stoa Yunani mengembakan suatu konsep yang dikenal sebagai konsep kosmopolitanisme. Konsep ini mengajarkan bahwa tanah air
umat manusia adalah seluruh muka bumi ini (cosmos).
Dengan kata lain, kosmopolitanisme berpendapat bahwa setiap manusia adalah
warga dunia.
Kosmopolitanisme mencapai
puncak kejayaannya bersamaan dengan berkembangnya Kekaisaran Roma. Orang-orang
Roma berhasil mengubah konsep polis
model Yunani menjadi suatu imperium
yang meliputi seluruh dunia yang dikenal pada waktu itu. Mereka mengorganisasi “dunia”
berdasarkan hukum dan peradaban yang sama. Selanjutnya, sewaktu Kekaisaran Roma
mengalami kemunduran, posisinya sebagai pendukung kosmopolitanisme ini
digantikan oleh Gereja Katolik, yang boleh dikatakan sebagai “ahli waris”
Kekaisaran Roma itu. Kondisi ini tetap berlangsung sampai sekitar abad ke-empat
belas.
Renaissance dan Reformasi Gereja (Protestanisme)
Pada abad ke-empat
belas muncul dua revolusi kebudayaan yang terkenal dengan sebutan Renaissance dan Reformasi. Melalui Renaissance, karya-karya Yunani Purba
dan Ibrani Purba dipelajari kembali dalam semangat yang baru. Awal nasionalisme
dimulai. Mula-mula Nicollo Macchiavelli (1446-1527) menyatakan
ketidaksetujuannya adengan konsep kosmopolitanisme. Melalui bukunya Il Principe, ia berpendapat bahwa perlu
ada seorang yang kuat untuk membebaskan Italia dari bangsa-bangsa barbar
(bangsa non-Italia). Ia mendambakan suatu Italia yang bebas dari kekuasaan
agama dan moral, serta menempatkan kekuasaan negara di tempat yang tertinggi.
Reformasi memunculkan protestanisme.
Fenomena ini memperkuat konsep nasionalisme, mengingat bahwa protestanisme
senantiasa mencoba untuk melepaskan diri dari ikatan Gereja (Katolik)
Universal. Muncullah gereja-gereja setempat (national churches). Usahanya untuk mengutamakan pendalaman Kitab
Suci dan mendengarkan khotbah sebagai pusat ibadatnya memperkuat bahasa-bahasa
setempat (national languages). Bahasa
latin yang merupakan bahasa resmi Gereja Katolik tidak lagi dipergunakan dalam
peribadatan Protestan. Adanya national churches
dan national languages inilah yang
mendorong berkembangnya semangat nasionalisme itu.
Merkantilisme
Konsep nasionalisme ini
juga diperkuat oleh sebuah konsep dagang yang dikenal dengan sebutan
merkantilisme. Konsep ini menyatakan bahwa setiap penguasa (landlord) di Eropa harus menimbun
kekayaan sebanyak-banyaknya guna membiayai suatu pasukan yang kuat.
Salah satu
usaha yang mereka lakukan adalah mengirim armada-armada dagang ke seluruh
penjuru dunia. Di rantau inilah para awak kapal dan para pedagang merasa
senasib dan seasal (setanah air). Mereka bertemu dengan orang-orang yang
berbeda, yang tidak sebangsa dengan mereka.
Common
Destiny, Cultural Homogenity and A Given Territory
Namun demikian, negara
modern atau negara kebangsaan yang pertama muncul pada tahun 1775 di kawasan Amerika
Utara dalam bentuk negara kebangsaan Amerika Serikat. Kaum koloni di Amerika
Utara ini memberontak dan melepaskan diri dari penjajahan Inggris. Bangsa yang
baru merdeka ini jelas tidak mungkin mengikat diri berdasarkan ikatan-ikatan
tradisional yang ada pada waktu itu di Eropa. Persamaan keturunan dan persamaan
agama jelas tidak dapat dijadikan dasar kebangsaan. Demikian pula halnya dengan
persamaan bahasa dan latar belakang asal-usul. Maka muncullah konsep yang dulu
pernah dikembangkan oleh bangsa Yunani Purba dan Ibrani Purba. Berdasarkan serjarah
serta usaha atau perjuangan bersama (common
destiny) mereka membina dan mengembangkan peradaban bersama (cultural homogenity) di atas tanah air
yang sama (a given territory).
Konsep nasionalisme
yang muncul di Amerika Serikat ini kemudian dibawa menyebrangi Atlantik. Dimulai
dengan Revolusi Prancis serta diilhami oleh The
Glorius Revolution di Inggris, maka menjalarlah konsep nasionalisme ke
seluruh kawasan Eropa pada abad ke-tujuh belas. Bahkan pada tahun selanjutnya,
konsep ini mewarnai sejarah Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Muncullah bangsa-bangsa
modern (nations) di seluruh dunia. Bangsa-bangsa
ini hidup dan menyelenggarakan negara-negara modern dengan ciri-ciri pokok
sebagai berikut: cultural homogeneity,
common destiny, dan a given territory seperti tersebut di
atas.
Bahasa dan Agama dalam
Nasionalisme
Selain ciri-ciri pokok
itu, ada beberapa faktor lain yang terkadang ikut memperkuat semangat
nasionalisme. Seperti faktor bahasa bagi bangsa Indonesia, yang merupakan unsur
pemersatu yang amat menentukan. Sulit dbayangkan apa jadinya kesatuan nasional
Indonesia tanpa kehadiran bahasa Indonesia. Ada banyak contoh betapa rawannya
kesatuan nasional suatu bangsa karena bahasa. Kanada dengan masalah Quebec-nya
atau Swiss dengan Italia Irridenta-nya
merupakan contoh klasik dalam hal ini.
Di samping itu faktor agama
dan ras sering pula dicoba untuk dijadikan faktor identitas nasional suatu
bangsa atau negara. Akan tetapi hal ini justru lebih banyak menimbulkan
pelbagai masalah yang amat pelik. Masalah Irlandia Utara dapat dijadikan contoh
betapa faktor agama justru menyebabkan pertumpahan dasar yang berkepanjangan. Lebanon
merupakan contoh yang lain. Di negara ini faktor agama merupakan faktor pemecah
belah kesatuan nasionalnya. Sementara itu, kasus Afrika Selatan, Yugoslavia,
Sri Langka ataupun Myanmar merupakan bukti betapa faktor etnik justru banyak
menimbulkan banyak ketidakadilan bagi warganya.
Masalah hak asasi
manusia akan menjadi masalah yang prinsipal dan laten di negara agama dan
negara rasial. Sebab negara-negara itu akan memunculkan warga negara kelas satu
dan warga negara kelas dua. Hak-hak warga negara kelas dua secara
konstitusional akan tidak sama dan lebih terbatas dibandingkan warga negara
yang seagama dengan agama resmi negara, atau yang berasal dari etnik “resmi”. Sebenarnya
dalam negara agama sering kali teradi proses yang bahkan merendahkan martabat
agama itu sendiri. Agama disini pada akhirnya hanya dipergunakan sebagai alat
belaka, hanya untuk mempersatukan negara. (alvi)
Muara Enim, Mei 2014
M. Alvi Syahrin
tulisan yang bagus. Nice, Copy picture nya ya,...
ReplyDeleteSilahkan. Terima kasih sudah mengunjungi blog saya.
ReplyDelete