Tahukah anda
siapa pemenang lomba kartun tahunan paling bergengsi di dunia tahun 2009 lalu
yang rutin diselenggarakan oleh Yayasan Aydin Dogan Vakfi? Ya, pemenangnya
adalah Alessandro Gatto asal Italia. Tahukah pula topik apa yang diangkat
Alessandro Gatto dalam kartunnya? Ia membuat suatu humor satir yang menyangkut
kisah kaum imigran ilegal. Topik itu menjadi pilihan mayoritas dewan juri sehingga membuat ia
berhak memperoleh first prize serta
meraih uang senilai 9.000 dollar AS.
Permasalahan kaum imigran ilegal memang
menjadi perhatian global. Potret kaum imigran ilegal identik dengan kekerasan
dan sikap tidak ramah dari negara tujuan. Tidak sedikit dari mereka yang mendapat
perlakuan yang tidak beradab. Sikap anti-humanisme ini sering dilekatkan dengan
“legenda Chupacabra”, yakni kisah mahluk sang penghisap darah. Dalam kisah
orang-orang pelintas batas antara Meksiko – Amerika, memberikan gambaran bahwa
kaum imigran ilegal tidak hanya berhadapan dengan polisi Amerika semata
melainkan juga oleh mahluk Chupacabra. Makhluk ini berada di sekitar Gurun
Sonora, di perbatasan Meksiko dan Amerika. Area itu luasnya sekitar 300.000 Km3
serta dikenal tandus dan sangat panas. Cirinya mereka yang meninggal
dunia memiliki dua lubang dileher mereka. Hewan tersebut telah melegenda di
sejumlah negara. Mulai dari Puerto Riko (Amerika Selatan) hingga Texas. Bahkan
dilaporkan bahwa Chupacabra terdapat pula di Filipina. Sosok ini identik dengan
kasus-kasus kematian kaum imigran dengan luka gigitan pada leher dan darah
korbannya kemudian dihisap.
Program
Repatriasi
Ditengah adanya sikap anti-humanisme
yang banyak dialami oleh para imigran, ada beberapa negara yang menerapkan
kebijakan untuk memulangkan warga negara mereka ke negara asalnya, termasuk di
antaranya para imigran ilegal. Kebijakan ini dinamakan program repatriasi. Proses
repatriasi dilakukan melalui tiga tahap, yaitu identifikasi, pemindahan, dan
pemulangan. Identifikasi dilakukan untuk menentukan kebenaran identitas status
kewarganegaraan, status keimigrasian, dan kepastian hukum status hukum saat
kembali ke negara asal.
Beberapa waktu lalu, media Australia
melansir kisah imigran asal Inggris. Diberitakan bertahun-tahun ribuan anak
Inggris mencari jati diri, sanak saudara mereka, dan juga jawaban atas dasar
apa mereka dibuang ke negara-negara bekas jajahan Inggris. Pemerintah Inggris
dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pengiriman sekitar
150.000 anak-anak yatim ke Australia dan negara koloni Inggris lainnya, seperti
Kanada dan Selandia Baru. Tony Blair (saat menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris),
dalam suatu kesempatan menyampaikan penyesalan dan memberikan bantuan pendanaan
agar anak-anak yang dimigrasikan itu dapat kembali dengan keluarga atau sanak
saudaranya di Inggris. Selama bertahun-tahun, Inggris berusaha mengembalikan ribuan
anak-anak miskin tersebut. Inggris menyebutnya sebagai program repatriasi,
yaitu pemulangan warga negara ke negara asalnya. Program ini dimulai pada tahun
1920 dan berakhir tahun 1967.
Bicara repatriasi juga pernah dialami
Indonesia. Pada tahun 2009, sebanyak 644 orang Indonesia direpatriasi secara
sukarela dari Papua Nugini. Mereka dipulangkan ke sejumlah daerah di Papua dan
Papua Barat. Para repatrian tersebut dipulangkan dalam dua tahap, yaitu melalui
Wewak ke Jayapura sebanyak 125 orang dan melalui Port Moresby ke Jayapura
sebanyak 192 orang. Awalnya mereka melarikan diri dari Irian Jaya pada tahun
1970-an dan 1984 karena gejolak politik dan kekerasan yang terjadi di Papua
Nugini. Mereka kembali ke Indonesia karena sebagian besar dari mereka terpuruk
dan terancam dari lahan pemukiman ilegal. Disamping itu, adanya ketidakpastian
pencapaian perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) juga memperkuat niat
mereka untuk kembali ke Indonesia.
Kaum
Imigran di Selandia Baru
Pada tahun 2002, The National Business Review – HP Invest melakukan jejak pendapat
terhadap 750 warga negara Selandia Baru
tentang imigran asal Asia. Hasilnya, 45% responden berpendapat jumlah
imigran Asia sudah cukup. Dari 4 juta penduduk Selandia Baru, sebanyak 3,21 juta
jiwa adalah warga Eropa atau keturunan Eropa. Sisanya, 624.000 jiwa adalah suku
Maori, 404.000 jiwa Asia, dan 302.000 adalah penduduk pasifik. [1]
Di Selandia Baru, istilah imigran mengacu pada orang-orang yang lahir di luar negara tersebut. Imigan masuk ke Selandia Baru melalui beberapa program keimigrasian. Program tersebut mencakup tiga pintu. Pintu pertama, program yang didasarkan pada keterampilan dan bisnis. Pada program ini, imigran memiliki kualifikasi pengalaman kerja dan usianya masih produktif. Pintu kedua, program yang didasarkan pada sponsor dari keluarga dekat. Mereka dapat menjadi warga negara dengan cara mengajukan permohonan menjadi warga negara Selandia Baru dengan jaminan keluarga yang telah berada di sana sebelumnya. Pintu ketiga, program yang didasarkan pada masalah kemanusiaan atau internasional. Dalam kategori ini, imigran dipandang mengalami masalah kemanusiaan serius di negara asalnya dan ada penduduk Selandia Baru yang mau menjamin untuk menampungnya.
Kasus
Kapal Tampa
Kasus imigran ilegal yang cukup mendapat
perhatian dunia, dialami oleh sebuah kapal barang bernama “Tampa” yang
berbendera Norwegia pada tahun 2003. Kapal tersebut telah menolong 434 penumpang
yang berada di perairan internasional. Awalnya penumpang yang ditolong tersebut
berasal dari Kapal Motor Indonesia bernama “Kapal Palapa”. Penumpang kapal
tersebut sebagian besar berasal dari negara Afganistan dan sisanya dari
Pakistan dan Sri Lanka. Setelah mereka diselamatkan Kapal Tampa dari Kapal Palapa
yang tenggelam, mereka memaksa Kapten Kapal untuk membawanya ke Pulau Christmas
yang masuk ke wilayah Australia. Semua penumpang mengklaim bahwa mereka adalah
pelarian politik (pencari suaka).
Keberadaan penumpang Kapal Tampa baru
dapat diterima di negara Australia apabila mereka berstatus sebagai pengungsi. Untuk
hal itu harus terlebih dahulu ditentukan berdasarkan syarat-syarat yang ada
pada Konvensi Tahun 1951 tentang Pengungsi (selanjutnya disebut Konvensi 1951).
Pada saat kejadian Australia menolak dengan mendasarkan pada anggapan bahwa
mereka bukan pengungsi sebagaimana ditentukan Konvensi 1951. Australia lebih
menganggap mereka sebagai orang-orang yang ingin memperbaiki nasib kehidupannya
(motif ekonomi) yang tidak pernah didapatkan di negara asalnya.
Australia tidak mengakui bahwa posisi
tenggelamnya Kapal Palapa saat ditolong Kapal Tampa tidak berada di Pulau
Chsistmas. Oleh karenanya, menurut pihak Australia tidak masuk pada wilayah
negaranya. Australia beranggapan bahwa posisi tenggelamnya Kapal berada di
wilayah Banten, Jawa Barat. Oleh karena itu masuk dalam yurisdiksi Indonesia. Menurut
pihak Australia, Indonesia-lah yang harus menyelesaikan masalah ke-434
penumpang kapal tersebut. Di sisi lain Australia juga berpendapat Norwegia juga
harus bertanggung jawab, karena bendera Kapal Tampa adalah negara Norwegia.
Adanya penolakan dari Australia tersebut,
akan berdampak pada status para pencari suaka Kapal Tampa. Apabila dapat dibuktikan
bahwa seluruh penumpang Kapal Tampa itu adalah pencari suaka, maka menurut asas
non-refoulment, mereka tidak boleh
dikembalikan ke negara asalnya dengan alasan apapun. Yang menjadi catatan,
sejauh ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951. Konsekuensi yuridisnya,
Indonesia dapat menolak kehadiran mereka atas dasar apapun. Namun, sering kali
Indonesia selalu dibebankan atas kewajiban kemanusiaan. Inilah yang menjadi
dilema bagi Indonesia dalam penanganan imigran ilegal.
Pengungsi
Sri Lanka
Sejak awal kemerdekaan pada tahun 1948, Sri
Lanka dilanda prahara antar etnik. Mereka yang terlibat adalah etnis Sinhal dan
etnis Tamil. Warga etnis Tamil yang mendiami Srilank bagian utara merupakan
minoritas dan dikuasai oleh etnis Sinhala. Diskriminasi itu terasa dalam bidang
pendidikan, pekerjaan, dan politik. Pada Undang-Undang Sri Lanka ditentukan bahwa
bahasa yang digunakan adalah bahasa Sinhala, dan agama resmi negara adalah
Budha, sementara etnis Tamil umumnya beragama Hindu.
Atas dasar kejadian inilah yang kemudian
menimbulkan sikap sakit hati pada sebagian kaum entis Tamil. Pada tahun 1976, dipelopori
oleh Velupillai Prabhakaran dibangun sebuah organisasi perlawanan dengan
menamakan diri sebagai Liberation Tigers
of Tamil Eelam (LTTE). Awalnya organisasi pergerakan itu lebih dikenal di
Indonesia dengan sebutan Tiger New Tamiol (TNT) pada tahun 1972. Tujuan dari
organisasi pergerakan tersebut yaitu tercapainya kemerdekaan bagi negara Tamil.
Sebenarnya telah ada perjanjian antara
India dan Sri Lanka pada tahun 1987 untuk mengatasi kemungkinan terjadinya
pertikaian antar kedua etnis tersebut. Perwujudannya dilakukan melalui
pembentukan Dewan Provinsi di sebelah utara dan timur Pulau Ceylon. Pada perjanjian
tersebut disepakati bahwa Dewan Provinsi diberikan kewenangan untuk membentuk
kesatuan polisi sendiri, pengaturan dan penggunaan tanah serta mendapat alokasi
dana pembangunan dari pemerintah. Korban tewas sejak konflik mencapai 70.000
orang.
Seseorang dianggap teroris hanya karena menggunakan bahasa Tamil. Etnik Sinhala yang mengendalikan lapangan pekerjaan. Bahasa etnis Sinhala menjadi bahasa resmi negara sejak tahun 1956. Hal ini telah membuat etnis Tamil yang tidak dapat berbahasa Sinhala bersitegang dan tidak mendapat pekerjaan. Proses anti-humanisme inilah yang kemudian membuat etnis Tamil bermigrasi ke negara lain, khususnya Australia dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Seseorang dianggap teroris hanya karena menggunakan bahasa Tamil. Etnik Sinhala yang mengendalikan lapangan pekerjaan. Bahasa etnis Sinhala menjadi bahasa resmi negara sejak tahun 1956. Hal ini telah membuat etnis Tamil yang tidak dapat berbahasa Sinhala bersitegang dan tidak mendapat pekerjaan. Proses anti-humanisme inilah yang kemudian membuat etnis Tamil bermigrasi ke negara lain, khususnya Australia dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Namun, pemberitaan terakhir yang dirilis oleh bbc.co.uk, dikabarkan lebih dari 200 pencari suaka asal Tamil yang ditolak kedatangannya oleh otoritas perbatasan Australia di Samudra Hindia (05/07/2014). Dua perahu yang membawa pencari suaka tersebut akhirnya diserahkan kembali ke angakatan laut Sri Lanka. Tentu sikap Australia telah melanggar prinsip hukum internasional, non-refoulment, yang telah ditentukan dalam Konvensi 1951. Sejauh ini pemerintah Australia masih belum berkomentar dengan alasan operasional dan menolak dimintai konfirmasi terkait dengan sikap tidak populernya tersebut.
Penyelundupan Manusia di Nigeria
Kasus imigran ilegal juga terjadi di Nigeria. Menurut
Kementerian Kehakiman Nigeria yang dilansir oleh reuters.com, sebanyak 500 imigran gelap berhasil ditangkap pihak
keamanan Nigeria dalam empat bulan terakhir ketika mereka mencoba melewati
Gurun Sahara menuju Alzajair (03/06/2014). Para imigran yang sebagian besar
berasal dari Afrika Utara ini hendak menuju Alzajair lantaran disana mereka bisa
mencari rezeki dengan mengemis di pelataran masjid.
Sementara itu, setidaknya 39 orang yang 29 orang
diantaranya perempuan, telah ditahan atas tuduhan pergadangan manusia di Kota
Arlit. Pemerintah Nigeria saat ini sangat kewalahan mengahalangi dan menegur
para pelaku perdagangan manusia ini yang semakin meningkat.
Nigeria semakin gencar melakukan penindakan terhadap kasus perdagangan manusia setelah pada akhir tahun 2013 lalu 92 imigran tewas di Gurun Sahara saat melakukan perjalanan menuju Alzajair. Sementara itu, hingga saat ini lebih dari 12 imigran belum diketahui nasibnya setelah ditinggalkan oleh penyelundupnya di Gurun Sahara
Gelombang Imigran Menyerbu Italia
Italia kembali dihadapkan para persoalan imigran gelap asal Afrika. Pada Senin, 12 Mei 2014, sebuah kapal yang penuh oleh imigran tenggelam di Laut Mediterania, sektiar 160 kilometer dari selatan Pulau Lampedusa yang juga tak jauh dari perairan Libya. Daily Times menyebutkan sebanyak 206 orang berhasil diselamatkan dari kapal ini, sedangkan 17 orang lainnya ditemukan tewas.
Nigeria semakin gencar melakukan penindakan terhadap kasus perdagangan manusia setelah pada akhir tahun 2013 lalu 92 imigran tewas di Gurun Sahara saat melakukan perjalanan menuju Alzajair. Sementara itu, hingga saat ini lebih dari 12 imigran belum diketahui nasibnya setelah ditinggalkan oleh penyelundupnya di Gurun Sahara
Gelombang Imigran Menyerbu Italia
Italia kembali dihadapkan para persoalan imigran gelap asal Afrika. Pada Senin, 12 Mei 2014, sebuah kapal yang penuh oleh imigran tenggelam di Laut Mediterania, sektiar 160 kilometer dari selatan Pulau Lampedusa yang juga tak jauh dari perairan Libya. Daily Times menyebutkan sebanyak 206 orang berhasil diselamatkan dari kapal ini, sedangkan 17 orang lainnya ditemukan tewas.
Kejadian ini merupakan insiden terbaru dari serangkaian
tragedi di Laut Mediterania yang melibatkan imigran. Lebih dari 4000 imigran
mencapai pantai Italia dengan menumpangi kapal penyelundup. Italia merasa
kewalahan dengan gelombang imigran yang terus mengalir. Perdana Menteri Italia
Matteo Renzi mendesak Uni Eropa untuk memberikan bantuan lebih dalam penanganan
imigran, seperti menempatkan kapal-kapal patroli di wilayah perairan.
Uni Eropa Kebanjiran Imigran Ilegal
Kebijakan Uni Eropa mengenai Sistem Umum Suaka Eropa bagi pencari suaka kini memasuki babak baru. Sistem tersebut memang menjadi angin segar bagi para pencari suaka. Namun gelombang pencari suaka menjadi tak terbendung hingga akhirnya menimbulkan permasalahan. “Masalahnya selalu (terkait) dengan akses dan suaka”, kata Volker Tusk, Direktur Lembaga Pengungsi UNHCR.
Sepanjang tahun 2013, ratusan imigan ilegal meninggal saat berusaha masuk ke Eropa dengan perahu melalu Lampedusa, sebuah pulau di Italia yang berada di sebelah selatan Sisilia. Wilayah tersebut merupakan gerbang ke Eropa untuk migrasi terlarang lewat jalur laut bagi para pencari suaka dari sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika yang didera konflik.
Uni Eropa Kebanjiran Imigran Ilegal
Kebijakan Uni Eropa mengenai Sistem Umum Suaka Eropa bagi pencari suaka kini memasuki babak baru. Sistem tersebut memang menjadi angin segar bagi para pencari suaka. Namun gelombang pencari suaka menjadi tak terbendung hingga akhirnya menimbulkan permasalahan. “Masalahnya selalu (terkait) dengan akses dan suaka”, kata Volker Tusk, Direktur Lembaga Pengungsi UNHCR.
Sepanjang tahun 2013, ratusan imigan ilegal meninggal saat berusaha masuk ke Eropa dengan perahu melalu Lampedusa, sebuah pulau di Italia yang berada di sebelah selatan Sisilia. Wilayah tersebut merupakan gerbang ke Eropa untuk migrasi terlarang lewat jalur laut bagi para pencari suaka dari sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika yang didera konflik.
Tak sampai disitu, kebijakan “open system” juga membuat sejumlah pencari suaka mencoba memasuki
wilayah Eropa dengan cara ilegal menggunakan penyelundup yang terorganisir.
Dengan bantuan penyelundup, mereka akhirnya bisa menggunakan paspor palsu.
Beberapa bahkan masuk Eropa tanpa dokumen resmi. Oleh karena itu, Uni Eropa
kini dapat bersikap lebih jeli lagi dalam menangani masalah pencari suaka.
Jangan sampai pencari kedamaian ini justru bermasalah dengan hukum. Padahal
jika mereka bisa masuk Eropa secara legal, perlindungan internasional akan
benar-benar mereka dapatkan.
Konflik dan Perang Saudara di Negara Asal
Perlu dipahami, pada masa dan pasca perang dunia kedua, mayoritas eksodus imigran ilegal ke negara tujuan biasanya dilatarbelakangi atas motif non-ekonomi. Mereka melarikan diri dari negara asal karena adanya perang saudara atau penindasan, bahkan genosida. Motif-motif tradisional inilah yang memotivasi arus imigran ilegal di dunia. Namun memasuki abad milenium, motif imigran ilegal kini lebih bernuansa ekonomi. Mereka rela meninggalkan negara asalnya, agar memperoleh kehidupan yang lebih baik di negara tujuan.
Konflik dan Perang Saudara di Negara Asal
Perlu dipahami, pada masa dan pasca perang dunia kedua, mayoritas eksodus imigran ilegal ke negara tujuan biasanya dilatarbelakangi atas motif non-ekonomi. Mereka melarikan diri dari negara asal karena adanya perang saudara atau penindasan, bahkan genosida. Motif-motif tradisional inilah yang memotivasi arus imigran ilegal di dunia. Namun memasuki abad milenium, motif imigran ilegal kini lebih bernuansa ekonomi. Mereka rela meninggalkan negara asalnya, agar memperoleh kehidupan yang lebih baik di negara tujuan.
Pada Tahun 2012, diperkirakan ada
sekitar 750.000 etnis rohingya yang mengalami penindasan dan kekerasan di
Myanmar. Sejak tahun 1982, militer Myanmar telah melucuti kewarganegaraan bagi
etnis rohinya, yang menyebabkan mereka kini kehilangan kewarganegaraan. Hal inilah
yang kemudian, menyebabkan meningkatknya jumlah imigran rohingya di dunia.
Kasus imigran ilegal juga dialami oleh warga
Kolombia karena adanya konflik bersenjata selama puluhan tahun. Setidaknya satu
dari setiap sepuluh warga kolombia sekarang tinggal di luar negeri. Sebagai contoh,
warga Kolombia yang telah bermigrasi ke Spanyol telah tumbuh secara luar biasa.
Pada tahun 1993 ada sekitar 7.000 warga
kolombia di Spanyol, pada tahun 2000 ada 80.000 orang, dan hingga puncaknya
tahun 2003 yang mencapai 244.000 orang.
Berdasarkan data yang dirilis oleh US Department of Homeland Security
menunjukkan bahwa Kolombia adalah negara keempat terbesar yang “menyumbang”
imigran ilegal ke Amerika Serikat. Lebih lanjut, negara lain yang menjadi
sumber melonjaknya jumlah angka imigran ilegal di Amerika Serikat adalah El
Savador. El Savador adalah negara yang mengalami emigrasi besar sebagai akibat
dari perang saudara. Setidaknya sepertiga dari populasi negara El Savador kini
tinggal di luar negeri, yaitu Amerika Serikat.
Sejarahnya, status imigran ilegal berkaitan dengan status pencari suaka. Mereka kebanyakan adalah korban pelarian konflik dari negara asal. Secara
yuridis, para pencari suaka ini akan mendapat jaminan dari negara tujuan,
apabila telah mendapat status pengungsi dari UNHCR. Apabila tidak, maka
keberadaan mereka dianggap sebagai imigran ilegal, yang selanjutnya akan
dilakukan deportasi. Namun, Pasal 31 Konvensi 1951 tentang Pengungsi menegaskan
bahwa negara yang meratifikasi konvensi tersebut dilarang dengan tegas untuk
memberikan hukuman kepada pengungsi baik ilegal ataupun tidak, yang datang
langsung dari negara mereka yang damai ataupun yang kebebasannya terancam. Ketentuan
inilah yang harus dipahami, ditaati, dan dilaksanakan oleh semua negara
peratifikasi Konvensi 1951, tanpa terkecuali. (alvi)
Muara Enim, Juli 2014
M. Alvi Syahrin
[1] Harian Umum
Kompas, Imigran: Wajah Asia di Selandia Baru, laporan dibuat pada tanggal 2 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment