"...tidak ada satupun pasal dalam
BAB XA UUD 1945 bersifat mutlak. Semuanya dapat dibatasi dan dikurangi bila ternyata
pemberlakuan hak asasi manusia tersebut malah mengancam kedaulatan negara,
termasuk dalam hal ini penerapan prinsip non-refouelement bagi
pencari suaka dan pengungsi."
“…. tidak semua
pencari suaka, bahkan pengungsi sekalipun mendapatkan jaminan penuh untuk
tinggal di Indonesia dengan dalih prinsip non-refoulement. Kebijakan selektif keimigrasian
lah yang menjadi filter bagi penerapan prinsip non-refoulement di Indonesia.”
MUTLAK
ATAU RELATIF?
Sudah
bertahun-tahun, Indonesia menghadapi masalah dengan orang-orang asing yang
mengaku sebagai pencari suaka untuk diproses statusnya sebagai pengungsi. Meski
bukan sebagai negara tujuan, Indonesia sering dijadikan sebagai negara transit
karena posisi geografis Indonesia berada pada jalur menuju perlintasan negara
tujuan suaka, yaitu Australia. Dari Indonesia, mereka berniat masuk ke
Australia, baik secara legal ataupun ilegal dengan menggunakan status pengungsi
yang dikeluarkan oleh UNHCR mewakili pemerintah Indonesia.[1]
Keberadaan
pencari suaka dan pengungsi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari intervensi
lembaga internasional dengan manjadikan hak asasi manusia sebagai dasar
pembenarannya. Prinsip yang terkenal dalam hukum pengungsi adalah prinsip
larangan pengusiran ke negara asal (non-refoulement)
bagi pencari suaka dan pengungsi. Dalam hukum internasional, prinsip ini
merupakan peremptory
norm of general international law atau jus cogens, yang keberadaannya diakui oleh komunitas
internasional sebagai norma yang tidak boleh diabaikan, dilanggar, dan diubah.[2]
Bahkan dalam pendapat lain, prinsip ini termasuk suatu kewajiban non-derogable (tidak dapat dikurangi)
dan berlaku mutlak bagi semua negara di dunia.
Merujuk pada etimologisnya istilah refoulement berasal dari kata Prancis. Refoulement berarti: “expulsion or return of a refugee from on
state to another”.[3]
Non-refouelement diartikan sebagai: “a rufugee’s right of not being expelled form
one state to another, esp. to one
where his or her life or liberty would be thetrened.” Kewajiban negara
pihak dari Konvensi Tahun 1951 untuk mentaati prinsip non-refoulement dari Pasal 33 merupakan hal yang berdiri sendiri
terlepas dari kewajiban orang asing untuk memenuhi persyaratan formal secara
keimigrasian. Bahkan jika orang asing itu masuk secara tidak sah. Dalam kasus
tidak ada penilaian terhadap permohonan suaka, di dalamnya tidak ada jaminan
terhadap pengusiran pencari suaka yang bertentangan dengan Pasal 33 Konvensi
Tahun 1951.
Prinsip
non-refoulement diatur dalam Pasal 33
ayat (1) Konvensi Tahun 1951 tentang Pengungsi. Pasal tersebut menetapkan bahwa
negara-negara pihak pada konvensi ini tidak boleh mengusir atau mengembalikan
seorang pengungsi, dengan cara apapun, ke perbatasan wilayah negara pihak yang
akan mengancam kehidupan maupun kebebasan pengungsi karena alasan ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu ataupun karena opini
politiknya.[4]
Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 yang berisi prinsip non-refoulement ini
termasuk dalam pasal-pasal yang tidak dapat direservasi dan prinsip ini pun
mengikat negara-negara bukan peserta Konvensi Tahun 1951.[5]
Prinsip non-refoulement
sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 merupakan
dasar dari perlindungan internasional terhadap pengungsi. Substansi dari
prinsip non-refoulement adalah
jaminan suatu negara untuk tidak akan mengusir atau mengembalikan seorang
pengungsi dengan cara appaun ke negara asalnya dimana kehidupan dan
kebebasannya akan terancam. Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Pasal 31 dan
Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951, baik kedatangan secara tidak sah maupun
kegagalan, harus melaporkan kepada otoritas yang berwenang dalam batas waktu
yang telah ditentukan tidak dapat dipertimbangkan sebagai alasan formal untuk
mengesampingkan seseorang dari status pengungsi.
Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi menyatakan
bahwa:
“Tidak ada Negara Pihak yang akan mengusir atau
mengembalikan (”refouler”) pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan
wilayah-wilayah dimana hidup dan kebebasannya akan terancam karena ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya.”
Namun, keberlakuan prinsip non-refoulement
bagi pencari suaka dan pengungsi tidak dapat diterapkan secara masif dan
memaksa kepada suatu negara. Prinsip ini tidak dapat berlaku mutlak. Walaupun,
normanya bersifat memaksa (jus cogens),
namun penerapannya sangat kondisional, tergantung pada urgensi dan
kebutuhannnya bagi negara peserta. Jika negara peserta saja dapat menolak
prinsip non-refoulement, apalagi
Indonesia yang sampai saat ini bukan merupakan negara pihak Konvensi Tahun
1951.
Praktiknya,
prinsip inilah sering kali dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk
menyelundupkan pengungsi dan pencari suaka ke Indonesia untuk ke Australia
sebagai negara tujuan. Namun, Australia yang merupakan negara pihak Konvensi
Tahun 1951 saat ini telah menutup semua akses masuk bagi para pengungsi dan
pencari suaka. Akibatnya, Indonesia yang awalnya hanya dijadikan sebagai negara
transit kini berubah status menjadi negara tujuan.
Diskurus
penanganan pencari suaka dan pengungsi menjadi rumit, ketika pemerintah
mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI-0352.GR.02.07
tentang Penanganan Imigran Ilegal yang Menyatakan Diri sebagai Pencari Suaka
dan Pengungsi, yang ditandatangani pada tanggal 19 April 2016. Berdasarkan
Pasal 2 ayat (2) peraturan tersebut, secara tersirat mengakomodir prinsip non-refoulement yang menjelaskan bahwa
terhadap orang asing yang menyatakan diri sebagai pencari suaka dan pengungsi
pada saat masuk ke wilayah Indonesia, dilakukan penanganan pada kesempatan
pertama. Jelas ini bertentangan dengan prinsip kebijakan selektif keimigrasian,
yang dianut oleh Direktorat Jenderal Imigrasi.
Setahun
setelah ditetapkannya peraturan tersebut, kini pemerintah mengeluarkan
Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar
Negeri. Dalam bagian konsiderans peraturan preseiden tersebut, tidak disebutkan
sama sekali kepentingan filosofis, yuridis, dan sosiologis dari aspek
keimigrasian. Bahkan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
tidak dimasukkan dalam bagian mengingat. Padahal, pencari suaka dan pengungsi
adalah subjek orang asing[6],
yang diatur dan menjadi pokok bahasan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian. Padahal fungsi keimigrasian adalah untuk memastikan agar
setiap orang asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia membawa manfaat dan
tidak merugikan Indonesia.
Keberadaan
paket peraturan pro pencari suaka dan pengungsi ini menimbulkan polemik di
kalangan akademisi dan praktisi keimigrasian. Betapa tidak, pencari suaka dan
pengungsi yang merupakan imigran ilegal dapat dikecualikan dari tindakan
administratif keimigrasian (baca: Deportasi). Padahal dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2011 sendiri tidak mengenal istilah pencari suaka dan pengungsi.
Undang-undang tersebut hanya mengelompokan orang asing ke dalam dua kategori,
yaitu imigran legal dan ilegal.
Imigran
legal dalam hal ini adalah setiap orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia
wajib memiliki visa yang sah dan masih berlaku, serta telah melalui pemeriksaan
yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.[7]
Sebaliknya, bila tidak melalui mekanisme di atas, maka orang asing tersebut
dikategorikan sebagai imigran ilegal. Menurut UU No. 6 Tahun 2011, tindakan yang diberikan
terhadap imigran ilegal tersebut adalah Tindakan Administratif Keimigrasian,
berupa Deportasi.[8]
Menjadi suatu dilema hukum, ketika instrument hukum positif (keimigrasian) sudah
menentukan demikian, tapi dikecualikan oleh prinsip hukum dalam Konvensi Tahun
1951 yang Indonesia sendiri hingga saat ini belum meratifikasinya
Norma
yang dirumuskan dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 jauh dari
semangat penegakan hukum, pengamanan, dan kedaulatan negara. Dapat dikatakan,
peraturan ini penuh kepentingan politik dan pihak asing. Akibatnya, Rumah Detensi Imigrasi yang fungsi
awalnya hanya sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang akan
dikenakan tindakan adminstratif keimigrasian (immigratoir)[9],
kini telah berubah menjadi tempat penampungan pencari suaka dan pengungsi. Bahkan
fungsi pengawasan yang semula berada di Kantor Imigrasi, kini beralih ke Rumah
Detensi Imigrasi. Faktanya, hampir semua Rumah Detensi Imigrasi di Indonesia
mengalami kelebihan kapasitas (over
capacity), karena terlalu banyak menampung pencari suaka dan pengungsi.
Diakomodirnya
prinsip non-refoulement dalam kedua
peraturan ini, malah akan membuat Indonesia dalam posisi layaknya sebagai
negara pihak Konvensi Tahun 1951. Padahal sampai saat ini, Indonesia belum
meratifikasi konvensi tersebut. Tentu, hadirnya peraturan presiden ini malah
menghilangkan marwah imigrasi sebagai otoritas penjaga pintu gerbang negara.
PEMBATASAN
PRINSIP NON-REFOULEMENT
Pada
praktiknya, penerapan prinsip non-refoulement ini tidak bersifat mutlak
atau absolut, termasuk
hak asasi yang diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menjadi dasar
keberadaan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia.[10]
Jika kita menarik dari perspektif original
intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum
dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya relatif dan dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang
menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh
penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur
tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan
hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka
secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi
manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk
pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia
dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights
yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal
penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his
rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are
determined by law solely for the purpose of securing due recognition and
respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just
requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic
society.”
Terkait dengan aspek hak asasi manusia dalam penerapan
prinsip non-refoulement bagi pencari
suaka dan pengungsi di Indonesia yang selama ini menjadi dasar pertimbangan,
tidak dapat menjadi pembenaran mutlak. Menjadikan prinsip non-refoulement sebagai jus
cogens yang harus ditaati oleh semua negara di dunia ternyata harus
dibatasi oleh keberlakuan hukum nasional masing-masing negara.
HAM Universal bukan berarti harus dipaksakan
keberlakuannya, tetapi juga harus memperhatikan aspek batasan-batasan yang
diakui oleh hukum regional. Indonesia bukanlah negara pihak Konvensi Tahun
1950, sehingga secara hukum tidak ada norma yang mengikat Indonesia untuk
tunduk pada prinsip non-refoulement.
Dalil hukum pemberlakuan Peraturan Direktur Jenderal Nomor IMI-0352.GR.02.07 tentang Penanganan Imigran Ilegal
yang Menyatakan Diri sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi, yang ditandatangani pada
tanggal 19 April 2016 dan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari
Luar Negeri adalah Pasal 28G UUD 1945 yang menyatakan
bahwa:
- Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
- Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal
28G UUD 1945 inilah yang selalu dijadikan dasar hukum keberadaan pencari suaka
dan pengungsi untuk masuk dan tinggal di Indonesia. Walaupun sejatinya keberadaan
mereka di Indonesia pun telah mengancam kedaulatan negara dan mengganggu
ketertiban umum.[11]
Adanya perbedaan budaya, ideologi, dan pandangan politik menyebabkan keberadaan
mereka seringkali merugikan Indonesia sebagai negara transit.[12] Padahal sudah dijelaskan
bahwa tidak ada satupun pasal dalam BAB XA UUD 1945 bersifat mutlak. Semuanya
dapat dibatasi dan dikurangi bila ternyata pemberlakuan hak asasi manusia
tersebut malah mengancam kedaulatan negara, termasuk dalam hal ini penerapan prinsip
non-refouelement bagi pencari suaka
dan pengungsi. Pembatasan hak tersebut diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Pasal
28J UUD 1945 menjelaskan bahwa:
- Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
- Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis;
Berdasarkan
ketentuan tersebut, terdapat 6 (enam) batasan pemberlakuan hak asasi manusia di
Indonesia, yaitu:
- Undang-undang
- Hak asasi manusia orang lain;
- Kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara;
- Moral;
- Nilai-nilai agama;
- Keamanan dan ketertiban umum.
Selain
itu juga, pembatasan prinsip non-refoulement
juga diatur dalam ketentuan Konvensi Tahun 1951 itu sendiri. Berdasarkan Pasal
33 ayat 2 Konvensi 1951 penerapan prinsip non-refoulement tidak berlaku
bila pengungsi tersebut keberadaannya mengancam keamanan nasional atau
mengganggu ketertiban umum di negara tempat ia mencari perlindungan.
Pembatasan atau pengecualian prinsip non-refoulement
diatur dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi,
menyatakan bahwa
“Namun, keuntungan dari ketentuan ini tidak
boleh diklaim oleh pengungsi di mana terdapat alasan-alasan yang layak untuk
menganggap sebagai bahaya terhadap keamanan negara di mana ia berada, atau
karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang bersifat final atas
tindak pidana sangat berat ia merupakan bahaya bagi masyarakat negara itu.”
Menurut
Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951, larangan memaksa pengungsi kembali ke negara di
mana ia mungkin mengalami persekusi tidak diterapkan kepada pengungsi yang
mengancam keamanan negara, atau ia telah mendapatkan putusan akhir dari hakim
atas kejahatan serius yang telah ia perbuat, serta membahayakan masyarakat
negara setempat. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk perkecualian yang
sangat mendesak. Hal tersebut bermakna, apabila perkecualian tersebut akan
diterapkan, maka harus dibuktikan bahwa terdapat hubungan langsung antara
keberadaan pengungsi di suatu negara dengan keamanan nasional negara itu yang
terancam.
Pengusiran
pengungsi yang sedemikian itu hanya akan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu
keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Hal ini dikecualikan
apabila ada alasan-alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa mengharuskan
lain, pengungsi itu akan diizinkan menyampaikan bukti untuk membersihkan
dirinya serta mengajukan banding kepada instansi yang berwenang.
Pengecualian
penerapan non-refoulement mensyaratkan adanya unsur ancaman terhadap
keamanan negara dan gangguan terhadap ketertiban umum di negara setempat. Bagi
Indonesia, keamanan tidak hanya dalam konteks keamanan internal suatu negara, namun
juga dalam sistem keamanan pangan, kesehatan, keuangan dan perdagangan. Ancaman
meliputi hambatan, tantangan dan gangguan. Dalam arti sempit, ancaman dapat
bersifat terencana ataupun residual. Ancaman terencana dapat berupa subversi
maupun pemberontakan dalam negeri maupun infiltrasi, subversi, sabotase dan
invasi. Ancaman residual adalah berbagai keadaan dalam masyarakat yang
merupakan kerawanan ekonomi, sosial dan politik yang apabila tidak ditangani
secara tuntas pada waktunya, akan memicu kerusuhan yang dapat dipergunakan oleh
unsur-unsur subversi atau pemberontak untuk kepentingannya
Batasan
yuridis yang
harus dipahami dalam konsep prinsip non-refoulement
adalah sangat bergantung pada rezim hukum yang dianut oleh masing-masing
negara. Politik hukum keimigrasian yang dianut oleh Indonesia saat ini adalah
kebijakan selektif (selective policy)
yang berdasarkan pada asas kemanfaatan.[13]
Kebijakan selektif keimigrasian tersebut ditentukan dalam Bagian Kesatu Penjelasan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Maksudnya, hanya orang asing yang membawa
manfaat bagi negara yang dapat masuk dan tinggal di Indonesia.
Berdasarkan prinsip hukum dalam Pasal 75 dan Bagian Kesatu Penjelasan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2011, kebijakan keimigrasian Indonesia untuk orang
asing menganut asas kebijakan selektif (selective
policy) yang menegaskan bahwa:
- hanya orang asing yang bermanfaat yang diperbolehkan masuk dan berada di wilayah Indonesia;
- hanya orang asing yang tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum yang diperbolehkan masuk dan berada di wilayah Indonesia;
- orang asing harus tunduk pada peraturan hukum di Indonesia;
- orang asing yang masuk dan berada di wilayah Indonesia harus sesuai dengan maksud dan tujuannya.
Berdasarkan prinsip ini, maka hanya orang asing yang
dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa, dan negara, tidak
membahayakan keamanan dan ketertiban, serta tidak bermusuhan baik terhadap
rakyat yang dapat masuk dan keluar wilayah Indonesia.[14]
Bahkan dalam tafsir lain, pergerakan orang asing tersebut harus dapat sesuai
dengan ideologi negara dan tidak mengancam keutuhan bangsa.
Secara
normatif, setiap orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia harus memiliki
dokumen perjalanan dan visa yang sah dan masih berlaku. Sehingga tidak semua
pencari suaka atau pengungsi sekalipun yang mendapat jaminan mutlak untuk
tinggal di Indonesia dengan dalih prinsip non-refoulement,
bila dikaitkan dengan asas kebijakan selektif keimigrasian tersebut.
Lebih lanjut, kebijakan
selektif ini dalam pelaksanaannya harus memperhatikan keseimbangan antara
pendekatan keamanan (security approach)
dan pendekatan kesejahteraan (prosperity
approach).[15]
Maknanya, dalam menjalankan fungsi tersebut, Imigrasi harus mengutamakan aspek
kedaulatan dan keamanan negara, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.[16]
Lantas, bagaimana bisa diwujudkan bila keberadaan pencari suaka dan pengungsi
pada praktiknya malah diakui dan diakomodir kepentingannya.
Kontraksi hukum ini menjadi kompleks, ketika Indonesia harus dibebankan pada norma hukum yang mengikat pada Konvensi Tahun 1951. Namun perlu diketahui, karena Indonesia adalah bagian dari negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka secara tidak langsung tunduk pada asas universal bagi pengungsi yaitu, prinsip non-refoulement. Praktiknya, prinsip tersebut bertentangan dengan kebijakan selektif keimigrasian yang menghendaki hanya orang asing bermanfaat yang dapat masuk ke wilayah Indonesia. Lagipula, Indonesia bukanlah negara pihak Konvensi Tahun 1951 sehingga tidak ada kewajiban untuk tunduk pada kaidah global dalam konvensi tersebut.[17]
Kontraksi hukum ini menjadi kompleks, ketika Indonesia harus dibebankan pada norma hukum yang mengikat pada Konvensi Tahun 1951. Namun perlu diketahui, karena Indonesia adalah bagian dari negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka secara tidak langsung tunduk pada asas universal bagi pengungsi yaitu, prinsip non-refoulement. Praktiknya, prinsip tersebut bertentangan dengan kebijakan selektif keimigrasian yang menghendaki hanya orang asing bermanfaat yang dapat masuk ke wilayah Indonesia. Lagipula, Indonesia bukanlah negara pihak Konvensi Tahun 1951 sehingga tidak ada kewajiban untuk tunduk pada kaidah global dalam konvensi tersebut.[17]
Depok, April 2018
M. Alvi Syahrin
[1] M. Alvi Syahrin, Penyadapan oleh Australia, Sebaiknya Imigrasi Bersikap, Majalah
Bhumi Pura. Januari-Februari 2014, Jakarta: Direktorat Jenderal Imigasi.
[2] Gennady Danilenko. International Jus Cogens: Issues of Law
Making. European Journal of International Law. October 14. 2003.
[3] Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dicitionary, Eight Edition,
Thomson West, St. Paul Minn, hlm. 1285
[4] M. Alvi Syahrin. Hak Asasi Bermigrasi. Majalah Bhumi Pura. November 2015. Jakarta:
Direktorat Jenderal Imigrasi, hlm. 29-31
[5] Sigit
Riyanto. Prinsip Non-refoulement dan
Relevansinya dalam Sistem Hukum internasional. Mimbar Hukum. Vol 22. No. 3.
Oktober 2010.
[6] Orang Asing adalah
orang yang bukan warga negara Indonesia. Lihat, Indonesia, Undang-Undang
tentang Keimigrasian, UU No. 6 Tahun 2011, LN Tahun 2011 Nomor 52, Pasal 1
angka 9.
[7] Indonesia,
Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No. 6 Tahun 2011, LN Tahun 2011 Nomor 52,
Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2).
[8] Indonesia,
Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No. 6 Tahun 2011, LN Tahun 2011 Nomor 52,
Pasal 75 ayat (2) huruf f.
[9] Rumah Detensi Imigrasi
adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keimigrasian sebagai
tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenai tindakan
adiministratif keimigrasian. Lihat, Indonesia, Undang-Undang tentang
Keimigrasian, UU No. 6 Tahun 2011, LN Tahun 2011 Nomor 52, Pasal 1 angka 33.
Dalam Pasal 1 angka 35 disebutkan bahwa Deteni adalah orang asing penghuni
Dumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi yang telah mendapatkan
keputusan pendetensian dari Pejabat Imigrasi. Detensi yang dimaksudkan disini
adalah pelanggar keimigrasian (immigratioir)
bukan pencari suaka dan pengungsi.
Bandingkan dengan Indonesia,
Peraturan Presiden tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, Perpres No.
125 Tahun 2016, LN Tahun 2016 Nomor 368, Pasal 9 huruf d, Pasal 12, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 15, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 25, Pasal
28, Pasal 29, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 29, Pasal 42, Pasal 43. Dalam
ketentuan tersebut ditentukan bahwa Rumah Detensi Imigrasi memiliki wewenang
untuk terlibat secara aktif dalam menganani pencari suaka dan pengungsi dengan
cara: mendata, mengidentifikasi, menampung, menempatkan, melakukan koordinasi,
dan mengawasi. Tentu hal ini bertentangan dengan terminologi Rumah Detensi
Imigrasi yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2011 sebagai ketentuan organik.
Di dalam Peraturan
Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: M.HH-11.OT.01.01 Tahun 2009 tentang Oraganisasi
dan Tata Kerja Rumah Detensi Imigrasi, Pasal 3 dengan tegas disebutkan bahwa Rumah
Detensi Imigrasi mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok dan fungsi
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di bidang pendetensian orang asing yang
melanggar peraturan perundang-undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian
yang telah mendapatkan keputusan pendetensian dalam rangka pemulangan atau
deportasi. Pasal 4 menjelaskan bahwa fungsi Rumah Detensi Imigrasi diantaranya
melakukan tugas: pendetensian, pengisolasian, dan pendeportasian.
Jadi tidak ada sama
sekali instrument hukum keimigrasian yang mengatur pergeseran fungsi Rumah
Detensi Imigrasi, seperti yang diatur berbeda dalam Perpres No. 125 Tahun 2016.
Bila dikaitkan dengan pemberlakuan Teori Norma Dasar, maka keberadaan Perpres
ini sangat berpotensi batal demi hukum karena bertentangan dengan norma hukum
di atasnya.
[10] Lihat, https://panmohamadfaiz.com/2007/11/19/pembatasan-hak-asasi-manusia-di-indonesia/,
diakses pada hari Minggu (18/03/2018), pukul 17.47 WIB.
[11] Syahrin,
M.A., 2018. Menakar Kedaulatan Negara dalam Perspektif Keimigrasian. Jurnal Penelitian
Hukum De Jure, 18(1), pp.43-57.
[12] M. Alvi Syahrin, Imigran Ilegal,
Migrasi atau Ekspansi?, Majalah Check
Point, Edisi 3 Oktober 2015, Jakarta: Akademi
Imigrasi.
[13] M. Alvi Syahrin, Eksodus Warga Negara Tiongkok: Antara
Kebijakan dan Penyelundupan, Majalah Check Point, Edisi 5 November 2016, Jakarta: Akademi
Imigrasi.
[14] Muhammad Indra. 2015, Perspektif Penegakan Hukum dalam Hukum Keimigrasian Indonesia.
Jakarta: Direktorat Jenderal Imigrasi.
[15] R. Tinggartomanu, Pengawasan dan Intelijen Keimigrasian, Bahan Kuliah, disampaikan
pada perkuliahan Pendidikan Pejabat Imigrasi (DIKPIM), pada hari Rabu (17 Juni
2015), di Kampus Akademi Imigrasi, Tangerang. 2015
[16] Lihat, M. Iman Santoso.
2007. Cet-1. Prespektif Imigrasi dalam
United Nation Convention Against Transnational Organized Crime. Jakarta:
Perum Percetakan Negara RI, hlm. 33-41.
[17] Syahrin,
M.A., 2017. The Implementation of Non-Refoulement Principle to the Asylum
Seekers and Refugees in Indonesia. Sriwijaya Law Review, 1(2),
pp.168-178.
No comments:
Post a Comment