Monday, May 14, 2018

JUS COGENS DALAM PROTOKOL PENYELUNDUPAN MIGRAN TAHUN 2000

"….. harus dipahami, prinsip effective action telah menjadi jus cogens dalam Protokol Tahun 2000. Sehingga semua pasal dalam Konvensi Tahun 2000 beserta Protokolnya harus ditaati dan dihormati oleh negara pihak, bahkan semua negara di dunia.”

Prinsip Effective Action sebagai Jus Cogens

Indonesia saat ini telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi Tahun 2000 dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009. Di tahun yang sama, Indonesia juga meratifikasi Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi Tahun 2000 melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2009. Dengan diratifikasinya dua instrument hukum internasional tersebut, maka Indonesia telah mengikatkan dirinya untuk tunduk terhadap semua ketentuan yang menentang tindak pidana penyelundupan manusia.

Protokol Tahun 2000 merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari Konvensi Tahun 2000 sehingga pencegahan dan pemberatasan penyelundupan migran perlu dilakukan baik pada tingkat nasional, regional, maupun internasional. Pasal 2 Protokol Tahun 2000 menyatakan bahwa tujuan Protokol ini adalah untuk mencegah dan memberantas penyelundupan migran serta memajukan kerja sama di antara Negara-Negara Pihak dengan melindungi hak-hak migran yang diselundupkan.

Kemudian, Pasal 4 Protokol Tahun 2000 menentukan ruang lingkup protokol ini adalah upaya pencegahan, penyelidikan, dan penuntutan tindak pidana sebagaimana ditetapkan dalam Protokol ini, yang bersifat transnasional dan melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi, dan juga untuk perlindungan hak-hak orang yang menjadi objek tindak pidana tersebut. Protokol ini memberi jaminan bagi setiap orang yang menjadi korban tindak pidana penyelundupan manusia harus dilindungi hak dan kepentingannya. Namun, menurut M. Iman Santoso ada perbedaan mendasar yang perlu dipahami. Menurutnya, para migran yang diselundupkan menurut Protokol ini tidak dapat disebutkan sebagai korban (victim), tetapi mereka sebagai pelaku dari kelompok kejahatan transnasional (M. Iman Santoso, 2007: 239-240).

Hal ini berbeda dengan Protokol Perdagangan Orang yang menyatakan bahwa setiap orang yang diperdagangkan adalah korban. Hal ini dikarenakan dalam Protokol Tahun 2000, para migran tidak mengalami kekerasan atau eksploitasi, berbeda dengan korban dalam Konvensi Perdagangan Orang. Oleh karena itu, orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal karena diselundupkan oleh kelompok kejahatan transnasional harus segera dikembalikan ke negara asalnya.

Sesuai dengan ketentuan Protokol, maka setiap Negara Pihak memiliki kewajiban sebagai berikut:
  1. Menjadikan tindak pidana yang telah ditetapkan dalam Protokol sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan nasional (kewajiban kriminalisasi) [Pasal 6];
  2. Dalam hal penyelundupan migran melalui laut, setiap Negara Pihak wajib mempererat kerja sama untuk mencegah dan menekan penyelundupan migran melalui laut, sesuai dengan hukum laut internasional dan berupaya mengambil seluruh tindakan sebagaimana diatur dalam Protokol terhadap kasus penyelundupan migran di laut dengan memperhatikan rambu-rambu yang telah disediakan oleh Protokol [Pasal 7 sampai dengan Pasal 9]; dan
  3. Dalam upaya pencegahan, kerja sama, dan upaya lain yang diperlukan dalam memberantas penyelundupan migran, setiap Negara Pihak pada Protokol juga berkewajiban untuk saling berbagi informasi, bekerja sama dalam memperkuat pengawasan di kawasan perbatasan, menjaga keamanan dan pengawasan dokumen, mengadakan pelatihan dan kerja sama teknis, perlindungan dan langkah perbantuan serta tindakan pemulangan migran yang diselundupkan [Pasal 10 sampai dengan Pasal 18].

Dalam Pembukaan Protokol Tahun 2000 ditegaskan bahwa negara peserta harus melakukan tindakan efektif (effective action) untuk mencegah dan memerangi penyelundupan migran baik yang dilakukan melalui darat, laut, maupun udara. Prinsip tindakan efektif ini termasuk jus cogens dalam Konvensi Tahun 2000 yang harus ditaati oleh semua negara di dunia. Dalam hukum internasional, jus cogens diakui sebagai prinsip dasar internasional yang diakui oleh komunitas global sebagai norma yang tidak boleh dilanggar, dikurangi, atau diabaikan. Prinisp ini merupakan prinsip universal yang harus diterima dan diakui oleh semua negara sebagai hukum kebiasaan internasional.

Adapun tindakan penyelundupan migran yang dilarang dalam Protokol ini adalah (M. Iman Santoso, 2007: 161):
  1. mengeluarkan dokumen identitas atau perjalanan yang diperoleh secara curang;
  2. mendapatkan, menyediakan, atau memiliki dokumen tersebut;
  3. percobaan melakukan kejahatan atu mengoranisasi atau mengarahkan orang lain untuk melakukan kejahatan;
  4. membahayakan kehidupan atau keselamatan para migran atau adanya perlakuan tidak manusiawi termasuk eksploitasi terhadap para migran.
Dalam ketentuan Protokol tersebut, ditegaskan bagaimana Indonesia sebagai Negara Pihak harus berperan aktif menanggulangi permasalahan penyulundupan migran, termasuk dalam hal ini pencari suaka dan pengungsi. Indonesia diamanatkan untuk melakukan fungsi pengawasan dan penegakan hukum terhadap semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penyelundupan pencari suaka dan pengungsi. Walaupun dalam Pasal 5 Protokol Tahun 2000 dinyatakan bahwa setiap migran yang menjadi objek tindak pidana tersebut tidak dapat dikenai tanggung jawab secara hukum, tidak menjadi alasan pembenar bagi pencari suaka dan pengungsi untuk masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal.

Dibentuknya Protokol ini bertujuan agar penanganan tindak pidana penyelundupan migran harus dilakukan secara utuh dan komprehensif. Prinsip effective action menjadi jus cogens dalam Protokol Tahun 2000. Sehingga semua pasal dalam Konvensi Tahun 2000 beserta Protokolnya harus ditaati dan dihormati oleh negara pihak, bahkan semua negara di dunia.

Resistensi Jus Cogens Konvensi Tahun 1951

Namun praktik yang terjadi saat ini, Indonesia harus menerima keberadaan pencari suaka dan pengungsi atas dasar kemanusiaan. Padahal, Indonesia sendiri belum meratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol tahun 1967. Sehingga, Indonesia tidak berkewajiban untuk menerima dan menangani masalah tersebut. Hal ini tentu menjadi kontradiktif, dimana Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tahun 2000 beserta Protokolnya yang dengan tegas menentang tindak pidana penyelundupan terhadap pencari suaka dan pengungsi. Namun di sisi lain, juga harus menerima pencari suaka dan pengungsi atas dasar hak asasi manusia berdasarkan Konvensi Tahun 1951, yang sampai sekarang konvensi tersebut belum diratifikasi.

Dalil hukum yang kerap kali dijadikan sebagai alasan Indonesia untuk menerima pencari suaka dan pengungsi adalah prinisp non-refoulement. Prinsip ini dianggap sebagai prinsip dasar hukum internasional (peremptory norms of general international law atau jus cogens) yang diakui oleh komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh diabaikan dan dilanggar. Prinsip ini juga termasuk suatu kewajiban non-derogable (tidak dapat dikurangi) dan berlaku mutlak bagi semua negara. Namun yang perlu dipahami, prinsip ini tidaklah mengikat karena Indonesia sendiri tidak meratifikasi Konvensi Tahun 1951. Cara memandang prinsip ini tentu berbeda ketika Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Tahun 2000 beserta Protokolnya yang menentang keberadaan pencari suaka dan pengungsi.

Mereka yang pro terhadap pencari suaka dan pengungsi menjadikan isu pencari suaka dan pengungsi sebagai komoditas dan kepentingan politik. Padahal Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Tahun 2000 dan Protokolnya yang menentang penyelundupan migran. Inkonsistensi ini harus disikapi dengan serius. Terlihat ada perlakuan parsial dan standar ganda yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam masalah ini. Secara hukum, karena Indonesia tidak meartifikasi Konvensi Tahun 1951 maka tidak ada kewajiban untuk menganani masalah pencari suaka dan pengungsi. Hal ini bertolak belakang dengan kewajiban Indonesia yang tertuang dalam Konvensi Tahun 2000 dan Protokolnya.

Kekuatan hukum prinsip jus cogens dalam Kovensi Tahun 1951 dan Konvensi 2000 tentu berbeda. Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Tahun 1951, tetapi meratifikasi Kovensi Tahun 2000. Sehingga prinsip hukum dalam Konvensi Tahun 1951 tidak dapat dipaksakan keberlakuannya. Berbeda dengan prinsip jus cogens dalam Konvensi Tahun 2000 yang mengikat secara hukum. Prinsip fundamental dari Konvesi Tahun 2000 adalah menentang semua kegiatan berkaitan dengan tindak pidana penyelundupan migran yang melibatkan semua pihak. Prinsip ini harus dihormati dan diakui secara internasional karena telah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tahun 2000.

Dua konvensi ini merupakan produk hukum internasional yang melekat atas semua asas dan prinsip internasional di dalamnya. Bila ada pertentangan prinsip dalam kedua konvensi, maka dilihat urgensinya, konvensi mana yang sudah diratifikasi. Tentu, prinsip dalam Konvensi Tahun 2000 harus didahulukan, karena Indonesia sudah meratifikasinya. Namun praktiknya berbeda. Keberlakukan prinsip dalam Konvensi Tahun 1951 lebih diutamakan dibanding Konvensi Tahun 2000. Padahal dalam bagian mengingat UU No. 15 Tahun 2009 mencantumkan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri sebagai dasar hukumnya. Sama halnya seperti Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang juga mencantumkan UU N0. 37 Tahun 1999 sebagai dasar hukumnya. Tapi yang berbeda, UU No. 15 Tahun 1999 adalah pelaksanaan mandat dari Konvensi Tahun 2000, sedangkan Perpres No. 125 Tahun 2016 bukan mandat dari Kovensi Tahun 1951, karena Indonesia sendiri tidak meratifikasi konvensi tersebut.


Sehingga, kebijakan Indonesia yang menerima keberadaan pencari suaka dan pengungsi atas dasar prinsip jus cogens dalam Konvensi Tahun 1951 adalah tidak berdasar. Hal ini karena bertentangan dengan prinsip jus cogens yang juga diatur dalam Konvensi Tahun 2000. Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan disparitas dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi. Seharusnya, Indonesia harus menghormati dan menguatamakan prinsip hukum yang terdapat dalam Konvensi Tahun 2000 sebagai konsekuensi dari diratifikasinya konvensi tersebut, bukan malah sebaliknya.

Depok, Maret 2018
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment