"….. harus dipahami, prinsip
effective action telah menjadi jus cogens dalam Protokol Tahun 2000. Sehingga
semua pasal dalam Konvensi Tahun 2000 beserta Protokolnya harus ditaati dan
dihormati oleh negara pihak, bahkan semua negara di dunia.”
Prinsip Effective Action sebagai Jus
Cogens
Indonesia
saat ini telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi Tahun 2000 dengan mengundangkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009. Di tahun yang sama, Indonesia juga
meratifikasi Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan
Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi Tahun 2000 melalui Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2009. Dengan diratifikasinya dua instrument hukum internasional tersebut,
maka Indonesia telah mengikatkan dirinya untuk tunduk terhadap semua ketentuan
yang menentang tindak pidana penyelundupan manusia.
Protokol
Tahun 2000 merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari Konvensi
Tahun 2000 sehingga pencegahan dan pemberatasan penyelundupan migran perlu
dilakukan baik pada tingkat nasional, regional, maupun internasional. Pasal 2
Protokol Tahun 2000 menyatakan bahwa tujuan Protokol ini adalah untuk mencegah
dan memberantas penyelundupan migran serta memajukan kerja sama di antara Negara-Negara
Pihak dengan melindungi hak-hak migran yang diselundupkan.
Kemudian,
Pasal 4 Protokol Tahun 2000 menentukan ruang lingkup protokol ini adalah upaya pencegahan, penyelidikan, dan penuntutan tindak pidana
sebagaimana ditetapkan dalam Protokol ini, yang bersifat transnasional dan
melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi, dan juga untuk
perlindungan hak-hak orang yang menjadi objek tindak pidana tersebut. Protokol
ini memberi jaminan bagi setiap orang yang menjadi korban tindak pidana penyelundupan
manusia harus dilindungi hak dan kepentingannya. Namun, menurut M. Iman Santoso
ada perbedaan mendasar yang perlu dipahami. Menurutnya, para migran yang
diselundupkan menurut Protokol ini tidak dapat disebutkan sebagai korban (victim), tetapi mereka sebagai pelaku
dari kelompok kejahatan transnasional (M. Iman Santoso, 2007: 239-240).
Hal ini berbeda dengan Protokol Perdagangan Orang yang menyatakan
bahwa setiap orang yang diperdagangkan adalah korban. Hal ini dikarenakan dalam
Protokol Tahun 2000, para migran tidak mengalami kekerasan atau eksploitasi,
berbeda dengan korban dalam Konvensi Perdagangan Orang. Oleh karena itu, orang
asing yang masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal karena diselundupkan oleh
kelompok kejahatan transnasional harus segera dikembalikan ke negara asalnya.
Sesuai
dengan ketentuan Protokol, maka setiap Negara Pihak memiliki kewajiban sebagai
berikut:
- Menjadikan tindak pidana yang telah ditetapkan dalam Protokol sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan nasional (kewajiban kriminalisasi) [Pasal 6];
- Dalam hal penyelundupan migran melalui laut, setiap Negara Pihak wajib mempererat kerja sama untuk mencegah dan menekan penyelundupan migran melalui laut, sesuai dengan hukum laut internasional dan berupaya mengambil seluruh tindakan sebagaimana diatur dalam Protokol terhadap kasus penyelundupan migran di laut dengan memperhatikan rambu-rambu yang telah disediakan oleh Protokol [Pasal 7 sampai dengan Pasal 9]; dan
- Dalam upaya pencegahan, kerja sama, dan upaya lain yang diperlukan dalam memberantas penyelundupan migran, setiap Negara Pihak pada Protokol juga berkewajiban untuk saling berbagi informasi, bekerja sama dalam memperkuat pengawasan di kawasan perbatasan, menjaga keamanan dan pengawasan dokumen, mengadakan pelatihan dan kerja sama teknis, perlindungan dan langkah perbantuan serta tindakan pemulangan migran yang diselundupkan [Pasal 10 sampai dengan Pasal 18].
Dalam
Pembukaan Protokol Tahun 2000 ditegaskan bahwa negara peserta harus melakukan
tindakan efektif (effective action)
untuk mencegah dan memerangi penyelundupan migran baik yang dilakukan melalui darat,
laut, maupun udara. Prinsip tindakan efektif ini termasuk jus cogens dalam Konvensi Tahun 2000 yang harus ditaati oleh semua negara
di dunia. Dalam hukum internasional, jus
cogens diakui sebagai prinsip dasar internasional yang diakui oleh
komunitas global sebagai norma yang tidak boleh dilanggar, dikurangi, atau
diabaikan. Prinisp ini merupakan prinsip universal yang harus diterima dan
diakui oleh semua negara sebagai hukum kebiasaan internasional.
Adapun
tindakan penyelundupan migran yang dilarang dalam Protokol ini adalah (M. Iman Santoso, 2007: 161):
- mengeluarkan dokumen identitas atau perjalanan yang diperoleh secara curang;
- mendapatkan, menyediakan, atau memiliki dokumen tersebut;
- percobaan melakukan kejahatan atu mengoranisasi atau mengarahkan orang lain untuk melakukan kejahatan;
- membahayakan kehidupan atau keselamatan para migran atau adanya perlakuan tidak manusiawi termasuk eksploitasi terhadap para migran.
Dalam
ketentuan Protokol tersebut, ditegaskan bagaimana Indonesia sebagai Negara
Pihak harus berperan aktif menanggulangi permasalahan penyulundupan migran,
termasuk dalam hal ini pencari suaka dan pengungsi. Indonesia diamanatkan untuk
melakukan fungsi pengawasan dan penegakan hukum terhadap semua pihak yang
terlibat dalam kegiatan penyelundupan pencari suaka dan pengungsi. Walaupun
dalam Pasal 5 Protokol Tahun 2000 dinyatakan bahwa setiap migran yang menjadi
objek tindak pidana tersebut tidak dapat dikenai tanggung jawab secara hukum,
tidak menjadi alasan pembenar bagi pencari suaka dan pengungsi untuk masuk ke
wilayah Indonesia secara ilegal.
Dibentuknya
Protokol ini bertujuan agar penanganan tindak pidana penyelundupan migran harus
dilakukan secara utuh dan komprehensif. Prinsip effective action menjadi jus
cogens dalam Protokol Tahun 2000. Sehingga semua pasal dalam Konvensi Tahun
2000 beserta Protokolnya harus ditaati dan dihormati oleh negara pihak, bahkan
semua negara di dunia.
Resistensi Jus Cogens Konvensi Tahun 1951
Namun
praktik yang terjadi saat ini, Indonesia harus menerima keberadaan pencari
suaka dan pengungsi atas dasar kemanusiaan. Padahal, Indonesia sendiri belum
meratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol tahun
1967. Sehingga, Indonesia tidak berkewajiban untuk menerima dan menangani
masalah tersebut. Hal ini tentu menjadi kontradiktif, dimana Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Tahun 2000 beserta Protokolnya yang dengan tegas
menentang tindak pidana penyelundupan terhadap pencari suaka dan pengungsi.
Namun di sisi lain, juga harus menerima pencari suaka dan pengungsi atas dasar
hak asasi manusia berdasarkan Konvensi Tahun 1951, yang sampai sekarang
konvensi tersebut belum diratifikasi.
Dalil
hukum yang kerap kali dijadikan sebagai alasan Indonesia untuk menerima pencari
suaka dan pengungsi adalah prinisp non-refoulement.
Prinsip ini dianggap sebagai prinsip dasar hukum internasional (peremptory norms of general international law
atau jus cogens) yang diakui oleh
komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh diabaikan dan dilanggar.
Prinsip ini juga termasuk suatu kewajiban non-derogable
(tidak dapat dikurangi) dan berlaku mutlak bagi semua negara. Namun yang
perlu dipahami, prinsip ini tidaklah mengikat karena Indonesia sendiri tidak
meratifikasi Konvensi Tahun 1951. Cara memandang prinsip ini tentu berbeda
ketika Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Tahun 2000 beserta Protokolnya
yang menentang keberadaan pencari suaka dan pengungsi.
Mereka
yang pro terhadap pencari suaka dan pengungsi menjadikan isu pencari suaka dan
pengungsi sebagai komoditas dan kepentingan politik. Padahal Indonesia sudah
meratifikasi Konvensi Tahun 2000 dan Protokolnya yang menentang penyelundupan
migran. Inkonsistensi ini harus disikapi dengan serius. Terlihat ada perlakuan
parsial dan standar ganda yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam masalah ini.
Secara hukum, tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk menangani masalah pencari suaka dan pengungsi dikarenakan tidak ratifikasinya Konvensi Tahun 1951. Hal
ini bertolak belakang dengan mandat Indonesia yang tertuang dalam Konvensi
Tahun 2000 dan Protokolnya.
Kekuatan
hukum prinsip jus cogens dalam
Kovensi Tahun 1951 dan Konvensi 2000 tentu berbeda. Indonesia tidak
meratifikasi Konvensi Tahun 1951, tetapi meratifikasi Kovensi Tahun 2000.
Sehingga prinsip hukum dalam Konvensi Tahun 1951 tidak dapat dipaksakan
keberlakuannya. Berbeda dengan prinsip jus
cogens dalam Konvensi Tahun 2000 yang mengikat secara hukum. Prinsip
fundamental dari Konvesi Tahun 2000 adalah menentang semua kegiatan berkaitan
dengan tindak pidana penyelundupan migran yang melibatkan semua pihak. Prinsip
ini harus dihormati dan diakui secara internasional karena telah Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Tahun 2000.
Dua
konvensi ini merupakan produk hukum internasional yang melekat atas semua asas
dan prinsip internasional di dalamnya. Bila ada pertentangan prinsip dalam
kedua konvensi, maka dilihat urgensinya, konvensi mana yang sudah diratifikasi.
Tentu, prinsip dalam Konvensi Tahun 2000 harus didahulukan, karena Indonesia
sudah meratifikasinya. Namun praktiknya berbeda. Keberlakukan prinsip dalam
Konvensi Tahun 1951 lebih diutamakan dibanding Konvensi Tahun 2000. Padahal
dalam bagian mengingat UU No. 15 Tahun 2009 mencantumkan UU No. 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri sebagai dasar hukumnya. Sama halnya seperti
Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar
Negeri yang juga mencantumkan UU N0. 37 Tahun 1999 sebagai dasar hukumnya. Tapi
yang berbeda, UU No. 15 Tahun 1999 adalah pelaksanaan mandat dari Konvensi
Tahun 2000, sedangkan Perpres No. 125 Tahun 2016 bukan mandat dari Kovensi
Tahun 1951, karena Indonesia sendiri tidak meratifikasi konvensi tersebut.
Sehingga,
kebijakan Indonesia yang menerima keberadaan pencari suaka dan pengungsi atas
dasar prinsip jus cogens dalam
Konvensi Tahun 1951 adalah tidak berdasar. Hal ini karena bertentangan dengan
prinsip jus cogens yang juga diatur
dalam Konvensi Tahun 2000. Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan
disparitas dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi. Seharusnya, Indonesia
harus menghormati dan menguatamakan prinsip hukum yang terdapat dalam Konvensi
Tahun 2000 sebagai konsekuensi dari diratifikasinya konvensi tersebut, bukan
malah sebaliknya.
Depok, Maret 2018
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment