Penyelundupan Hukum KHI?
Kompilasi
Hukum Islam (KHI) kini telah berusia 19 (sembilan belas) tahun sejak
dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 1991. Walaupun masih dalam bentuk
Inpres No. 1 Tahun 1991, namun eksistensi dari KHI itu sendiri masih cukup
diperhitungkan. Setidaknya membantu para hakim dalam mencari sumber hukum Islam
yang tepat dan dapat menghindari disvarietas mahzab dalam praktek sehari-hari.
Khusus
menghadapi perkara kewarisan dan putusan-putusan hakim pada Peradilan Agama,
keheranan akan isi KHI dan penerapannya semula dipandang sebagai suatu hasil
ijtihad baru Ulama Indonesia. Meskipun menyimpang dari Fiqh Ulama Mujtahid,
namun semua itu tetap dipandang sebagai suatu hal yang benar-benar telah
disepakati seluruh Ulama Indonesia dalam lokakarya. Dan juga mustahil bagi para
Ulama bersepakat tentang hal yang tidak diridhai Allah (karena ulama adalah
pewaris Nabi).
Allah
Ta’ala berfirman:[1]
Artinya:
"Dan katakanlah bahwa yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya
yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap."
Namun,
ternyata Buku II tentang Hukum Kewarisan dalam KHI bukanlah hasil kesepakatan
Ulama, dan tidak lain lebih dari sebuah rekayasa dari sekelompok orang-orang
dalam Tim Penyusun KHI, yaitu dengan cara menyelundupkan hukum-hukum yang
mereka inginkan, diluar pengetahuan Ulama yang duduk di dalam Tim Perumus Hukum
Kewarisan tersebut (sebanyak 48 Ulama terkemuka di Indonesia).
Cara-cara
yang tidak terpuji ini, selain menjerumuskan nama baik Ulama yang sangat kita
hormati dan kita segani, juga suatu tindakan yang sangat berani menentang
hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini, penyelundupan hukum tersebut
adalah adanya aturan tentang “ahli waris pengganti”, dimana pada waktu
perumusan sama sekali tidak disepakati untuk dimasukkan, namun kemudian
tercantum dalam Buku II KHI. Ketua Tim Perumus Hukum Kewarisan telah menyatakan
bahwa ahli waris pengganti tidak ada dalam draft rumusan, namun
tiba-tiba setelah lahir Inpres muncul dalam Pasal 185 KHI.
Sudah
saatnya, pasal-pasal hukum kewarisan dalam KHI yang menyalahi nash dikaji ulang
oleh Ulama Indonesia, dan mempertahankan pasal-pasal yang sesuai dengan nash,
serta menyempurnakan hal-hal yang perlu diperbaiki. Demikian pula
putusan-putusan terdahulu yang oleh sebagian hakim dianggap sebagai
yurisprudensi, sedangkan putusan tersebut jelas-jelas menentang nash, untuk
diatur lebih lanjut dalam KHI.
Berdasarkan
uraian
diatas, maka isu hukum yang menarik untuk dibahas adalah terkait dengan
kedudukan ahli waris pengganti. Apakah ketentuan ini,
memang telah sesuai dengan keinginan para mujtahid ulama kita yang
tergabung
dalam Tim Perumus Hukum Kewarisan ataukah ada unsur penyelundupan hukum
yang
terkandung didalamnya(?).
Ketentuan Ahli Waris Pengganti dalam Buku II KHI
tentang Hukum Kewarisan Islam adalah Penyelundupan Hukum
Baik
nash Al-Quran dan Al-Sunnah maupun kitab-kitab Fiqh Ulama Mujtahid tidak
mengatur bagian ahli waris pengganti. Pasal 185 KHI bersumber dari ajaran
Hazairin dalam bukunya Kewarisan Bilateral menurut Al-Quran, dimana beliau
menggolongkan ahli waris menjadi ahli waris keutamaan, ahli waris penggantian,
dan ahli waris mawali.
Tentang
penggantian dalam Pasal 841 KUHPeradata dinyatakan sebagai berikut:
“penggantian menurut hak kepada seorang yang menggantikan untuk bertindak sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti.”
Pasal
185 KHI meskipun tidak sama persis dengan KUHPerdata tersebut, akan tetapi
muatannya adalah sama. Pasal tersebut menyatakan bahwa:
- Ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173;
- Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Sebagaimana
diketahui bahwa ahli waris pengganti bersumber dari KUHPerdata, atau rekayasa dengan
memasukkan hukum adat ala Hazairin ke dalam hukum Islam (teori receptie),
dan bukan bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah.
Ahmad
Syalaby dalam bukunya Tarikh al-Tasyari’ al-Islamy mengisahkan betapa
amat hati-hatinya para sahabat r.a dalam melangkah kepada sesuatu permasalahan
yang Rasulullah Saw tidak lakukan, tentang hukum sesuatu kejadian atau
peristiwa yang sebelumnya tidak terdapat ketentuan hukum dari Al-Quran dan
Al-Sunnah.
Berpikir
dengan sungguh-sungguh haruslah dengan alat kelengkapan seperti menguasai
segala sesuatu tentang Al-Quran dan Ilmu Tafsir, menguasai kaidah-kaidah hukum
(qawaid al-fiqhhiyah), mengetahui bahasa arab secara mendalam. Hasil
pemikiran tersebut bersifat perorangan dan tidak mengikat atau memaksa orang
lain untuk mengikutinya, kecuali itiba’, yaitu mengikuti buah pikiran
tersebut setelah mengetahui sumber-sumber pengambilannya (misalnya: dilarang
taklid buta yaitu mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber
pengambilannya, dan tersesat jalan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang
bersumber dari KUHPerdata ataupun hukum adat).
Demikian
pula tidak tertutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat antara satu mujtahid
dengan mujtahid lainnya, bila kita yakini pendapat-pendapat tersebut
bersendikan kepada nash-nash yang ada kemudian mereka meng-qiyas-kan atau menggunakan
alasan sebab turunnya ayat atau sebab wujud hadist, atau dengan kaidah bahasa,
atas kejadian yang tidak terdapat nashnya tersebut, dan pendapat-pendapat
tersebut telah sesuai dengan kadiah hukum yang benar, maka hal tersebut
haruslah dipandang sebagai “rahmah-inna di-ikhtilafi ummati rahmah”.
Kecuali nash-nash sebagaimana praktek Umar r.a yang tidak sesuai dengan praktek
masyarakat yaitu nash yang perlu dita’wil, nash yang lahir dari suatu keadaan
yang sedang dihadapi dan bersifat kasuisits, dan sebagainya.[2]
Yang
perlu diperhatikan dalam hal ini adalah betapa sangat hati-hatinya para sahabat
utama Rasulullah dalam melangkah ke satu perbuatan yang sangat baik dan
terpuji, sedangkan pekerjaan sedemikian itu tidak dilakukan oleh Rasulullah
Saw.
Terkait
dengan adanya pencantuman ketentuan ahli waris pengganti, maka dapat diketahui
adanya bantahan dari Prof. Wasit Aulawo, MA dan Prof. Dr. Daud Ali di hadapan
peserta pendidikan Hakim Senior Angkatan II Tahun 1992/1993 di Tugu Bogor.[3]
Juga bantahan dari K.H. Azhar Basyir, MA dihadapan Majelis Ta’limnya di
Yogyakarta, dan pengecekkan langsung dari beberapa ulama yang duduk dalam Tim
Perumus tentang “ahli waris pengganti”. Dengan demikian, dapat diyakini bahwa
ketentuan Pasal 185 KHI tidak lain adalah hasil rekayasa, bukan atas hasil
kesepakatan Ulama.
Atas
dasar fakta itulah, dapat diyakini bahwa Pasal 185 KHI bukanlah hasil
kesepakatan Ulama Indonesia, karena selain telah dibantah oleh Tokoh atau Ulama
yang duduk dalam Tim Perumus Hukum Kewarisan, maka sumber ketentuan tersebut
tidak lain adalah KUHPerdata atau teori Hazairin yang didasarkan atas hukum adat,
sehingga bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Al-Sunnah.
Berikut
10 (sepuluh) fakta ketidaklogisan pemikiran Hazairin yang masuk dalam KHI,
yaitu:[4]
1. Beliau adalah almamater[5] dari
sekolah atau perguruan penjajah Belanda: HIS (di Bengkulu), MULO (di Padang),
AMS (di Bandung), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Pascasarjana
(Doktor) dengan disertasi “De Rejangs” di bawah bimbingan Ter Haar BZN
(seorang guru besar Belanda).
2. Diangkat menjadi aparat penjajah (Hakim
pada Landraad di Sibolga) dan dengan tugas tambahan menjadi “penyelidik hukum
adat batak, sehingga oleh masyarakat Bata dia mendapat gelar “pahlawan”.
3. Pada masa pendudukan Jepang, Hazairin
tetap bertugas di Sibolga sebagai Penasehat hukum, konotasinya tetap
bersengkokol dengan penjajah;
4. Berikut beberapa judul buku karangan
Hazairi, yaitu (i) Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
AL-Quran, Tintamas, Jakarta, 1961, (ii) Hadith
Kewarisan dan Sistem Bilateral, Tintamas, Jakarta, 1962, (iii) Hukum
Islam dan Masjarakat, Bulan Bintang, Jakarta, 1963, (iv) Hukum
Keluarga Nasional, Tintamas, Jakarta 1968, dan (v) Hendak
Kemana Hukum Islam?, Tintamas, Jakarta, 1976.
Dalam
Islam diajarkan bahwa setiap memulai sesuatu pekerjaan yang baik hendaklah
dimulai dengan “basmalah”. Kemudian “Hamdalah” yaitu pujian
kepada Allah Ta’ala, sebagai pengakuan bahwa kepada Allah-lah kita memuji,
karena Dia-lah yang berhak menerima pujian, sebab sifat-Nyalah setinggi-tinggi
sifat. Dan diiringi dengan shalawat bagi Rasulullah Muhammad Saw[6],
agar kita beroleh syafa’at dari beliau di yaum al-masyhar, serta salam
sejahtera bagi keluarga dan sahabat-sahabat beliau r.a. Namun, sayang tidak
satupun buku karangan beliau tersebut memuji Allah dan apalagi shalawat serta
salam. Padahal selintas kita melihat bahwa judulnya terkesan sebagai buku yang
berisi tentang ajaran agama Islam;
5. Kalimat pertama dalam “pendahuluan”
beliau mengatakan karangan ini adalah suatu ijtihad untuk menguraikan hukum kewarisan
dalam Al-Quran setjara bilateral…..[7].
Beliau mengaku sebagai seorang Mujtahid. Pengakuan seperti ini boleh jadi
sah-sah saja. Hal ini pernah disebutkan dalam suatu hadist yang mengisahkan
Rasulullah Saw pada waktu itu hendak mengutus Mu’adz bin Jabal menjadi Qadhi di Kuffah. Namun
apakah ilmu pengatahuan Hazairin sudah memadai di bidang Al-Quran dan As-Sunnah
sudah cukup memadai? Bila kita menilik latar belakang pendidikan beliau di atas
sebelumnya, dimana ia dididik oleh Pemerintah kolonial Belanda dan disiplin
ilmu di bidang “hukum adat”, maka tidak ada keterangan kepada siapa Hazairin
belajar ilmu Al-Quran, ilmu As-Sunnah, ushul al-FIqh, kaidah-kaidah bahasa
Arab, dan persyaratan berijtihad lainnya. Sehingga mustahil dapat diterima
pengakuannya bahwa ia adalah seorang mujtahid.
6. Alinea III dalam Pendahuluan” dikatakan
bahwa:
“dari
hasil studi saja mengenai fiqh Ahlu-sunnah, jang telah masuk di Indonesia ini
agaknya sudah lebih dari tudjuh abad saja, jang mendapat kesan bahwa ada
konflik antara hukum fiqh tersebut dengan hukum adat. Konflik yang
berkepandjangan sampai sekarang. Fiqh Ahlu-Sunnah terbentuk dalam masjarakat
Arab jang bersendikan sistem kekeluargaan jang patrilineal dalam suatu masa di
dalam sedjarah dimana ilmu mengenai bentuk-bentuk kemasjarakatan ini belum
berkembang. Sehingga mujtahid-mujtahid Ahlu-Sunnah djuga belum mungkin
memperoleh bahan-bahan perbandingan menenai pelbagai sistem kewarisan jang
dapat dijumpai dalam pelbagai bentuk masjarakat itu”.
Nampak
jelas bahwa pola pikir teori receptie, sangat mengakar kedalam pola
pikir beliau. Dimana hukum yang berlaku bagi rakyat pribumi adalah hukum adat. Menurutnya,
Fiqh Islam tidak cocok bagi masyarakat adat di Indonesia, dan hanya cocok untuk bagi masyarakat arab. Hukum
Islam baru dapat diterima, apabila telah sesuai dengan Hukum adat mereka;
7. Teori “Receptie Exit” yang
dikemukakan oleh Hazairin sebagai pernyataan kontra produktif, karena beliau
tidak membarenginya dengan pernyataan bahwa hukum adat baru dapat diterima
apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam atau beliau meninggalkan hukum
adat (yang menjadi alat ukur penjajah Belanda untuk dapat menerima hukum
Islam);
8. Pemikiran-pemikiran Hazairin
berlandaskan pada hukum adat bukan bersumber pada Al-Quran atau As-Sunnah, yang
berbeda dengan para Ulama Mujtahid yang menghasilkan hukum dari dalil-dalilnya.
Dalam hal ini beliau menyatakan:
“Dengan
terhapusnya pelbagai larangan mengenai kawin sepupu itu, larangan mana dalam
masjarakat jang patrilineal dan matrilineal adalah untuk seluruhnja atau hampir
seluruhnja paralel dengan larangan kawin se-klan, maka akan ikut terhapus
pula-lah larangan perkawinan se-klan dalam masjarakat jang patrilineal dan
matrilineal itu, dimana berarti menanggalkan sjarat exogami itu, dan djika klan
telah tumbang maka akan timbulah masjarakat jang bilateral. Djuga dari
ajat-ajat kewarisan dalam Al-Quran dapat setjara langsung diambil kenyataan
bahwa sistem kekeluargaan menurut Al-Quran adalah bilateral”.
9. Pengahapusan “ashabah” dalam
ajaran KHI, juga mengacu kepada ajaran hukum kewarisan Hazairin, dimana beliau
mengemukakan sebagai berikut:
“Ketentuan
Al-Quran mengenai fara’id itu menimbulkan penggolongan ahli waris dalam dzawu
‘il faraid. Jang bukan dzawu ‘il faraid ini dibagi oleh Ahlu-Sunnah
atas dua golongan, yaitu pertama ‘asabat jang diperintji lagi dalam ‘asabat
bi nafshihi, ‘asabat bi ghairi dan ‘asabat ma’al-ghairi.
Semuanja itu orang-orang jang termasuk pengertian anggauta-anggauta suatu
kekeluargaan jang patrilineal, dan kedua dzawu-‘ilfara’id dan bukan ‘asabat
dan pada umumnya terdiri dari orang-orang jang termasuk anggauta-anggauta
keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki atau anggauta-anggauta keluarga
pihak ajah dari mak. Pembagian menurut Ahlu-‘il-Sunnah itu mudah
dipahamkan djika orang dapat berpikir menurut alam fikiran masjarakat jang
patrilineal. Hubungan antara ‘asabat dengan dzawu-‘larham itu dapat dalam
batas-batas tertentu dibandingkan dengan hubungan antara kahanggi disatu pihak
dengan mora dan anak boru dilain pihak pada orang batak.
Saja sendiri membagi ahli waris menurut Al-Quran itu dalam tiga djenis, yaitu dzawu-‘ilfara’id, dzawu-iqarabat dan mawali. Pembagian jang saja adakan dalam tiga djenis ini adalah berhubungan langsung dengan soal apakah Ql-Quran mengenai atau tidak akan garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian seperti dikenal dalam sistem kewarisan jang individual dalam masjarakat jang bilateral di Indonesia”.[8]
Saja sendiri membagi ahli waris menurut Al-Quran itu dalam tiga djenis, yaitu dzawu-‘ilfara’id, dzawu-iqarabat dan mawali. Pembagian jang saja adakan dalam tiga djenis ini adalah berhubungan langsung dengan soal apakah Ql-Quran mengenai atau tidak akan garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian seperti dikenal dalam sistem kewarisan jang individual dalam masjarakat jang bilateral di Indonesia”.[8]
Dicetak tebal pada
pertanyaan beliau: “apakah Al-Quran mengenal atau tidak”, adalah suatu sinisme
pengikut teori receptive terhadap Hukum Islam yang berlandaskan Al-Quran
dimana menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Garis pokok keutamaan yang
mengahapuskan adanya “ashabah”,[9]
anak perempuan sendirian atau beberapa orang dapat menghabisi seluruh harta:
hal ini menjadi bagian Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Isalam, dan Garis Pokok
penggantian yang melahirkan adanya “ahli waris pengganti” (Hazairin menjiplak
dari Pasal 841 KUHPerdata) dan “hajib mahjub” hilang dari Kompilasi Hukum
Islam. Banyak ahli waris yang berhak mendapat harta warisan menurut Al-Quran
dan Al-Sunnah, menjadi hapus karena mengacu kepada pasal-pasal yang bersumber
dari hukum adat tersebut;
10. Dalam seminar Tahun 1963, ketika
menjawab sanggahan Prof. Thaha, MA,
antara lain menyatakan:
“djika
dalam suatu masjarakat jang homogen didjumpai lebih dari satu matjam
perkawinan, maka sungguh benar bahwa setiap matjam perkawinan itu dapat
membawakan suatu variasi dalam hak kewarisan anak-anak atau hak kewarisan fihak
mak atau fihak ajah, hal mana ternjata dalam masjarakat adat teristimewa dalam
masjarakat jang patrilineal tetapi mungkin djuga dalam masjarakat bilateral dan
masjarakat matrilineal. Disini tidak ada waktu saja untuk menguraikan hal-hal
tersebut. Tetapi dalam hukum berlandaskan Al-Quran tjuma ada satu matjam
sistem perkawinan, sehingga sistim kewarisannja karena itu hanja mungkin satu
matjam pula”.
Cemoohan
(cetak tebal di atas) tidak selayaknya ditujukan kepada Allah yang menurunkan
Kitab petunjuk bagi umat beriman, hujatan kepada Allah yang hanya mengenal satu
macam sistem perkawinan (sistem patrilineal saja), dapat diartkan bahwa Allah
tidak melihat ada bermacam-macam sistem perkawinan.
Sabab
al-nuzul disyariatkannya hukum kewarisan, bahwa isteri Sa’ad bin ar-Rabi’
mengahadap Rasulullah Saw dan berkata: “Yaa Rasulullah, kedua puteri ini anak
Sa’ad bin ar-Rabi’ yang ikut berperang di Perang Uhud bersama tuan dan dia
telah gugur sebagai syahid. Paman kedua anak ini mengambil harta peninggalan Sa’ad
dan tidak berisisa sama sekali, sedangkan kedua anak ini akan sukar mendapatkan
jodoh bila tidak berharta”. Rasulullah Saw bersabda: “Allah akan memutusan
hukumnya”. Maka turunlah Surah An-Nisa’ (IV): 11-12. Dengan turunnya ayat itu
terhapuslah adat jahiliyah yang tidak memberikan pusaka para wanita dan anak
laki-laki yang masih kecil. Jelas disini syariat kewarisan diwahyukan Allah
guna menghapuskan adat-istiadat kaum jahiliyah.
Sebaliknya
Hazairin justru mempertentangkan Al-Quran dengan hukum adat. Pendapat Hazairin
tentang sistem bilateral bukan patrilineal sebagaimana pendapat Ulama Fiqh,
seharusnya beliau memperhatikan ayat-ayat Al-Quran selain ayat-ayat tentang
kewarisan, antara lain sebagai berikut:
Bahwa
rezeki kaum perempuan:[10]
- Mendapat harta warisan (meskipun lebih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki);
- Mendapat hibah;
- Emas kawin tidak dapat diusik sedikit pun tanpa seizin isteri.[11] Dimana hal tersebut merupakan pemberian yang tidak disertai dengan harapan mendapatkan imbalan apapun, tanpa ada tawar menawar seperti lazimnya yang berlaku dalam jual beli, mahar menjadi milik isteri untuk selama-lamanya;
- Harta-harta pemberian suami, seperti: perhiasan, kendaraan, rumah, dan lain-lain;[12]
- Nafaqah yang merupakan kewajiban suami menafkahi isterinya, memenuhi kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya sesuai kemampuan suami;[13]
- Isteri boleh membantu meringankan beban suaminya atas dasar kerelaan, bahkan suami yang miskin sedangkan isterinya menghasilkan harta kekayaan, dapat memberi zakat kepada suaminya, akan tetapi tidak sebaliknya, karena isteri berada dalam tanggungan suami, bila isteri merelakan sebagian mahar yang menjadi milknya, (bagian dari mahar tersebut wujudnya telah diganti menjadi makanan) dan suami boleh memakannya;[14]
- Nafkah iddah dan mut’ah bagi isteri-isteri yang dithalak oleh suaminya.[15]
Apabila
Hazairin mengetahui uraian diatas dan diperkuat dengan dalil-dalil yang sahih
yang memberi rezeki secara khusus kepada kaum perempuan, yang tidak saja
melalui waris–mewarisi, kelebihan-kelebihan yang tidak diberikan kepada kaum
lelaki, tentu akan membuat dirinya dapat memahami konsep-konsep Al-Quran secara
utuh dan tidak secara parsial, serta tidak menuduh Ulama Mujtahid berpola pikir
patrilineal.
Baik
nash Al-Quran dan Al-Sunnah maupun kitab-kitab Fiqh Ulama Mujtahid tidak
mengatur bagian ahli waris pengganti. Hal ini juga telah dibantah oleh beberapa
Ulama yang tergabung dalam Tim Perumus Hukum Kewarisan KHI. Adanya ketentuan
“ahli waris pengganti” dalam Pasal 185 KHI dinilai merupakan suatu
penyelundupan hukum yang sama sekali tidak berdasar dan tidak sesuai dengan
kesepakatan para Ulama sebelumnya
Bila diteliti lebih jauh, ketentuan
tersebut tidak ada bedanya dengan ketentuan Pasal 841 KUHPerdata yang juga
mengatur tentang ahli waris pengganti. Sehingga, hal tersebut tidak lain adalah
suatu rekayasa hukum yang dilatarbelakangi oleh pemikiran Hazairin ke dalam
hukum Islam (teori receptive) dan bukan bersumber dari Al-Quran dan
As-Sunnah. Hal tersebut juga dapat dibuktikan dengan adanya 10 (sepuluh)
fakta-fakta yang telah dikemukakan bahwa ia tidak dapat disebut sebagai seorang
mujtahid, sehingga pemikirannya yang merumuskan ketentuan ahli waris pengganti
adalah keliru.
Sebagai suatu kumpulan aturan-aturan yang
bersendikan hukum Islam, KHI hendaknya menjadi suatu pedoman yang luhur dalam
menyelesaikan suatu perkara. Konsekuensi logisnya, maka penyempurnaan dalam
aturan-aturan yang terkandung didalamnya haruslah menjadi prioritas utama.
Adanya ketentuan ahli waris pengganti dalam Pasal 185 KHI, menjadi suatu
pukulan telak bagi umat Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu, untuk
meminimalisir hal demikian (walaupun baru disadari saat ini), maka perubahan
(amanademen) pasal tersebut menjadi suatu urgensi dalam prioritas perbaikan
hukum dewasa ini. Pemerintah sebagai “ulil amri” haruslah bersikap tanggap dan
cerdas dalam mengatasi hal ini, sehingga tidak menimbulkan kekacauan yang lebih
besar lagi dikemudian hari.
Muara Enim, Oktober 2014
M. Alvi Syahrin
Foot Note
[2] Hal tersebut diantaranya: Umar
r.a tidak memotong tangan pencuri yang mencuri makanan karena dalam keadaan terpaksa
(akibat kelaparan), dan hukuman bagi pencuri massal, apakah semua harus
dijatuhi hukuman, maka beliau berpendapat “semua”. Dan beliau menyetujui
pendapat Ali r.a tentang pembunuhan seseorang yang dilakukan oleh 2 (dua) orang
pembunuh dan keduanya diberlakukan hukumann qishash.
[3] Samarcondu Nawawi dan Muzani, Surat
Kesaksian (terlampir)
[4] Habiburrahman, Rekonstruksi
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Makalah disampaikan dalam acara seminar
sehari yang diselenggarakan oleh PPHI2M di Jakarta, Hari Jum’at tanggal 19
Februari 2010, hal 15
[5] Bagir Manan, Pidato Wisuda
Bhakti KPT Riau. Bahwa almamater diartikan sebagai tempat ibu menyusui,
dimana hasil dari menyusu menjadi darah daging.
[6] QS. Al-Ahzab: 33
[7] Hazairin, Hukum Kewarisan
Bilateral Menurut Al-Quran, Tintamas, Jakarta, 1961, hal 1
[8] Hazairin, Hukum Kewarisan
Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968, hal 15
[9] Ibid., hal 29-34
[10] Huzaimah Tahido Yanggo, Hak-hak
SIpil dan Kedudukan Perempuan di Aceh, GTZ, hlm 20-21
[11] QS. An-Nisa’: 20, 21, 35
[12] QS. An-Nisa’: 34
[13] QS. Al-Baqarah: 233; QS.
Ath-Thalaq: 7
[14] QS. An-Nisa’: 4
[15] QS. Al-Baqarah: 236-237
Bahan Bacaan
Buku-Buku
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
Al-Quran, Tintamas, Jakarta, 1961
Hazairin, Hukum Kewarisan Nasional,
Tintamas, Jakarta, 1968
Huzaimah Tahido Yanggo, Hak-hak SIpil dan
Kedudukan Perempuan di Aceh, GTZ
Makalah
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan
Islam di Indonesia, Makalah, 19 Februari
2010
Peraturan Perundang-Undangan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam
Al-Quran
QS. Al-Baqarah: 233, 236 dan 237
QS. An-Nisa’: 4, 20, 21, 34, dan 35
QS. Al-Isra: 81
QS. Al-Ahzab: 33
QS. Ath-Thalaq: 7
Lampiran
Terimakasih kepada penulis yang telah berani mengungkapkan kebenaran
ReplyDeleteSemoga bermanfaat bagi semuanya.
DeleteMenarik. Terima kasih penulis telah memberikan informasi yang cukup lengkap. Saya memiliki pertanyaan bagaimana dalam kompilasi hukum islam terkait dengan ahli waris pengganti yang mana pemilik waris meninggal dan waris tersebut belum terbagi sehingga terdapatnya ahli waris pengganti misal setelah pemilik waris meninggal karena belum adanya bagi waris dari anak-anaknya, salah satu anaknya meninggal dan akhirnya menjadikan anak dari anaknya yang meninggal menjadi ahli waris pengganti.
ReplyDeleteDalam realita hidup ini terkadang persaudaraan itu sendiri tidak seperti persaudaraan terlebih karena sikap manusia yang menjalaninya.
Terima kasih