Wednesday, November 19, 2014

IMIGRAN ILEGAL DAN HAM UNIVERSAL

Eksistensi HAM Universal
Hukum Internasional dalam beberapa hal berkorelasi dengan Hukum Hak Asasi Manusia (HAM). HAM memuat beberapa prinsip universal, di antaranya tidak dapat dicabut dengan cara apapun, integral, kesetaraan, serta tanpa diskriminasi. Hukum HAM Internasional dimaksudkan sebagai hukum mengenai perlindungan terhadap hak-hak individu, atau kelompok yang dilindungai secara internasional dari pelanggaran, terutama yang dilakukan pemerintah atau aparat suatu negara. Hukum HAM Internasional dalam kajiannya dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama, dari aspek yang mencakup teoritis, instrumen, dan lembaga. Kedua, aspek lain yang mengkaji HAM dalam perspektif historis, politis, dan filosofis. Pendekatan teoritik dalam memetakan Hukum Pengungsi berfungsi menjadi suatu alat analisis guna mendapatkan jawaban tentatif terhadap masalah-masalah pengungsi yang selama ini terjadi. Teori menjadi dasar bagi dibangunnya suat paradigma sekaligus dibuatnya suatu model bagi perlindungan pengungsi.
HAM (dalam negara modern) merupakan hal yang relatif baru. Sejak perjanjian Westpalia 1648 sampai lahirnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 1945, persoalan HAM belum menjadi agenda internasional. Baru beberapa dekade setelah Perang Dunia II berakhir, masalah HAM dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan bilateral dan multilateral. Dalam pertumbuhannya, Hukum HAM Internasional dapat dianggap sebagai yang pertama membangun paradigma tentang arti penting HAM. Hal tersebut dilandasi pemikiran masa lalu bahwa persoalan moral dan hukum dipandang sebagai sesuatu yang terpisah. Berdasarkan Hukum HAM Internasional, bentuk konstituen HAM adalah hukum, bukan politik. Hukum-lah yang menjadi dasar pondasi, kerangka, dan konsep HAM (modern).
Batu tonggak Hukum HAM terhitung sejak disahkannya Piagam PBB serta Deklarasi Universal HAM Tahun 1948. Deklarasi Universal HAM Tahun 1948 bukanlah merupakan hukum yang mengikat. Namun demikian, Deklarasi HAM tersebut telah melandasi pembentukan norma-norma HAM internasional yang diwujudkan dalam berbagai bentuk perjanjian internasional yang secara hukum mengikat negara-negara pihak.



Batasan dan pembagian bidang, jenis, dan macam HAM dunia mencakup enam kelompok. Pertama, hak asasi pribadi (personal rights). Termasuk di dalamnya adalah hak kebebasan untuk bergerak, hak berpergian dan berpindah-pindah tempat (hak bermigrasi), hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat, hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan, serta hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.

Kedua, hak asasi politik (political rights). Tercakup ke dalam kelompok ini adalah hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan, hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan, hak membuat dan mendirikan partai politik dan organisasi politik / kemasyarakatan lainnya, serta hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi. 
Ketiga, hak asasi hukum (legal equality rights). Termasuk ke dalam kelompok hak ini seperti mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, hak untuk menjadi pegawai negeri sipil, serta hak mendapat layanan dan perlindungan hukum. 
Keempat, hak asasi ekonomi (property rights). Hak-hak tersebut seperti hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli, hak kebebasan megadakan perjanjian, hak kebebasan menyelenggarakan sewa menyewa, utang piutang, hak kebebasan untuk memiliki sesuatu, serta hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Kelima, hak asasi peradilan (procedural rights). Hak-hak tersebut seperti hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan, hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, pengangkapan, penahanan, dan penyelilidikan, serta penyidikan di mata hukum. 
Keenam, hak asasi sosial budaya (social cultrure rights). Hak tersebut mencakup hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan pengajaran, serta hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.
Esensi Hukum HAM Internasional mengatur kemanusiaan universal tanpa terikat atribut ruang dan waktu tertentu. Hal tersebut penting mengingat setiap negara tidak tertutup kemungkinan membicarakan Hukum HAM dalam konteks domestiknya. HAM dalam konteks hukum pengungsi setidaknya berhubungan dengan tiga hal. Pertama, perlindungan terhadap penduduk sipil akibat konflik bersenjata. Kedua, perlindungan secara umum yang diberikan kepada penduduk sipil dalam keadaan biasa. Ketiga, perlindungan terhadap pengungsi baik IDP’s maupun pengungsi lintas batas.
Hukum Internasional telah meletakkan kewajiban dasar bagi tingkah laku negara dalam melaksanakan perlindungan internasionalnya. Tindakan yang bertentangan dengan hal tersebut akan melahirkan tanggung jawab internasional. Tanggung jawab internasional demikian diartikan sebagai suatu perbuatan yang memiliki dampak dan karakteristik internasional. Tanggung jawab tersebut muncul manakala terdapat pelanggaran yang sungguh-sungguh terhadap hal-hal yang menyangkut perlindungan atas hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi pengungsi.
Perjalanan sejarah terkait dengan kontribusi PBB dalam peningkatan harkat derajat HAM sangat signifikan. Terdapat beberapa pasal yang menjadi benang merah dalam perlindungan dan penegakan HAM hingga dewasa ini. Pasal-pasal tersebut, yaitu Pasal 13 ayat (1) butir b yang menyebutkan “promoting international cooperation... and assisting in the realization of human rights and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion” (memajukan kerja sama internasional... dan membantu pelaksanaan hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama).
Pasal 55 butir c menyebutkan, “universal respect for, and observance of human right and fundamental for all without distinction as race, sex language, or religion” (penghormatan hak asasi manusia secara keseluruhan, demikian pula pengejewantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama). Merujuk pada fungsi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, pada Pasal 62 butir 2 disebutkan, “It may make recommendation for the purporse of promoting respect for and observance of, human rights and fundamental freedoms for all” (Dewan... dapat memberikan rekomendasi untuk tujuan meningkatkan penghormatan dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua orang). Pada ketentuan tata tertib, Pasal 68 menyebutkan bahwa: “The economic and Social Council... set up commission... for the promotion of human rights...” (Dewan Ekonomi Sosial akan membentuk komisi,,, untuk memajukan hak asas manusia...). Hal tersebut dikuatkan pada Pasal 76 butir c yang menyebutkan, “to encourage respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion...” (mendorong penghormatan kepada hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama...).
Perlindungan HAM Pengungsi dalam Instrumen Hukum (Internasional dan Nasional)
Konvensi tentang Status Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta Protokol-nya 31 Januari 1967 secara substansial melindungi HAM para pengungsi. Dengan demikian Konvensi tersebut dikategorikan sebagai instrumen hukum yang lahir dan berorientasi pada pemenuhan atas HAM bagi pengungsi, mengingat kondisi mereka yang membutuhkan penanganan khusus.
Hukum HAM dibagi dalam tiga keadaan. Pertama, Hukum HAM umum yang berlaku bagi semua orang dalam keadaan normal. Kedua, Hukum HAM yang diberlakukan dalam situasi perang, yang dikenal dengan Hukum Humaniter[1]. Ketiga,, Hukum HAM yang khusus diterapkan kepada pengungsi (dikenal sebagai Hukum Pengungsi). Hukum HAM ini diterapkan kepada pengungsi karena status hukum yang berada di luar negaranya serta tidak ada yang melindungi.
Hukum Humaniter terdiri dari sekumpulan-sekumpulan pembatasan oleh Hukum Internasional yang digunakan sebagai prinsip-prinisp yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya konflik-konflik bersenjata. Hukum Humaniter merupakan bagian dari Hukum Internasional, oleh karenanya efektifitas atau pemanfaatannya akan banyak ditentukan oleh implementasi di tingkat nasional. Dalam hal ini, warga negara dan aparat negaralah yang akan memberikan kontribusi besar bagi implementasi tersebut.
Tujuan pokok dari Hukum Humaniter adalah mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu serta untuk membatasi kawasan konflik bersenjata. Oleh karenanya, dalam Hukum Humaniter diadopsi kaidah-kaidah hukum perang yang berperikemanusiaan. Kewajiban untuk melaksanakan dan menegakkan Hukum Humaniter terletak pada negara. Namun demikian dalam pelaksanaannya melibatkan Komite Internasional Palang Merah (International of the Red Cross / ICRC) yang telah memperoleh mandat dari masyarakat internasional untuk membantu penegakan hukum humaniter sesuai dengan Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang berikut Protokol tambahannya.[2]



Indonesia secara khusus memuat HAM dalam TAP MPR XVII/MPR/1998. Selain itu, melalui amandemen, HAM juga telah diintrodusir dalam UUD 1945 Bab X Pasal 28A-J. Sebagai bagian dari dunia internasional, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi internasional, seperti Konvensi Anti Diskriminasi Hak-Hak Perempuan, Konvensi Anti Diskriminasi Ras, Hak Anak, Hak Ekonomi, dan Sosial Budaya serta Hak Sosial dan Politik. Namun, Indonesia merupakan penganut ajaran dualis yang memisahkan antara Hukum Internasional dengan hukum nasional sehingga apabila sebuah konvensi internasional belum diratifikasi, maka tidak bersifat mengikat bagi hukum nasional.
Setiap konvensi internasional yang telah diratifikasi memiliki dua jenis kewajiban, yaitu kewajiban tindakan dan kewajiban proses. Kewajiban tindakan meliputi tindakan menghormati, melindungi, dan memenuhi. Sedangkan, untuk kewajiban proses terdiri atas anti diskriminasi, peran serta masyarakat dan kemajuan yang memadai.
Mekanisme pertanggungjawaban tethadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi hraus dilakukan negara tanpa kecuali. Mekanisme yang disebut dengan Universal Periodic Review (UPR) ini mengedepankan dialog sejati dan kerjasama, mengedepankan peningkatan kapasitas suatu negara dalam melaksanakan komitmen pemajuan dan perlindungan HAM. Mekanisme ini tidak boleh memberatkan negara yang dikaji serta tidak timpang tindih dan duplikasi dengan mekanisme yang lain. Indonesia mengirimkan laporan melalui mekanisme UPR. Kewajiban pelaporan treaty bodies dan UPR yang telah dilakukan Indonesia memunculkan kewajiban untuk terus meningkatkan upaya kemajuan dan perlindungan HAM.
Paradoksial dan Realitas HAM Pengungsi
Pengajuan suaka / permohonan pengungsi merupakan bagian dari HAM, dengan catatan memiliki alasan (hukum) yang cukup untuk itu. Pasal 28 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain”. Sementara itu Pasal 13 Paragraf 2 Deklarasi HAM PBB 1948 menyebutkan: “Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country”. Hak atas kebebasan untuk memilih tempat tinggal atau negara ini kemudian dipertegas oleh Declaration of Territorial Asylum 1967 yang menyatakan:
  1. Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution;
  2. This right may not to be involved in the case of prosecutions genuinely arising from non-political crimes or acts contrary to the puprposes and principles of the United Nations.
Penegasan kata kunci dari Declaration of Territorial Asylum 1967 untuk memohon suaka adalah adanya ketakutan atau kekhawatiran akan menjadi korban dari suatu penyiksaan atau penganiayaan di suatu negara, sehingga ia memilih untuk mencari perlindungan ke suatu negara lain. Termasuk di dalamnya mereka yang merupakan pejuang atau orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme. Namun yang perlu diperhatikan, permohonan suaka ini hanya dibatasi untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik dan tidak untuk selain itu. Permohonan tersebut akan ditolak, apabila berlawan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dari PBB. Termasuk dalam golongan yang akan ditolak untuk menerima suaka adalah mereka yang diduga telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun perjuangan atas perlindungan HAM (internasional) terhadap pencari suaka dan pengunsi jangan sampai disalahgunakan atau ditafsirkan secara salah oleh pihak tertentu. Tidak sedikit mereka masuk ke suatu negara atas nama HAM, lalu kemudian malah mengganggu ketertiban dan HAM di negara tersebut. Inilah yang terjadi di Indonesia. Eksodus yang dilakukan pencari suaka dan pengungsi baik itu secara personal ataupun kolektif (menggunakan agen) masuk ke wilayah Indonesia akan mengancam HAM masyarakat Indonesia.



Faktanya dewasa ini, para pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia dengan dalil hendak ke negara Australia sebagai negara tujuan, hanya sebatas modus operandi semata. Sedari awal negara tujuan mereka adalah Indonesia. Mereka sadar bahwa untuk masuk ke wilayah kedaulatan Australia dengan menggunakan perahu / kapal, tentu menimbulkan resiko tinggi. Selain mengancam jiwa selama di perjalanan, mereka juga akan berhadapan langsung dengan otoritas militer Australia yang menjaga di sepanjang perbatasan Australia dan Indonesia.
Australia kini bukan negara yang ramah terhadap para pencari suaka dan pengungsi. Kebijakan roll back a boat (mendorong kembali perahu pencari suaka ke perairan Indonesia) yang diterapkan oleh Pemerintah Australia merupakan bagian dari program anti imigran ilegal yang disuarakan oleh Tony Abbot dalam kampanyenya dalam pemilihan Perdana Menteri beberapa waktu yang lalu. Terhadap mereka yang telah mendapat status pengungsi dari UNHCR dan masuk ke wilayah Australia, maka akan segera dipindahkan ke negara ketiga, yaitu Papua Nugini.
Melihat realitas demikian, maka para pencari suaka dan pengungsi harus kembali berpikir ulang bila tetap memaksakan niat untuk pergi ke Australia. Sehingga, saat ini Indonesialah yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai negara tujuan. Sebagai negara yang diapit oleh dua benua dan dua samudera, posisi Indonesia menjadi sangat strategis terhadap ekspansi para pencari suaka dan pengungsi yang mayoritas didominasi oleh negara-negara konflik dari kawasan asia selatan, tengah, dan kawasan afrika. Tentu, sikap “hirjah” nya mereka ini, akan berdampak langsung terhadap kedaulatan negara Indonesia, yang lambat laun akan mempengaruhi tatanan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan bangsa. Potensi ancaman ini harus sesegera mungkin dideteksi dan ditanggulangi oleh instansi terkait, bil-khusus Imigrasi Indonesia sebagai otoritas terdepan dalam menjaga wibawa pintu gerbang negara (bhumi pura wira wibawa).
Muara Enim, November 2014
M. Alvi Syahrin

[1] Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk mengurangi penderitaan berlebihan dari perperangan. Konvensi Jenewa 1949 sebagai instrumen Hukum Humaniter Inernasional dengan tegas membuat aturan-aturan pokok yang harus ditaati oleh setiap negara yang terlibat dalam konflik bersenjata. Lebih khusus, Konvensi Jenewa III 1949 mengatur prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi tawanan perang, karena sejatinya hubungan perang bukanlah hubungan individu melainkan hubungan negara sebagai subjek hukum internasional. Konflik bersenjata internasional merupakan pertempuran anara angkaran bersenjata dari dua atau lebiuh negara, karena itu hubungan perang merupakan hubungan negara dengan negara, maka hukum perang merupakan bagian dari hukum internasional. Huku Humaniter Internasional merupakan manifestasi prinsip dasar serta aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi perang.
[2] Empat Konvensi Jenewa tentang perlindungan korban perang sebagaimana termuat dalam “Terjemahan Konvensi Jenewa 1949 yang disusun dan diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman pada Agustus 1999 adalah sebagai berikut: Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran (Konvensi I), Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Bersenjata di Laut yang Luka Sakit dan Korban Karam (Konvensi II), Konvesi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan  Perang  (Konvensi III), Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di Waktu Perang (Konvensi IV). Adapun Protokol tambahannya, yaitu Protokol Tambahan I Tahun 1977 tentang Perlindungan Korban pada waktu Sengketa Bersenjata Internasional (Protokol Tambahan I) dan Protokol Tambahan II Tahun 1977 tentang Perlindungan Korban pada waktu Sengketa Bersenjata Non Internasional  (Protokol Tambahan II).

No comments:

Post a Comment