Eksistensi HAM Universal
Hukum Internasional dalam beberapa hal berkorelasi dengan Hukum Hak Asasi
Manusia (HAM). HAM memuat beberapa prinsip universal, di antaranya tidak dapat
dicabut dengan cara apapun, integral, kesetaraan, serta tanpa diskriminasi.
Hukum HAM Internasional dimaksudkan sebagai hukum mengenai perlindungan
terhadap hak-hak individu, atau kelompok yang dilindungai secara internasional
dari pelanggaran, terutama yang dilakukan pemerintah atau aparat suatu negara.
Hukum HAM Internasional dalam kajiannya dilakukan melalui dua pendekatan.
Pertama, dari aspek yang mencakup teoritis, instrumen, dan lembaga. Kedua,
aspek lain yang mengkaji HAM dalam perspektif historis, politis, dan filosofis.
Pendekatan teoritik dalam memetakan Hukum Pengungsi berfungsi menjadi suatu
alat analisis guna mendapatkan jawaban tentatif terhadap masalah-masalah
pengungsi yang selama ini terjadi. Teori menjadi dasar bagi dibangunnya suat
paradigma sekaligus dibuatnya suatu model bagi perlindungan pengungsi.
HAM (dalam negara modern) merupakan hal yang relatif baru. Sejak perjanjian
Westpalia 1648 sampai lahirnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun
1945, persoalan HAM belum menjadi agenda internasional. Baru beberapa dekade
setelah Perang Dunia II berakhir, masalah HAM dibicarakan dalam
pertemuan-pertemuan bilateral dan multilateral. Dalam pertumbuhannya, Hukum HAM
Internasional dapat dianggap sebagai yang pertama membangun paradigma tentang
arti penting HAM. Hal tersebut dilandasi pemikiran masa lalu bahwa persoalan
moral dan hukum dipandang sebagai sesuatu yang terpisah. Berdasarkan Hukum HAM
Internasional, bentuk konstituen HAM adalah hukum, bukan politik. Hukum-lah
yang menjadi dasar pondasi, kerangka, dan konsep HAM (modern).
Batu tonggak Hukum HAM terhitung sejak disahkannya Piagam PBB serta
Deklarasi Universal HAM Tahun 1948. Deklarasi Universal HAM Tahun 1948 bukanlah
merupakan hukum yang mengikat. Namun demikian, Deklarasi HAM tersebut telah
melandasi pembentukan norma-norma HAM internasional yang diwujudkan dalam
berbagai bentuk perjanjian internasional yang secara hukum mengikat
negara-negara pihak.
Batasan dan pembagian bidang, jenis, dan macam HAM dunia mencakup enam
kelompok. Pertama, hak asasi pribadi (personal rights). Termasuk di
dalamnya adalah hak kebebasan untuk bergerak, hak berpergian dan
berpindah-pindah tempat (hak bermigrasi), hak kebebasan mengeluarkan atau
menyatakan pendapat, hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau
perkumpulan, serta hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama
dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.
Kedua, hak asasi politik (political rights). Tercakup ke dalam
kelompok ini adalah hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan, hak
ikut serta dalam kegiatan pemerintahan, hak membuat dan mendirikan partai
politik dan organisasi politik / kemasyarakatan lainnya, serta hak untuk
membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.
Ketiga, hak asasi hukum (legal equality rights). Termasuk ke dalam
kelompok hak ini seperti mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan, hak untuk menjadi pegawai negeri sipil, serta hak mendapat
layanan dan perlindungan hukum.
Keempat, hak asasi ekonomi (property rights). Hak-hak tersebut
seperti hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli, hak kebebasan megadakan
perjanjian, hak kebebasan menyelenggarakan sewa menyewa, utang piutang, hak
kebebasan untuk memiliki sesuatu, serta hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan
yang layak.
Kelima, hak asasi peradilan (procedural rights). Hak-hak tersebut
seperti hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan, hak persamaan atas
perlakuan penggeledahan, pengangkapan, penahanan, dan penyelilidikan, serta
penyidikan di mata hukum.
Keenam, hak asasi sosial budaya (social cultrure rights). Hak
tersebut mencakup hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan, hak
mendapatkan pengajaran, serta hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan
bakat dan minat.
Esensi Hukum HAM Internasional mengatur kemanusiaan universal tanpa terikat
atribut ruang dan waktu tertentu. Hal tersebut penting mengingat setiap negara
tidak tertutup kemungkinan membicarakan Hukum HAM dalam konteks domestiknya.
HAM dalam konteks hukum pengungsi setidaknya berhubungan dengan tiga hal.
Pertama, perlindungan terhadap penduduk sipil akibat konflik bersenjata. Kedua,
perlindungan secara umum yang diberikan kepada penduduk sipil dalam keadaan
biasa. Ketiga, perlindungan terhadap pengungsi baik IDP’s maupun pengungsi
lintas batas.
Hukum Internasional telah meletakkan kewajiban dasar bagi tingkah laku
negara dalam melaksanakan perlindungan internasionalnya. Tindakan yang
bertentangan dengan hal tersebut akan melahirkan tanggung jawab internasional.
Tanggung jawab internasional demikian diartikan sebagai suatu perbuatan yang
memiliki dampak dan karakteristik internasional. Tanggung jawab tersebut muncul
manakala terdapat pelanggaran yang sungguh-sungguh terhadap hal-hal yang
menyangkut perlindungan atas hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak
asasi pengungsi.
Perjalanan sejarah terkait dengan kontribusi PBB dalam peningkatan harkat
derajat HAM sangat signifikan. Terdapat beberapa pasal yang menjadi benang
merah dalam perlindungan dan penegakan HAM hingga dewasa ini. Pasal-pasal
tersebut, yaitu Pasal 13 ayat (1) butir b yang menyebutkan “promoting
international cooperation... and assisting in the realization of human rights
and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language,
or religion” (memajukan kerja sama internasional... dan membantu
pelaksanaan hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua manusia
tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama).
Pasal 55 butir c menyebutkan, “universal respect for, and observance of
human right and fundamental for all without distinction as race, sex language,
or religion” (penghormatan hak asasi manusia secara keseluruhan, demikian
pula pengejewantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa
membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama). Merujuk pada fungsi Dewan
Ekonomi dan Sosial PBB, pada Pasal 62 butir 2 disebutkan, “It may make
recommendation for the purporse of promoting respect for and observance of,
human rights and fundamental freedoms for all” (Dewan... dapat memberikan
rekomendasi untuk tujuan meningkatkan penghormatan dan penghargaan atas hak-hak
asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua orang). Pada ketentuan
tata tertib, Pasal 68 menyebutkan bahwa: “The economic and Social Council...
set up commission... for the promotion of human rights...” (Dewan Ekonomi
Sosial akan membentuk komisi,,, untuk memajukan hak asas manusia...). Hal
tersebut dikuatkan pada Pasal 76 butir c yang menyebutkan, “to encourage
respect for human rights and for fundamental freedoms for all without
distinction as to race, sex, language, or religion...” (mendorong
penghormatan kepada hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan ras, jenis
kelamin, bahasa, atau agama...).
Perlindungan HAM Pengungsi dalam Instrumen Hukum
(Internasional dan Nasional)
Konvensi tentang Status
Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta
Protokol-nya 31 Januari 1967 secara
substansial melindungi HAM para pengungsi. Dengan demikian Konvensi tersebut
dikategorikan sebagai instrumen hukum yang lahir dan berorientasi pada
pemenuhan atas HAM bagi pengungsi, mengingat kondisi mereka yang membutuhkan
penanganan khusus.
Hukum HAM dibagi dalam tiga keadaan. Pertama,
Hukum HAM umum yang berlaku bagi semua orang dalam keadaan normal. Kedua, Hukum
HAM yang diberlakukan dalam situasi perang, yang dikenal dengan Hukum Humaniter[1].
Ketiga,, Hukum HAM yang khusus diterapkan kepada pengungsi (dikenal sebagai
Hukum Pengungsi). Hukum HAM ini diterapkan kepada pengungsi karena status hukum
yang berada di luar negaranya serta tidak ada yang melindungi.
Hukum Humaniter terdiri dari
sekumpulan-sekumpulan pembatasan oleh Hukum Internasional yang digunakan
sebagai prinsip-prinisp yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada
saat berlangsungnya konflik-konflik bersenjata. Hukum Humaniter merupakan
bagian dari Hukum Internasional, oleh karenanya efektifitas atau pemanfaatannya
akan banyak ditentukan oleh implementasi di tingkat nasional. Dalam hal ini,
warga negara dan aparat negaralah yang akan memberikan kontribusi besar bagi
implementasi tersebut.
Tujuan pokok dari Hukum Humaniter adalah
mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu serta untuk membatasi
kawasan konflik bersenjata. Oleh karenanya, dalam Hukum Humaniter diadopsi
kaidah-kaidah hukum perang yang berperikemanusiaan. Kewajiban untuk
melaksanakan dan menegakkan Hukum Humaniter terletak pada negara. Namun
demikian dalam pelaksanaannya melibatkan Komite Internasional Palang Merah (International
of the Red Cross / ICRC) yang telah memperoleh mandat dari masyarakat
internasional untuk membantu penegakan hukum humaniter sesuai dengan Konvensi
Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang berikut Protokol tambahannya.[2]
Indonesia secara khusus memuat HAM dalam TAP
MPR XVII/MPR/1998. Selain itu, melalui amandemen, HAM juga telah diintrodusir
dalam UUD 1945 Bab X Pasal 28A-J. Sebagai bagian dari dunia internasional,
Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi internasional, seperti
Konvensi Anti Diskriminasi Hak-Hak Perempuan, Konvensi Anti Diskriminasi Ras,
Hak Anak, Hak Ekonomi, dan Sosial Budaya serta Hak Sosial dan Politik. Namun,
Indonesia merupakan penganut ajaran dualis yang memisahkan antara Hukum
Internasional dengan hukum nasional sehingga apabila sebuah konvensi
internasional belum diratifikasi, maka tidak bersifat mengikat bagi hukum
nasional.
Setiap konvensi internasional yang telah
diratifikasi memiliki dua jenis kewajiban, yaitu kewajiban tindakan dan
kewajiban proses. Kewajiban tindakan meliputi tindakan menghormati, melindungi,
dan memenuhi. Sedangkan, untuk kewajiban proses terdiri atas anti diskriminasi,
peran serta masyarakat dan kemajuan yang memadai.
Mekanisme pertanggungjawaban tethadap
perjanjian internasional yang telah diratifikasi hraus dilakukan negara tanpa
kecuali. Mekanisme yang disebut dengan Universal Periodic Review (UPR)
ini mengedepankan dialog sejati dan kerjasama, mengedepankan peningkatan
kapasitas suatu negara dalam melaksanakan komitmen pemajuan dan perlindungan
HAM. Mekanisme ini tidak boleh memberatkan negara yang dikaji serta tidak
timpang tindih dan duplikasi dengan mekanisme yang lain. Indonesia mengirimkan
laporan melalui mekanisme UPR. Kewajiban pelaporan treaty bodies dan UPR
yang telah dilakukan Indonesia memunculkan kewajiban untuk terus meningkatkan
upaya kemajuan dan perlindungan HAM.
Paradoksial dan Realitas HAM Pengungsi
Pengajuan suaka / permohonan pengungsi merupakan bagian dari HAM, dengan
catatan memiliki alasan (hukum) yang cukup untuk itu. Pasal 28 UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak mencari
suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain”. Sementara itu
Pasal 13 Paragraf 2 Deklarasi HAM PBB 1948 menyebutkan: “Everyone has the
right to leave any country, including his own, and to return to his country”.
Hak atas kebebasan untuk memilih tempat tinggal atau negara ini kemudian
dipertegas oleh Declaration of Territorial Asylum 1967 yang menyatakan:
- Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution;
- This right may not to be involved in the case of prosecutions genuinely arising from non-political crimes or acts contrary to the puprposes and principles of the United Nations.
Penegasan kata kunci dari Declaration of Territorial
Asylum 1967 untuk memohon suaka adalah adanya ketakutan atau kekhawatiran
akan menjadi korban dari suatu penyiksaan atau penganiayaan di suatu negara,
sehingga ia memilih untuk mencari perlindungan ke suatu negara lain. Termasuk
di dalamnya mereka yang merupakan pejuang atau orang-orang yang berjuang
melawan kolonialisme. Namun yang perlu diperhatikan, permohonan suaka ini hanya
dibatasi untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik dan tidak
untuk selain itu. Permohonan tersebut akan ditolak, apabila berlawan dengan
tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dari PBB. Termasuk dalam golongan yang akan
ditolak untuk menerima suaka adalah mereka yang diduga telah melakukan
kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Namun perjuangan atas perlindungan HAM (internasional)
terhadap pencari suaka dan pengunsi jangan sampai disalahgunakan atau
ditafsirkan secara salah oleh pihak tertentu. Tidak sedikit mereka masuk ke
suatu negara atas nama HAM, lalu kemudian malah mengganggu ketertiban dan HAM
di negara tersebut. Inilah yang terjadi di Indonesia. Eksodus yang dilakukan
pencari suaka dan pengungsi baik itu secara personal ataupun kolektif
(menggunakan agen) masuk ke wilayah Indonesia akan mengancam HAM masyarakat
Indonesia.
Faktanya dewasa ini, para pencari suaka dan pengungsi
yang masuk ke wilayah Indonesia dengan dalil hendak ke negara Australia sebagai
negara tujuan, hanya sebatas modus operandi semata. Sedari awal negara tujuan
mereka adalah Indonesia. Mereka sadar bahwa untuk masuk ke wilayah kedaulatan
Australia dengan menggunakan perahu / kapal, tentu menimbulkan resiko tinggi.
Selain mengancam jiwa selama di perjalanan, mereka juga akan berhadapan
langsung dengan otoritas militer Australia yang menjaga di sepanjang perbatasan
Australia dan Indonesia.
Australia kini bukan negara yang ramah terhadap para
pencari suaka dan pengungsi. Kebijakan roll back a boat (mendorong kembali perahu pencari suaka ke perairan Indonesia) yang diterapkan
oleh Pemerintah Australia merupakan bagian dari program anti imigran ilegal
yang disuarakan oleh Tony Abbot dalam kampanyenya dalam pemilihan Perdana
Menteri beberapa waktu yang lalu. Terhadap mereka yang telah mendapat status
pengungsi dari UNHCR dan masuk ke wilayah Australia, maka akan segera
dipindahkan ke negara ketiga, yaitu Papua Nugini.
Melihat realitas demikian, maka para pencari suaka dan
pengungsi harus kembali berpikir ulang bila tetap memaksakan niat untuk pergi
ke Australia. Sehingga, saat ini Indonesialah yang memungkinkan untuk dijadikan
sebagai negara tujuan. Sebagai negara yang diapit oleh dua benua dan dua
samudera, posisi Indonesia menjadi sangat strategis terhadap ekspansi para
pencari suaka dan pengungsi yang mayoritas didominasi oleh negara-negara
konflik dari kawasan asia selatan, tengah, dan kawasan afrika. Tentu, sikap
“hirjah” nya mereka ini, akan berdampak langsung terhadap kedaulatan negara
Indonesia, yang lambat laun akan mempengaruhi tatanan ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan bangsa. Potensi ancaman ini harus
sesegera mungkin dideteksi dan ditanggulangi oleh instansi terkait, bil-khusus
Imigrasi Indonesia sebagai otoritas terdepan dalam menjaga wibawa pintu gerbang
negara (bhumi pura wira wibawa).
Muara Enim, November 2014
M. Alvi Syahrin
[1] Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk
mengurangi penderitaan berlebihan dari perperangan. Konvensi Jenewa 1949
sebagai instrumen Hukum Humaniter Inernasional dengan tegas membuat
aturan-aturan pokok yang harus ditaati oleh setiap negara yang terlibat dalam
konflik bersenjata. Lebih khusus, Konvensi Jenewa III 1949 mengatur
prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi tawanan perang, karena sejatinya
hubungan perang bukanlah hubungan individu melainkan hubungan negara sebagai
subjek hukum internasional. Konflik bersenjata internasional merupakan
pertempuran anara angkaran bersenjata dari dua atau lebiuh negara, karena itu
hubungan perang merupakan hubungan negara dengan negara, maka hukum perang
merupakan bagian dari hukum internasional. Huku Humaniter Internasional
merupakan manifestasi prinsip dasar serta aturan mengenai pembatasan penggunaan
kekerasan dalam situasi perang.
[2] Empat Konvensi Jenewa
tentang perlindungan korban perang sebagaimana termuat dalam “Terjemahan
Konvensi Jenewa 1949 yang disusun dan diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman pada Agustus 1999 adalah
sebagai berikut: Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit
dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran (Konvensi I), Konvensi Jenewa
untuk Perbaikan Keadaan Anggota Bersenjata di Laut yang Luka Sakit dan Korban
Karam (Konvensi II), Konvesi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Konvensi III), Konvensi Jenewa
mengenai Perlindungan Orang Sipil di Waktu Perang (Konvensi IV). Adapun
Protokol tambahannya, yaitu Protokol Tambahan I Tahun 1977 tentang Perlindungan
Korban pada waktu Sengketa Bersenjata Internasional (Protokol Tambahan I) dan
Protokol Tambahan II Tahun 1977 tentang Perlindungan Korban pada waktu Sengketa
Bersenjata Non Internasional (Protokol
Tambahan II).
No comments:
Post a Comment