Esensi
Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional mengatur kemanusiaan universal
tanpa terikat atribut ruang dan waktu tertentu. Hal tersebut penting mengingat
setiap negara tidak tertutup kemungkinan membicarakan Hukum HAM dalam konteks
domestiknya. HAM dalam konteks hukum pengungsi setidaknya berhubungan dengan
tiga hal. Pertama, perlindungan terhadap penduduk sipil akibat konflik
bersenjata. Kedua, perlindungan secara umum yang diberikan kepada penduduk
sipil dalam keadaan biasa. Ketiga, perlindungan terhadap pengungsi baik IDP’s
maupun pengungsi lintas batas.
Hukum
Internasional telah meletakkan kewajiban dasar bagi tingkah laku negara dalam
melaksanakan perlindungan internasionalnya. Tindakan yang bertentangan
dengannya akan melahirkan tanggung jawab internasional. Tanggung jawab
internasional diartikan sebagai suatu perbuatan salah yang memiliki
karakteristik internasional. Tanggung jawab demikian muncul manakala terdapat
pelanggaran yang sungguh-sungguh terhadap hal-hal yang menyangkut perlindungan
atas hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi pengungsi.
Dalam
catatan perjalanan sejarah, khususnya terkait dengan kontribusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), peningkatan harkat derajat HAM terjadi sangat signifikan.
Terdapat beberapa pasal yang menjadi benang merah dalam perlindungan dan
penegakkan hak asasi manusia hingga dewasa ini. Pasal-pasal tersebut, yaitu
Pasal 13 ayat (1) butir B yang menyebutkan “promoting
international cooperation... and assisting in the realization of human rights and
fundamental freedoms for all without distinctions as to race, sex language, or
religion (memajukan kerjasama internasional... dan membantu pelaksanaan
hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua manusia tanpa
membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama).
Pada
Pasal 55 butir (c) disebutkan ,”universal
respect for, and observance of, human right and fundamental freedom for all
without distinction as race, sex, language, or religion (penghormatan hak
asasi manusia seantero jagad demikian pula pengejewantahannya serta
kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa membedakan ras, jenis kelamin,
bahasa atau agama)”. Merujuk pada fungsi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, pada
Pasal 62 butir 2 disebutkan, “it may make
reccomendations for the purpose of promoting respect for, and observance of,
human rights and fundamental freedoms for all (Dewan... dapat memberikan
rekomendasi untuk tujuan meningkatkan penghormatan dan penghargaan atas hak
asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua orang)”. Pada ketentuan
tata tertib, Pasal 68 menyebutkan bahwa. “The
economic and Social Council... set tup commission... for the promotion of human
rights... (Dewan Ekonomi Sosial akan membentuk komisi... untuk memajukan hak
asasi manusia...)”. Hal tersebut dikuatkan pada Pasal 76 butir C yang
menyebutkan “to encourage respect for
human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to
race, sex, language, or religion... (mendorong penghormatan kepada hak-hak
asasi manusia dan kebebasan-kebebasan ras, jenis kelamin, bahasa atau
agama...)”.
Pengajuan
suaka / permohonan pengungsi merupakan bagian dari HAM. Tentunya untuk hal
tersebut memiliki alasan yang cukup untuk itu. Pasal 28 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak mencari suaka
untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain. Sementara itu Pasal 13
Paragraf 2 Deklarasi HAM PBB 1948 menyebutkan: “everyone has the right to leave any country, including his own, and to
return to his country”. Hak atas kebebasan untuk memilih tempat tinggal
atau negara ini kemudian di pertegas oleh Declaration
of Territorial Asylum 1967 yang menyatakan:
- Everyone has the right to seek and enjoy in other countries asylum from prosecution;
- This right may not be involved in the case of prosecutions genuinely arising from non-political crimes or acts contrary to the purposes and principle of the United Nations.
Dalam
Declaration of Territorial Asylum
1967, penegasan kata kunci untuk memohon suaka adalah adanya ketakutan atau
kekhawatiran akan menjadi korban dari suaut penyiksaan atau penganiayaan di
suatu negara, sehingga ia memilih untuk mencari perlindungan ke suatu negara
lain. Termasuk di dalamnya mereka yang merupakan pejuang atau orang-orang yang
berjuang melawan kolonialisme. Namun, permohonan suaka ini hanya dibatasi untuk
ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik dan tidak untuk selain itu.
Golongan yang akan ditolak untuk menerima suaka adalah mereka yang diduga telah
melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Instrumen Internasional HAM bagi Pengungsi
Konvensi
Tahun 1951 berikut Protokolnya Tahun 1967 secara substansial melindungi HAM
pada pengungsi. Dengan demikian konvensi tersebut dikategorikan sebagai
jenis-jenis HAM yang perlu dilindungi, khususnya bagi pengungsi. Hal demikian
dibedakan oleh karena kondisi mereka yang khusus. Hukum HAM dibagi dalam tiga
keadaan, yaitu: Pertama, Hukum HAM umum yang berlaku bagi semua orang dalam
keadaan normal. Kedua, Hukum HAM yang diberlakukan dalam situasi perang dikenal
dengan Hukum Humaniter[1].
Ketiga, Hukum HAM yang khusus diterapkan kepada pengungsi (dikenal dengan Hukum
Pengungsi). Hukum HAM ini diterapkan kepada pengungsi karena berada di luar
negaranya serta tidak ada yang melindungi.
Hukum
Humaniter terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh Hukum Internasional yang
digunakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap
individu-individu pada saat berlangsungnya konflik-konfllik bersenjata.[2]
Hukum Humaniter merupakan bagian dari Hukum Internasional maka efektifitas atau
pemanfaatannya akan banyak ditentukan oleh impementasi di tingkat nasional. Dalam
hal ini ,warga negara dan khususnya aparat negaralah yang akan memberikan
kontribusi besar bagi implementasi tersebut.
Tujuan
pokok dari Hukum Humaniter adalah mengurangi atau membatasi penderitaan
individu-individu serta untuk membatasi kawasan konflik bersenjata. Oleh
karenanya dalam Hukum Humaniter diadopsi kaidah-kaidah hukum perang yang
berprikemanusiaan. Kewajiban untuk melaksanakan dan menegaskan Hukum Humaniter
terletak pada negara. Namun demikian dalam pelaksanaannya melibatkan Komite
Internasional Palang Merah (International
of the Red Cross / ICRC) yang
telah memperoleh mandat dari masyarakat internasional untuk membantu penegakan
Hukum Humaniter sesuai dengan Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan
Konvensi Perang berikut Protokol tambahannya.[3]
Konvensi
1951 tentang Pengungsi mencantumkan daftar hak dan kebebasan asasi yang sangat
dibutuhkan oleh pengungsi. Negara peserta konvensi wajib melaksanakan hak-hak
dan kewajiban tersebut. Terdapat tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan oleh
negara pihak.
Pertama,
pengungsi yang masuk ke suatu negara tanpa dokumen lengkap mereka tidak akan
dikenakan hukuman, selama mereka secepat-cepatnya melaporkan diri kepada pihak
berwenang setempat. Biasanya di setiap negara terdapat processing centre sendiri yang tidak dicampur dengan CIQ (Customs, Immigration, and Quarantine) walaupun keduanya diurus oleh instansi yang
sama khususnya menangani orang asing.
Kedua,
adanya larangan bagi negara pihak untuk mengembalikan pengungsi atau mereka
yang mengklaim dirinya sebagai pencari suaka ke negara asal secara paksa. Hal
ini berhubungan dengan prinsip yang mutlak harus dipatuhi oleh negara pihak
yaitu tidak mengembalikan pengungsi ke negara asal dimana ia merasa terancam
keselamatan dan kebebasannya (non-refoulement
principle). Selain yang mutlak seperti itu terdapat pula yang kondisionil
berupa pengusiran yang berarti pengembalian ke negara asal atau dapat ke negara
mana saja. Negara pihak hanya boleh melakukan pengusiran apabila dilakukan atas
pertimbangan keamanan nasional dan ketertiban umum.[4]
Contoh mengganggu ketertiban umum, pengungsi tersebut melakukan teror terhadap
sebagian warga negara pihak maka baru dapat dilakukan pengusiran. Pengusiran
baru dapat diberlakukan apabila yang bersangkutan terbukti sebagai pelaku
tindak kejahatan dai negara asalnya atau melakukan kejahatan di negara yang
dituju atau dimana ia berada.
Hukum
Pengungsi untuk beberapa hal merujuk pada Transnational
Organized Crime Convention (TOCC) telah menetapkan secara limitatif
kejahatan-kejahatan yang termasuk lingkup kejahatan transnasional
terorganisasi. Kriminalisasi terorisme tidak termasuk dalam TOCC melainkan
diatur dalam Konvensi tersendiri.[5]
Kelompok ahli tentang kejahatan transnasional dari CSCAP Study Group on Transnational menyatakan aktivitas kejahatan
transnasional salah satunya meliputi imigran ilegal (termasuk di dalamnya
persoalan pengungsi).
Dewasa
ini, potensi ancaman yang dilakukan kelompok kejahatan yang mempunyai jaringan
dengan berbagai aktivitas ilegal semakin besar. Hal demikian dipandang akan
mengganggu kehidupan masyarakat baik nasional maupun global. Oleh karena itu
masyarakat internasional dan para pakar di bidang kejahatan telah mengadakan
konfrensi di bawah bantuan PBB. Konfrensi tersebut menghasilkan Konvensi PBB
Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime)
dari tanggal 12-15 Desember 2000 di Palermo. Konvensi ini merupakan tindak
lanjut dari rekomendasi Komisi Pencegahan Kejahatan dan Dewan Ekonomi dan
Sosial (The Commission on Crime Prevention
and Criminal Justice and the Economic and Social Council). Rekomendasi
tersebut kemudian diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB yang kemudian
membentuk Komite Ad Hoc dan diadakan konfrensi mengenai kejahatan
transnasional.
Komisi
Ad Hoc mengadakan sidang di Wina dan menyatakan perlu dilakukan pembuatan
konvensi menentang kejahatan transnasional terorganisasi. Konvensi tersebut
merupakan instrumen internasional pertama yag akan menjadi tonggak sejarah
dalam rangka usaha masyarakat internasional menentang kejahatan transnasional
teroraganisasi. Sidang kedua Komisi Ad Hoc berlangsung di Wina dengan agenda
membahas draft Konvensi Pasal 1-3 dan mendiskusikan instrumen hukum tentang
perdagangan perempuan dan anak. Sidang ini juga membahas draf Protocol to Prevent, Suppress, and Punish
Trafficking in Women and Childern. Komite Ad Hoc melanjutkan sidang ketiga
di Wina dengan membahas draf konvensi TOC dan instrumen-instrumen tambahannya,
yaitu Protokol menentang manufaktur dan perdagangan gelap senjata api, suku
cadang, komponen, dan amunisinya. Sidang keempat dilaksanakan di Wina dengan
agenda meneruskan pembahasan draf konvensi serta dua instrumen tambahan. Kedua
aturan tersebut mencakup insturumen hukum menentang perdagangan perempuan dan
anak-anak (Legal Instrumen Against Traffiking
in Women and Childern) serta instrumen hukum menentang pengangkutan ilegal
migran termasuk melalui laut (Legal Instrumen
Ilegal Traffiking in The Transporting of Migrants Including by Sea).
Konvensi Palermo dilengkapi dengan dua instrumen tambahan yaitu Protokol to Prevent, Suppres, and Punish
Traffickingiin Women and Childern serta Protocol
Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air.
Instrumen
internasional lainnya terkait dengan Konvensi Tahun 1951 adalah Protokol
Perdagangan Orang (Protokol to Prevent,
Suppress, and Punish Trafficking in Women and Childern). Protokol tersebut
merupakan tambahan terhadap Konvensi TOC. Tujuan dan Protokol itu sendiri
dijelaskan pada Pasal 2 yang berbunyi:
“The purposes of this protocol: (a) To
prevent and combat trafficking in persons, paying particular attention to women
and childern, (b) To protect and assist the victims of such trafficking with
full respect for their human rights; and (c) To promote coorperation among
States Parties in order to meet those objectives.”
Adapun
tujuan dari Protokol mencakup tiga hal. Pertama mencegah dan memerangi
perdagangan orang khususnya perempuan dan anak. Kedua, melindungi dan membantu
korban perdagangan dengan memperhatikan hak-hak asasi mereka. Ketiga,
meningkatkan kerja sama antara negara peserta untuk mencapai ujuan.
Ruang
lingkup penerapannya terdapat pada Pasal 4 Protokol yang menyatakan:
“This Protocol shall apply,except as
otherwise stated herein, to the prevention, investigation, and prosecution of
the offences established in accordance with article 5 of this Protocol, where
those ofences are transnational in nature and involvean organized criminal
group, as well as to the protection of victims of such offences.”
Imtiya,
protokol ini harus diberlakukan pada pencegahan penyidikan, dan penuntutan
terhadap kejahatan yang diatur oleh Pasal 5. Kejahatan yang sifatnya
transnasional dan melibatkan kelompok kejahatan teroraganisasi, serta adanya
perlindungan terhadap korban kejahatan ini. Adapun jenis kejahatan yang
disebutkan pada Pasal 4 tersebut dijelaskan oleh Pasal 5 butir 1 Protokol yang
menyebutkan bahwa:
“Each State Party shall adopt such
legislative and other measures as may be necesary to establish as criminal
offences the conduct set forth in article 3 of this Protocol, when committed
intentionally.”
Pasal
tersebut di atas mengisyaratkan bahwa setiap negara peserta harus membuat
peraturan perundang-undangan yang menyatakan perdagangan orang sebagai suatu
kejahatan baik pada pelakuny , orang yang ikut serta maupun orang yang mengatur
atau memberikan arahan untuk melakukan kejahatan perdagangan orang.
Aspek
perdagangan orang tercakup pada Pasal 3 yang menyebutkan:
“...
Trafficking on person shall means the
reruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, bye
mans of the threat or use of force or other forms of coercion of abduction, of
fraud, of deception, of the abuse of power or of position of vulberability or
of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a
person having control over another person, for the purpose of explotation.”
Pasal
di atas menyebutkan bahwa proses terjadinya perdagangan orang, yaitu mulai dari
perekrutan, pengangkutan, pemindahan, persembunyian di pelabuhan. Pada proses
pengangkutan dari satu negara ke negara lain memerlukan dokumen perjalanan yang
dikeluarkan oleh imigrasi.
Pada
Pasal 7 meminta agar negara peserta konvensi untuk membuat peraturan
perundang-undangan yang mengizinkan korban perdagangan orang untuk tinggal baik
sementara maupun permanen dalam kasus-kasus tertentu dan negara peserta untuk
mempertimbangkan faktor kemanusiaan dan simpati kepada korban kejahatan. Hal
tersebut eksplisit dinyatakan sebagai berikut:
“in addition to taking measures pursuant to
article 6 of this Protocol each States Party shall consider adopting
legislative or other appropriate measures that permit victims of trafficiking
in persons to remain in its territory, temporarily or permanently, in
appropriate cases.”
Persoalan
di perbatasan negara-negara, Pasal 11 ayat (1) mengatur semua negara peserta
harus memperkuat pengawasan di perbatasan yang diperlukan guna mencegah dan
mendeteksi perdagangan manusia. Setiap negara peserta harus membuat peraturan
atau upaya-upaya tepat lainnya untuk mencegah alat transportasi yang
dioperasikan pengangkut komersial dari tindakan kejahatan perdagangan manusia.
Pemulangan
korban perdagangan orang diatur pada Pasal 8 ayat (1) yang meminta negara
peserta (negara asal) di mana korban adalah wara negaranya atua orang yang
mempunyai hak tinggal permanen ketika memasuki negara penerima tersebut harus
memfasilitasi dan menerima berkenaan dengan pengamanan korban, memulangkannya
tanpa penundaan berarti. Pada pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa ketika suatu
negara peserta mengambalikan korban ke negara peserta di mana korban adalah
warga negarnya atau mempunyai hak tinggal permanen, pemulangan tersebut harus
memperhatikan keselamatan koban dan status atas setiap proses hukum bahwa orang
tersebut adalah korban kejahatan. Selain itu neara peserta dapat meminta negara
peserta lain untuk menjelaskan apakah korban adalah warga negaranya atau bukan.
Demikian pula apabila korban yang tidak memiliki dokumen memadai, negara peseta
harus mengeluarkan dokumen perjalanan atau otorisasi lainnya yang diperlukan
untuk mempermudah orang itu pergi dan memasuki kembali negaranya.
Muara Enim, Oktober 2014
M. Alvi Syahrin
[1]
Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk mengurani penderitaan berlebihan
dari perperangan. Konvensi Jenewa 1949 sebagai instrumen Hukum Humaniter Internasional
dengan tegas membuat aturan-aturan pokok yang harus ditaati oleh setiap negara
yang terlibat dalam konflik bersenjata. Lebih khusus, Konvensi Jenewa III 1949
mengatur prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi tawanan perang, karena
sejatinya hubungan perang bukanlah hubungan individu melainkan hubungan negara
sebaga subjek Hukum Internasional. Konflik bersenjata internasional merupakan
pertempuran antara angkatan bersenjata dari dua atau lebih negara, karena itu
hubungan perang merupakan hubungan negara dengan negara, maka hukum perang
merupakan bagian dari Hukum Internasional. Hukum Humaniter Internasional merupakan
sejumlah prinsip dasar serta aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan
dalam situasi perang.
[2]
Hukum Humaniter sering pula disebut dengan hukum perang. Perang dalam
pengertian umum adalah suatu pertandingan antara dua negara atau lebih terutama
dengan angkatan bersenjatanya.
[3] Empat Konvensi Jenewa tentang perlindungan korban perang sebagaimana termuat
dalam “Terjemahan Konvensi Jenewa 1949 yang disusun dan diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman pada
Agustus 1999 adalah sebagai berikut: Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan
yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran (Konvensi
I), Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Bersenjata di Laut yang
Luka Sakit dan Korban Karam (Konvensi II), Konvesi Jenewa mengenai Perlakuan
Tawanan Perang (Konvensi III), Konvensi Jenewa mengenai
Perlindungan Orang Sipil di Waktu Perang (Konvensi IV). Adapun Protokol
tambahannya, yaitu Protokol Tambahan I Tahun 1977 tentang Perlindungan Korban
pada waktu Sengketa Bersenjata Internasional (Protokol Tambahan I) dan Protokol
Tambahan II Tahun 1977 tentang Perlindungan Korban pada waktu Sengketa
Bersenjata Non Internasional (Protokol
Tambahan II).
[4]
Ketertiban umum terkait dengan kepentingan umum. Secara harfiah frase
kepentingan umum mengandung arti sangat perlu atau sangat utama. Kata umum
mengandung arti keseluruhan (untuk siapa saja, khalayak manusia atau masyarakat
luas). Kepentingan umum mengandung makna kepentingan negara / bangsa dan
masyarakat luas. Dalam pendapat lain dikemukakan bahwa kepentingan umum harus
diartikan sebagai kepentingan di semua aspek dalam bernegara, berbangsa, dan
bermasyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dan yang menyangkut kepentingan
hajat hidup masyarakat luas. Pengertian “kepentingan umum” menurut ilmu bahasa
tidak dapat dijadikan pengertian yuridis. Namun demikian, tetap dapat dijadikan
refrensi untuk menemukan pengertian yang diinginkan. Hal demikian dapat erjadi
sebab dalam ilmu hukum (di dalam proses pembentukannya) tidak dapat berdiri
sendiri dan berjalan lepas dari ilmu sosial lainnya.
[5]
Terorisme telah diatur tersendiri dalam International
Convention for The Suppress of Terrorist Bombing dan International Convention
forT he Suppression of The Financing of Terorism. Indonesia telah menjadi
peserta pada dua konvensi tersebut sejak 23 Maret 2006.
No comments:
Post a Comment