Wednesday, November 19, 2014

IMIGRAN ILEGAL, MIGRASI ATAU EKSPANSI?

Migrasi Internasional
 
Membicarakan Hukum Pengungsi Internasional harus juga dikaitkan dengan konteks Hukum Imigrasi Internasional. Masalah migrasi internasional telah menjadi persoalan yang dihadapi oleh setiap negara, baik negara berkembang maupun negara maju. Banyak negara maju membuat suatu parameter sendiri, yang kemudian menjadi standar universal dalam menghadapi persoalan mengenai migrasi internasional, di antaranya dari aspek hukum, ekonomi, sosial dan hak asasi manusia. Hal tersebut merupakan paradigma baru dalam mengatur persoalan migrasi agar tidak bersinggungan antar negara yang sama menghadapi persoalan mengenai migrasi internasional.
 
Pada umumnya negara-negara di dunia berpandangan bahwa masalah migrasi internasional tidak bisa diselesaikan secara parsial. Masalah ini harus dipecahkan dengan pola kerja sama internasional dengan mempertimbangkan secara kompleks.[1] Migrasi internasional tidak sekedar masalah perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain, tetapi juga menyangkut dampak sosial-politik, status hukum, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, diperlukan manajemen migrasi masing-masing negara baik secara teknis birokrasi, maupun dari aspek hukum.


Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain. Ada dua dimensi penting dalam penelaahan migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial/locus) dan dimensi waktu (tempus). Jenis-jenis migrasi mencakup dua bidang. Pertama, migrasi internasional, yaitu perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain. Migrasi ini lazim dilakukan oleh para pengungsi dan para pencari suaka internasional yang melewati dan menduduki suatu negara tertentu. Kedua, migrasi internal, yaitu perpindahan yang terjadi dalam satu negara, misalnya antar provinsi, antar kota/kabupaten, migrasi perdesaan ke perkotaaan atau suatu administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat kabupaten, seperti kecamatan, kelurahan, dan seterusnya. Jenis migrasi ini terjadi antar unit administratif dalam satu negara. Seseorang dikatakan migran, jika dia tinggal di tempat yang baru atau berniat tinggal di tempat yang bari itu paling lama enam bulan lamanya.[2]
Terkait dengan migrasi internasional, maka hadirlah Hukum Imigrasi Internasional yang mengatur lalu lintas atau pergerakan manusia dari satu negara ke negara lain. Pengaturan lalu lintas penduduk tersebut berfokus pada pengawasan terhadap orang asing yang berada di negaranya. Pada pokoknya keimigrasian mengatur warga negara suatu negara saat keluar dari negaranya serta mengatur pula bagaimana orang dapat masuk ke negaranya. Hukum Imigrasi Internasional mencakup pula tata cara keimigrasian antar negara atau yang berlaku di negara-negara pada umumnya.

Urgensi Separatisme Instrumen Hukum
UNHCR dalam rekomendasinya, menyatakan bahwa perlu dilakukan pemisahan regulasi antara Undang-Undang tentang Keimigrasian dan (Rancangan) Undang-Undang tentang Perlindungan Pencari Suaka[3]. Pembedaan menjadi dua undang-undang yang terpisah ini didasarkan pada sifat yang berbeda dari perlindungan pengungsi jika dibandigkan dengan aturan-aturan umum dalam keimigrasian.
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tidak mengenal istilah pencari suaka atau pengungsi. Singkatnya, dalam undang-undang tersebut hanya mengatur keabsahan soal imigran legal dan ilegal. Terminologi pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia, harus dimaknai pada tidak didasarkan atas dokumen perjalanan dan dokumen keimigrasian yang sah, serta tidak melewati tempat pemeriksaan keimigrasian yang telah ditentukan, sehingga pada akhirnya mereka akan dikategorikan sebagai imigran ilegal.
Lain halnya, apabila regulasinya dibuat secara terpisah, dimana untuk pengaturan hukum terhadap pencari suaka dan pengungsi diatur secara khusus dalam aturan tertentu. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri telah mengamanatkan agar dibentuk Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi. Namun, hingga saat ini Perpres tersebut masih terus dilakukan pembahasan, sehingga ketentuan terhadap pencari suaka dan pengungsi akan tetap tunduk pada ketentuan keimigrasian. 
Menurut UU No. 6 Tahun 2011, status dan keberadaan imigran ilegal di Indonesia harus dilakukan tindakan administratif keimigrasian, ataupun tindak pidana keimigrasian, sesuai dengan derajat pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan. Prinsip-prinsip ini merupakan norma hukum baku, yang apabila diterapkan maka akan bertentangan dengan semangat perlindungan HAM dan prinsip kemanusiaan yang hendak diberlakukan bagi para pencari suaka dan pengungsi. Oleh karenanya, urgensi pemisahan regulasi perlindungan pencari suaka dan pengungsi menjadi suatu keniscayaan.
Negara-negara yang telah melakukan pemisahan regulasi tersebut, di antaranya Portugal, Brazil, dan Mozambique. Pemisahan instrumen perlindungan hukum bagi pencari suaka dan pengungsi dari aturan-aturan umum imigrasi, lebih kepada penekanan aspek kemanusiaan dan perlindungan khusus yang harus diberikan oleh negara dibandingkan dengan bentuk dan pola migrasi lainnya.
Penanganan Imigran Ilegal
Penyelesaian masalah imigran ilegal di wilayah Indonesia, khususnya yang mengaku sebagai pencari suaka (asylum seeker) dan pengungsi (refugee) semakin sering terjadi. Masuknya imigran ilegal ke wilayah Indonesia yang jumlahnya cenderung meningkat, dapat menimbulkan gangguan kehidupan sosial, politik, keamanan, dan ketertiban masyarakat. Tidak menutup kemungkinan mereka disusupi oleh kegiatan terorisme internasional, people smuggling, dan human trafficking atau kegiatan kriminal lainnya. Untuk mencegah terjadinya hal negatif yang mengancam kedaulatan negara tersebut, maka penanganan imigrai ilegal ini harus dilakukan dengan komprehensif berdasarkan asas kebijakan selektif (selective policy principle) melalui pengamanan (maximum security) di setiap perbatasan wilayah negara Indonesia.
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri merupakan institusi terdepan dalam menangani kebijakan bagi orang asing yang menyatakan diri sebagai pencari suaka atau pengungsi. Namun secara teknis di lapangan, Direktorat Jenderal Imigrasi mejadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan dan pintu gerbang negara (bhumi pura wira wibawa) serta penegakan hukum keimigrasian terhadap lalu lintas orang (asing) yang keluar masuk wilayah Indonesia, baik itu secara sah ataupun tidak sah tanpa membedakan status pencari suaka, pengungsi, ataupun bukan.




Secara internasional, penanganan pengungsi diatur dalam Konvensi tentang Status Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta Protokol-nya 31 Januari 1967. Namun, sampai dengan saat ini Konvensi tersebut beserta Protokolnya belum diratifikasi. Begitu juga, Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi sebagai pelaksanaan mandat dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri belum disahkan. Aturan yang diterapkan kepada mereka pencari suaka dan pengungsi sampai saat ini masih terbatas pada UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Konsekuensi logis dan yuridisnya adalah mereka dikategorikan sebagai orang asing yang melanggar hukum keimigrasian Indonesia dan keberadaannya di Indonesia adalah ilegal. Oleh karena itu, berdasarkan norma hukum yang berlaku, mereka harus ditolak masuk ke Indonesia. Namun, bagi mereka yang sudah terlanjur berada di Indonesia, segera dikeluarkan dari wilayah Indonesia, baik itu dipulangkan kembali ke negara asal (refoulment principle) ataupun tindakan pen-deportasi-an.
Namun, penerapan hukum untuk menolak dan mengeluarkan imigran ilegal harus juga mempertimbangkan aspek hak asasi manusia, seperti apa yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 dan instrumen hukum internasional yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Penolakan orang asing untuk masuk ke Indonesia dilakukan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) dengan mengembalikan mereka ke bandara keberangkatan terakhir sebelum masuk ke Indonesia. Bagi mereka yang sudah terlanjur masuk dan berada di wilayah Indonesia, maka dilakukan tindakan deportasi ke negara asalnya, atau dipindahkan secara sukarela ke negara asal atau negara pihak ketiga melalui proses yang melibatkan United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR). Selama menunggu proses deportasi, mereka ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi atau tempat lain yang ditentukan Imigrasi. Sejauh ini sebagian dari para imigran ilegal ditempatkan di di 13 Rumah Detensi Imigrasi dan sebagian di penampungan di luar Rumah Detensi Imigrasi yang difasilitasi oleh UNHCR dan Internasional Organization for Migration (IOM) yang ditetapkan dan disupervisi oleh Kantor Imigrasi.
Ekspansi Terstruktur
Minimnya sarana dan prasarana, sumber daya manusia, dan anggaran merupakan tantangan bagi jajaran imigrasi dalam melakukan strategi penanganan imigran ilegal di wilayah Indonesia. Optimalisasi penanganan imigrai ilegal dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi melalui koordinasi, baik dalam lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, maupun antar instansi terkait serta lembaga resmi yang menangani pengungsi seperti UNHCR dan IOM.
Beragam upaya telah dilakukan guna menanggulangi ekspansi imigran ilegal yang masuk ke wilayah Indonesia. Upaya pre-emptif, preventif, dan represif terus dilakukan secara stimultan. Direktorat Jenderal Imigrasi (Kementerian Hukum dan HAM) sebagai institusi yang berhadapan langsung dengan para imigran ilegal telah mengeluarkan pelbagai instrumen hukum dalam menghadapi persoalan tersebut, di antaranya: Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: F-IL.01.10-1297 tentang Penanganan Imigran Ilegal dan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1487.UM.08.05 Tahun 2010 yang ditandatangani pada tanggal 17 September 2010.
Namun, usaha yang dilakukan tidak sebanding dengan semakin banyaknya keberadaan imigran ilegal di Indonesia, baik itu mengaku sebagai pencari suaka ataupun berstatus pengungsi. Kelebihan kapasitas di hampir semua Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) atau Ruang Detensi Imigrasi, menjadi tolak ukur bahwa angka imigran ilegal di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Penempatan mereka di luar Rudenim, yaitu di community house, atau tempat penampungan sementara yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah setempat, tidak dapat menyelesaikan persoalan. Belum lagi biaya hidup yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat yang kondisi ekonominya semakin terjepit akibat dampak kenaikan harga BBM.
Rudenim merupakan unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keimigrasian untuk menampung sementara para Deteni yang akan dikenakan tindakan administrasi keimigrasian. Namun faktanya, mayoritas penghuni Rudenim adalah mereka para pengungsi dan pencari suaka yang hendak menuju Australia. Indonesialah yang kemudian dijadikan sebagai negara transit, bahkan tidak mungkin mayoritas dari mereka memang sedari awal menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan, mengingat Australia kini lebih selektif bagi para “manusia perahu”.
Kedatangan para imigran ke Austtralia dalam jumlah besar kini telah dirasakan mengganggu oleh pemerintah Australia. Menurut ahli kependudukan Australia, pertumbuhan penduduk Australia bukan dipicu oleh angka kelahiran, melainkan karena migrasi penduduk yang daang ke Australia. Diperkirakan migrasi telah menyumbang pertumbuhan penduduk sekitar 60% sedangkan proporsi kelahiran justru menurun dari 60% menjadi 40%.
Menurut Australian Department of Immigration and Citizenship, dalam empat tahun terakhir terjadi peningkatan pencari suaka yang kebanyakan datang menggunakan perahu melewati perairan Indonesia. Pada tahun 2010 ada sebanyak 6.535 orang yang masuk ke wilayah Australia, kemudian pada tahun 2011 sekitar 4.565 orang, lalu pada tahun 2012 menjadi 17.202, dan melonjak pada tahun 2013 yang mencapi kurang lebih 20.000 orang lebih.
Politik hukum keimigrasian Australia kini tidak memungkinkan bagi para pencari suaka dan pengungsi untuk dapat masuk ke wilayah kedaulatan Australia. Kebijakan turn back the boat dan penempatan ke negara ketiga (Papua Nugini dan Selandia Baru) bagi para pencari suaka pemberian visa sementara selama tiga tahun (bukan izin menetap), dan sebaginya, merupakan bagian dari janji Tony Abbot dalam kampanye-nya dalam pemilihan Perdana Menteri Australia beberapa waktu lalu. Bahkan reallitas, Australia kini sangat selektif bahkan terkesan membatasi masuknya para imigran, baik itu yand datang secara legal, ataupun ilegal (manusia perahu). Kebijakan-kebijakan tidak populer Australia ini tentu akan merugikan Indonesia yang berdampak pada stabilitas dan kedaulatan negara.


Fenomena demikian, akan menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Indonesia, khususnya Direktorat Jenderal Imigrasi yang akan berhadapan langsung dengan para imigran ilegal. Sampai saat ini, Indonesia bukanlah negara yang meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta Protokol-nya 31 Januari 1967. Konsekuensi logis dan yuridisnya, Indonesia tidak dibebani tanggung jawab apapun terhadap keberadaan para pencari suaka dan pengungsi. Lain halnya, dengan Australia yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Dengan beralasan atas nama HAM, rasanya sulit untuk diterima dengan akal sehat, agar Indonesia berkewajiban atas penanganan imigran ilegal, mengingat Indonesia bukanlah negara dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi (non welfare state). Oleh karena itu, keberadaan imigran ilegal di Indonesia pastinya akan membawa dampak bagi tatanan nilai dan kehidupan bangsa Indonesia, yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan, serta potensi keimigrasian.
Dampak secara ideologi. Keberadaan imigran ilegal (baca: pencari suaka dan pengungsi) di Indonesia, akan berdampak pada falsafah dan pandangan hidup negara Indonesia. Perbedaan latar belakang bangsa, bahasa, dan budaya tentu berpotensi merubah cara pandang dam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai bangsa yang selama ini menjadi kesepakatan bersama, akan tercancam apabila pola dan perilaku yang dibawa oleh para imigran ilegal tidak sesuai dengan Pancasila sebagai ide bangsa (staat idee).
Dampak secara politik. Dengan semakin banyaknya manusia perahu yang melintasi perairan Indonesia, lalu semakin maraknya kasus penyelundupan manusia dan perdagangan orang yang menjadikan Australia sebagai negara tujuan, maka menyebabkan hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia menjadi tidak harmonis. Belum lagi adanya kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap pemerintahan Indonesia, akan membuat situasi menjadi memanas. Roll back a boat policy dan politik hukum keimigrasian yang tidak populer dari Australia terhadap para imigran (legal dan ilegal), akan memicu ketidakharmonisan hubungan di antara kedua negara, bahkan bagi negara pihak ketiga penerima pencari suaka dan pengunsi (Papua Nugini dan Selandia Baru).
Dampak secara ekonomi. Para imigran ilegal, baik itu pengungsi ataupun pencari suaka, bahkan yang melibatkan jaringan penyelundupan manusia, ataupun perdagangan orang sekalipun, yang masuk wilayah Indonesia secara tidak sah telah mempengaruhi pendapatan negara dari sekor pemberian visa. Dalam kasus ini negara akan dirugikan, dimana setiap orang asing yang masuk wilayah Indonesia harus menggunakan visa (kecuali bagi negara tertentu) , sehingga akan mengurangi devisa negara.
Dampak secara sosial budaya. Adanya perbedaan fisik, bahasa, dan budaya akan mempengaruhi sistem sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Mayoritas pencari suaka dan pegungsi yang masuk ke wilayah Indonesia adalah berasal dari negara kawasan asia selatan, asia tengah, dan asia barat, dan afrika yang merupakan negara rawan konflik. Perilaku mereka cenderung agresif dan sukar diatur. Hal ini tentu akan meresahkan warga sekitar, yang daerahnya dijadikan tempat penampungan sementara diluar Rudenim. Belum lagi pengaruh agama dan kepercayaan yang dibawa dari negara asal. Kemudian kecemburuan sosial yang mungkin akan timbul akibat adanya perlakuan berbeda (baca: eksklusif) yang diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap pencari suaka dan pengungsi. 
Dampak keamanan pertahanan dan keamanan nasional. Menurut  prinsip hukum UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, bagi Orang asing yang masuk wilayah Indonesia harus memiliki dokumen perjalanan dan dokumen keimigrasian yang sah dan masih berlaku, serta melewati tempat pemeriksaan keimigrasian yang telah ditentukan oleh Keputusan Menteri. Pencari suaka dan pengungsi tidak memenuhi prinsip hukum tersebut, yang mengakibatkan mereka masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal. Negara Indonesia adalah negara berdaulat. Lantas, terhadap praktek dan perilaku tersebut apakah Indonesia masih dapat dikatakan sebagai negara berdaulat? Potensi kerawasan nasional menjadi ancaman nyata, mengingat eksodus imigran ilegal setiap tahun semakin meningkat.
Dampak potensi keimigrasian. Pola dan praktik ekspansi imigran ilegal ke Indonesia membawa konsekuensi keimigrasian tersendiri, terutama pada aspek pelanggaran dan kejahatan keimigrasian, yang meliputi pemalsuan dokumen perjalanan (paspor), pemalsuan visa, izin tinggal, bahkan penyalahgunaan izin tinggal. Modus-modus demikian harus menjadi perhatian serius bagi Imigrasi Indonesia, guna mengantisipasi masuknya imigran ilegal ke wilayah Indonesia
Dampak dampak tersebut diatas, harus menjadi fokus dan perhatian bersama. Indonesia merupakan negara strategis bagi para imigran ilegal (baca: pencari suaka dan pengungsi). Sehingga menjadi suatu fakta tak terbantahkan, apabila Indonesia kini dijadikan sebagai negara tujuan imigran ilegal. Menjadikan Indonesia sebagai negara transit untuk ke Australia, hanya dalih dan modus belaka. Apalagi Australia saat ini sangat selektif bahkan secara tegas sudah menolak kehadiran para imigran, baik itu legal dan ilegal. Oleh karena itu, imigran ilegal memanfaatkan kelemahan posisi Indonesia tersebut, agar dapat masuk ke wilayah Indonesia atas dasar HAM. Inilah yang menjadi tantangan serius yang harus dihadapi, khususnya bagi Imigrasi Indonesia, karena baik buruknya wibawa dan citra negara, merupakan tugas utama dalam menjaga kedaulatan negara.
Muara Enim, November 2014
M. Alvi Syahrin


[1] Ahmad Zaini, Migrasi Internasional dan Kebijakan Perbatasan AS
[2] Chotib, Migrasi: Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
[3] Hingga saat ini, pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi terus dilakukan. Pembahasan ini melibatkan beberapa instantsi terkaitt, di antaranya Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian, TNI, dan sebagainya, yang dikomandoi oleh Kementerian Politik, Hukum dan Kemananan.

No comments:

Post a Comment