Teori Terjadinya Negara
Salah satu unsur yang paling hakiki
dalam suatu negara adalah warga negara. Negara ada demi warga negaranya. Terutama
jika kita mengacu kepada paham demokrasi, yang dianut oleh pelbagai negara
modern dewasa ini. Eksistensi negara adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat.
George
Jellinek sebagaimana
dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Staatslehre (Ilmu
Negara Umum), menyatakan bahwa hubungan Negara dan warga negara dapat dilihat
dari Teori Terjadinya Negara secara Primer (Primaire
Staats Wording). Terjadinya negara secara primer adalah teori yang membahas
tentang terjadinya negara yang tidak dihubungkan dengan negara yang telah ada
sebelumnya. Menurut teori ini ada empat fase perkembangan negara, yaitu fase genootshap
(genossenschaft), fase reich (rijk), fase staat,
fase democratische natie dan dictatuur (dictatum).
Pada fase genootshap (genossenschaft)
merupakan perkelompokan dari orang-orang yang menggabungkan dirinya untuk
kepentingan bersama, dan disandarkan pada persamaan. Mereka menyadari bahwa
mereka mempunyai kepentingan yang sama dan kepemimpinan dipilih dari yang
terkemuka diantara yang sama. Jadi yang terpenting pada masa ini adalah unsur
warga negara.
Fase reich (rijk)
merupakan kelompok orang-orang yang menggabungkan diri dari pada fase genootshap
(genossenschaft), dan telah sadar akan hak milik atas tanah,
sehingga muncullah tuan yang berkuasa atas tanah. Jadi yang terpenting pada
masa ini adalah unsur wilayah.
Kemudian pada fase staat,
masyarakat telah sadar dari tidak bernegara menjadi bernegara dan mereka telah
sadar bahwa mereka berada pada satu kelompok. Jadi yang penting pada masa ini
adalah ketiga unsur dari negara yaitu bangsa, wilayah dan pemerintahan yang
berdaulat sudah terpenuhi.
Selanjutnya phase democratische
natie, merupakan perkembangan dari fase staat, dimana democratische
natie ini terbentuk atas dasar kesadaran demokrasi nasional, kesadaran akan
adanya kedaulatan ditangan rakyat. Mengenai fase dictatuur timbul dua
pendapat, yaitu bentuk dictatuur merupakan perkembangan daripada democratische
natie. Selain itu pendapat lain menyatakan bahwa bentuk dictatuur
bukan merupakan perkembangan daripada democratische natie tetapi
merupakan variasi atau penyelewengan daripada democratische natie.
Warga Negara sebagai Unsur Negara
Warga negara adalah anggota negara.
Sebagai anggota suatu negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang
khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang
bersifat timbal balik terhadap negaranya. Hal inilah yang membedakan antara
warga negara dan orang asing.
Dengan demikian masalah kewarganegaraan
ini jelas merupakan salah satu masalah yang bersifat prinsipal dalam kehidupan
bernegara. Tidaklah mungkin suatu negara dapat berdiri tanpa adanya warga
negara, begitu juga sebaliknya. Hal ini secara jelas dikemukakan dalam Pasal 1 Montevideo Convention 1933: On the Rights and Duties of States, yang
menyatakan:
“The
state as a person of international law should possess the folowing
qualifications: a permanent population, a defined territory, a government, a
capacity to enter into relations with other states.” (“Negara sebagai
subjek hukum internasional harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: rakyat
yang permanen, wilayah yang tertentu, pemerintahan, kapasitas untuk terjun ke
dalam hubungan negara-negara lain”)
Adalah hak masing-masing negara untuk
menentukan siapa saja yang dapat menjadi warga negaranya. Dalam hal ini setiap
negara berdaulat, hampir tidak ada pembatasan. Namun demikian suatu negara
harus tetap menghormati prinsip-prinsip umum hukum internasional. Sudargo
Gautama memberi beberapa contoh sebagai berikut: (i) Tidak masuk akal jika
Indonesia menetapkan bahwa setiap orang Eskimo di Kutub Utara adalah Warga
Negara Indonesia; dan (ii) Penetapan kewarganegaraan atas dasar agama
semata-mata atauapun kesamaan bahasa atau warna kulit, juga bertentangan dengan
prinsip hukum internasional seperti termaksud di atas.
Sebaliknya, suatu negara juga tidak
dapat menentukan siapa yang merupakan warga negara dari negara lain. Sebab ini
berarti melanggar kedaulatan negara lain.
Korelasi (Hukum) Kewarganegaraan dan
(Hukum) Keimigrasian
Setelah semua unsur negara terpenuhi,
maka terbentuklah apa yang disebut sebagai negara. Kemudian dalam
perjalanannya, timbul persoalan siapa yang disebut sebagai warga negara,
bagaimana prosedur memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan, bagaimana
prosedur memperoleh kewarganegaraan yang telah hilang, dan lain sebagainya.
Pada tahapan ini lah maka diperlukan instumen hukum kewarganegaraan yang kini
diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
yang sebelumnya menggantikan UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaran
Republik Indonesia.
Dalam konteks internasional dan derasnya
arus globalisasi, maka lalu lintas masuk dan keluar warga negara dari satu
negara ke negara lain (imigrasi) menjadi suatu keniscayaan. Sebagai negara yang
berdaulat, setiap negara tentu memiliki standar hukum nasional-nya
masing-masing. Pada tahap inilah, maka Hukum Keimigrasian hadir untuk
mengakomodir persoalan itu. Masalah keimigrasian kini telah diatur dalam UU No.
6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yang menggantikan UU No. 9 Tahun 1992
tentang Keimigrasian.
Melihat diskursus diatas, kemudian
timbulah korelasi yang erat antara (hukum) kewarganegaraan dan (hukum) keimigrasian.
Misalnya, terkait dengan masalah persyaratan untuk menjadi warga negara
Indonesia, hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah suatu
negara, pengawasan orang asing di wilayah negara yang bersangkutan, dan
sebagainya. Negara dalam hal ini berperan besar dalam mengatur lalu lintas
orang, terutama dihubungkan dengan pembedaan antara warga negaranya dan orang
asing. Warga negara mempunyai hak untuk keluar-masuk negaranya. Sementara orang
asing praktis hanya berhak untuk keluar. Demikian pula hak dan kewajiban
seorang warga negara di negaranya, akan jauh berbeda dari hak dan kewajiban
orang asing. Atas dasar itu, berbicara tentang masalah kewarganegaraan tentu
akan tidak terlepas dari masalah keimigrasian pula.
Misalnya terkait dengan persoalan lalu
lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Republik Indonesia, maka kita perlu
membedakan mana seorang warga negara Indonesia dan warga negara Asing. Pasal 2
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyatakan bahwa: “Setiap warga negara
Indonesia berhak melakukan perjalanan keluar dan masuk Wilayah Indonesia”.
Namun, memahami norma hukum tersebut tidak dapat dilakukan secara parsial.
Perlu juga dipahami apa yang dimaksud dengan warga negara Indonesia terlebih
dahulu. Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
menyebutkan: “Yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang
sebagai warga negara”. Lalu yang menjadi pertanyaan, siapakah yang dimaksud
dengan “orang-orang bangsa Indonesia asli’? Apakah mereka yang menetap terlama
di suatu daerah tertentu? Ataukah mereka yang disebut sebagai kelompok suku
pedalaman? Penjelasan Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 menjelaskan sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia
yang menjad warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Lebih lanjut, Pasal 4 UU No. 12
Tahun 2006 juga menentukan siapa-siapa saja yang disebut sebagai warga negara
Indonesia.
Selanjutnya, telah diatur bahwa setiap
warga negara Asing dapat diberikan izin tinggal tetap untuk jangka waktu 5
(lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk waktu yang tidak terbatas sepanjang
izinnya tidak dibatalkan oleh Menteri (Hukum dan HAM RI) atau Pejabat Imigrasi
yang ditunjuk (vide Pasal 59 ayat (1)
jo. Pasal 55 UU No. 6 Tahun 2011). Dalam perjalanan, izin tinggal tetap
tersebut dapat berakhir demi hukum, apabila yang bersangkutan telah memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia (vide Pasal
62 ayat (1) huruf c UU No. 6 Tahun 2011). Ketentuan norma UU No. 6 Tahun 2011
tersebut diatas memiliki korelasi UU No. 12 Tahun 2006, khususnya terkait
dengan masalah pewarganegaraan (vide
Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2006). Berdasarkan Pasal 9 huruf b UU No. 12 Tahun
2006, ditentukan bahwa: “Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon
(warga negara asing) jika memenuhi persyaratan pada waktu mengajukan permohonan
sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5
(lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak
berturut-turut”. Oleh karenanya, berbicara persyaratan permohonan
pewarganegaraan maka akan berbicara juga masalah izin tinggal tetap pemohon
yang bersangkutan, apakah sah atau tidak menurut hukum. Kedua norma tersebut
memiliki keterkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Non-Eksklusivitas Hukum Keimigrasian
Dalam persinggungan norma hukum
demikian, maka dapat dimengerti bahwa eksistensi antara UU No. 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian dan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia tidak dapat berdiri sendiri. Keduanya memiliki hubungan norma yang
bersinggungan. Pemahaman struktur, substansi, dan konstruksi hukum, harus
ditempatkan dalam konteks hukum progresif, yang memandang hukum dalam banyak
sisi. Satjipto Rahardjo (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro)
menegaskan bahwa hukum progresif menghendaki agar hukum tidak bersifat otonom,
tapi heteronom. Hukum harus berkaitan dengan anasir-anasir bidang hukum
lainnya, bahkan ilmu sosial sekalipun. Sehingga dalam kesimpulan penulis, Hukum
Keimigrasian (baca: UU No. 6 Tahun 2011) bukanlah bidang hukum yang eksklusif
dan berdiri sendiri. Hukum Keimigrasian harus ditempatkan sebagai sub-ordinasi
dari sistem hukum nasional, sehingga di antara sub-sub hukum tersebut akan
memiliki keterkaitan satu sama lain. (alvi)
Muara Enim, April 2014
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment