“Kami Imigrasi Indonesia. Siap
melaksanakan tugas. Pengamanan negara dan penegakan hukum. Berbakti pada
masyarakat. Berwibawa tegas dan ramah dalam memenuhi kewajiban. Menjaga pintu gerbang
negara tuk mencapai adil dan makmur. Bhumi Pura Wira Wibawa. Sasanti Imigrasi
Indonesia. Berlandaskan dasar negara. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45.
Hadapilah tantangan dan cobaan. Menghambat jalannya pembangunan. Mengabdi
dengan tulus dan suci. Demi kejayaan Indonesia”
(Mars Imigrasi
Indonesia)
Pelayanan Prima
Imigrasi Indonesia yang berinduk pada
Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi) terus berupaya menjadikan lembaga ini menjadi lembaga kredibel di mata masyarakat dan dunia. Segala aspek
terus dilakukan pembenahan. Tentu yang paling menjadi sorotan adalah kinerja
pada aspek pelayanan Keimigrasian, dalam hal ini penerbitan Dokumen Perjalanan
Republik Indonesia (DPRI) yaitu Paspor RI. Untuk mencapai perbaikan tersebut
maka dikeluarkanlah beberapa kebijakan diantaranya penerbitan paspor selama
satu hari kerja (one day service) di
Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Barat dan Jakarta Selatan, penerbitan paspor cukup sekali jalan (one stop service) di beberapa Kantor Imigrasi Kelasi I Khusus, pembayaran yang kini
dilakukan di BNI, dan ketentuan yang melarang setiap petugas loket menggunakan
handphone selama bertugas. Kebijakan ini dikeluarkan agar dapat memberikan
pelayanan prima bagi masyarakat.
Imigrasi saat ini identik dengan
pelayanan. Bahkan tidak sedikit masyarakat mengenal Kantor Imigrasi hanya
sebatas tempat pembuatan paspor. Tentu pemahaman ini tidak salah dan tidak
sepenuhnya benar. Para pemangku jabatan di Ditjen Imigrasi pasti menyadari
bahwa pelayanan kepada masyarakat harus diutamakan. Apalagi selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa masih banyak pungutan liar yang dilakukan
oleh petugas Imigrasi dalam proses penerbitan Paspor RI. Namun sekarang kondisinya berbeda. Masyarakat yang kritis, akses pengaduan yang kian mudah, belum
lagi adanya pengawasan internal dan eksternal, membuat Kantor Imigrasi harus
memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Disorientasi Fungsi Imigrasi Indonesia
Namun di saat pelayanan yang selalu
diutamakan untuk dilakukan pembenahan, kita selalu lupa bahwa fungsi utama dari
Imigrasi adalah menjaga kedaulatan negara. Hal ini setidaknya dapat kita lihat
pada syair Mars Imigrasi Indonesia, bahwa tugas Imigrasi Indonesia adalah
pengamanan negara, penegakan hukum, dan berbakti pada masyarakat. Jelas kita
pahami pengamanan negara dan penegakan hukum lah yang seharusnya menjadi
fokus utama dari Imigrasi, bukan pelayanan. “Imigrasi harus dikembalikan kepada
fitrahnya dalam menjaga pintu gerbang negara”, ujar Intji Diqa Pribadi (Kasi Lalintuskim Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim).
Lebih lanjut, Ia menyatakan bahwa
pada dasarnya pengamanan negara juga merupakan bentuk dari pengabdian Imigrasi
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. “Bukankah melaksanakan pengamanan
negara juga merupakan bentuk pelayanan kepada masyarakat?”, tegas Intji Diqa
Pribadi saat ditemui di ruangan kerjanya.
Secara yuridis, Pasal 1 angka (1) UU No.
6 Tahun 2011 menegaskan sebagai berikut:“Keimigrasian
adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia
serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara”.
Dengan demikian jelas bahwa beban orientasi fungsi Imigrasi Indonesia lebih
kepada menjaga pintu gerbang negara dari setiap potensi ancaman orang asing.
Sehingga fungsi pengawasan harus diutamakan, demi tercapainya kedaulatan
negara. Negara yang berdaulat merupakan cerminan berfungsinya Imigrasi di
negara tersebut.
Sepertinya kita telah lupa bahwa banyak
Imigrasi di dunia kini fokus kepada sisi pengamanan negara, layaknya Australia
yang selalu reaktif dan antisipatif terhadap datangnya imigran ilegal dan
pencari suaka. Lain halnya di Indonesia yang masih mengandalkan pelayanan
sebagai fungsi utama Imigrasi. Sehingga memberi kesan, tugas Imigrasi
hanya sebatas membuat Paspor RI. Padahal fungsi pelayanan merupakan satu dari
bagian besar rangkaian tugas pokok yang harus diemban oleh Imigrasi Indonesia.
“Apabila kita buat perbandingan, maka persentase antara penegakan hukum (baca:
pengamanan negara) dan pelayanan adalah 70% berbanding 30%, bukan malah
sebaliknya”, ujar Mahmudi (Kasubsi Infokim Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim).
Kebijakan one day service dan one stop service dalam perpanjangan paspor dan penerbitan paspor baru akan menyimpan permasalahan
tersendiri. Masyarakat mungkin akan dipermudah dalam urusan pelayanan. Namun,
bagi pihak Imigrasi dapat saja akan menimbulkan permasalahan baru. Kesulitan terbesar ada pada data kependudukan yang belum akurat, tepat, dan jelas. Walaupun sudah menerapkan sistem e-KTP, seorang warga negara Indonesia dapat saja memiliki 2 (dua) E-KTP yang berbeda. Temuan-temuan tersebut mungkin saja terjadi, mengingat sistem kependudukan kita belum terintegrasi dengan baik. Konsekuensi logisnya, hal ini dapat menyulitkan tugas dan fungsi Imigrasi sebagai "sektor hilir" dalam menerbitkan paspor.
Selanjutnya, bagaimana ketika telah diterbitkannya paspor dalam satu hari tersebut, kemudian ada surat permohonan dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, atau dari KPK yang meminta kepada Imigrasi untuk melakukan pencegahan berpergian keluar negeri bagi pihak pemegang paspor tersebut dikarenakan sedang terlibat kasus tindak pidana tertentu? Apabila ini terjadi, tentu pihak Imigrasi yang akan disalahkan. Yang perlu menjadi perhatian bersama, Imigrasi bukanlah lembaga yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan tidak menekankan pada target dalam menjual produknya (baca: penerbitan paspor). Hal ini berbeda seperti lembaga perbankan ataupun BUMN yang menjual suatu produk untuk mengejar keuntungan. Oleh karena itu, diperlukan prinsip kehati-hatian dalam penerbitan paspor. Makna dari pelayanan prima tidak hanya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, tetapi juga harus memperhatikan aspek hukum lain di dalamnya.
Selanjutnya, bagaimana ketika telah diterbitkannya paspor dalam satu hari tersebut, kemudian ada surat permohonan dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, atau dari KPK yang meminta kepada Imigrasi untuk melakukan pencegahan berpergian keluar negeri bagi pihak pemegang paspor tersebut dikarenakan sedang terlibat kasus tindak pidana tertentu? Apabila ini terjadi, tentu pihak Imigrasi yang akan disalahkan. Yang perlu menjadi perhatian bersama, Imigrasi bukanlah lembaga yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan tidak menekankan pada target dalam menjual produknya (baca: penerbitan paspor). Hal ini berbeda seperti lembaga perbankan ataupun BUMN yang menjual suatu produk untuk mengejar keuntungan. Oleh karena itu, diperlukan prinsip kehati-hatian dalam penerbitan paspor. Makna dari pelayanan prima tidak hanya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, tetapi juga harus memperhatikan aspek hukum lain di dalamnya.
Praktisnya, pemangku jabatan di
Ditjen Imigrasi secara sadar atau tidak sadar telah terjebak pada fungsi pelayanan semata. Apakah karena
pelayanan telah menjadi sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga kita
lalai dalam menjalankan fungsi pengamanan negara dan penegakan hukum? Merujuk
pada Tri Fungsi Imigrasi, yaitu (i) penegakan hukum, (ii) pelayanan masyarakat,
(iii) aparat keamanan dan fasilitator pembangunan, semakin jelas bahwa fungsi
utama Imigrasi bukanlah pelayanan, tetapi penegakan hukum. Lagi-lagi kita
terjebak pada pemahaman yang keliru.
Perbandingan di Negara Lain
Yang perlu diperhatikan, sebagian besar
negara-negara di dunia tidak lagi menjadikan Imigrasi sebagai Instansi yang
menerbitkan paspor. Untuk Paspor China diterbitkan oleh Ministry of Foreign Afairs of the People’s Republic of China,
Paspor Korea diterbitkan oleh Ministry of
Foreign Affairs and Trade, Paspor Thailand dan Jepang diterbitkan oleh
lembaga yang sama, yaitu Ministry of
Foreign Affairs, Paspor Singapura diterbitkan oleh Ministry of Home Affairs, dan masih banyak lagi. Lain halnya di
Indonesia, dimana Paspor RI diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat
(Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukumd dan HAM RI). Ini menjadi
anomali, karena sejatinya fungsi utama Imigrasi bukanlah sebatas menerbitkan
paspor, tetapi lebih dari itu. Hal inilah yang disadari
oleh Imigrasi negara lain bahwa fungsi Imigrasi harus ditempatkan pada posisi
yang terhormat dan berwibawa, yaitu berperan dalam menjaga kedaulatan negara.
Di beberapa negara lain juga, dibedakan
antara instansi yang menerbitkan paspor dan instansi yang memiliki tugas utama
dalam pengamanan negara. Tidak disamakan seperti di Indonesia, yang semuanya
dibawah naungan Ditjen Imigrasi. Seperti China yang memiliki lembaga National Immigration Agency of the Ministry
of the Interior (NIA), Korea memiliki Korea
Immigration Service, Australia memiliki Department
of Immigration and Citizenship, Inggris memiliki The United Kingdom Immigration Service, Singapura memiliki Immigration & Checkpoint Authority,
dan masih banyak lagi.
Mengembalikan Wibawa Imigrasi
Dalam Mars Imigrasi terdapat redaksi kata sebagai berikut: “...berwibawa, tegas, dan ramah...”. Ini memberi pesan bahwa dalam
menjalankan tugas dan fungsi setiap petugas imigrasi harus dapat menjaga wibawa
dan bersikap tegas dalam menjaga pintu gerbang negara dan bersikap ramah dalam
memberikan pelayanan. Jadi sebetulnya yang lebih diprioritaskan bukanlah
pelayanan, melainkan menjaga kedaulatan negara.
Kasus hilangnya Pesawat Malaysia Air
MH370 beberapa waktu lalu, tidak terlepas dari lengahnya fungsi pengawasan
keimigrasian Malaysia, yang telah lalai meloloskan 2 (dua) paspor palsu yang diduga hasil
curian. Dapat dibayangkan, bagaimana bila hal itu terjadi di Indonesia?
Bagaimana dapat berkerja maksimal dalam menjaga pintu gerbang negara, apabila
dukungan selama ini hanya ditujukan untuk perbaikan pelayanan semata?
Hal ini tentu menjadi sorotan kita
bersama. Indonesia merupakan negara yang sangat strategis bagi para imigran
ilegal ataupun para pencari suaka yang hendak ke Australia. Banyak para pencari
suaka yang pada awalnya hanya singgah ke Indonesia untuk melanjutkan perjalanan
ke Australia, malah menetap tinggal di Indonesia. Kondisi ini semakin pelik
ketika Australia telah melakukan kerja sama dengan Papua Nugini, untuk
mengalihkan para pencari suaka yang masuk ke Australia untuk dikirim ke negara
pihak ketiga. Sehingga akibatnya semakin banyak para pencari suaka yang
mengubah tujuan negara suaka dari Australia ke Indonesia.
Melihat dialektika demikian, ditambah
arus globalisasi yang semakin meningkat, diperlukan lembaga Imigrasi yang fokus
dan berkosentrasi dalam menjaga kedaulatan negara. Tidak sedikit orang asing
yang masuk wilayah Indonesia yang membawa motif tertentu, apakah itu sebagai
agen human traficking, bandar
narkoba, agen mata-mata negara lain (spyonase),
dan sebagainya. Hal ini apabila tidak segera diantisipasi tentu akan menjadi
permasalahan besar di kemudian hari. “Negara ini terlalu lemah dalam mengawasi
kegiatan orang asing di Indonesia, bahkan cenderung terlalu toleran kepada
mereka”, tegas Trisulo Petaling (Kasi Wasdakim Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim). Oleh
karenanya menjadi suatu keniscayaan apabila fungsi imigrasi di bidang penegakan
hukum harus lebih dimaksimalkan.
Dengan melihat beragam masalah dalam
konteks tersebut, maka kita perlu mengembalikan fungsi imigrasi yang
sebenarnya. Pengawasan dan penegakan hukum dalam menjaga kedaulatan negara
perlu dikedepankan. Lahirnya UU No. 6 Tahun 2011 tetang Keimigrasian yang
menggantikan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, merupakan buah pikir pembentuk
undang-undang (wets gever) yang
menginginkan agar bagaimana Imigrasi Indonesia dapat menjalankan fungsi
utamanya di bidang pengamanan negara. Apabila kita kaji substansi pasal-pasal yang
terdapat dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, maka anatomi
yuridisnya ada sekitar 60 % hingga 80% ketentuan hukum yang berbicara masalah
pengamanan negara dan penegakan hukum, bukan pelayanan (baca: penerbitan
paspor).
Kalau dapat saya sebutkan satu dari
sekian banyak ketentuan hukum dalam UU No. 6 Tahun 2011 yang menjadi “khas
Imigrasi” tentu Pasal 75 ayat (1) UU No 6 Tahun 2011. Pasal tersebut menyatakan
bahwa“Pejabat Imigrasi berwenang
melakukan Tindakan Adminstratif Keimigrasian terhadap Orang Asing yang berada
di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga
membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak
menaati peraturan perundang-undangan”. Disadari atau tidak, pasal ini
merupakan aturan hukum yang menjadi dasar bagi setiap Pejabat Imigrasi untuk
dapat secara maksimal mengawal dan menjaga pintu gerbang negara dari setiap
ancaman orang asing yang hendak masuk ke wilayah Indonesia.
Berdasarkan pasal ini, setiap Pejabat
Imigrasi dapat melakukan tindakan administratif berupa pencatuman dalam daftar
pencegahan atau penangkalan, pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin
Tinggal, pengenaan biaya beban, bahkan melakukan
deportasi dari wilayah Indonesia (vide Pasal 75 ayat 2 UU No. 6 Tahun 2011).
Pejabat Imigrasi yang melakukan tindakan administratif dimaksud, dapat
bersandar pada klausul “dugaan” semata, atau menganggap orang asing tersebut
tidak memiliki manfaat (asas kemanfaatan) bagi negara Indonesia, berdasarkan
asas kebijakan selektif (selective policy
priniciple). Jadi dalam hal ini tidak berlaku asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence principle). Hal
ini berbeda apabila kita samakan dengan proses pro justitia (penegakan hukum) di bidang hukum lain yang harus
berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim (Pasal 183 KUHAP).
Disinilah letak hak ekslusif (previlege
rigths) setiap Pejabat Imigrasi yang tidak dimiliki oleh penegak hukum di
instansi lainnya.
Saluran hukum demikian haruslah dipahami
dan diimplementasikan dengan paripurna. Hukum Keimigrasian Indonesia merupakan
cerminan harga diri bangsa. Adagium populer menyebutkan: “Seseorang
tidak akan disebut besar, kalau ia tidak membesarkan dirinya sendiri”. Oleh
karena itu UU No. 6 Tahun 2011 beserta peraturan pelaksana lainnya dapat
menjadi penentu, apakah Imigrasi Indonesia berwibawa atau tidak di mata
internasional. Sehingga dalam konteks ini, pengawasan terhadap orang asing
menjadi hal yang penting. “Seharusnya
fungsi pengawasan harus diutamakan”, ujar Rendra Mauliansyah (Kasubsi Waskim Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim).
Re-orientasi Fungsi Imigrasi
Menurut saya, cara berpikir kita soal
fungsi Imigrasi perlu diluruskan kembali. Kembalikanlah fungsi Imigrasi kepada
ruh-nya. Jangan karena pelayanan memberikan sumbangsih kepada pendapatan
negara, lalu kita terlena kepada fungsi utama. Saya secara pribadi merasa
bangga ketika proses tertangkapnya Anggoro Wijoyo di China oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus tindak pidana korupsi Sistem komunikasi
Radio Terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan, tidak terlepas dari peran serta
Atase Imigrasi Indonesia di China. Tentu keberhasilan ini menjadi oase di
tengah ketidakpercayaan publik terhadap kinerja lembaga hukum di Indonesia,
tidak terkecuali Imigrasi.
Tentu masih banyak yang harus dibenahi
oleh Ditjen Imigrasi sebagai lembaga tertinggi yang mengurusi hal ihwal
Keimigrasian di Indonesia dalam menjalankan fungsi pengamanan negara. Di
antaranya, meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas Imigrasi di daerah
perbatasan, dukungan moral dan politik dari pemangku jabatan, perbaikan sarana
dan prasarana, serta fasilitas Keimigrasian di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, meningkatkan
kerja sama dan koordinasi lintas lembaga, dan menjalankan norma UU No. 6 Tahun
2011 beserta peraturan pelaksana lainnya dengan sungguh-sungguh. Jadikanlah
Imigrasi sebagai lembaga yang terhormat dan berwibawa, layaknya semboyan
Imigrasi: Bhumi Pura Wira Wibawa (Menjaga Pintu Gerbang Negara dengan Kewibawaan). Bravo Imigrasi. (ALVI)
Muara Enim, Maret 2014
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment