Ius Soli dan Ius Sanguinis: Asas
Universal
Asas kewarganegaraan adalah pedoman
dasar bagi suatu negara untuk menentukan
siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara mempunyai kebebasan untuk
menentukan asas kewarganegaraan mana yang hendak dipergunakannya.
Pada umumnya penentuan kewarganegaraan
dilhat dari segi kelahiran seseorang. Ada 2 (dua) macam asas kewarganegaraan
berdasarkan kelahiran, yaitu ius soli dan
ius sanguinis. Kedua istilah ini
berasal dari bahasa Latin. Ius berarti
hukum, dalil, atau pedoman. Sedangkan soli
berasal dari kata solum yang berarti
negeri, tanah, atau daerah. Dengan demikian, ius soli berarti pedoman yang berdasarkan tempat atau daerah. Dalam
kaitannya dengan asas kewarganegaraan ini, ius
soli berarti kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahiran.
Orang yang lahir di negara X akan memperoleh kewarganegaraan dari negara X
tersebut sementara itu sanguinis berasal
dari kata sanguis yang berarti darah.
Dengan demikian, ius sanguinis
berarti pedoman yang berdasarkan darah atau keturunan. Dalam kaitannya dengan
asas kewarganegaraan ini, ius sanguinis
berarti kewarganegaraan seseoerang ditentukan oleh keturunannya atau orang
tuanya. Orang yang lahir dari orang tua yang warga negara Y akan memperoleh
kewarganegaraan dari negara Y tersebut.
Ada negara yang menganut ius soli, dan ada pula yang menganut ius sanguinis. Akan tetapi dewasa ini
pada umumnya kedua asas ini diantut secara stimultan. Bedanya, ada negara yang
lebih menitikberatkan pada penggunaan ius
sanguinis, dengan ius soli
sebagai pengecualian. Sebaliknya, ada pula negara yang lebih menitikberatkan
pada penggunaan ius sanguinis dengan ius soli sebagai pengecualian.
Penggunaan kedua asas secara stimultan ini mempunyai tujuan agar status apatride atau tidak berkewarganegaraan (stateless) dapat terhindari. Artinya,
apabila ada seseorang yang tidak dapat memperoleh kewarganegaraan dengan
penggunaan asas yang lebih dititikberatkan oleh negara yang bersangkutan, masih
dapat memperoleh kewarganegaraan dari negara tersebut berdasarkan asas yang
lain.
Sebaliknya, karena pelbagai negara
menganut asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran yang berbeda-beda, dapat
menimbulkan masalah bipatride atau
dwi-kewarganegaraan (berkewarganegaraan rangkap), bahkan multipatride (berkewarganegaraan banyak atau lebih dari dua).
Sebagai contoh, negara X menganut ius
sanguinis, sedangkan negara Y menganut ius
soli. Maka setiap orang yang lahir di negara Y dari orang tua yang
berkewarganegaraan X, akan mempunyai status baik sebagai warga negara Y, maupun
warga negara X. Ia memperoleh status dari warga negara X, karena ia keturunan
warga negara X. Ia pun memperoleh status warga negara Y, karena ia lahir di
negara Y.
Akan tetapi apabila orang tersebut lahir
di negara X dari orang tua warga negara Y, ia akan berstatus apatride. Ia ditolak oeh negara orang
tuanya (negara Y), sebab ia tidak lahir di sana. Ia pun ditolak oleh negara
tempat ia lahir (negara X), karena negara itu menganut ius sanguinis. Artinya, menurut ketentuan negara X, ia (seharusnya)
memperoleh kewarganegaraan dari negara orang tuanya.
Pada mulanya hanya ada satu asas, yaitu ius soli saja. Karena orang hanya
beranggapan bahwa karena lahir di suatu wilayah negara, logsilah apabila
seseorang merupakan warga negara dari negara yang bersangkutan. Namun, dengan
semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang
tidak hanya fokus kepada tempat kelahiran semata. Orang tua tentunya masih
mempunyai ikatan dengan negaranya sendiri. Tapi akan timbul masalah apabila
kewarganegaraan si orang tua ternyata berlainan dengan kewarganegaraan anaknya.
Si anak memperoleh kewarganegaraan dari negara tempat ia lahir, sedangkan orang
tuanya tetap berkewarganegaraan dari negara asal. Atas dasar itulah muncul asas
baru, yaitu ius sanguinis tersebut.
Dengan asas ini kewarganegaraan si anak akan mengikuti kewarganegaraan orang
tuanya.
Atas dasar itu pula-lah negara imigratif
(negara yang sebagian besar warganya pada prinsipnya merupakan kaum pendatang),
condong lebih menggunakan ius soli
sebagai asas kewarganegaraannya. Negara penganut asas ius soli di antaranya: Australia, Argentina, Brazil, Jamaika,
Kanada, Meksiko, dan Amerika Serikat.
Sebaliknya, negara emigratif (negara
yang warganya banyak yang merantau ke negara lain) condong menggunakan ius sanguinis sebagai asas
kewarganegaraannya. Negara penganut ius
sanguinis di antaranya: China, Inggris, Malaysia, Jepang, Spanyol, Korea
Selatan, Italia, Belanda, dan India,
Keduanya mempunyai alasan yang sama, yaitu
negara yang bersangkutan ingin mempertahankan hubungan dengan warganya. Negara
emigratif ingin tetap mempertahankan para warganya. Dimana pun mereka berada,
mereka tetap harus merupakan warganya. Sebaliknya, negara imigratif menghendaki
agar warga barunya secepatnya meleburkan diri ke dalam negaranya yang baru itu.
Penegasan Asas Kewarganegaraan dalam UU
No. 12 Tahun 2006
Dalam Penjelasan Umum UU No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dijelaskan bahwa Indonesia
menganut 4 (empat) asas umum, yaitu: (i) asas ius sanguinis (law of the
blood) adalah asas yang menentukan kewargangeraan seseorang berdasarkan
keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran; (ii) asas ius soli (law of the
soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdsasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini; (iii) asas
kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang, (iv) asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini.
Asas ius
sanguinis tercermin dari ketentuan Pasal 4 yang menyatakan bahwa: “anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara
Indonesia” (huruf e), “anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang
ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing” (huruf c), “anak yang
lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu
Warga Negara Indonesia” (huruf d), dan seterusnya. UU No. 12 Tahun 2006 juga
mengakomodir asas ius sanguinis
terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia, tapi ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan (stateless) atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut (vide
Pasal 4 huruf d).
Selanjutnya terkait dengan asas ius soli terbatas, UU No. 12 Tahun 2006
juga mengakomodir setiap anak yang lahir di Indonesia dapat dikategorikan
sebagai Warga Negara Indonesia. Namun, dengan catatan (batasan) bahwa anak yang
lahir di wilayah negara Republik Indonesia tersebut merupakan hasi dari
perkawinan yang ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless) atau tidak diketahui
keberadaannya. Jadi berbeda dengan asas ius
soli di negara lain, yang menentukan kewarganegaraan anak berdasarkan
tempat kelahiran, walaupun orang tuanya memiliki kewarganegaraan
(masing-masing), yang dapat saja negara orang tuanya tersebut menganut asas ius sanguinis. Di Indonesia, dianutnya
asas ius soli terbatas ini, merupakan
bentuk perlindungan hukum bagi anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia,
namun status dan asal usul orang tuanya tidak diketahui. Jelas, apabila
Indonesia hanya menganut asas ius
sanguinis semata, maka dalam posisi demikian, si anak tidak akan memiliki kewarganegaraan (stateless). Oleh karena itulah mengapa
dalam UU No. 12 Tahun 2006, Indonesia menganut asas ius soli terbatas, yaitu terbatas pada kondisi tertentu.
Kemudian, asas kewarganegaraan tunggal
dan asas kewarganegaraan ganda terbatas. Kedua asas ini memiliki korelasi,
dimana pada prinsip nya UU No. 12 Tahun 2006 hanya menentukan asas
kewarganegaraan tunggal bagi setiap orang, yaitu Warga Negara Indonesia, baik
itu diperoleh berdasarkan asas ius
sanguinis ataupun asas ius soli.
Namun, bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran (kewarganegaraan) orang
tuanya, yang kemudian mengakibatkan si anak tersebut berkewarganegaraan ganda,
maka setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah, maka anak
tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya (vide Pasal 6). Indonesia tidak mengenal apatride, bipatride ataupun multipatride.
Sehingga setiap orang yang berada di wilayah Republik Indonesia, harus memiliki
status kewarganegaraan yang jelas, karena hal ini terkait dengan status hukum
dari orang yang bersangkutan.
Hadirnya UU No. 12 Tahun 2006 yang
menggantikan UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republilk Indonesia,
telah memberikan perlindungan kewarganegaran bagi setiap orang, tidak
terkecuali terhadap anak yang dilahirkan dari orang tua yang tidak memiliki
kewarganegaraan (stateless), bahkan asal usulnya tidak diketahui sekalipun.
Indonesia paham betul, arus globalisasi dan meningkatnya pola dinamisasi
penduduk dari suatu negara ke negara lain, bukan tidak mungkin akan menyebabkan
terjadi nya hal-hal yang tidak diinginkan, yang akan berakibat pada
kewarganegaraan si anak. Oleh karenanya, diharapkan undang-undang ini dapat
memberikan kepastian hukum bagi status kewarganegaraan anak, sehingga anak yang
dalam posisi yang inferior tidak dirugikan secara hukum. (alvi)
Muara Enim, April 2014
M. Alvi Syahrin
Terimakasih, informasinya sangat membantu (y)
ReplyDeleteHi, Santi Anisa. Terima kasih sudah berkunjung ke Blog saya.
ReplyDeleteterima kasih sngt membantu, ada referensi bukuny ga mas
ReplyDeletebahan bacaan:
Delete- Saleh Wiramihardja: "Persepektif Sejarah Hukum Kewarganegaraan Indonesia (Perbandingan dengan Hukum Kewarganegaraan di Beberapa Negara)"
- Koerniatmanto Soetoprawiro: "Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia"
Semoga bermanfaat.