Latar Belakang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional
sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional,
lalu lintas dan angkutan jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk
mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan jalan
dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.[1]
Begitu juga halnya dengan kegiatan
transportasi angkutan jalan darat. Transportasi jenis ini, merupakan media yang
paling sering digunakan oleh penumpang bila dibandingkan dengan transportasi
lainnya. Hal ini dapat dipahami, bahwa transportasi kini menjelma menjadi
sebuah kebutuhan masyarakat dewasa ini.
Menurut Sution Usman Adji, et al.,
pengangkutan[2]
tidak lain adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang,
karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat
serta efesiensi.[3]
Hal serupa juga dikemukakan oleh H.M.N Purwosutjipto bahwa fungsi pengangkutan
adalah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain
dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai.[4]
Dari rumusan tersebut, dapat kita
pahami bahwa orang merupakan satu dari objek pengangkutan. Dengan demikian,
segala yang terjadi dalam pengangkutan orang tersebut juga memiliki konsekuensi
yuridis. Misalnya, kecelakaan pengangkutan orang di jalan raya sehingga
mengakibatkan kerugian bagi penumpang. Sehingga dapat dipahami bahwa
pengangkutan orang merupakan pekerjaan tertentu yang memerlukan akan pekerjaan
itu dengan pemberian upah.[5]
Sehingga layaknya “perjanjian jual beli” pada umumnya, maka orang (penumpang)
sebagai konsumen, wajib hukumnya untuk dilindungi.
Masalah kerugian bagi penumpang
ini, dapat dipahami secara tersirat dalam pengertian pengangkutan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa dalam perjanjian pengangkutan orang yang menjadi objeknya
ialah orang. Sehingga dalam hal ini, tugas pengangkut hanyalah membawa atau
mengangkut orang-orang itu sampai di tempat tujuan dan selamat.
Dengan demikian, kewajiban utama pengankut dalam pengangkutan orang khususnya
jalan raya adalah mengangkut orang (d.h.i penumpang) dengan selamat sampai
tujuan.
Konsekuensi yuridis dari hal
tersebut adalah pengangkut harus bertanggung jawab atas segala kerugian atau
luka-luka yang diderita oleh penumpang, yang disebabkan karena atau berhubung
dengan pengangkutan yang diselenggarakan itu, kecuali bila pengangkut dapat
mengdikulpir dirnya.[6]
Oleh karena itu, penumpang yang menderita kerugian itu dapat menuntut ganti
kerugian kepada pengangkut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.[7]
Namun, dalam praktek sehari-hari
sering kali adanya eksonerasi dari pengangkut terhadap peristiwa yang terjadi.
Misalnya, kerugian yang diderita oleh penumpang atas terjadinya kecelakaan
tidak dapat dimintakan ganti kerugian bila kerusakan atau kerugian tersebut
terjadi karena tidak sempurnanya bungkusan (verpakking) barang yang diangkut)
barang yang diangkut dan hal itu telah diberitahukan oleh pengangkut kepada
penumpang sebelum pengangkutan dimulai.
Terjadinya kecelakaan yang
mengakibatkan kerugian bagi penumpang bukanlah suatu hal yang baru. Hal ini
telah menjadi suatu kebiasaan, khususnya bagi negara-negara berkembang, dimana
tingkat teknologi transpotasi serta kesadaran hukum berlalu lintas masih sangat
rendah. Hal ini diperparah dengan tidak setaranya kedudukan antara pengangkut
dan penumpang. Walaupun dalam banyak teori yang mengungkapkan bahwa kedudukan
diantara keduanya adalah seimbang[8],
namun dalam tatanan praktis, hal ini jauh dari harapan. Penumpang sering kali
menjadi pihak yang lemah (inferior). Sedangkan pengangkut sebaliknya. Ia
menjelma menjadi makhluk yang super kuat (superior). Hal ini salah satunya
disebabkan karena tingkat pengetahuan dan wawasan pengangkutan yang minim dari
penumpang. Sehingga kerugian yang diderita pun, tidak ada tindak lanjut yang
nyata, kecuali diteruskan secara pidana.
Adanya ketimpangan ini, maka
berdampak pada sistem tanggung jawab yang harus diemban oleh pengangkut atas
kerugian penumpang yang diakibatkan oleh kesalahan pengangkut.[9]
Bahkan tidak jarang, pengangkut tidak melakukan respons apapun. Sehingga, yang
menjadi pertanyaan besar adalah, apakah sistem tanggung jawab pengangkut masih
relavan dewasa ini.
Dengan diundangkannya UU No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menggantikan UU No. 14
Tahun 1992 yang mengatur hal yang sama, diharapkan adanya perbaikan sistem tanggung
jawab pengangkut. Selain itu juga, urgensi dari diundangkannya undang-undang
ini, tidak lain mengupayakan agar terciptanya kondisi transportasi jalur darat
yang kondusif. Oleh karena itu, bentuk tanggung jawab pengangkut atas kerugian
yang diderita oleh penumpang menjadi perhatian serius.
Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas, maka
dapat diidentifikasi suatu permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini,
yaitu apa sistem bentuk tanggung jawab yang diemban pengangkut atas kerugian
yang diderita oleh penumpang menurut UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan?
Sistem Bentuk Tanggung Jawab yang
Diemban Pengangkut atas Kerugian yang Diderita Oleh Penumpang Menurut UU No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pengangkutan yang didasarkan pada
perjanjian yang berprinsip pada konsensuil atau kesepakatan, menimbulkan hak
dan kewajiban di antara para pihak. Dalam melakukan kewajiban tersebut,
disertai dengan perbuatan yang memback-up atau menanggualngi resiko yang
mungkin terjadi dalam pelaksanaan (eksekusi) perjanjian itu.
Sama halnya dalam pelaksanaan kewajiban pengangkut untuk
mengangkut penumpang dengan selamat dan sampai tujuan, terdapat kemungkinan
terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian bagi penumpang. Peristiwa ini
dapat terjadi lantaran kesalahan pengangkut baik sengaja maupun lalai ataupun
adanya hal-hal mendesak dan tidak dapat dihindari. Untuk itulah diperlukan
adanya sebuah tanggung jawab yang didalamnya timbul secara langsung maupun
secara tidak langsung karena perlu adanya pembuktian. Sebagai sarana atau alat
dalam membagi sejauh mana tanggung jawab yang harus dipikul oleh pengangkut,
diklasifikasikanlah prinsip tanggung jawab. Menurut Saefullah Wiradipradja yang
dikutip oleh Abdulkadir Muhammad[10],
Prinsip tanggung jawab yang menjadi dasar dalam hukum pengangkutan, yaitu:
- Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (Liability Based On Fault Principle)Dalam prinsip ini setiap pengangkut melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian yang timbul akibat dari kesalahan itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu.
- Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (Presumption of Liability Principle)Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebankan dari kewajiban membayar ganti kerugian.
- Prinsip tanggung jawab mutlak (Absolute Liability Principle)Pengangkut harus bertanggung jawab membayar kerugian terhadap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun.
- Prinsip Praduga Bahwa Pengangkut Selalu Tidak Bertanggung Jawab (Presumption of Non Liability)Dalam prinsip ini pengangkut tidak bertanggung jawab terhadap barang yang dibawa sendiri oleh penumpang pada saat diselenggarakannya pengangkutan. Prinsip ini hanya dapat diterapkan pada bagasi tangan dan beban pembuktian terletak pada penumpang.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009
Tentang Angkutan menjelaskan mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap
kerugian yang diderita penumpang terklasifikasi dalam dua bagian yaitu:
- Tanggung
jawab atas kerugian yang diderita penumpang dalam keadaan tidak adanya
kecelakaan lalu lintas.
Hal
ini diatur dalam Pasal 188, 189, 191 dan 192.
Yang perlu diperhatikan, terhadap perusahaan angkutan umum wajib untuk mengganti
kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan
pelayanan angkutan (Pasal 188).
Pasal
ini menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Walaupun dalam pasal
tersebut mengandung unsur “lalai”, dan termasuk dalam kesalahan. Selain itu
pula, pasal ini sesuai dengan pasal 1366 KUHPerdata, yaitu
“Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya
atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”.
Bahkan
Undang-Undang No 22 Tahun 2009 memberikan suatu kemudahan dalam memikul
tannggung jawab tersebut dengan cara mengasuransikannya (Pasal 189). Selain itu
juga, Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan
oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan
angkutan (Pasal 191).
Pasal
ini sama seperti dalam pasal 1367 huruf c KUHPerdata, dimana majikan dan orang
yang mengangkat wali untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab
atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan
pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu.
Perusahaan
Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang
meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan
oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena
kesalahan Penumpang (Pasal 192 ayat 1). Pengecualian yang dimaksud dalam ayat
ini merupakan diskulpasi pengangkut. Diskulpasi ini sama dalam Pasal 1367 huruf
e, dimana tanggung jawab majikan terhadap bawahannya berakhir tanggung jawabnya
dengan membuktikan bahwa dirinya tidak dapat mencegah kejadian itu terjadi.
Selanjutnya
kerugian yang dimaksud menurut Pasal 192 (ayat 2) merupakan kerugian yang
nyata-nyata dialami atau bagian biaya pelayanan. Tanggung jawab ini berakhir
ketika pengangkut dapat melaksanakan kewajibannya untuk mengantarkan penumpang
ke tempat tujuan dengan selamat. Lebih lanjut Pasal 192 ayat 4 dengan tegas
menyatakan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan
penumpang, kecuali penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian itu ditimbulkan
dari kesalahan atau kelalaian pengangkut. Pasal ini jelas mengadopsi dari
prinsip praduga bahwa pengangkut selalu tidak bertanggung jawab (presumption
of non liability).
- Tanggung
jawab atas kerugian yang diderita penumpang ketika terjadi kecelakaan lalu
lintas.
Uraian mengenai sistem tanggung
jawab ini diatur dalam Pasal 234 ayat (1) dan (3), serta Pasal 235. Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa terhadap Pengemudi, pemilik Kendaraan
Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian
yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga
karena kelalaian Pengemudi (Pasal 234 ayat 1). Namun, ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika: adanya keadaan memaksa
yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi, disebabkan oleh
perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan/atau disebabkan gerakan orang
dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan (ayat 3).
Lebih
lanjut Pasal 235 menyatakan bahwa Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan
Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi,
pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli
waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak
menggugurkan tuntutan perkara pidana (ayat 1)
Selanjutnya,
jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat kecelakaan Lalu
Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c,
pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan
kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan
perkara pidana (ayat 2).
Berdasarkan
uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa ada dua macam bentuk sistem tanggung
jawab dari pengangkut terhadap kerugian penumpang dalam angkutan jalan, yaitu
tanggung jawab atas kerugian penumpang dalam keadaan tidak adanya kecelakaan
lalu lintas dan tanggun jawab atas kerugian penumpang ketika kecelakaan
lalu lintas. Bila kita analisis dari dua sistem tanggung jawab tersebut,
maka sejatinya keduanya sedikit banyak mengandung unsur sistem tanggug jawab
yang secara prinsip menjadi sistem tanggung jawab pengangkut pada umumnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka
dapat diketahui bahwa ada dua macam bentuk sistem tanggung jawab dari
pengangkut terhadap kerugian penumpang dalam angkutan jalan berdasarkan UU No.
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, adalah:
- Tanggung
jawab atas kerugian penumpang dalam keadaan tidak adanya kecelakaan lalu
lintas;
- Tanggung
jawab atas kerugian penumpang ketika kecelakaan lalu lintas.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-Buku
H.M.N. Purwosutjipto. 2003.
Cet-6. Pengertian Pokok Hukum Dagang: Hukum Pengangkutan.
Jakarta: Djambatan
Sution Usman Adji, et al. 1998. Hukum
Pengangkutan di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta
Tim Pengajar Hukum Dagang. 2006. Bahan Ajar Hukum Dagang. Palembang: Universitas Sriwijaya
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-undang Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, UU No. 22 Tahun 2009,
LN Nomor 96 Tahun 2009
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Staatsblaad Nomor 23 Tahun 1847
No comments:
Post a Comment