Latar
Belakang
Setelah
diundangkannya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada salah
satu prinsip yang cukup memberikan angin segar bagi konsumen Indonesia yaitu product liability principle yang
berusaha menempatkan kedudukan konsumen agar lebih “sederajat” dengan pelaku
usaha.
Secara
historis, product liability lahir
karena adanya ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen.
Dengan adanya lembaga ini produsen yang
pada awalnya menerapkan startegi product
oriented dalam pemasaran produknya harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Produsen harus lebih
berhati-hati dengan produknya, karena tanggung jawab dalam product liability
ini menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict
liability).[1]
Hal tersebut tentunya beralasan, dimana selama ini konsumen selalu ditempatkan
dalam posisi tawar menawar yang lemah (weak
bargaining position). Sehingga
kemudian berkembang suatu istilah caveat
emptor, yaitu bahwa konsumen selaku pembeli harus hati-hati.
Perkembangan
sejarah dunia kemudian mencatat tumbuhnya kesadaran dunia akan martabat manusia
yang perlu dihormati. Hak-hak asasi manusia diperjuangkan dan diberi tempat
yang tinggi dalam peradaban manusia. Tuntutan penghormatan akan hak-hak asasi
ini melanda juga dunia industri dan peradagangan, sehingga mengakibatkan
bergesernya adagium caveat emptor
menjadi caveat venditor bahwa
produsenlah yang harus cermat dan berhati-hati dalam menghasilkan dan memaarkan
barang-barangnya.
Adagium
caveat venditor mewajibkan pabrik dan
produsen sebagai penjual bersikap cermat, agar barang-barang hasil produksinya
tidak mendatangkan kerugian bagi kesehatan dan keselamatan konsumen, karena
pihak konsumen memiliki hak asasi untuk mendapatkan barang-barang yang tidak
mengandung cacat. Dalam suasana perdagangan inilah product liability sebagai instrument hukum perlindungan konsumen
lahir.[2]
Atas dasar hak ini, maka produsen harus memberi jaminan serta
pertanggungjawabannya terhadap barang yang akan diproduksi.[3]
Namun
tidak semudah membalikan telapak tangan agar prinsip yang tergolong baru ini
dapat diimplemenitasikan dengan baik oleh para pelaku usaha. Walapun prinsip
tersebut telah dinormakan dalam bentuk produk hukum, namun dalam praktik
perdagangan, hal-hal yang bertolak belakang masih sering dijumpai dalam
masyarakat. Para pelaku usaha berdalih bahwa mereka belum mengetahui bahwa
kewajiban dan tanggung jawab mereka sekarang ini telah diatur dalam
Undang-undang. Selama ini mereka menganggap bahwa dalam tradisi dan kebiasaan
berbisnis, pembeli-lah yang seharusnya lebih proaktif dalam melakukan transaksi
jual beli, bukan sebaliknya.
Banyak
kendala-kendala yang dihadapi dalam mewujudkan prinsip tersebut agar dapat
diterapkan secara adil dan tepat. Penegakan hukum terhadap kelangsungan prinsip
ini apabila para pelaku usaha tidak mentaatinya juga perlu dipertanyakan.
Efektifitas prinsip ini dalam penerapannya juga menjadi tanda tanya besar.
Tidak terlaksananya prinsip ini juga tidak hanya dapat dibebankan kepada in bad faith dari para pelaku usaha
saja, tapi juga dari para konsumen. Dari beberapa hasil penelitian, menyatakan
bahwa banyak para konsumen yang enggan atau malah takut untuk melaporkan
tindakan para pelaku usaha terhadap kerugian yang dialami terhadap
barang-barang yang mereka beli dari pelaku usaha. Jangan berpikir untuk
membebankan para pelaku usaha untuk melakukan ganti kerugian, untuk melanjutkan
ke persidangan pun tidak. Inilah yang menjadi kendala besar, mengapa efektifitas
dari pelaksanaan tanggung jawab produk masih sangat minim
Dalam
tulisan ini, penulis akan
membatasi ruang lingkup tanggung jawab produk yang berkenaan dengan tindakan
para pelaku usaha dalam memproduksi, mengedarkan serta menjual suatu barang terhadap
kosmetik illegal.
Merupakan
hal yang lumrah bahwa pasar Indonesia menjadi salah satu sasaran utama para
pelaku usaha dalam melakukan “aksinya” mengedarkan kosmetiki illegal. Berdasarkan
hasil penelitian dan pengamatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),
menyimpulkan bahwa setidaknya ada sekitar tujuh puluh jenis produk kosmetik dari berbagai merek mengandung bahan berbahaya
yang bisa memicu gangguan syarat, mengganggu perkembangan janin, serta memicu
penyakit kanker.[4] Peredaran kosmetik illegal tersebut tidak hanya terjadi di
daerah-derah terpencil, tetapi juga telah merambah berbagai tempat, mulai dari pasar
tradisional, pasar modern, supermarket, dan salon kecantikan.
Dengan
sudah akutnya peredaran kosmetik illegal tersebut, semakin memperparah stigma
dunia terhadap Indonesia sebagai target pasar “percobaan”. Tidak berlebihan
memang, karena mayoritas pendidikan akan pengetahuan suatu produk (d.h.i
kosmetik) sangatlah minim. Kesempatan inilah yang berusaha dimanfaatkan oleh
para pelaku usaha. Hal tersebut diperparah dengan tindakan yang seolah-olah
lepas tangan dari para pelaku usaha. Secara psikologis, konsumen tidak dapat
berbuat apa terhadap intervensi yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Dengan
demikian, walaupun secara yuridis tanggung jawab produk telah diatur sedemikian
rupa dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun efektifitas
serta kesadaran dari para pelaku usaha masih sangat minim.
Perumusan Masalah
Sehubungan
dengan latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, maka dapatlah ditarik
beberapa indentifikasi permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini,
antara lain:
- Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peredaran kosmetik illegal?
- Bagaimana efektifitas pelaksanaan prinsip tanggung jawab produk menurut UU No. 8 Tahun 1999 terhadap kasus kosmetik ilegal?
Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Peredaran Kosmetik
Ilegal
Sebagaimana
diketahui bahwa peredaran kosmetik illegal merupakan salah satu peredaran
produk yang sangat mengkhawatirkan. Bukan hanya dari sisi pendapatan negara
yang akan terus defisit dengan keberadaan kosmetik ilegal tersebut, tapi juga
akan sangat merugikan kesehatan dari para konsumen yang menggunakannya.
Tidak
mengherankan memang, apabila pasar Indonesia merupakan salah satu target bagi para
pelaku usaha yang ingin “mencoba” hasil produksi kosmetik yang notabane-nya
sebagian besar merupakan produk gagal. Ataupun bahkan memang kosmetik tersebut
memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk menekan biaya produksi yang
terbilang mahal apabila diproduksi berdasarkan sistem standarisasi yang ada.
Peredaran
kosmetik illegal kini tidak hanya merambah kalangan menengah kebawah, tapi juga
kalangan menengah keatas. Hal tersebut terjadi karena semakin tingginya tingkat
pengetahuan para pelaku usaha yang berusaha untuk membuat produk kosmetik
illegal yang menyerupai merek aslinya. Sebagian besar masuknya kosmetik illegal
ke pasaran Indonesia berasal dari China ataupun Taiwan.[5]
Bahkan produk yang berasal dari kedua negara tersebut, telah melakukan pemalsuan register,
sehingga terlihat seperti telah berizin namun ternyata setelah diteliti
register tersebut palsu.
Melihat beberapa fakta-fakta yang
berkaitan dengan peredaran kosmetik illegal tersebut, maka dapatlah diteliti
beberapa faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, antara lain:
1. Minimnya pengetahuan dan pendidikan konsumen berkaitan
dengan kosmetik illegal
Bukan hal baru lagi apabila pengetahuan akan
pendidikan para konsumen Indonesia khususnya terhadap kosmetik sangatlah
rendah. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor-faktor yang tidak hanya disebabkan
oleh pola pikir konsumen itu sendiri tapi juga tanggung jawab dari pelaku usaha
untuk dapat memberikan pengetahuan dan pendidikan terhadap konsumen.
Bedasarkan
Pasal 4 huruf f UUPK menyatakan bahwa hak konsumen adalah hak untuk mendapatkan
pembinaan dan pendidikan konsumen.
Melihat ketentuan tersebut, kita dihadapkan oleh dua sisi yang saling
bertentangan. Pertama, telah disebutkan bahwa hak untuk mendapatkan pembinaan
dan pendidikan merupakan salah satu hak dari konsumen. Kedua, secara tersirat
dan ini juga berlaku di dalam praktik lapangan bahwa hak para konsumen sering
kali dibatasi oleh kewajiban konsumen untuk selalu berhati-hati dalam melakukan
transaksi.[6]
Begitu
juga dalam hal peredaran kosmetik ilegal yang berkaitan dengan aspek
perlindungan konsumen. Para konsumen sering kali tidak mengetahui atau dapat
dikatakan tidak mau tahu mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan produk
kosmetik yang dibelinya tersebut. Kebanyakan dari mereka, setelah membeli
langsung digunakan tanpa adanya konfirmasi ataupun verifikasi berkaitan dengan
zat-zat yang mungkin dapat membahayakan kesehatannya tersebut. Inilah yang
mengakibatkan timbulnya suatu permasalahan yang merupakan manifestasi dari
“keteledoran” para konsumen.
2. Minimnya pengawasan dari badan pengawas obat dan makanan
(BPOM)
Sebagai
negara yang diapit oleh dua benua (Asia dan Afrika) serta dua samudra, maka pasar
perdagangan di Indonesia dapat diaktakan cukup riskan. Betapa tidak, dengan
laju arus yang begitu dinamis, maka tidak dapat dipungkiri akan berimbas kepada
tingkat kualitas dan kuantitas produk yang masuk kedalam pasar Indonesia,
termasuk diantaranya adalah kosmetik illegal.
Sebagai
suatu badan yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan
pengawasan terhadap suatu produk yang terdapat dalam pasar perdagangan
Indonesia, sudah sewajarnya-lah, apabila BPOM menjelma sebagai suatu institusi
pemerintah yang berwenang untuk menentukan apakah suatu produk (baca: kosmetik)
tersebut layak atau tidak untuk dikonsumsi oleh para konsumen. Tidak heran
apabila BPOM yang dulunya tidak begitu diperhitungkan sebagai suatu Institusi
yang mengawasi suatu produk kosmetik yang beredar, kini secara tidak langsung
telah menjadi suatu perbincangan hangat untuk diketahui.
Sebagaimana diketahui bahwa BPOM
bertugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan (baca: kosemtetik) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.[9]
Tugas inilah yang seharusnya dilakukan oleh BPOM. Namun seringkali dalam
praktek, efektifitas pelaksananan tugas tersebut terkesan apa adanya.
Namun dengan begitu besarnya harapan
masyarakat Indonesia pada umumnya dan para konsumen pada khususnya kepada BPOM
, ternyata belumlah diimbangi dengan kinerja yang baik dari BPOM itu sendiri.
Begitu juga halnya terhadap pengawasan kosmetik illegal. Seringkali BPOM merasa
“kecolongan” dengan semakin maraknya peredaran kosmetik illegal tersebut.
Dengan demikian, tidak mengherankan
apabila salah satu penyebab semakin maraknya peredaran kosmetik illegal di
kalangan masyarakat sekarang adalah minimnya pengawasan yang dilakukan oleh
BPOM itu sendiri. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPOM selama rentan
waktu Januari hingga April 2009, setidaknya ada sekitar 952 item kosmetik tidak
sah (illegal) dengan jumlah sekitar 122.978 buah. Tidak hanya itu, selama kwartal
pertama tahun 2009, BPOM juga telah memeriksa 358 tempat penjualan kosmetik
(sarana) dan menemukan 100 lainnya yang melakukan pelanggaran distribusi
kosmetik. Selanjutnya selama triwulan pertama tahun 2009, BPOM juga telah
melakukan sampling dan pengujian terhadap 764 sampel kosmetika serta menemukan
119 diantaranya tidak memenuhi syarat mutu.[10]
Berdasarkan keterangan tersebut,
memang telah terjadi suatu intensitas peningkatan pengawasan yang telah
dilakukan oleh BPOM sehingga setidaknya dapat sedikit menghentikan laju
peredaran kosmetik illegal. Namun “upaya sadar” tersebut terkesan terlambat
karena peredaran kosmetik illegal tersebut sudah seperti layaknya peredaran gas
di udara dimana sangat cepat untuk berbaur kedalam masyrakat.
Namun demikian, tidak ada sesuatu
hal yang terlambat. Walaupun kinerja BPOM itu sendiri kalah cepat dengan
peredaran kosmetik illegal tapi setidaknya telah ada apaya maksimal yang
dilakukan oleh BPOM. Hal tersebut tidak berlebihan, karena latar belakang
didirikannya BPOM adalah sebagai suatu alat control bagi pemerintah terhadap
adanya peredaran suatu produk terutama yang berkaitan dengan kosmetik illegal.
Bila dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 29 UUPK yang menyatakan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen
dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
Dalam rumusan pasal tersebut jelas bahwa tanggung jawab atas suatu penyelenggaraan
konsumen yang ditujukan untuk menjamin hak konsumen sebagaimana dimaksu dalam Pasal
4 UUPK yang dimanifestasikan kedalam bentuk pengawaan merupakan tanggung jawab
Pemerintah yang kemudian didelegasikan kepada BPOM. Sehingga konsekuensi
yuridisnya dengan semakin menjamurnya perkembangan dan peredaran kosmetik
illegal di dalam masyarakat secara tidak langsung menjadi suatu tanggung jawab
moral serta hukum dari Pemerintah itu sendiri.
3. Harga
kosmetik asli lebih mahal
Bukan menjadi hal baru lagi apabila
kosmetik original lebih mahal bila dibandingkan dengan kosmetik non-original.
Di dalam masyarakat pun harga kedua jenis kosmetik tersebut juga ibarat langit
dan bumi. Tidak mengeherankan memang, apabila kecenderungan kosmetik illegal
ternyata lebih murah daripada kosmetik legal. Bahkan kualitas-nya pun juga
sangat jauh berbeda. Sehingga dapat dipastikan bahwa apabila kosmetik yang
harganya jauh lebih “miring” dari harga aslinya maka kosmetik tersebut illegal
dan mengandung bahan-bahan berbahaya yang tentunya akan berdampak pada gangguan
kesehatan.
Banyak faktor-faktor yang
menyebabkan mengapa para pelaku usaha lebih memilih untuk menjual kosmetik
illegal bila dibandingkan dengan kosmeteik yang sifatnya legal yang tentunya
akan berdampak pada kuantitas harga. Diantaranya adalah besarnya biaya bea
masuk dan pajak yang harus dibayar oleh para pelaku usaha. Kadang kala, dalam
beberapa suatu kesempatan, pengenaan bea masuk tersebut dapat berjumlah dua
kali lipat dari harga kosmetik tersebut. Selain itu juga, adanya tindakan tidak
kooperatif dari pelaku usaha untuk tidak melakukan standarisasi terhadap produk
kosmetik-nya tersebut. Dengan dilakukannya cara tersebut maka usaha yang
dilakukan oleh para pelakun usaha untuk menekan harga produksi agar jauh lebih
murah. Hal ini lah yang kemudian memicu para pelaku usaha untuk menjual
kosmetik tersebut melalui black market
yang tentunya akan menambah stigma buruk bahwa produk kosmetik yang dijual
dengan harga murah tendensitas-nya adalah kosmetik illegal dan mengandung
bahan-bahan berbahaya.
Namun nampaknya suatu kebiasaan
masyarakt Indonesia khusunya para konsumen untuk lebih membeli kosmetik dengan
harga murah telah melembaga dan menjadi suatu kristalisasi dalam kehidupannya.
Prinsip yang mengatakan bahwa “lebih baik membeli produk murah dan mendapatkan
kualitas baik” nampaknya sudah tidak relevan lagi. Hal tersebut dikarenakan
untuk mendapatkan suatu produk (baca: kosmetik) yang mempunyai kualitas baik
haruslah membutuhkan biaya produksi yang tidak sedikit.
Selain itu juga yang perlu
diperhatikan oleh masyarakat bahwa banyak produk kosmetik yang sudah mempunyai
nama (terkenal) tapi djual dengan harga “miring”. Inilah yang terkadang tidak
disadari oleh para konsumen Indonesia. Mereka menganggap bahwa merek dari suatu
produk lebih diutamakan dari kuantitas harganya. Memang harga yang cukup mahal
tidak dapat menjamin bahwa produk tersebut aman untuk dipakai.[11]
Namun, apabila kita merujuk pada beberapa hasil penelitian dan pengawasan dari
BPOM bahwa kecenderungan kosmetik yang memiliki harga yang jauh lebih murah
dari produk asli-nya ataupun jauh dibawah harga pasar produk pada umumnya maka
kosmetik tersebut dapat dikategorikan sebgai kosmetik illegal.
Masyarakat hendaknya harus lebih
bijak dalam memilih suatu produk untuk dikonsumsi, khusunya para wanita. Para
wanita sering kali terjebak pada harga-haraga produk yang cukup menggiurkan.
Harga murah dan hasil “cespleng” jangan menjadi suatu acuan dalam membeli
kosmetik. Justru
harga murah dan hasil “cespleng” dalam tempo singkat 2 atau 3 bulan bahkan
hanya beberapa minggu, patut dicurigai dapat saja kosmetik itu merupakan
kosmetik ilegal dan mengandung bahan-bahan berbahaya.
Efektifitas Pelaksanaan Prinsip
Tanggung Jawab Produk Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
terhadap Kasus Kosmetik Ilegal
Sebagaimana diketahui bahwa tanggung
jawab produk (produk liability) merupakan
salah satu prinsip yang diakomodir dalam UUPK. Secara historis, jelas bahwa
prinsip ini tergolong prinsip yang masih sangat baru di telinga para konsumen
Indonesia. Sehingga sangat lumrah apabila eksistensi dan efektifitas dari
prinsip ini menjadi salah satu pembicaraan yang hangat bagi para kalangan tidak
hanya para konsumen.
Dalam perkembangannya, prinsip ini
berkaitan erat dengan prinsip tanggung jawab mutlak. Sehingga konsekuensinya
adalah bahwa dengan adanya prinsip ini maka produsen harus berhati-hati dengan
produknya, karena tanggung jawab dalam product
liability ini menganut prinsip tanggung jawab mutlak.[12]
Jadi jelaslah bahwa dalam hal ini, produsen harus lebih pro aktif dalam
memproteksi produksi dan distribusi produknya tersebut untuk dijual kepada para
konsumen.
Berkaitan dengan permasalahan
kosmetik illegal yang marak beberapa tahun ini, nampaknya keberadaan dari
prinsip ini untuk setidaknya lebih “mendukung” perolehan hak-hak konsumen untuk
mendapatkan perlindungan semakin jauh dari harapan. Banyak sekali hal-hal yang
mendasari penghambatan dari efektifitas prinsip tersebut khusunya menyangkut
permaslahan kosmetik ilegal. Apakah itu didasari oleh pola pikir konsumen itu
sendiri atapun pengaruh intervensi pelaku usaha. Sehingga dalam hal ini
konsumen selalu ditempatkan pada posisi yang tidak diuntungkan, karena konsumen
diharuskan untuk selalu bersikap hati-hati dalam membeli suatu produk (baca:
kosmetik).
Berikut beberapa faktor-faktor yang
menyebabkan kurang efektifnya prinsip tanggung jawab produk yang berkaitan
dengan kosmetik illegal:
1. Masih
banyak konsumen yang tidak mengajukan gugatan atas tanggung jawab produk
terhadap kosmetik ilegal
Sebagaimana layaknya gugatan[13],
maka hal tersebut merupakan hak dari konsumen itu sendiri untuk mengajukan
ganti rugi terhadap pelaku usaha yang telah menjual kosmetik ilegal. Namun,
karena sifat gugatan tersebut adalah “hak” jadi tidak ada paksaan bagi konsumen
untuk mengajukan gugatan tersebut.
Hal inilah yang sangat disayangkan.
Walaupun sifatnya hanya berupa hak, tapi dengan adanya hak itulah maka hak-hak
konsumen untuk mendapatkan perlindungan yang telah dijamin oleh UUPK dapat
terealisasi. Banyak alasan mengapa para konsumen yang dirugikan tidak
mengajukan gugatan terhadap tanggung jawab produk tersebut. Diantaranya adalah
karena mayoritas konsumen kosmetik ilegal merupakan masyarakat kalangan ekonomi
menengah keatas, sehingga mereka akan merasa malu apabila mengajukan gugatan
ganti rugi kepada pelaku usaha ke pengadilan. Mereka juga tidak mau apabila
masalah yang berkaitan dengan permasalahan pribadi layaknya akibat pemakaian
kosmetik ilegal tersebut sampai diketahui oleh orang banyak atau bahkan
dipublikasi media massa.
Berdasarkan penilitian yang
dilakukan oleh Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), bahwa sebagian
besar konsumen yang dirugikan akibat pemakian kosmetik ilegal lebih
berkeinginan langsung berobat ke dokter kulit.[14]
Mereka lebih baik “mengadu” kepada dokter, dikarenakan rahasia mereka akan
akibat yang diderita dari penggunaan kosmetik ilegal tidak akan dipublikasi
layaknya apabila mereka mengadu kepada YLKI. Sehingga dapat dipastikan tingkat
pengaduan konsumen yang dirugikan kepada YLKI sangatlah minim.
Tidak hanya itu, para konsumen yang
tidak mengajukan gugatan tersebut juga dipengaruhi oleh ketidakpahaman mereka
terhadap mekanisme yang harus dihadapi dalam konteks beracara di pengadilan.
Hal tersebut berkaitan dengan minimnya pengetahuan dan pendidikan para konsumen
yang sekaligus mempengaruhi tingkat kesadaran hukumnya.[15]
Oleh karena itu sangat diperlukan peranan beberapa lembaga-lembaga swadaya
masyarakat agar dapat melakukan penyuluhan terhadap mereka yang dirugikan
akibat tingkah laku para pelaku usaha.
Selanjutnya banyak para konsumen
yang tidak mengajukan gugatan adalah karena belum memperoleh suatu bukti yang
memadai. Untuk mendapatkan suatu bukti dan merentangkannya di pengadilan
tidaklah mudah. Karena selain korban/konsumen kosmetik ilegal harus dapat
membuktikan adanya hubungan kausalaitas antara perbuatan pelaku usaha dengan
kerugian konsumen, pelaku usaha juga dapat mengajukan kontra dalil yang dapat
melawan bukti yang diajukan konsumen.[16]
Jadi, setidaknya ada beberapa faktor
yang menyebabkan para konsumen tidak mengajukan gugatan atas tanggung jawab
produk kosmetik ilegal kepada para pelaku usaha. Hal inilah yang seharusnya
diperhatikan oleh pemerintah agar setidaknya efektifitas dari impleentasi
tanggung jawab produk tersebut dapat terlaksana dengan baik.
2. Kedudukan
pelaku usaha yang lebih kuat dibandingkan dengan konsumen
Dalam dunia bisnis, setidaknya ada
dua pihak yang terlibat didalamnya yaitu pelaku usaha (penjual) dan konsumen
(pembeli). Secara kontekstual kedudukan kedua pihak ini adalah seimbang dimana
para pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam melakukan transaksi. Namun, kedudukan
seimbang tersebut hanya berlaku dalam suatu kondisi yang dapat menguntungkan si
pelaku usaha.
Seharusnya terhadap kosumen yang
dirugikan atas produk kosmetik ilegal tersebut mengajukan gugatan ganti rugi ke
pengadilan. Tapi dalam tatanan praktis, banyak sekali para konsumen yang
mencabut atau enggan melakukan hal tersebut dengan berbagai macam alasan salah
satunya adalah pemahaman yang menyatakan bahwa kedudukan pelaku usaha lebih
kuat dibandingkan dengan konsumen. Tidak mengherankan memang apabila sudut
pandang kosumen selalu di-nomordua-kan, karena dalam hubungan tersebut
konsumenlah yang membutuhkan pelaku usaha bukan sebaliknya.
Konsumen selalu diibaratkan seperti “pemohon” yang hendak menginginkan
sesuatu kepada pelaku usaha. Dengan adanya kondisi sosiologis yang dialegtis
tersebut maka sudah barang tentu kedudukan penjual sedikit lebih diatas dari
konsumen. Sehingga hal inilah yang dapat mengahambat efektifitas dari implementasi
dari prinsip tanggung jawab produk tersebut.
Seringkali konsumen merasakan adanya
suatu tekanan secara psikis dari para pelaku usaha apabila tetap
mempermasalahkan prinsip tanggung jawab produk tersebut. Konsumen kosmetik
ilegal khususnya yang memilki kondisi ekonomi menengah kebawah akan merasakan
suatu ketakutan apabila berhadapan dengan si pelaku usaha. Tidak berlebihan
memang, karena mayoritas pelaku usaha itu sendiri adalah berasal dari kalangan
ekonomi menengah keatas. Dapat dipastikan, konsumen akan mengalami suatu
intervensi tidak hanya yang bersifat material tapi juga immaterial. Sebagai
contoh, terhadap konsumen yang memilki kedudukan ekonomi lemah biasanya mereka
tidak memiliki banyak kemampuan untuk menyewa pengacara, memeriksakan bukti
yang didapat ke laboratorium atau membayar ongkos perkara.[17]
Tidak hanya itu, faktor pendidikan
dan pengetahuan konsumen yang rendah terhadap kosmetik menjadi salah satu
penyebab terjadinya suatu ketimpangan antara kedudukan konsumen dan pelaku
usaha. Saat ini saja pendidikan dan pengetahuan konsumen atas kosmetik ilegal
masih sangat memprihatinkan. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak
diantara konsuem adalah seseorang yang memilki latar belakang akademis yang
cukup baik namun itu tidak berlaku dalam konteks dunia bisnis. Terkadang para
pelaku usaha lebih banyak mendominasi hal tersebut.
Persepsi yang menyatakan bahwa
kedudukan pelaku usaha lebih tinggi atau kuat bila dibandingkan dengan konsumen
bukan merupakan suatu yang baru. Hal tersebut setidaknya didasari oleh
pemikiran teori caveat emptor, dimana
konsumen harus lebih berhati-hati dan perlu mendapat informasi yang cukup
sebelum memutuskan untuk membeli atau memakai barang dan/atau jasa (baca:
kosmetik) dari pelaku usaha. Dengan adanya pemahaman teorits seperti ini maka
dalam transaksi secara hukum keduanya dalam kedudukan berimbang namun yang
lebih mengetahui keadaaan dan sifat suatu produk adalah pelaku usaha.
Sebaliknya, konsumen biasanya tidak
mengetahui sifat dan keadaan suatu barang yang akan dibelinya. Secara ekonomi,
kedudukan konsumen lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.
Selain itu konsumen mempunyai banyak keterbatasan ketika akan menuntut haknya
jika menganut teori ini. Berdasarkan teori tersebut, secara tersirat menyatakan
bahwa pada dasarnya kedudukan pelaku usaha lebih kuat dibandingkan konsumen
dengan berbagai macam argumentasi yang cukup masuk akal.
Dengan demikian, berkembangnya suatu
persepsi dan pemahaman yang menyatakan kedudukan pelaku usaha lebih kuat dibandingkan
dengan konsumen inilah yang akan membawa dampak terhambatnya pelaksanaan dari
prinsip tanggungjawab produk tersebut. Konsumen terlihat seperti “macan ompong”
ketika akan berhadapan dengan pelaku usaha yang telah membawa dirinya mengalami
kerugian atas pemakaian kosmetik ilegal.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU:
Celina Tri Siwi Kistiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar
Grafika
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung: 2009
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana
Indonesia, Edisi Revisi 2006
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja
Grafindo Persada
Subekti,
Hukum Perjanjian, PT
Intermassa, Jakarta
N.H.T Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Penerbit Pantai Rei
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
Keputusan
Presiden No. 13 Tahun 1997
Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001
INTERNET:
http://bioglodedejusha2.multiply.com/journal/item/2
http://bioglodedejusha2.multiply.com/journal/item/2
http://www.sinarharapan.co.id/.../bpom-sita-70-jenis-kosmetik-berbahaya/?.
DAFTAR
27 KOSMETIK BERBAHAYA BERDASARKAN HASIL UJI LABORATORIUM YANG DILAKUKAN BPOM
PADA TAHUN 2007:[18]
1. Doctor Kayama (Whitening Day Cream) diproduksi oleh CV. Estetika Karya Pratama, Jakarta mengandung merkuri.
2. Doctor Kayama (Whitening Night Cream) diproduksi oleh CV. Estetika Karya Pratama, Jakarta mengandung merkuri.
3. MRC Putri Salju Cream diproduksi oleh CV. Ngongoh Cosmetic, Bekasi mengandung retinoic acid.
4. MRC PS Crystal Cream diproduksi oleh CV. Ngongoh Cosmetic, Bekasi mengandung retinoic acid.
5. Blossom Day Cream, tak diketahui produsennya, mengandung Merkuri.
6.Blossom Night Cream, tak diketahui produsennya, mengandung Merkuri.
7. Cream Malam, distributor Lily Cosmetics, Yogyakarta mengandung Merkuri.
8. Day Cream Vitamin E Herbal diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.
9. Locos Anti Flek Vit.E dan Herbal diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.
10. Night Cream Vitamin E Herbal diproduksi PT. Locos, Bandung mengandung Merkuri.
11. Kosmetik Ibu Sari Krim Siang, tidak ada produsennya, mengandung Merkuri.
12. Krim Malam, tidak ada produsennya, mengandung Merkuri.
13. Meei Yung (putih) diimpor dari Huang Zhou mengandung Merkuri.
14. Meei Yung (kuning) diimpor dari Huang Zhou mengandung Merkuri.
15. New Rody Special (putih) diimpor dari Shenzhen, China mengandung Merkuri.
16. New Rody Special (kuning) diimpor dari Shenzen, China mengandung Merkuri.
17. Shee Na Whitening Pearl Cream dari Atlie Cosmetic mengandung Merkuri
18. Aily Cake 2 in 1 Eye Shadow "01", tidak ada produsennya, mengandung merah K.3.
19. Baolishi Eye Shadow diproduksi dari Baolishi Group Hongkong mengandung Rhodamin B (merah K.10).
20. Cameo Make Up Kit 3 in 1 Two Way Cake dan Multi Eye Shadow dan Blush dari Tailamei Cosmetic Industrial Company mengandung Rhodamin B.
21. Cressida Eye Shadow, tak ada produsennya, mengandung Rhodamin B.
22. KAI Eye Shadoq dan Blush On mengandung Rhodamin B.
23. Meixue Yizu Eye Shadow diproduksi oleh Meixue Cosmetic Co.Ltd mengandung Merah K.10.
24. Noubeier Blusher diproduksi oleh Taizhou Xhongcun Tianyuan mengandung Merah K 3.
25. Noubeier Blush On mengandung merah K 3 dan Rhodamin B.
26. Noubeier Pro-make up Blusher No.5 diproduksi oleh Taizhou Zhongcun Tianyuan Daily-Use Chemivals Co Ltd mengandung merah K3.
27. Sutsyu Eye Shadow diproduksi oleh Sutsyu Corp Tokyo mengandung Merah K3.
Merek
Kosmetik Berbahaya yang Dilarang Beredar:[19]
1. Yen Lye YL II Day Cream CL: No. pendaftaran palsu; produsen Yu Lin Co. Ltd Taipei, Taiwan; positif Mercuri/Hg
2. Yi Fuli Day dan Night Cream CL. 1006890202: No. pendaftaran palsu; tidak ada produsen, positif Mercuri/Hg
3. ARCHE Pearl Cream: tidak terdaftar; tidak ada produsen, positif Mercuri/Hg
4. Cecily Beauty Cream New Formula: tidak terdaftar; mengandung Mercuri (Hg)
5. Cream Mutiara (pagi) dan Cream Kuning (malam): tidak terdaftar; berasal dari Hongkong, positif Mercuri (Hg)
6. 6 CB Spesial Whitening Come Beauty Pearl Cream: tidak terdaftar; asal Taiwan; positif Mercuri (Hg)
7. Donna Peapis Crème, Tidak terdaftar, Produsen Donna Cosmetic, positif mengandung Hg (Merkuri)
8. Krem Kuning dan putih (aksara Cina), tidak terdaftar, tidak tercantum produsen/importir, mengandung Hg (Merkuri)
9. Leeya Whitening Daily dan Night Use, tidak terdaftar, asal Cina, mengandung Hg (Merkuri) & Kadar Hidrokuinon: 2,62%
[8]
Diatur Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan
Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana
telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103
Tahun 2001, merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok
mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia
[9]
Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001, Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) ditetapkan sebagai
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada
Presiden.
[11]
Lihat http://202.57.16.35/2008/id/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId=31517.
Setidaknya ada dua orang artis papan atas Indonesia yang menjadi korban dari
kosmetik illegal dengan harga yang cukup mahal, yaitu sekitar Rp 2,5 juta.
Benar kaka...sekarang apalagi dengan terbukanya persaingan dengan adanya sosial media yg menjadi wadah penjualan ada kemungkinan kosmetik ilegal dan bahkan bisa meracik sendiri tanpa dasar dan juga tanpa ada izin dari BPOM
ReplyDelete