".... tidak ada sanksi secara tertulis yang dijatuhkan kepada Indonesia jika melakukan pelanggaran hukum internasional berkenaan dengan masalah pengungsi, tapi tentunya akan ada penilaian dari negara-negara lain yang pada masanya akan bisa berdampak bagi Indonesia dalam tata pergaulan internasional ...."
A. Pengabaian Hak Minimum Pengungsi
Permasalahan
pengungsi saat ini sudah menjadi kepedulian bersama masyarakat Internasional.
Cikal bakal dan fokus kepedulian sangat terasa terutama usai perang dunia
kedua. Beribu-ribu orang mengungsi, khususnya negara-negara yang kalah pada
perang dunia kedua. Lahirnya Konvensi tentang Status Pengungsi, 28 Juli 1951
(selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta Protokol-nya 31 Januari 1967 (selanjutnya
disebut Protokol 1967) juga merupakan bukti sekaligus kepedulian negara-negara
di dunia untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sejak itu pulalah pengaturan
pengungsi masuk dalam bagian perbincangan Hukum internasional.
Hukum pengungsi internasional adalah bagian dari hukum
internasional. Hukum pengungsi internasional lahir demi menjamin keamanan dan
keselamatan pengungsi internasional di negara tujuan mengungsi. Selain
memberikan perlindungan di negara tujuan, pengungsi internasional juga
dilindungi oleh negara-negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara
tujuan mengungsi. Dengan demikian membicarakan hukum pengungsi internasional
akan lebih optimal jika memahaminya dari perspektif hukum internasional. Hukum
internasional diposisikan sebagai payung hukumnya. Hukum internasional itu
sendiri memiliki sejarah panjang bahkan sama tuanya dengan hukum nasional negara-negara.
Ia tumbuh dan berkembang dari kontribusi hukum-hukum nasional itu sendiri.[1]
Pengungsian
merupakan suatu bentuk perpindahan penduduk yang mempunyai ciri berbeda
daripada bentuk perpindahan penduduk lainnya. Ciri yang sedemikian itu
membedakan pengungsi dengan kategori migran lainnya serta berpengaruh terhadap
mekanisme perlindungan yang diterapkan kepada mereka.[2]
Perpindahan penduduk, baik, yang berada di wilayah negara maupun yang sudah
melintasi batas negara, merupakan peristiwa yang telah lama ada dalam sejarah
manusia dan semakin sering terjadi sekarang ini.[3]
Dari sudut pandang negara penerima, arus pengungsian selain merupakan masalah
kemanusiaan juga berdampak pada bidang keamanan, ekonomi dan keseimbangan
sosial politik di negara tempat ia mengungsi.[4]
Masalah internal di suatu negara dan berkurangnya bantuan internasional bagi
para pengungsi mengakibatkan semakin banyak negara menutup perbatasannya dari
gelombang pengungsi dalam jumlah yang besar.[5]
Terjadinya
pengusiran terhadap para pengungsi, baik oleh negara yang telah menjadi pihak
pada Konvensi 1951 maupun negara-negara yang belum menjadi pihak pada Konvensi
tersebut, telah meningkatkan penderitaan pengungsi menjadi semakin
berkepanjangan. Beberapa negara pihak pada Konvensi 1951 bahkan mengusir para
pengungsi dengan alasan para pengungsi tersebut mengancam keamanan nasional
atau mengganggu ketertiban umum di negara tersebut. Pengusiran terhadap
pengungsi yang dilakukan oleh negara pihak pada Konvensi 1951 berlawanan dengan
ketentuan Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai larangan pengusiran. Larangan
pengusiran yang terkenal dengan istilah prinsip non-refoulement[6]
merupakan suatu tonggak dalam hukum internasional. Pasal tersebut menetapkan
bahwa negara-negara pihak pada Konvensi ini tidak boleh mengusir atau mengembalikan
seorang pengungsi, dengan cara apapun, ke perbatasan wilayah negara pihak yang
akan mengancam kehidupan maupun kebebasan pengungsi karena alasan ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu ataupun karena opini
politiknya.[7]
Pasal 33 yang berisi prinsip non-refoulement ini termasuk dalam pasal-pasal
yang tidak dapat direservasi dan prinsip ini pun mengikat negara-negara bukan
peserta Konvensi 1951.[8]
Walaupun
Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi 1951 namun pada praktiknya
Indonesia secara konsisten telah menerapkan prinsip ini ketika menghadapi
eksodus pengungsi Vietnam.[9]
Pemerintah sampai saat ini belum mengajukan undang-undang untuk meratifikasi
Konvensi mengenai Status Pengungsi. Namun mengatasnamakan Hak Asasi Manusia,
DPR sepenuhnya mendukung rencana Pemerintah untuk meratifikasi Konvensi 1951.[10]
Perlu proses dalam meratifikasi Konvensi tersebut dan UNHCR menghargai komitmen
Indonesia untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM).[11]
Indonesia sebagai negara yang strategis di peta dunia, dapat menjadi ‘negara
penghasil’ ataupun ‘negara transit’ pengungsi dan hingga saat ini tidak pernah
ditemukan kasus, Indonesia menjadi negara tujuan akhir para pengungsi.
Pengabaian hak minimum pada pengungsi dan orang-orang
yang dipindahkan di dalam negeri merupakan dimensi lain dari hubungan antara
kedua masalah tersebut. Selama dalam proses mencari suaka, jumlah orang-orang
yang menghadapi upaya-upaya pembatasan, yang menyebabkan mereka tidak mempunyai
akses pada wilayah yang aman, semakin bertambah. Pada sejumlah contoh, pencari
suaka dan pengungsi ditahan dan dikembalikan dengan paksa ke daerah di mana
jiwa, kemerdekaan dan keamanan mereka terancam. Beberapa di antara mereka
diserang oleh kelompok bersenjata, atau dimasukkan menjadi anggota angkatan
bersenjata dan dipaksa berperang untuk salah satu pihak atau pihak lainnya
dalam pertikaian sipil. Pencari suaka dan pengungsi juga menjadi korban serbuan
berdasarkan ras. Para pengungsi mempunyai hak yang harus dihormati sebelum,
selama dan setelah proses pencarian suaka. Penghormatan terhadap HAM merupakan
syarat yang penting untuk mencegah dan menyelesaikan masalah arus pengungsi
saat ini.[12]
Oleh karena itu masalah
pengungsi telah menjadi isu internasional yang harus segera ditangani. Komitmen
masyarakat internasional untuk menentang segala bentuk tindakan pelanggaran HAM
berat, baik itu kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida,
atau kejahatan lainnya, yang menjadikan cikal bakal lahirnya pengungsi.[13]
Sepanjang sejarah manusia dibelahan bumi manapun selalu terpaksa melarikan diri
dari tempat kelahirannya mencari tempat untuk berlindung dari penganiayaan,
kekerasan, maupun konflik bersenjata, namun baru pada awal abad ke-20 negara-negara
menyadari bahwa untuk melindungi pengungsi dibutuhkan kerjasama global.[14]
Setiap negara mempunyai tugas umum untuk memberikan
perlindungan internasional sebagai kewajiban yang dilandasi Hukum internasional,
termasuk hukum hak asasi internasional dan hukum kebiasaan internasional. Jadi negara-negara
yang menjadi peserta / penanda-tangan Konvensi 1951 mengenai status pengungsi
dan / atau Protokol 1967 mempunyai kewajiban-kewajiban seperti yang tertera
dalam perangkat-perangkat hukum yang diatur dalam Konvensi 1951 (tentang kerangka
hukum bagi perlindungan pengungsi dan pencari suaka).
Akan tetapi di dalam praktiknya, banyak negara-negara
yang kemudian menangani pengungsi yang tidak sesuai standar internasional yang
sudah diatur dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 bahkan melanggar prinsip
mengenai larangan pengusiran atau pengembalian (non-refoulement) yang
sudah menjadi hukum kebiasaan internasional, sebut saja Thailand, yang telah
melanggar Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai prinsip non-refoulement yang
ia lakukan kepada para Pengungsi Rohingya yang datang ke negaranya. Seharusnya
Myanmar dapat bercermin kepada Kanada ataupun Australia yang tetap
mempertahankan politik multikulturalisme, yaitu tetap membiarkan
kominitas-komunitas budaya tetap hidup berdampingan tanpa kehilangan
identitasnya, kehidupan yang saling menghargai keyakinan dan pandangan budaya
masing-masing diutamakan dalam persatuan yang dibentuk.[15]
Dapat kita bayangkan, jika banyak negara melakukan hal
yang sama seperti yang dilakukan oleh Thailand terhadap pengungsi yang datang
ke wilayahnya. Namun disisi lain Thailand tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya,
ini dikarenakan Thailand adalah salah satu negara yang belum meratifikasi
Konvensi 1951 dan Protokol 1967, ini berbanding terbalik dengan apa yang
dilakukan oleh Indonesia.
Indonesia juga termasuk salah satu negara yang belum
meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 hingga Juli 2015. Namun, Indonesia
telah banyak membantu para pengungsi yang datang ke wilayahnya bahkan menangani
para pengungsi tersebut berdasarkan penanganan sesuai yang diatur dalam
Konvensi 1951. Beberapa diantaranya yaitu, non-diskriminasi terhadap pengungsi
yang berasal dari negara manapun (Pasal 3
Konvensi 1951), penyatuan (Pasal 20
Konvensi 1951), tempat tinggal (Pasal 21
Konvensi 1951), pendidikan (Pasal
22 Konvensi 1951), pertolongan publik (Pasal 23
Konvensi 1951) serta larangan pengusiran non-refoulement (Pasal 33 Konvensi 1951).
Penanganan-penanganan seperti ini sudah dilakukan oleh Indonesia mulai dari
tahun 1975, ini didukung pula dengan salah satu pasal dalam Konstitusi kita
yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain.[16]
Ketika terjadinya perang saudara antara Vietnam
Selatan dan Vietnam Utara (Vietkong)[17],
tercatat sekitar 250 ribu pengungsi mendarat di Pulau Galang, Kepulauan Riau,
Indonesia. Atas dasar kemanusiaan, pemerintah Indonesia memutuskan bekerjasama
dengan UNHCR untuk membuat penampungan bagi para pengungsi Vietnam
yang didanai oleh UNHCR. Selama delapan belas tahun para pengungsi tersebut
bertempat tinggal di Indonesia hingga pada tahun 1996 UNHCR memutuskan untuk
memulangkan para pengungsi ke negara asalnya karena dana yang tidak mencukupi
untuk membiayai penampungan tersebut, sehingga penampungan tersebut dibubarkan
dan ditutup untuk pengungsi. Peristiwa tersebut tidak sampai di situ saja,
setelah pemulangan pengungsi dari Vietnam tersebut, Indonesia saat ini telah
menjadi negara transit bagi para migran, pencari suaka dan pengungsi dengan negara
tujuan Australia.
Hingga 30 Juni 2014, terdapat 10.116 pengungsi dan pencari
suaka yang terdaftar oleh UNHCR di Indonesia, dimana 6.286 orang merupakan
pencari suaka dan 3.830 orang merupakan pengungsi. Dari jumlah tersebut,
terdapat 7.910 laki-laki dan 2.206 perempuan. Di antara pengungsi dan pencari
suaka yang terdaftar, terdapat 2.507 anak-anak dimana 798 di antaranya
merupakan anak-anak tanpa pendamping. Afghanistan, Myanmar, Sri Lanka,
Pakistan, Iran, dan Irak merupakan negara-negara asal utama para pengungsi dan
pencari suaka yang terdapat di Indonesia.[18] Para imigran, pencari suaka, dan pengungsi yang datang dari Aljazair,
Afghanistan, Iran, Cina, Sri Lanka hingga yang baru-baru ini yaitu Pengungsi
Rohingya yang berasal dari Myanmar dan Bangladesh.
Berdasarkan uraian di atas, menarik untuk dikaji dalam
tulisan ini, yaitu: Mengapa negara-negara yang bukan merupakan peserta pada
Konvensi 1951 juga terikat dengan prinsip non-refoulement ini? Apakah
penerapan prinsip non-refoulement bersifat absolut? Apa yang mendasari Indonesia melaksanakan prinsip non-refoulement?
Adakah sanksi yang dapat diberikan kepada Indonesia jika mengusir para pengungsi yang
datang ke wilayahnya?
B. Prinsip Non-Refoulement
juga Mengikat bagi Negara yang Bukan Peserta Konvensi 1951 sebagai Jus
Cogens
Prinsip
non-refouelement yang mencerminkan perlindungan minimum berdasarkan
alasan kemanusiaan tercantum dalam Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi.
Pasal 33 ini mencakup beberapa hal penting.[19]
Pertama, Konvensi 1951 hanya mengikat negara-negara yang telah menjadi pihak
pada Konvensi tersebut. Berdasarkan Pasal I ayat (2) Protokol 1967, suatu negara
yang tidak menjadi pihak pada Konvensi 1951 namun menjadi pihak pada Protokol,
juga terikat pada Pasal 2 hingga Pasal 34 Konvensi 1951. Dengan demikian, Pasal
33 Konvensi 1951 mengikat negara-negara yang menjadi pihak pada Konvensi 1951
atau Protokol 1967, atau pada kedua instrument tersebut.
Kedua,
Konvensi 1951 bersifat kemanusiaan. Hal ini secara jelas tercantum dalam
paragraf pembukaan Konvensi 1951 yang mengemukakan bahwa PBB peduli pengungsi
dan menjamin pengungsi mendapatkan hak-hak dasarnya serta kebebasannya
sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Hal
ini merupakan pengakuan dari seluruh negara terhadap aspek sosial dan
kemanusiaan dari masalah pengungsi.
Ketiga,
larangan pengusiran mengandung hal yang khusus. Hal ini didukung oleh Pasal 42
ayat (1) Konvensi 1951 yang mengecualikan Pasal 33 dari tindakan reservasi.
Dengan demikian larangan pengusiran dalam Pasal 33 Konvensi 1951 merupakan
suatu kewajiban non-derogable yang membangun esensi kemanusiaan dalam
Konvensi 1951. Sifat non-derogable larangan pengusiran ditegaskan
kembali oleh Pasal VII ayat (1) Protokol 1967. Komite Eksekutif UNHCR bahkan
lebih jauh menetapkan bahwa prinsip non-refoulement merupakan kemajuan peremptory
norm dalam Hukum internasional. Prinsip non-refoulement telah
dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional, yang bermakna seluruh negara,
baik telah menjadi Negara pihak maupun bukan, pada konvensi-konvensi pengungsi
dan/atau hak asasi manusia yang melarang pengusiran, berkewajiban untuk tidak
mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke negara dimana hidup atau
keamanan orang itu sungguh-sungguh berada dalam bahaya.[20]
Peremptory
norm atau disebut juga jus cogens atau ius cogens (dari bahasa
Latin yang berarti hukum yang memaksa) merupakan suatu prinsip dasar hukum
international yang diterima oleh negara-negara sebagai suatu norma yang tidak
dapat dikurangi pelaksanaannya. Sebagai peremptory norm atau jus
cogens, prinsip non-refoulement harus dihormati dalam segala keadaan
dan tidak dapat diubah. Hak dan prinsip mendasar ini telah diadakan untuk
kepentingan semua orang tanpa memandang apakah negara sudah menjadi pihak pada
Konvensi 1951 atau belum dan tanpa memperhatikan apakah orang tersebut sudah
diakui statusnya sebagai pengungsi atau tidak.
C.
Pengecualian dalam Penerapan
Prinsip Non-Refoulement
Pada
praktiknya penerapan prinsip non-refoulement ini tidak bersifat mutlak
atau absolut. Berdasarkan Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951 penerapan prinsip non-refoulement
tidak berlaku bila pengungsi tersebut keberadaannya mengancam keamanan nasional
atau mengganggu ketertiban umum di negara tempat ia mencari perlindungan.
Menurut
Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951, larangan memaksa pengungsi kembali ke negara di
mana ia mungkin mengalami persekusi tidak diterapkan kepada pengungsi yang
mengancam keamanan negara, atau ia telah mendapatkan putusan akhir dari hakim
atas kejahatan serius yang telah ia perbuat, serta membahayakan masyarakat negara
setempat. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk perkecualian yang sangat
mendesak. Hal tersebut bermakna, apabila perkecualian tersebut akan diterapkan,
maka harus dibuktikan bahwa terdapat hubungan langsung antara keberadaan pengungsi
di suatu negara dengan keamanan nasional negara itu yang terancam.[21]
Pengusiran
pengungsi yang sedemikian itu hanya akan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu
keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Kecuali
apabila alasan-alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa mengharuskan
lain, pengungsi itu akan diizinkan menyampaikan bukti untuk membersihkan
dirinya serta mengajukan banding kepada instansi yang berwenang.[22]
Pengecualian
penerapan non-refoulement mensyaratkan adanya unsur ancaman terhadap
keamanan negara dan gangguan terhadap ketertiban umum di negara setempat. Bagi
Indonesia, keamanan tidak hanya dalam konteks keamanan internal suatu negara,
namun juga dalam sistem keamanan pangan, kesehatan, keuangan dan perdagangan.[23]
Ancaman meliputi hambatan, tantangan dan gangguan.[24]
Dalam arti sempit, ancaman dapat bersifat terencana ataupun residual. Ancaman
terencana dapat berupa subversi maupun pemberontakan dalam negeri maupun
infiltrasi, subversi, sabotase dan invasi. Ancaman residual adalah berbagai
keadaan dalam masyarakat yang merupakan kerawanan ekonomi, sosial dan politik
yang apabila tidak ditangani secara tuntas pada waktunya, akan memicu kerusuhan
yang dapat dipergunakan oleh unsur-unsur subversi atau pemberontak untuk
kepentingannya.[25]
Dapat
dimaklumi bahwa arus pengungsi dalam jumlah besar dapat membebani perekonomian,
mengubah keseimbangan etnis, menjadi sumber konflik, yang bahkan dapat
mengakibatkan kekacauan politik tingkat lokal maupun nasional di suatu negara.[26]
Walter Lippmann sebagaimana dikutip Kusnanto Anggoro, menyatakan bahwa suatu negara
berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk
mengorbankan nilai-nilai yang dianggapnya penting (vital) dan jika dapat
menghindari perang atau jika terpaksa berperang, dapat keluar sebagai pemenang.[27]
Sementara
itu ketertiban umum adalah suatu keadaan di mana pemerintah dan rakyat dapat
melakukan kegiatan secara tertib dan teratur. Mengingat unsur-unsur tersebut di
atas, apabila Indonesia harus melakukan pengusiran pengungsi maka beberapa
peraturan perundang-undangan berikut sangat layak menjadi dasar
pertimbangannya, misalnya UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, KUHP Buku
Ketiga Bab II mengenai Pelanggaran Ketertiban Umum, Peraturan Presiden No. 7
Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, UU No. 20 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia, UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, UU No. 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita, Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi mengenai
Hak-Hak Anak, UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia serta Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1994
tentang Tata Cara Pencegahan dan Penangkalan serta peraturan pelaksananya.
Lebih
lanjut dari perspektif hukum keimigrasian, batasan yang harus dipahami dalam
konsep prinsip non-refoulement adalah
dalam bahwa politik hukum keimigrasian yang dianut oleh Indonesia saat ini
adalah kebijakan selektif (selective
policy) yang berdasarkan pada asas kemanfaatan. Maksudnya, hanya orang
asing yang membawa manfaat bagi negara yang dapat masuk dan tinggal di
Indonesia. Orang asing tersebut harus memiliki dokumen perjalanan dan visa yang
sah dan masih berlaku. Sehingga tidak semua pencari suaka atau pengungsi
sekalipun yang mendapat jaminan mutlak untuk tinggal di Indonesia dengan dalih
prinsip non-refoulement. Jadi
kebijakan selektif ini lah yang secara tidak langsung menjadi filter bagi
penerapan prinsip non-refoulement di
Indonesia.
D.
Alasan Mendasar Indonesia Melaksanakan Prinsip Non Refoulement
1. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Jenewa IV, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Mengatur tentang Prinsip Non-Refoulement)
1. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Jenewa IV, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Mengatur tentang Prinsip Non-Refoulement)
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Universal
Declaration of Human Right 1948 (Deklarasi Universal HAM),
setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka dari negara lain
karena takut akan penyiksaan. Setiap pencari suaka-pun memiliki hak untuk
tidak diusir atau dikembalikan secara paksa apabila mereka telah tiba di suatu negara
dengan cara yang tidak lazim. Prinsip ini kemudian dikenal sebagai non-refoulement.
Pasal 33 (1) Konvensi tentang Status Pengungsi 1951
menyebutkan bahwa negara-negara peserta Konvensi ini tidak diperbolehkan untuk
mengusir ataupun mengembalikan pengungsi dalam bentuk apapun ke luar wilayahnya
dimana keselamatan dan kebebasan mereka terancam karena alasan ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial ataupun pandangan politiknya[28],
selain itu definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Michelle Foster :
“The key protection in the Refugee Convention is
non-refoulement, the obligation on states not to return a refugee to place in
which he will face the risk of being persecuted” (inti dari perlindungan terhadap pengungsi adalah negara berkewajiban untuk
tidak memulangkan para pengungsi ke negara asal dimana keselamatan mereka
terancam karena adanya penyiksaan).[29]
Prinsip non-refoulement ini tidak
hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun juga tercantum secara implisit maupun
eksplisit pada Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture)
Pasal 3, Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva Convention) tahun 1949 pada
Pasal 45 paragraf 4, pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights) 1966 Pasal 13, dan
instrumen-instrumen HAM lainnya.
Prinsip inipun telah diakui sebagai bagian dari hukum
kebiasaan internasional (international customary law). Dalam arti, negara
yang belum menjadi pihak (state parties) dari Konvensi Pengungsi 1951
pun harus menghormati prinsip non-refoulement ini. Prinsip
utama yang melatar belakangi perlindungan internasional bagi pengungsi, perangkat-perangkat
kuncinya adalah Konvensi 1951 dan Protokol 1967,[30]
ketentuan-ketentuan yang tercakup di dalamnya termasuk :
a. larangan untuk memulangkan pengungsi dan pencari suaka yang beresiko
menghadapi penganiayaan saat dipulangkan (prinsip non-refoulement).
b. persyaratan untuk memperlakukan semua pengungsi dengan cara yang non-diskriminatif.
c. standar perlakuan terhadap pengungsi.
d. kewajiban pengungsi kepada negara tempatnya suaka.
e. tugas negara untuk bekerja sama dengan UNHCR dalam melaksanakan
fungsi-fungsinya.
Namun lebih spesifik lagi yang dimaksud dengan
prinsip non-refoulement (larangan pengusiran dan pengembalian)
adalah :
a. melarang pengembalian pengungsi dengan cara apapun ke negara atau wilayah
dimana hidup atau kebebasannya terancam dikarenakan ras, agama, kebangsaan,
keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya.
b. Pengecualian hanya dapat dilakukan jika pengungsi yang bersangkutan
merupakan ancaman bagi keamanan nasional atau yang bersangkutan telah dijatuhi
hukuman atas kejahatan yang serius, berbahaya bagi masyarakat namun tidak
berlaku jika individu tersebut menghadapi resiko penyiksaan atau perlakuan atau
hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau menghinakan.
c. Sebagai bagian dari hukum adat dan traktat, prinsip dasar ini mengikat
semua negara.
2. Kewajiban Negara Terhadap Aturan Hukum Kebiasaan Internasional (Berdasarkan
Aspek Moral dan Etika Dalam Penegakan Hukum internasional).
Moral dan etika pada hakekatnya merupakan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menurut keyakinan seseorang atau
masyarakat dapat diterima dan dilaksanakan secara benar dan layak. Dengan
demikian prinsip dan nilai-nilai tersebut berkaitan dengan sikap yang benar dan
yang salah yang mereka yakini. Etika sendiri sebagai bagian dari falsafah
merupakan sistim dari prinsip-prinsip moral termasuk aturan-aturan untuk
melaksanakannya.[31]
Dalam Hukum internasional moral dan etika tersebut dikaitkan
pada kewajiban subyek hukum internasional antara lain seperti negara untuk
melaksanakan dengan etikat baiknya ketentuan-ketentuan di dalam Hukum
internasional tersebut yang merupakan perangkat prinsip-prinsip dan
aturan-aturan yang pada umumnya sudah diterima dan disetujui oleh masyarakat
internasional[32] seperti
halnya prinsip larangan pemulangan kembali ke negara asal atau pengusiran para
pencari suaka yang masuk kedalam wilayah suatu negara (prinsip non-refoulement).
Sehubungan dengan hal itu, hukum internasional memberikan dasar hukum bagi
pengelolaan secara tertib dalam hubungan internasional.
Negara sebagai subyek hukum internasional dan sebagai
anggota masyarakat internasional sudah tentu harus menghormati dan melaksanakan
bukan saja aturan hukum kebiasaan internasional (rules of customary
international law) yang sudah merupakan aturan-aturan hukum yang sudah
diterima oleh masyarakat internasional secara luas, tetapi juga prinsip-prinsip
hukum internasional yang tersusun dalam instrumen-instrumen internasional di
mana negara tersebut menjadi pihak.
Aturan-aturan hukum kebiasaan internasional tersebut
merupakan praktek praktek umum yang sudah diterima oleh semua negara sebagai
hukum yang hampir semuanya terdiri dari elernen-elemen yang bersifat konstitutif.[33]
Praktek-praktek negara tersebut bersifat tetap dan seragam dan membentuk suatu
kebiasaan. Praktek-praktek tersebut telah meningkat pelaksanaannya secara
universal karena banyak negara lagi yang telah menggunakannya sebagai kebiasaan
seperti halnya prinsip non-refoulement.
Sebelum hukum dibuat oleh negara maka dalam mengatur
hubungan internasional telah digunakan kebiasaan-kebiasaan.[34]
Sebelum kebiasaan itu menjadi hukum maka kebiasaan itu harus berlangsung
dalam waktu yang cukup lama agar dapat memperoleh persetujuan bersama dari
anggota masyarakat internasional. Kebiasaan sebagai suatu sumber hukum
internasional pada umumnya telah diterima dan diakui oleh para ahli hukum baik
dari dunia Barat maupun dunia Timur. Menurut pandangan Mahkamah
Internasional untuk menjadikan suatu aturan hukum kebiasaan internasional,
memang diperlukan suatu masa yang cukup panjang, dimana kepentingan negara-negara
akan terpengaruh secara khusus dan aturan-aturan tersebut dikenakan secara luas
dan seragam.[35]
3.
Penerapan prinsip non-refoulement
di Indonesia
Non-refoulement
tidak
sama dengan deportasi ataupun pemindahan secara paksa. Deportasi ataupun
pengusiran terjadi ketika warga negara asing dinyatakan bersalah karena
melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan negara setempat atau ia
menjadi tersangka perbuatan pidana di suatu negara dan melarikan diri dari
proses peradilan.[36]
Prinsip non-refoulement tidak hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun
secara tersirat dapat ditemukan dalam Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal
45 paragraf 4 Konvensi Jenewa IV tahun 1949, Pasal 13 Kovenan Internasional
Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966, Pasal 24 Tap MPR No. XVII/1998 mengenai
HAM, Pasal 28 G ayat 2 UUD 1945, Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 39/1999 mengenai
HAM, Pasal 26-28 UU No. 37/1999 mengenai Hubungan Luar Negeri.
Praktik
penerapan prinsip non-refoulement ini di Indonesia dilaksanakan berdasarkan
Surat Direktur Jenderal Imigrasi (untuk selanjutnya disebut dengan Surat
Dirjen) Nomor F-IL.01.10-1297 tentang
Penanganan Imigran Ilegal dan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor
IMI-1487.UM.08.05 Tahun 2010 yang ditandatangani pada tanggal 17 September 2010, yang ditujukan,
untuk memberikan petunjuk mengenai penanganan terhadap orang asing yang
menyatakan diri sebagai pencari suaka atau pengungsi.
Surat
tersebut menegaskan bahwa Indonesia secara umum menolak orang asing yang datang
memasuki wilayah Indonesia jika tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan
yang berlaku. Hal ini wajar mengingat setiap negara berhak menentukan orang
asing mana saja yang diijinkan masuk ke wilayahnya. Kemungkinan masalah timbul
dalam hal masuknya pengungsi, baik secara ilegal maupun legal, yang tidak boleh
dikembalikan ke daerah yang membahayakan dirinya. Namun jika pengungsi tersebut
terbukti melakukan tindak pidana, maka berdasarkan PP No. 30 Tahun 1994
mengenai Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan, Pemerintah berhak
menangkal pengungsi tersebut masuk ke wilayah RI.
Surat
Dirjen tersebut menegaskan pula jika terdapat orang asing yang menyatakan
mencari suaka saat tiba di Indonesia, ia tidak dikenakan tindakan imigrasi
berupa pendeportasian ke wilayah negara yang mengancam kehidupan dan
kebebasannya. Isi surat ini sangat sesuai dengan prinsip non-refoulement.
Selanjutnya
surat tersebut mengingatkan bahwa bila di antara orang asing dimaksud diyakini
terdapat indikasi sebagai pencari suaka atau pengungsi, maka petugas setempat
segera menghubungi UNHCR untuk penentuan statusnya. Dalam hal kedatangan orang
asing yang mencari suaka sedang diperiksa di Tempat Pemeriksaan Imigrasi yang
jauh dari Kantor Perwakilan UNHCR, maka petugas harus melakukan koordinasi dan
kesepakatan dengan penanggung jawab alat angkut sambil menunggu kedatangan
pejabat Perwakilan UNHCR.
Selanjutnya
dalam surat tersebut dietapkan bahwa orang asing yang telah memperoleh Attestation
Letter atau Surat Keterangan sebagai pencari suaka, pengungsi dan atau
seseorang yang berada di bawah perlindungan UNHCR, tidak akan dipermasalahkan
status izin tinggalnya selama di Indonesia. Apabila orang asing yang telah memperoleh status dari UNHCR
sebagai pencari suaka atau pengungsi tersebut tidak mentaati ketentuan hukum,
maka ia diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Isi surat
tersebut berkaitan dengan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Pasal 75
yang menyatakan bahwa tindakan keimigrasian dilakukan terhadap orang asing yang
berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya atau patut diduga
akan membahayakan keamanan dan ketertiban umum, atau tidak menghormati atau
mentaati peraturan perundangundangan yang berlaku.
Oleh
karena itu, pengaturan hukum untuk menolak dan mengeluarkan orang asing tentu
harus mempertimbangkan hak asasi manusia sebagaimana telah diatur dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dan konvensi-konvensi internasional yang sudah diratifikasi
Pemerintah Indonesia.
E.
Tidak Ada Sanksi Tertulis Bagi
Indonesia
Sanksi disini perlu dibedakan dengan hukum pidana yang
dijatuhkan manakala ada penguasa yang melakukan pelanggaran serius hak asasi
manusia, seperti yang ada di pengadilan Rwanda dan bekas Yugoslavia. Tidak ada
sanksi secara tertulis yang dijatuhkan kepada Indonesia jika melakukan
pelanggaran hukum internasional berkenaan dengan masalah pengungsi, tapi
tentunya akan ada penilaian dari negara-negara lain yang pada masanya akan bisa
berdampak bagi Indonesia dalam tata pergaulan internasional.
F.
Kesimpulan
1. Prinsip non-refoulement juga mengikat negara-negara
bukan peserta pada Konvensi 1951 karena prinsip ini merupakan jus cogens dan
peremptory norm. Sebagai jus cogens dan peremptory norm maka
prinsip non-refoulement telah menjadi hukum kebiasaan internasional
sehingga daya ikatnya secara hukum melingkupi pula negara-negara yang tidak
menjadi pihak pada Konvensi 1951;
2. Berdasarkan Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951, pelaksanaan
prinsip non-refouelement tidak bersifat mutlak atau absolut.
Pengecualian hanya dapat dilakukan jika pengungsi yang bersangkutan menjadi
ancaman bagi keamanan nasional dan mengganggu ketertiban umum;
3. Alasan mendasar Indonesia melaksanakan prinsip non-refoulement adalah (i) Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Anti Penyiksaan, Konvensi Jenewa IV, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
dan Politik (Mengatur tentang prinsip non-refoulement),
(ii) kewajiban negara terhadap aturan hukum kebiasaan internasional
(berdasarkan aspek moral dan etika dalam penegakan hukum internasional), dan
(iii) telah adanya instrument hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait
dengan prinsip non-refoulement;
4.
Tidak ada sanksi secara tertulis
yang dijatuhkan kepada Indonesia jika melakukan pelanggaran hukum internasional
berkenaan dengan masalah pengungsi.
Tangerang, Agustus 2015
M. Alvi Syahrin
[1] M. Alvi Syahrin, “Posisi dan Perkembangan Hukum Pengungsi”, Lihat pada
http://muhammadalvisyahrin.blogspot.com/2014/10/posisi-dan-perkembangan-hukum-pengungsi.html
[2] Jovan Patrnogic, “Introduction to
International Refugee Law” (makalah yang dibawakan pada Refugee Law Courses,
the International Institute of Humanitarian Law, San Remo, Italy, September
1996), hal., 9
[3] Myron Weiner, “Global Movement,
Global Walls: responses to migration, 1885-1925”, dalam Gung Wu., ed., Global
History and Migration (Oxford: Westview Press, 1997), hal., 131
[4] Gill Loescher, Beyond Charity:
International Cooperation and the Global Refugee Crisis (New York: Oxford
University Press, 1993), hal., 11
[5] UNHCR, the State of the World’s
Refugees 1997-1998, A Humanitarian Agenda (New York: Oxford University
Press, 1998), hal. 51
[6] Non-refoulement, dari akar
kata refouler (bahasa Perancis) yang artinya mengembalikan atau mengirim
balik.
[7] Konvensi mengenai Status Pengungsi,
25 Juli 1951, Pasal 33
[8] Jovan Patrnogic, Op. Cit.
hal. 19
[9] Enny Soeprapto, Bijaksanakah RI
Menolak Ratifikasi Konvensi PBB tentang Pengungsi?, tersedia di
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/25/lua03.html, September 2011
[10] Tosari Wijaya, DPR Dukung
Ratifikasi Konvensi Tentang Pengungsi, tersedia di
http://www.gatra.com/2006-06-20/artikel.html., 20 September 2011.
[11] Tosari Wijaya. Op. Cit.
[12] M Alvi Syahrin, “Perlindungan HAM dalam Konsep Hukum
Pengungsi Internasional”, Lihat
http://muhammadalvisyahrin.blogspot.com/2014/10/perlindungan-ham-dalam-konsep-hukum.html
[13] Kadarudin, Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Rohingya
Menurut Konvensi 1951. Jurnal Hukum internasional “Jurisdictionary” Vol.
VI Nomor 1. Juni 2010. Makassar: Bagian Hukum internasional Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Hlm. 114
[14] UNHCR, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, melindungi
orang-orang yang menjadi perhatian UNHCR. (Switzerland: Komisariat Tinggi
PBB untuk Urusan Pengungsi, 2005). Hlm. 5
[15] Hendra Nurtjahjo. Ilmu
Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen. (Jakarta: Rajawali Pers,
2005). Hlm. 58
[16] Fandi Ahmad dan Tim Setia Kawan. UUD 1945
Amandemen Pertama-Ke empat (1999 - 2002).(Jakarta: Setia Kawan, 2004). Pasal 28G ayat 2, Hlm. 23
[17] Lihat Anonim. 2011. Kisah Pilu Manusia Perahu
Vietnam (Http://www.dewo .word press.com/2006/02/16/kisah-pilu-manusia-perahu-vietnam).
Diakses pada hari Minggu, 26 Juni 2015, Pukul 20:06 WIB
[18] Lihat
http://suaka.or.id/2014/07/23/perkembangan-isu-pengungsi-dan-pencari-suaka-di-indonesia/,
diakses pada hari Minggu, 02 Agustus 2015, Pukul 09.55 WIB
[19] Sir Elihu Lauterpacht & Daniel
Bethlehem, The Scope and Content of the Principle of Non-Refoulement, United
Nations High Commissioner for Refugees, 20 June 2001, hal. 20-21.
[20] UNHCR, Refugee Protection: A
Guide to International Refugee Law, December 2001
[21] Human Rights Watch, “Human Rights
Implications of European Union Internal Security Proposals and Measures in the
Aftermath of the 11 September Attacks in the United States”, tersedia di
http://www.hrw.org/press/2001/11/eusecurity.html.
[22] Konvensi 1951 mengenai Status
Pengungsi, Pasal 32 ayat 2.
[23] J. Ann Tickner, “Re-visioning
Security,” International Relations Theory Today (London: Ken Booth dan
Steve Smith, eds., 1994), hal. 180.
[24] Sjaafroedin Bahar dkk, Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara Tahap Lanjutan (Jakarta: Intermedia, 1994), hal.
68.
[25] Ibid., hal. 71.
[26] Myron Weiner, Op. cit., hal.,
131.
[27] Kusnanto Anggoro, “Keamanan
Nasional, Pertahanan Negara dan Ketertiban Umum”, makalah pembanding dalam
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Hotel Kartika Plaza,
Denpasar, Bali, 14 Jull 2003
[28] Sulaiman Hamid. Lembaga
Suaka dalam Hukum internasional. (Jakarta: Rajawali Pers, 2002). Hlm. 96
[29] Michelle Foster. Protection Elsewhere: the Legal
Implications of Requiring Refugees to seek Protection in Another State.
(Michigan Journal of International Law Volume 28:223, 2007). Hlm.
226.
[30] UNHCR, Pengenalan tentang Perlindungan
Internasional, melindungi orang-orang yang menjadi perhatian UNHCR. Op.Cit. Hlm.
39
[31] Sumaryo Suryokusumo. Aspek Moral dan Etika Dalam Penegakan
Hukum internasional.(Makalah, 2003). Denpasar: Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manususia. Hlm.1. Lihat Juga Sinclair, John
M. 1988. English Language Dictionary (London: Collins, 1988). Lihat
juga Hornby, AS. Oxford Edvanee Leaner's Dictionary of Current
English (London: Oxford University Press, 2000). Hlm. 174
[32] Oppenheim-Lauterpacht, dalam bukunya C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Modul Hukum internasional,
(Jakarta: Djambatan, 2002). Hlm 105
[33] Sumaryo Suryokusumo. Op.Cit. Lihat
Juga Maryan Green, N.A. lnternational Law, Law of Peace(London: MacDonald
& Evans Ltd, 1973). Hlm. 18
[34] Sumaryo Suryokusumo. Op.Cit. Lihat
Juga Quincy Wright, Custom as Basis for InternationaI Law, in the
Postwar World, Texas International Law Forum (Summer, 1966), No.2
[35] Sumaryo Suryokusumo. Op.Cit. Lihat
Juga Karol Wolfke, Monograf berjudul Custom in Present International Law (Waesaw,
1964)
[36] Sigit Riyanto, “Prinsip
Non-refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum internasional”, Mimbar
Hukum, Vol 22, No. 3, Oktober 2010, hal. 435.
Keren tulisannya, kenapa gak dimuat di jurnal aja?
ReplyDeleteTerima kasih. Dalam waktu dekat ini akan dimuat.
ReplyDelete