Sunday, February 28, 2016

KAJIAN KRITIS PRINSIP NON-REFOULEMENT DI INDONESIA: DISKURSUS DAN PENERAPANNYA

".... tidak ada sanksi secara tertulis yang dijatuhkan kepada Indonesia jika melakukan pelanggaran hukum internasional berkenaan dengan masalah pengungsi, tapi tentunya akan ada penilaian dari negara-negara lain yang pada masanya akan bisa berdampak bagi Indonesia dalam tata pergaulan internasional ...."

A.     Pengabaian Hak Minimum Pengungsi
Permasalahan pengungsi saat ini sudah menjadi kepedulian bersama masyarakat Internasional. Cikal bakal dan fokus kepedulian sangat terasa terutama usai perang dunia kedua. Beribu-ribu orang mengungsi, khususnya negara-negara yang kalah pada perang dunia kedua. Lahirnya Konvensi tentang Status Pengungsi, 28 Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta Protokol-nya 31 Januari 1967 (selanjutnya disebut Protokol 1967) juga merupakan bukti sekaligus kepedulian negara-negara di dunia untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sejak itu pulalah pengaturan pengungsi masuk dalam bagian perbincangan Hukum internasional.
Hukum pengungsi internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum pengungsi internasional lahir demi menjamin keamanan dan keselamatan pengungsi internasional di negara tujuan mengungsi. Selain memberikan perlindungan di negara tujuan, pengungsi internasional juga dilindungi oleh negara-negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara tujuan mengungsi. Dengan demikian membicarakan hukum pengungsi internasional akan lebih optimal jika memahaminya dari perspektif hukum internasional. Hukum internasional diposisikan sebagai payung hukumnya. Hukum internasional itu sendiri memiliki sejarah panjang bahkan sama tuanya dengan hukum nasional negara-negara. Ia tumbuh dan berkembang dari kontribusi hukum-hukum nasional itu sendiri.[1]
Pengungsian merupakan suatu bentuk perpindahan penduduk yang mempunyai ciri berbeda daripada bentuk perpindahan penduduk lainnya. Ciri yang sedemikian itu membedakan pengungsi dengan kategori migran lainnya serta berpengaruh terhadap mekanisme perlindungan yang diterapkan kepada mereka.[2] Perpindahan penduduk, baik, yang berada di wilayah negara maupun yang sudah melintasi batas negara, merupakan peristiwa yang telah lama ada dalam sejarah manusia dan semakin sering terjadi sekarang ini.[3] Dari sudut pandang negara penerima, arus pengungsian selain merupakan masalah kemanusiaan juga berdampak pada bidang keamanan, ekonomi dan keseimbangan sosial politik di negara tempat ia mengungsi.[4] Masalah internal di suatu negara dan berkurangnya bantuan internasional bagi para pengungsi mengakibatkan semakin banyak negara menutup perbatasannya dari gelombang pengungsi dalam jumlah yang besar.[5]
Terjadinya pengusiran terhadap para pengungsi, baik oleh negara yang telah menjadi pihak pada Konvensi 1951 maupun negara-negara yang belum menjadi pihak pada Konvensi tersebut, telah meningkatkan penderitaan pengungsi menjadi semakin berkepanjangan. Beberapa negara pihak pada Konvensi 1951 bahkan mengusir para pengungsi dengan alasan para pengungsi tersebut mengancam keamanan nasional atau mengganggu ketertiban umum di negara tersebut. Pengusiran terhadap pengungsi yang dilakukan oleh negara pihak pada Konvensi 1951 berlawanan dengan ketentuan Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai larangan pengusiran. Larangan pengusiran yang terkenal dengan istilah prinsip non-refoulement[6] merupakan suatu tonggak dalam hukum internasional. Pasal tersebut menetapkan bahwa negara-negara pihak pada Konvensi ini tidak boleh mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi, dengan cara apapun, ke perbatasan wilayah negara pihak yang akan mengancam kehidupan maupun kebebasan pengungsi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu ataupun karena opini politiknya.[7] Pasal 33 yang berisi prinsip non-refoulement ini termasuk dalam pasal-pasal yang tidak dapat direservasi dan prinsip ini pun mengikat negara-negara bukan peserta Konvensi 1951.[8]
Walaupun Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi 1951 namun pada praktiknya Indonesia secara konsisten telah menerapkan prinsip ini ketika menghadapi eksodus pengungsi Vietnam.[9] Pemerintah sampai saat ini belum mengajukan undang-undang untuk meratifikasi Konvensi mengenai Status Pengungsi. Namun mengatasnamakan Hak Asasi Manusia, DPR sepenuhnya mendukung rencana Pemerintah untuk meratifikasi Konvensi 1951.[10] Perlu proses dalam meratifikasi Konvensi tersebut dan UNHCR menghargai komitmen Indonesia untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM).[11] Indonesia sebagai negara yang strategis di peta dunia, dapat menjadi ‘negara penghasil’ ataupun ‘negara transit’ pengungsi dan hingga saat ini tidak pernah ditemukan kasus, Indonesia menjadi negara tujuan akhir para pengungsi.
Pengabaian hak minimum pada pengungsi dan orang-orang yang dipindahkan di dalam negeri merupakan dimensi lain dari hubungan antara kedua masalah tersebut. Selama dalam proses mencari suaka, jumlah orang-orang yang menghadapi upaya-upaya pembatasan, yang menyebabkan mereka tidak mempunyai akses pada wilayah yang aman, semakin bertambah. Pada sejumlah contoh, pencari suaka dan pengungsi ditahan dan dikembalikan dengan paksa ke daerah di mana jiwa, kemerdekaan dan keamanan mereka terancam. Beberapa di antara mereka diserang oleh kelompok bersenjata, atau dimasukkan menjadi anggota angkatan bersenjata dan dipaksa berperang untuk salah satu pihak atau pihak lainnya dalam pertikaian sipil. Pencari suaka dan pengungsi juga menjadi korban serbuan berdasarkan ras. Para pengungsi mempunyai hak yang harus dihormati sebelum, selama dan setelah proses pencarian suaka. Penghormatan terhadap HAM merupakan syarat yang penting untuk mencegah dan menyelesaikan masalah arus pengungsi saat ini.[12]
Oleh karena itu masalah pengungsi telah menjadi isu internasional yang harus segera ditangani. Komitmen masyarakat internasional untuk menentang segala bentuk tindakan pelanggaran HAM berat, baik itu kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, atau kejahatan lainnya, yang menjadikan cikal bakal lahirnya pengungsi.[13] Sepanjang sejarah manusia dibelahan bumi manapun selalu terpaksa melarikan diri dari tempat kelahirannya mencari tempat untuk berlindung dari penganiayaan, kekerasan, maupun konflik bersenjata, namun baru pada awal abad ke-20 negara-negara menyadari bahwa untuk melindungi pengungsi dibutuhkan kerjasama global.[14]
Setiap negara mempunyai tugas umum untuk memberikan perlindungan internasional sebagai kewajiban yang dilandasi Hukum internasional, termasuk hukum hak asasi internasional dan hukum kebiasaan internasional. Jadi negara-negara yang menjadi peserta / penanda-tangan Konvensi 1951 mengenai status pengungsi dan / atau Protokol 1967 mempunyai kewajiban-kewajiban seperti yang tertera dalam perangkat-perangkat hukum yang diatur dalam Konvensi 1951 (tentang kerangka hukum bagi perlindungan pengungsi dan pencari suaka).
Akan tetapi di dalam praktiknya, banyak negara-negara yang kemudian menangani pengungsi yang tidak sesuai standar internasional yang sudah diatur dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 bahkan melanggar prinsip mengenai larangan pengusiran atau pengembalian (non-refoulement) yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional, sebut saja Thailand, yang telah melanggar Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai prinsip non-refoulement yang ia lakukan kepada para Pengungsi Rohingya yang datang ke negaranya. Seharusnya Myanmar dapat bercermin kepada Kanada ataupun Australia yang tetap mempertahankan politik multikulturalisme, yaitu tetap membiarkan kominitas-komunitas budaya tetap hidup berdampingan tanpa kehilangan identitasnya, kehidupan yang saling menghargai keyakinan dan pandangan budaya masing-masing diutamakan dalam persatuan yang dibentuk.[15]
Dapat kita bayangkan, jika banyak negara melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Thailand terhadap pengungsi yang datang ke wilayahnya. Namun disisi lain Thailand tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, ini dikarenakan Thailand adalah salah satu negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, ini berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Indonesia.
Indonesia juga termasuk salah satu negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 hingga Juli 2015. Namun, Indonesia telah banyak membantu para pengungsi yang datang ke wilayahnya bahkan menangani para pengungsi tersebut berdasarkan penanganan sesuai yang diatur dalam Konvensi 1951. Beberapa diantaranya yaitu, non-diskriminasi terhadap pengungsi yang berasal dari negara manapun (Pasal 3 Konvensi 1951), penyatuan (Pasal 20 Konvensi 1951), tempat tinggal (Pasal 21 Konvensi 1951), pendidikan (Pasal 22 Konvensi 1951), pertolongan publik (Pasal 23 Konvensi 1951) serta larangan pengusiran non-refoulement (Pasal 33 Konvensi 1951). Penanganan-penanganan seperti ini sudah dilakukan oleh Indonesia mulai dari tahun 1975, ini didukung pula dengan salah satu pasal dalam Konstitusi kita yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.[16]
Ketika terjadinya perang saudara antara Vietnam Selatan dan Vietnam Utara (Vietkong)[17], tercatat sekitar 250 ribu pengungsi mendarat di Pulau Galang, Kepulauan Riau, Indonesia. Atas dasar kemanusiaan, pemerintah Indonesia memutuskan bekerjasama dengan UNHCR untuk membuat penampungan bagi para pengungsi Vietnam yang didanai oleh UNHCR. Selama delapan belas tahun para pengungsi tersebut bertempat tinggal di Indonesia hingga pada tahun 1996 UNHCR memutuskan untuk memulangkan para pengungsi ke negara asalnya karena dana yang tidak mencukupi untuk membiayai penampungan tersebut, sehingga penampungan tersebut dibubarkan dan ditutup untuk pengungsi. Peristiwa tersebut tidak sampai di situ saja, setelah pemulangan pengungsi dari Vietnam tersebut, Indonesia saat ini telah menjadi negara transit bagi para migran, pencari suaka dan pengungsi dengan negara tujuan Australia.
Hingga 30 Juni 2014, terdapat 10.116 pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar oleh UNHCR di Indonesia, dimana 6.286 orang merupakan pencari suaka dan 3.830 orang merupakan pengungsi. Dari jumlah tersebut, terdapat 7.910 laki-laki dan 2.206 perempuan. Di antara pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar, terdapat 2.507 anak-anak dimana 798 di antaranya merupakan anak-anak tanpa pendamping. Afghanistan, Myanmar, Sri Lanka, Pakistan, Iran, dan Irak merupakan negara-negara asal utama para pengungsi dan pencari suaka yang terdapat di Indonesia.[18] Para imigran, pencari suaka, dan pengungsi yang datang dari Aljazair, Afghanistan, Iran, Cina, Sri Lanka hingga yang baru-baru ini yaitu Pengungsi Rohingya yang berasal dari Myanmar dan Bangladesh.
Berdasarkan uraian di atas, menarik untuk dikaji dalam tulisan ini, yaitu: Mengapa negara-negara yang bukan merupakan peserta pada Konvensi 1951 juga terikat dengan prinsip non-refoulement ini? Apakah penerapan prinsip non-refoulement bersifat absolut? Apa yang mendasari Indonesia melaksanakan prinsip non-refoulement? Adakah sanksi yang dapat diberikan kepada Indonesia jika mengusir para pengungsi yang datang ke wilayahnya?

B.  Prinsip Non-Refoulement juga Mengikat bagi Negara yang Bukan Peserta Konvensi 1951  sebagai Jus Cogens
Prinsip non-refouelement yang mencerminkan perlindungan minimum berdasarkan alasan kemanusiaan tercantum dalam Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi. Pasal 33 ini mencakup beberapa hal penting.[19] Pertama, Konvensi 1951 hanya mengikat negara-negara yang telah menjadi pihak pada Konvensi tersebut. Berdasarkan Pasal I ayat (2) Protokol 1967, suatu negara yang tidak menjadi pihak pada Konvensi 1951 namun menjadi pihak pada Protokol, juga terikat pada Pasal 2 hingga Pasal 34 Konvensi 1951. Dengan demikian, Pasal 33 Konvensi 1951 mengikat negara-negara yang menjadi pihak pada Konvensi 1951 atau Protokol 1967, atau pada kedua instrument tersebut.
Kedua, Konvensi 1951 bersifat kemanusiaan. Hal ini secara jelas tercantum dalam paragraf pembukaan Konvensi 1951 yang mengemukakan bahwa PBB peduli pengungsi dan menjamin pengungsi mendapatkan hak-hak dasarnya serta kebebasannya sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Hal ini merupakan pengakuan dari seluruh negara terhadap aspek sosial dan kemanusiaan dari masalah pengungsi.
Ketiga, larangan pengusiran mengandung hal yang khusus. Hal ini didukung oleh Pasal 42 ayat (1) Konvensi 1951 yang mengecualikan Pasal 33 dari tindakan reservasi. Dengan demikian larangan pengusiran dalam Pasal 33 Konvensi 1951 merupakan suatu kewajiban non-derogable yang membangun esensi kemanusiaan dalam Konvensi 1951. Sifat non-derogable larangan pengusiran ditegaskan kembali oleh Pasal VII ayat (1) Protokol 1967. Komite Eksekutif UNHCR bahkan lebih jauh menetapkan bahwa prinsip non-refoulement merupakan kemajuan peremptory norm dalam Hukum internasional. Prinsip non-refoulement telah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional, yang bermakna seluruh negara, baik telah menjadi Negara pihak maupun bukan, pada konvensi-konvensi pengungsi dan/atau hak asasi manusia yang melarang pengusiran, berkewajiban untuk tidak mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke negara dimana hidup atau keamanan orang itu sungguh-sungguh berada dalam bahaya.[20]
Peremptory norm atau disebut juga jus cogens atau ius cogens (dari bahasa Latin yang berarti hukum yang memaksa) merupakan suatu prinsip dasar hukum international yang diterima oleh negara-negara sebagai suatu norma yang tidak dapat dikurangi pelaksanaannya. Sebagai peremptory norm atau jus cogens, prinsip non-refoulement harus dihormati dalam segala keadaan dan tidak dapat diubah. Hak dan prinsip mendasar ini telah diadakan untuk kepentingan semua orang tanpa memandang apakah negara sudah menjadi pihak pada Konvensi 1951 atau belum dan tanpa memperhatikan apakah orang tersebut sudah diakui statusnya sebagai pengungsi atau tidak.

C.     Pengecualian dalam Penerapan Prinsip Non-Refoulement
Pada praktiknya penerapan prinsip non-refoulement ini tidak bersifat mutlak atau absolut. Berdasarkan Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951 penerapan prinsip non-refoulement tidak berlaku bila pengungsi tersebut keberadaannya mengancam keamanan nasional atau mengganggu ketertiban umum di negara tempat ia mencari perlindungan.
Menurut Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951, larangan memaksa pengungsi kembali ke negara di mana ia mungkin mengalami persekusi tidak diterapkan kepada pengungsi yang mengancam keamanan negara, atau ia telah mendapatkan putusan akhir dari hakim atas kejahatan serius yang telah ia perbuat, serta membahayakan masyarakat negara setempat. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk perkecualian yang sangat mendesak. Hal tersebut bermakna, apabila perkecualian tersebut akan diterapkan, maka harus dibuktikan bahwa terdapat hubungan langsung antara keberadaan pengungsi di suatu negara dengan keamanan nasional negara itu yang terancam.[21]
Pengusiran pengungsi yang sedemikian itu hanya akan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Kecuali apabila alasan-alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa mengharuskan lain, pengungsi itu akan diizinkan menyampaikan bukti untuk membersihkan dirinya serta mengajukan banding kepada instansi yang berwenang.[22]
Pengecualian penerapan non-refoulement mensyaratkan adanya unsur ancaman terhadap keamanan negara dan gangguan terhadap ketertiban umum di negara setempat. Bagi Indonesia, keamanan tidak hanya dalam konteks keamanan internal suatu negara, namun juga dalam sistem keamanan pangan, kesehatan, keuangan dan perdagangan.[23] Ancaman meliputi hambatan, tantangan dan gangguan.[24] Dalam arti sempit, ancaman dapat bersifat terencana ataupun residual. Ancaman terencana dapat berupa subversi maupun pemberontakan dalam negeri maupun infiltrasi, subversi, sabotase dan invasi. Ancaman residual adalah berbagai keadaan dalam masyarakat yang merupakan kerawanan ekonomi, sosial dan politik yang apabila tidak ditangani secara tuntas pada waktunya, akan memicu kerusuhan yang dapat dipergunakan oleh unsur-unsur subversi atau pemberontak untuk kepentingannya.[25]
Dapat dimaklumi bahwa arus pengungsi dalam jumlah besar dapat membebani perekonomian, mengubah keseimbangan etnis, menjadi sumber konflik, yang bahkan dapat mengakibatkan kekacauan politik tingkat lokal maupun nasional di suatu negara.[26] Walter Lippmann sebagaimana dikutip Kusnanto Anggoro, menyatakan bahwa suatu negara berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggapnya penting (vital) dan jika dapat menghindari perang atau jika terpaksa berperang, dapat keluar sebagai pemenang.[27]
Sementara itu ketertiban umum adalah suatu keadaan di mana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tertib dan teratur. Mengingat unsur-unsur tersebut di atas, apabila Indonesia harus melakukan pengusiran pengungsi maka beberapa peraturan perundang-undangan berikut sangat layak menjadi dasar pertimbangannya, misalnya UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, KUHP Buku Ketiga Bab II mengenai Pelanggaran Ketertiban Umum, Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Anak, UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia serta Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pencegahan dan Penangkalan serta peraturan pelaksananya.
Lebih lanjut dari perspektif hukum keimigrasian, batasan yang harus dipahami dalam konsep prinsip non-refoulement adalah dalam bahwa politik hukum keimigrasian yang dianut oleh Indonesia saat ini adalah kebijakan selektif (selective policy) yang berdasarkan pada asas kemanfaatan. Maksudnya, hanya orang asing yang membawa manfaat bagi negara yang dapat masuk dan tinggal di Indonesia. Orang asing tersebut harus memiliki dokumen perjalanan dan visa yang sah dan masih berlaku. Sehingga tidak semua pencari suaka atau pengungsi sekalipun yang mendapat jaminan mutlak untuk tinggal di Indonesia dengan dalih prinsip non-refoulement. Jadi kebijakan selektif ini lah yang secara tidak langsung menjadi filter bagi penerapan prinsip non-refoulement di Indonesia.

D.     Alasan Mendasar Indonesia Melaksanakan Prinsip Non Refoulement
1.   Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Jenewa IV, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Mengatur tentang Prinsip Non-Refoulement)
Berdasarkan  Pasal 14 ayat (1) Universal Declaration of Human Right 1948 (Deklarasi Universal HAM),  setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka dari negara lain karena takut akan penyiksaan. Setiap pencari suaka-pun memiliki hak untuk tidak diusir atau dikembalikan secara paksa apabila mereka telah tiba di suatu negara dengan cara yang tidak lazim. Prinsip ini kemudian dikenal sebagai non-refoulement.
Pasal 33 (1) Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 menyebutkan bahwa negara-negara peserta Konvensi ini tidak diperbolehkan untuk mengusir ataupun mengembalikan pengungsi dalam bentuk apapun ke luar wilayahnya dimana keselamatan dan kebebasan mereka terancam karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial ataupun pandangan politiknya[28], selain itu definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Michelle Foster :
“The key protection in the Refugee Convention is non-refoulement, the obligation on states not to return a refugee to place in which he will face the risk of being persecuted” (inti dari perlindungan terhadap pengungsi adalah negara berkewajiban untuk tidak memulangkan para pengungsi ke negara asal dimana keselamatan mereka terancam karena adanya penyiksaan).[29]
Prinsip non-refoulement ini tidak hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun juga tercantum secara implisit maupun eksplisit pada Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) Pasal 3, Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva Convention) tahun 1949 pada Pasal 45 paragraf 4, pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) 1966 Pasal 13, dan instrumen-instrumen HAM lainnya.
Prinsip inipun telah diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law). Dalam arti, negara yang belum menjadi pihak (state parties) dari Konvensi Pengungsi 1951 pun harus menghormati prinsip non-refoulement ini. Prinsip utama yang melatar belakangi perlindungan internasional bagi pengungsi, perangkat-perangkat kuncinya adalah Konvensi 1951 dan Protokol 1967,[30] ketentuan-ketentuan yang tercakup di dalamnya termasuk :
a.  larangan untuk memulangkan pengungsi dan pencari suaka yang beresiko menghadapi penganiayaan saat dipulangkan (prinsip non-refoulement).
b.      persyaratan untuk memperlakukan semua pengungsi dengan cara yang non-diskriminatif.
c.      standar perlakuan terhadap pengungsi.
d.      kewajiban pengungsi kepada negara tempatnya suaka.
e.      tugas negara untuk bekerja sama dengan UNHCR dalam melaksanakan fungsi-fungsinya.
Namun lebih spesifik lagi yang dimaksud dengan prinsip non-refoulement (larangan pengusiran dan pengembalian) adalah :
a.    melarang pengembalian pengungsi dengan cara apapun ke negara atau wilayah dimana hidup atau kebebasannya terancam dikarenakan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya.
b.   Pengecualian hanya dapat dilakukan jika pengungsi yang bersangkutan merupakan ancaman bagi keamanan nasional atau yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang serius, berbahaya bagi masyarakat namun tidak berlaku jika individu tersebut menghadapi resiko penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau menghinakan.
c.       Sebagai bagian dari hukum adat dan traktat, prinsip dasar ini mengikat semua negara.

2.    Kewajiban Negara Terhadap Aturan Hukum Kebiasaan Internasional (Berdasarkan Aspek Moral dan Etika Dalam Penegakan Hukum internasional).
Moral dan etika pada hakekatnya merupakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menurut keyakinan seseorang atau masyarakat dapat diterima dan dilaksanakan secara benar dan layak. Dengan demikian prinsip dan nilai-nilai tersebut berkaitan dengan sikap yang benar dan yang salah yang mereka yakini. Etika sendiri sebagai bagian dari falsafah merupakan sistim dari prinsip-prinsip moral termasuk aturan-aturan untuk melaksanakannya.[31]
Dalam Hukum internasional moral dan etika tersebut dikaitkan pada kewajiban subyek hukum internasional antara lain seperti negara untuk melaksanakan dengan etikat baiknya ketentuan-ketentuan di dalam Hukum internasional tersebut yang merupakan perangkat prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang pada umumnya sudah diterima dan disetujui oleh masyarakat internasional[32] seperti halnya prinsip larangan pemulangan kembali ke negara asal atau pengusiran para pencari suaka yang masuk kedalam wilayah suatu negara (prinsip non-refoulement). Sehubungan dengan hal itu, hukum internasional memberikan dasar hukum bagi pengelolaan secara tertib dalam hubungan internasional.
Negara sebagai subyek hukum internasional dan sebagai anggota masyarakat internasional sudah tentu harus menghormati dan melaksanakan bukan saja aturan hukum kebiasaan internasional (rules of customary international law) yang sudah merupakan aturan-aturan hukum yang sudah diterima oleh masyarakat internasional secara luas, tetapi juga prinsip-prinsip hukum internasional yang tersusun dalam instrumen-instrumen internasional di mana negara tersebut menjadi pihak.
Aturan-aturan hukum kebiasaan internasional tersebut merupakan praktek praktek umum yang sudah diterima oleh semua negara sebagai hukum yang hampir semuanya terdiri dari elernen-elemen yang bersifat konstitutif.[33] Praktek-praktek negara tersebut bersifat tetap dan seragam dan membentuk suatu kebiasaan. Praktek-praktek tersebut telah meningkat pelaksanaannya secara universal karena banyak negara lagi yang telah menggunakannya sebagai kebiasaan seperti halnya prinsip non-refoulement.
Sebelum hukum dibuat oleh negara maka dalam mengatur hubungan internasional telah digunakan kebiasaan-kebiasaan.[34] Sebelum kebiasaan itu menjadi hukum maka kebiasaan itu harus berlangsung dalam waktu yang cukup lama agar dapat memperoleh persetujuan bersama dari anggota masyarakat internasional. Kebiasaan sebagai suatu sumber hukum internasional pada umumnya telah diterima dan diakui oleh para ahli hukum baik dari dunia Barat maupun dunia Timur. Menurut pandangan  Mahkamah Internasional untuk menjadikan suatu aturan hukum kebiasaan internasional, memang diperlukan suatu masa yang cukup panjang, dimana kepentingan negara-negara akan terpengaruh secara khusus dan aturan-aturan tersebut dikenakan secara luas dan seragam.[35]

3.      Penerapan prinsip non-refoulement di Indonesia
Non-refoulement tidak sama dengan deportasi ataupun pemindahan secara paksa. Deportasi ataupun pengusiran terjadi ketika warga negara asing dinyatakan bersalah karena melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan negara setempat atau ia menjadi tersangka perbuatan pidana di suatu negara dan melarikan diri dari proses peradilan.[36] Prinsip non-refoulement tidak hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun secara tersirat dapat ditemukan dalam Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 45 paragraf 4 Konvensi Jenewa IV tahun 1949, Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966, Pasal 24 Tap MPR No. XVII/1998 mengenai HAM, Pasal 28 G ayat 2 UUD 1945, Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 39/1999 mengenai HAM, Pasal 26-28 UU No. 37/1999 mengenai Hubungan Luar Negeri.
Praktik penerapan prinsip non-refoulement ini di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Surat Direktur Jenderal Imigrasi (untuk selanjutnya disebut dengan Surat Dirjen) Nomor F-IL.01.10-1297 tentang Penanganan Imigran Ilegal dan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1487.UM.08.05 Tahun 2010 yang ditandatangani pada tanggal 17 September 2010, yang ditujukan, untuk memberikan petunjuk mengenai penanganan terhadap orang asing yang menyatakan diri sebagai pencari suaka atau pengungsi.
Surat tersebut menegaskan bahwa Indonesia secara umum menolak orang asing yang datang memasuki wilayah Indonesia jika tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini wajar mengingat setiap negara berhak menentukan orang asing mana saja yang diijinkan masuk ke wilayahnya. Kemungkinan masalah timbul dalam hal masuknya pengungsi, baik secara ilegal maupun legal, yang tidak boleh dikembalikan ke daerah yang membahayakan dirinya. Namun jika pengungsi tersebut terbukti melakukan tindak pidana, maka berdasarkan PP No. 30 Tahun 1994 mengenai Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan, Pemerintah berhak menangkal pengungsi tersebut masuk ke wilayah RI.
Surat Dirjen tersebut menegaskan pula jika terdapat orang asing yang menyatakan mencari suaka saat tiba di Indonesia, ia tidak dikenakan tindakan imigrasi berupa pendeportasian ke wilayah negara yang mengancam kehidupan dan kebebasannya. Isi surat ini sangat sesuai dengan prinsip non-refoulement.
Selanjutnya surat tersebut mengingatkan bahwa bila di antara orang asing dimaksud diyakini terdapat indikasi sebagai pencari suaka atau pengungsi, maka petugas setempat segera menghubungi UNHCR untuk penentuan statusnya. Dalam hal kedatangan orang asing yang mencari suaka sedang diperiksa di Tempat Pemeriksaan Imigrasi yang jauh dari Kantor Perwakilan UNHCR, maka petugas harus melakukan koordinasi dan kesepakatan dengan penanggung jawab alat angkut sambil menunggu kedatangan pejabat Perwakilan UNHCR.
Selanjutnya dalam surat tersebut dietapkan bahwa orang asing yang telah memperoleh Attestation Letter atau Surat Keterangan sebagai pencari suaka, pengungsi dan atau seseorang yang berada di bawah perlindungan UNHCR, tidak akan dipermasalahkan status izin tinggalnya selama di Indonesia. Apabila orang asing  yang telah memperoleh status dari UNHCR sebagai pencari suaka atau pengungsi tersebut tidak mentaati ketentuan hukum, maka ia diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Isi surat tersebut berkaitan dengan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Pasal 75 yang menyatakan bahwa tindakan keimigrasian dilakukan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya atau patut diduga akan membahayakan keamanan dan ketertiban umum, atau tidak menghormati atau mentaati peraturan perundangundangan yang berlaku.
Oleh karena itu, pengaturan hukum untuk menolak dan mengeluarkan orang asing tentu harus mempertimbangkan hak asasi manusia sebagaimana telah diatur dalam Undang- Undang Dasar 1945 dan konvensi-konvensi internasional yang sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia.

E.      Tidak Ada Sanksi Tertulis Bagi Indonesia
Sanksi disini perlu dibedakan dengan hukum pidana yang dijatuhkan manakala ada penguasa yang melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia, seperti yang ada di pengadilan Rwanda dan bekas Yugoslavia. Tidak ada sanksi secara tertulis yang dijatuhkan kepada Indonesia jika melakukan pelanggaran hukum internasional berkenaan dengan masalah pengungsi, tapi tentunya akan ada penilaian dari negara-negara lain yang pada masanya akan bisa berdampak bagi Indonesia dalam tata pergaulan internasional.

F.      Kesimpulan
1.  Prinsip non-refoulement juga mengikat negara-negara bukan peserta pada Konvensi 1951 karena prinsip ini merupakan jus cogens dan peremptory norm. Sebagai jus cogens dan peremptory norm maka prinsip non-refoulement telah menjadi hukum kebiasaan internasional sehingga daya ikatnya secara hukum melingkupi pula negara-negara yang tidak menjadi pihak pada Konvensi 1951;
2.  Berdasarkan Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951, pelaksanaan prinsip non-refouelement tidak bersifat mutlak atau absolut. Pengecualian hanya dapat dilakukan jika pengungsi yang bersangkutan menjadi ancaman bagi keamanan nasional dan mengganggu ketertiban umum;
3.    Alasan mendasar Indonesia melaksanakan prinsip non-refoulement adalah (i) Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Jenewa IV, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Mengatur tentang prinsip non-refoulement), (ii) kewajiban negara terhadap aturan hukum kebiasaan internasional (berdasarkan aspek moral dan etika dalam penegakan hukum internasional), dan (iii) telah adanya instrument hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan prinsip non-refoulement;
4.    Tidak ada sanksi secara tertulis yang dijatuhkan kepada Indonesia jika melakukan pelanggaran hukum internasional berkenaan dengan masalah pengungsi.


Tangerang,  Agustus 2015
M. Alvi Syahrin



[1] M. Alvi Syahrin, “Posisi dan Perkembangan  Hukum Pengungsi”, Lihat  pada http://muhammadalvisyahrin.blogspot.com/2014/10/posisi-dan-perkembangan-hukum-pengungsi.html
[2] Jovan Patrnogic, “Introduction to International Refugee Law” (makalah yang dibawakan pada Refugee Law Courses, the International Institute of Humanitarian Law, San Remo, Italy, September 1996), hal., 9
[3] Myron Weiner, “Global Movement, Global Walls: responses to migration, 1885-1925”, dalam Gung Wu., ed., Global History and Migration (Oxford: Westview Press, 1997), hal., 131
[4] Gill Loescher, Beyond Charity: International Cooperation and the Global Refugee Crisis (New York: Oxford University Press, 1993), hal., 11
[5] UNHCR, the State of the World’s Refugees 1997-1998, A Humanitarian Agenda (New York: Oxford University Press, 1998), hal. 51
[6] Non-refoulement, dari akar kata refouler (bahasa Perancis) yang artinya mengembalikan atau mengirim balik.
[7] Konvensi mengenai Status Pengungsi, 25 Juli 1951, Pasal 33
[8] Jovan Patrnogic, Op. Cit. hal. 19
[9] Enny Soeprapto, Bijaksanakah RI Menolak Ratifikasi Konvensi PBB tentang Pengungsi?, tersedia di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/25/lua03.html, September 2011
[10] Tosari Wijaya, DPR Dukung Ratifikasi Konvensi Tentang Pengungsi, tersedia di http://www.gatra.com/2006-06-20/artikel.html., 20 September 2011.
[11] Tosari Wijaya. Op. Cit.
[12] M Alvi Syahrin, “Perlindungan HAM dalam Konsep Hukum Pengungsi Internasional”, Lihat http://muhammadalvisyahrin.blogspot.com/2014/10/perlindungan-ham-dalam-konsep-hukum.html
[13] Kadarudin, Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Rohingya Menurut Konvensi 1951. Jurnal Hukum internasional “Jurisdictionary” Vol. VI Nomor 1. Juni 2010. Makassar: Bagian Hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Hlm. 114
[14] UNHCR, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, melindungi orang-orang yang menjadi perhatian UNHCR. (Switzerland: Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi, 2005). Hlm. 5
[15] Hendra Nurtjahjo. Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen. (Jakarta: Rajawali Pers, 2005). Hlm. 58
[16] Fandi Ahmad dan Tim Setia Kawan. UUD 1945 Amandemen  Pertama-Ke empat (1999 - 2002).(Jakarta: Setia Kawan, 2004). Pasal 28G ayat 2, Hlm. 23
[17] Lihat Anonim. 2011. Kisah Pilu Manusia Perahu Vietnam (Http://www.dewo .word press.com/2006/02/16/kisah-pilu-manusia-perahu-vietnam). Diakses pada hari Minggu, 26 Juni 2015, Pukul 20:06 WIB
[18] Lihat http://suaka.or.id/2014/07/23/perkembangan-isu-pengungsi-dan-pencari-suaka-di-indonesia/, diakses pada hari Minggu, 02 Agustus 2015, Pukul 09.55 WIB
[19] Sir Elihu Lauterpacht & Daniel Bethlehem, The Scope and Content of the Principle of Non-Refoulement, United Nations High Commissioner for Refugees, 20 June 2001, hal. 20-21.
[20] UNHCR, Refugee Protection: A Guide to International Refugee Law, December 2001
[21] Human Rights Watch, “Human Rights Implications of European Union Internal Security Proposals and Measures in the Aftermath of the 11 September Attacks in the United States”, tersedia di http://www.hrw.org/press/2001/11/eusecurity.html.
[22] Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi, Pasal 32 ayat 2.
[23] J. Ann Tickner, “Re-visioning Security,” International Relations Theory Today (London: Ken Booth dan Steve Smith, eds., 1994), hal. 180.
[24] Sjaafroedin Bahar dkk, Pendidikan Pendahuluan Bela Negara Tahap Lanjutan (Jakarta: Intermedia, 1994), hal. 68.
[25] Ibid., hal. 71.
[26] Myron Weiner, Op. cit., hal., 131.
[27] Kusnanto Anggoro, “Keamanan Nasional, Pertahanan Negara dan Ketertiban Umum”, makalah pembanding dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Hotel Kartika Plaza, Denpasar, Bali, 14 Jull 2003
[28] Sulaiman Hamid. Lembaga Suaka dalam Hukum internasional. (Jakarta: Rajawali Pers, 2002). Hlm. 96
[29] Michelle Foster. Protection Elsewhere: the Legal Implications of Requiring Refugees to seek Protection in Another State. (Michigan Journal of International Law Volume 28:223, 2007). Hlm. 226.
[30] UNHCR, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, melindungi orang-orang yang menjadi perhatian UNHCR.  Op.Cit.  Hlm. 39
[31] Sumaryo Suryokusumo. Aspek Moral dan Etika Dalam Penegakan Hukum internasional.(Makalah, 2003). Denpasar: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manususia. Hlm.1. Lihat Juga Sinclair, John M. 1988. English Language Dictionary (London: Collins, 1988). Lihat juga Hornby, AS. Oxford Edvanee Leaner's Dictionary of Current English (London: Oxford University Press, 2000). Hlm. 174
[32] Oppenheim-Lauterpacht, dalam bukunya C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Modul Hukum internasional, (Jakarta: Djambatan, 2002). Hlm 105
[33] Sumaryo Suryokusumo. Op.Cit. Lihat Juga Maryan Green, N.A. lnternational Law, Law of Peace(London: MacDonald & Evans Ltd, 1973). Hlm. 18
[34] Sumaryo Suryokusumo. Op.Cit. Lihat Juga Quincy Wright, Custom as Basis for InternationaI Law, in the Postwar World, Texas International Law Forum (Summer, 1966), No.2
[35] Sumaryo Suryokusumo.  Op.Cit. Lihat Juga Karol Wolfke, Monograf berjudul Custom in Present International Law (Waesaw, 1964)
[36] Sigit Riyanto, “Prinsip Non-refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum internasional”, Mimbar Hukum, Vol 22, No. 3, Oktober 2010, hal. 435.

2 comments: