Terminologi Imigran Ilegal
Imigran (ilegal) menurut Oxford Dictionary of Law dimaknai dengan: “...is the act of entering a country other than one’s native country with
the intention of living there permanently”. Substansi dari pengertian di
atas, yakni adanya maksud untuk tinggal menetap. Dengan demikain istilah
tersebut harus dibedakan dengan orang asing yang berada di luar negaranya untuk
berlibur atau berwisata semata. Sementara imigran menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan
sebagai a foreigner who comes into a
country to live there permanently.
Di Indonesia, ada banyak penyebutan untuk istilah
pengungsi. Pertama, imigran ilegal (illegal
immigrant) yang dipakai oleh Interpol Indonesia. Kedua, pencari suaka.
Ketiga, pendatang ilegal[1]
yang dicetuskan oleh Menteri Luar Negeri, Hasan Wirajuda. Keempat, pengungsi
sejati[2]
dan pendatang biasa. Istilah ini digunakan oleh lembaga United Nations High Comission for Refugee (UNHCR). Kelima,
pengungsi[3].
Keenam, sebutan manusia perahu karena adanya eksodus warga Vietnam yang
bermigrasi menggunakan perahu. Ketujuh, migrant
yang sering digunakan oleh lembaga International
Organization for Migration (IOM). Kedelapan, sebutan vulnerable people dan
vulnerable groups. Istilah ini digunakan IOM untuk menyebut orang-orang
yang berhasil dievakuasi ketika pecah perang di Checnya.
Eksodus Imigran Ilegal ke Indonesia
Di Indonesia sendiri, topik seputar kaum migran
(baca: imigran ilegal) telah menjadi tren beberapa tahun belakangan. Konflik di
negara-negara Asia telah menyebabkan meningkatnya jumlah imigran yang datang ke
Indonesia. Mayoritas dari mereka menjadikan Indonesia sebagai negara transit
untuk melanjutkan perjalanan ke Australia. Permasalahan ini tidak hanya menjadi
diskursus bagi negara yang meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi, 28
Juli 1951 (selanjutnya disebut Konvensi 1951) beserta Protokol-nya 31 Januari
1967, tapi juga dunia, bahkan Indonesia yang sama sekali tidak dibebani
tanggung jawab konvensi tersebut.
Walaupun bukan negara tujuan pengungsi, Indonesia
dalam sejarahnya kerap kali dijadikan negara pelarian para pencari suaka.
Sebagai contoh, fenomena yang terjadi sekitar tahun 1979, saat Indonesia
kedatangan ratusan ribu pengungsi dari Vietnam, Laos, yang meninggalkan negara
mereka akibat konflik bersenjata. Sampai kini, masalah migrasi di wilayah
Indonesia ternyata masih terus berlanjut. Ribuan orang dari berbagai negara
konflik terus masuk ke wilayah Indonesia, baik secara legal maupun ilegal,
melalui darat, laut, maupun udara dengan menyatakan diri sebagai pencari suaka.
Kasus-kasus manusia perahu yang sering terdampar di
perairan Indonesia sebelum sempat mencapai negara tujuan, frekuensinya semakin
bertambah. Tidak dipungkiri, Indonesia telah menjadi negara transit pendatang
imigran ilegal. Angkatan Laut Indonesia selama tahun 2009, sudah menangani
1.571 imigran. TNI AL sudah menangkap 493 imigran dari Sri Lanka, Myanmar, dan
Afganistan yang tersebar di Lhoksumawe, Dumai, dan Mataram. Sejauh ini peran
dari TNI dan Kementerian Pertahanan hanya sebatas upayan pencegahan masuknya
imigran ilegal melalui perairan Indonesia. Sedangkan, upaya penanganan dan
penanggulangan tetap berada dalam tupoksi Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen
Imigrasi), Kementerian Hukum dan HAM RI.
Menurut data yang dirilis oleh UNHCR per tahun 2014,
jumlah imigran ilegal yang tinggal di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) seluruh
Indonesia mencapai 8.262 orang. Sementara yang sudah memegang status
pengungsi dan bisa tinggal di penampungan sebanyak 2.078
orang. Jumlah pencari suaka di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan.
Pada tahun 2008, pencari suaka ke Indonesia masih berkisar 385 orang, sedangkan
tahun 2013 sudah mencapai 8.332 orang. Adapun total imigran ilegal yang
berada di wilayah Indonesia sampat bulan Maret 2014 kurang lebih sekitar 10.623
orang yang terdiri dari 7.218 orang pencari suaka dan sisanya 3.405 berstatus
pengungsi. Angka tersebut diyakini akan semakin meningkat, mengingat konflik di
negara bagian Afrika dan Asia terus berlangsung.
Mitra Salima Suryono, Public Information Officer UNHCR Indonesia, menuturkan meski tidak menjadi negara pilihan utama dan bukan yang meratifikasi Konvensi 1951, nyatanya jumlah kedatangan penungsi dan pencari suaka ke Indonesia tiap tahun terus meningkat. Belum lagi biaya hidup yang juga harus ditanggung oleh UNHCR. Sepanjang tahun 2013 saja, dana yang harus dianggarkan mencapai US$ 8 juta.
Mayoritas imigran dari Sri Lanka dan Afganistan
sering menjadikan Provinsi Banten sebagai destinasi darurat untuk memasuki
wilayah Indonesia. Sebagai daerah yang bersentuhan dengan Selat Sunda, Banten
merupakan alur laut kepulauan Indonesia yang dilewati kapal berbendera
Internasional. Daerah ini sering digunakan jalur pengungsian oleh para imigran.
Tidak hanya itu, arus pengungsi dengan tujuan Australia ini juga mendapat
pengawasan serius dari pihak Interpol. Menurut National Central Bureau Interpol Indonesia, Bidang Laison Officer
dan Perbatasan, polisi akan terus memantau keberadaan para pengungsi di seluruh
wilayah Indonesia. Selama ini penyelesaian kasus penyelunduan manusia
menggunakan Proses Bali[4]
yang disepakati bersama-sama negara kawasan pada tahun 2003. Masalah
penyelundupan manusia bukan hanya menyangkut satu negara atau beilateral,
melainkan masalah satu kawasan sehingga memerlukan kerjasama antara negara
asal, negara transit, dan negara tujuan. Oleh karena itu diperlukan kerangka
kerja yang dapat menjadi acuan bagi penyelesaian masalah yang tidak bersifat
kasuistik.
Turn Back The Boat (Roll Back a Boat Policy)
Dewasa ini, masalah penanganan imigran ilegal menjadi
topik serius bagi Indonesia dan Australia. Bukan hanya soal penanganan semata,
tapi kebijakan Australia yang menolak kehadiran para imigran ini menjadi pokok
bahasan yang berlarut-larut. Keengganan Australia dengan sikap tidak
kooperatifnya, semakin membuat Indonesia berada dalam status darurat imigran
ilegal.
Kebijakan Australia yang mendorong balik perahu (role back a boat policy) yang berisi imigran
gelap ke wilayah Indonesia, telah melanggar prinsip kemanusiaan internasional
yang telah ditetapkan PBB. Apalagi, belum lama ini Angkatan Laut Australia
mengembalikan para pencari suaka dengan menggunakan kapal penyelamat mereka. Sebagai
negara penandatangan Konvensi 1951, kebijakan itu seharusnya tidak dilakukan
oleh Australia dibawah pemerintahan Tony Abbot.
Pada tanggal 15 Januari 2014, seorang anggota TNI
Angkatan Laut menemukan sekoci bermerek Vanguard
yang diyakini membawa kurang lebih 90 orang pencari suaka. Diberitakan
tiga penumpang sekoci telah tewas di tengah hutan Cisarua. Sekoci
yang berukuran 8,5 meter x 3,2 meter ini
ditemukan di Pantai Cikepuh, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat.
Sekoci mewah itu dilengkapi sejumlah peralatan modern, seperti sabuk pengaman,
pendingin udara, perlengkapan navigasi, pelampung, makanan dan minuman.
Kecepatan mesin diesel kapal tersebut diperkirakan dapat mencapai 30 knot.
Awalnya, sekoci tersebut dipakai oleh para imigran dengan tujuan Pulau Christmas,
Australia. Namun pada akhirnya sekoci tersebut sengaja dikirimkan kembali oleh
Angkatan Laut Australia ke perairan Indonesia, mengingat kebijakan Australia saat
ini adalah menolak kehadiran “manusia perahu” untuk masuk ke teritoarialnya.
Australia tentu sadar atas posisi Indonesia saat
ini. Indonesia bukanlah negara tujuan pengungsi. Lagipula sampai saat ini pun,
Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi, sehingga tidak
ada kewajiban yang mengikat bagi Indonesia untuk menangani masalah imigran
ilegal (pencari suaka dan pengungsi).
Status Darurat
Berdasarkan data intersepsi bulan Agustus 2013, ada
38 kasus ditemukan di berbagai wilayah Indonesia dengan total 958 orang. Jumlah
tersebut tentu menambah angka yang sudah ada saat ini berkisar 3.800 orang,
baik itu yang ditempatkan di Rudenim maupun tempat-tempat penampungan yang
telah ditetapkan oleh Ditjen Imigrasi. Angka tersebut bukanlah angka pasti,
sebab masih ada banyak imigran ilegal yang luput dari pengawasan Ditjen
Imigrasi. Mereka tinggal menyebar dengan menyewa rumah-rumah warga atau tinggal
di hotel bahkan apartemen di beberapa kota di Indonesia.
Dalam situsnya, detik.com memberitakan gelombang
kedatangan imigran ke Indonesia masih berlanjut sampai sekarang. Kali ini di
kecamatan Cibalong, Garut. Sebanyak 106 imigran etnis Rohingya yang berasal
dari negara Myanmar terpergok dan diamankan oleh pihak kepolisian pada hari
minggu (17/11/2013). Para imigran yang terdiri dari 67 pria, 16 wanita, dan 20
anak-anak, diduga hendak menyebrang ke Australia. Kini mereka semua telah
diserahkan ke Kantor Imigrasi Klas II Tasikmalaya untuk dikembalikan ke negara
asalnya.
Sudah sejak lama, Indonesia menghadapi masalah
dengan orang-orang asing yang mengaku sebagai pencari suaka, untuk diproses
statusnya sebagai pengungsi. Meski bukan sebagai negara tujuan, Indonesia
sering dipakai sebagai negara transit karena posisi geografis Indonesia berada
pada jalur menuju perlintasan negara tujuan suaka, yaitu Australia. Dari
Indonesia, mereka berniat masuk ke negara tujuan suaka, rata-rara mereka
berniat ke Australia, baik secara legal ataupun ilegal, dengan menggunakan
status pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR mewakili pemerintah Indonesia.
Kedatangan para imigran ilegal ke wilayah Indonesia
ini jumlahnya terus meningkat, sehingga mulai menimbulkan kekhawatiran dan
ketidaknyamanan serta berpeluang menimbulkan gangguan sosial, kemanan politik,
bahkan ketertiban di masyarakat. Jumlah kedatangan mereka tidak sebanding
dengan angka penyelesaian atau penempatan ke negara penerima (Australia),
termasuk yang dipulangkan secara sukarela dan dideportasi dari wilayah
Indonesia. Keberadaan mereka sangat rentan baik dari sisi status, ekonomi,
serta psikologis sehingga berpeluang dimanfaatkan oleh jaringan penyelundupan
manusia, perdagangan orang narkoba, serta kegiatan kriminal lain termasuk
jaringan terorisme internasional. Hal ini bisa menimbulkan dampak serta
berbagai masalah di Indonesia.
Fenomena atas penolakan sebagian warga Bogor
terhadap keberadaan para imigran yang tinggal di sekitar Cisarua, Bogor, konon
berawal dari ketidaknyamanan warga yang mulai terganggu dengan keberadaan para
imigran menurut masyarakat setempat, perilaku imigran semakin seenaknya, bahkan
mulai mengabaikan masalah hukum di Indonesia.
Keresahan atas sikap dan perilaku imigran ilegal
juga terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 25 imigran ilegal asal
Timur Tengah ditangkap aparat Kepolisian setempat karena tidak membayar sewa
Hotel Grenia yang mereka pakai menginap sejak tanggal 24 Agustus hingga 9
September 2013. Akibatnya, pemilik hotel mengalami kerugian sekitar Rp. 42,9
juta.
Masalah imigran ilegal di Indonesia tidak hanya
berhenti pada titik ini. Masalah biaya hidup dan tempat tinggal para imigran ilegal juga menjadi sorotan.
Para pencari suaka mendapat tunjangan biaya hidup sekitar 1,2 juta rupiah per
orang, per bulan. Bila satu keluarga terdiri dari sepasang suami-istri dengan
dua orang anak, maka dalam satu bulan mereka bisa mendapatkan sekitar 4,8 juta
rupiah. Bila berdasarkan data terakhir yang dirilis UNHCR, jumlah imigran
ilegal ini ada sekitar 10.340, lalu dikalikan 1,2 juta rupiah per bulan, maka
12,4 milyar rupiah yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dan IOM untuk
membiayai kehidupan para imigran ilegal. Sungguh nominal yang fantastis
ditengah angka kemiskinan masyarakat Indonesia yang semakin meningkat.
Dalam “Forum Komunikasi Antar Instansi di Wilayah
Kota Depok dalam Rangka Imigran Gelap dan Pencari Suaka di Indonesia”, yang
diselenggarakan oleh Kantor Imigrasi Klas II Depok di Hotel Mirah, Bogor
tanggal 12 September 2013, salah satu perwakilan dari kecamatan di Kabupaten
Bogor menanyakan keberadaan serta status dana biaya hidup para imigran
tersebut. Di tengah antrian berdesakan warga masyarakat mengambil dana BLSM
yang (hanya) sekitar 150 ribu rupiah, maka biaya hidup para imigran itu menjadi
sangat mewah dan “menggiurkan”. Ada kecurigaan dari pihak kecamatan bahwa dana
tersebut berasal dari dana pemerintah Indonesia.
Mengutip pernyataan dari Yusril Ihza Mahendra dalam
kicauan twitternya (19/11/2013), bahwa penanganan imigran ilegal harus
diperhatikan secara proposial mengingat, karena masih banyak warga Indonesia
sendiri yang kehidupan ekonominya belum layak. “Padahal rakyat kita sendiri
saja miskin, kok masih harus menahan dan menampung begitu banyak imigran asing
yang mau ke Australia”, tegas Yusril.
Dilema Indonesia
Dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian (yang sebelumnya menggantikan UU No. 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian), telah ditentukan bahwa setiap orang asing yang masuk dan keluar
wilayah Indonesia wajib memiliki Visa yang sah dan masih berlaku, kecuali
ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini dan perjanjian internasional.
Pasal 9 juga menegaskan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah
Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di
Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Ketentuan selengkapnya dapat dibaca pada Bab III
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Atas dasar hukum inilah, maka setiap imigran yang
masuk wilayah Indonesia tidak berdasarkan aturan dimaksud, disebut sebagai
imigran ilegal, sehingga dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam Pasal 113 UU No.
6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja masuk atau keluar wilayah Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan oleh
Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Namun
dalam das sein (kenyataan), perlakuannya akan berbeda ketika pihak
Imigrasi Indonesia berhadapan dengan pencari suaka dan pengungsi yang dalam
perjalananya hendak ke negara tujuan, yaitu Australia. Apalagi Indonesia sejauh
ini belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, sehingga Indonesia
tidak memiliki kewajiban apapun terkait dengan keberadaan imigran ilegal ini.
Namun, dengan mengatasnamakan alasan kemanusiaan dan
HAM, maka Indonesia seolah terikat akan kewajiban itu. Belum lagi dengan adanya
IOM (yang disinyalir merupakan organisasi afiliasi Australia untuk “menampung”
imigran ilegal di Indonesia yang hendak ke Australia), semakin membuat posisi
Indonesia menjadi sulit. Adanya beberapa instrumen hukum yang mengatur soal
penanganan imigran ilegal, tentu membuat keadaan semakin serba dilematis. Sebut
saja, Perdirjenim No.IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran
Ilegal, TAP MPR No.XVII/MPR/1998 yang berisikan Piagam Hak Asasi Manusia, UUD
1945 (Amandemen) yang berorientasi pada HAM, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asas iManusia, UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 1
Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan juga diratifikasinya 7 dari 8 International
Human Right Treaties, antara lain: CEDAW (Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women), CRC (Convention on the Rights of
the Child), ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights),
ICESCR (International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights), CAT
(Convenant Against Torture), (ICERD (International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination), dan CRPD (Convention on the
Rights of Persons with Disability). Instrumen hukum baik nasional dan
internasional itu, tentu menjadi suatu dilema yang berat bagi Indonesia, dalam
penanganan imigran ilegal. Padahal telah jelas, bahwa dalam UU No. 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian dan tidak diratifkasnya Konvensi 1951 dan Protokol 1967,
membuat Indonesia dalam posisi tidak ada kewajiban terhadap penanganan imigran
ilegal.
Kasus Penyelundupan Manusia
Persoalan imigran ilegal semakin dipersulit dengan
adanya penyelundupan manusia (people
smuggling) yang semakin meningkat jumlahnya. Dino Pati Jalal (saat menjabat
sebagai Juru Bicara Presiden RI) pernah mengatakan kepada pers bahwa Indonesia
dan Australia belum memiliki kerangka kerjasama untuk mengatasi penyelundupan
manusia yang akhir-akhir ini sering terjadi di perairan kedua negara. Para
pihak yang terkait diantaranya Imigrasi, Angkatan Laut, dan Kepolisan masih
sebatas melakukan penanganan yang bersifat represif. Kerangka kerjasama perlu
dilakukan dalam mengatasi masalah imigran ilegal yang menempatkan Indonesia
sebagai negara transit dan Australia sebagai negara tujuan.
Ada dua kasus besar yang cukup mendapat perhatian
serius di masa itu, yaitu kasus eks penumpang Kapal Tampa (tahun 2003) dan
kasus eks penumpang Kapal Ocean Viking (tahun 2009). Kedua kasus tersebut
terkait dengan eksodus para pencari suaka Afganistan, Pakistan dan Sri Lanka
yang hendak bermigrasi ke Australia karena korban politik di negaranya
masing-masing. Namun, pada akhirnya keberadaan mereka ditolak Australia dengan
berbagai macam alasan seperti, beda yurisdiksi, beda bendera kapal, status
pengungsi yang belum jelas dan lain sebagainya.
Penyelundupan manusia menjadi isu penting, khususnya
bagi Indonesia dan Australia. Di Australia sendiri, kubu pemerintah dan kubu
oposisi terlibat perdebatan sengit terkait serbuan ribuan orang pencari suaka
asing yang datang secara bergelombang lewat laut ke Australia. Mereka
menyelundup ke Australia dan Selandia Baru umumnya dengan tujuan mengubah
nasib. Sebagai negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, tentu
secara prinsip hukum internasional, Australia berkewajiban untuk bertanggung
jawab atas keberadaan pengungsi dan pencari suaka tersebut. Lain halnya dengan
Indonesia yang tidak meratifikasi, sehingga tidak ada beban tanggung jawab
layaknya Australia. Namun disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa
permasalahan pengungsi dan pencari suaka berkaitan erat dengan isu kemanusiaan.
Inilah yang menjadi dilema yang harus dihadapi oleh Indonesia dan Australia.
Selama awal tahun 2009, sekitar 1.650 pencari suaka
tiba di Australia. Sebanyak 1.060 orang dan sembilan awak kapal ditahan di
Pulau Christmas. Australia juga terpaksa menambah kapasitas pusat tahanan di
Pulau Christmas akibat kedatangan para pencari suaka ilegal yang cenderung
meningkat. Selain itu, tindakan keras dilakukan Australia terhadap pihak-pihak
yang membantu kaum migran ini sampai ke negaranya.
Pada bulan April tahun 2009, dua pelaut Indonesia
dijatuhi hukuman lima tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Wilayah Australia
Utara setelah terbukti menyelundupkan 49 pencari suaka asal Afghanistan dalam
satu kapal. Pelaut tersebut ditangkap setelah operasi yang dilakukan pejabat
perbatasan Australia. Beberapa nelayan terluka ketika kapal terbakar di wilayah
perairan Ashmore Reef, barat laut ke Australia. Pelaku yang keduanya baru
berusia 19 tahun tersebut mengaku mendapat upah US$ 560, jika berhasil membawa
setiap pengungsi Afganistan dengan kapal laut ke Australia.
Kasus serupa juga dikabarkan oleh bbc.co.uk pada tanggal 5 Juli 2014,
bahwa Pengadilan di Perth telah menghukum dua warga Indonesia dengan hukuman
sembilan tahun penjara, karena terbukti berperan dalam penyelundupan manusia
yang menyebabkan lebih dari 100 orang tenggelam. Keduanya adalah awak kapal
dari perahu motor yang tenggelam di Samudra Hindia tahun 2012 dalam perjalanan
dari Indonesia ke Australia dengan membawa 200 lebih pengungsi asal Afghanistan
dan Pakistan
Imigran Lebih Memilih Jalur Indonesia
Penyelundupan imigran ilegal sudah
menjadi persoalan Indonesia sejak lama. Perairan di Jawa Timur merupakan salah
satu yang sering dijadikan sebagai jalur menuju negara tujuan mereka, yakni
Australia. Mengapa kasus penangkapan imigran gelap ini terus berulang?
Tri Nuke Pudjiastuti, peneliti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, para imigran gelap
ini memiliki kesan bahwa masuk wilayah Indonesia dapat dilakukan dengan
mudah. “Inilah menjadi salah satu alasan kuat bagi para imigran gelap untuk
memanfaatkan Indonesia sebagai negara transit dari tujuannya ke Australia,”
ujar Tri Nuke.
Alasan utama lainnya, posisi
strategis Indonesia sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Australia.
Untuk bisa memasuki Australia, rute paling memungkinkan (dari banyak kasus yang
terjadi) adalah melalui darat dan laut dibandingkan lewat udara. Di
samping itu, bentuk negara Indonesia yang sebagian besar adalah kepulauan,
menjadikan para imigran dapat masuk dari berbagai pintu wilayah Indonesia.
Dari kasus-kasus yang ada, para
imigran yang tertangkap lebih banyak masuk ke Indonesia melalui jalur darat
yaitu dari Malaysia, lalu masuk ke pulau Sumatera, ke Jawa dengan Jawa Barat
bagian selatan (Serang) dan Jawa Timur bagian selatan sebagai pintu keluarnya
untuk menuju Pulau Christmas. Jalur darat dan laut tersebut sering
pula dikombinasikan dengan jalur udara, mengingat banyak para imigran yang
tertangkap di Bandara Pulau Batam, di Propinsi Riau maupun di Surabaya.
Sejarahnya, alasan para imigran
memilih Australia sebagai negara tujuan,
karena penduduk Australia terakumulasi dari migrasi. Sebagian besar
penduduk Australia merupakan imigrasi dari berbagai negara. Penduduk aslinya
suku Aborigin justru tersingkir. Lagipula, Australia ada negara penandatangan
Konvensi 1951, sehingga membuat para imigran termotivasi untuk mendapat
penghidupan yang layak di sana.
Rancangan Perpres?
Terdapat dua kerangka solusi bagi Indonesia dalam
menangani masalah kaum migran ini. Pertama, perlunya kerja sama internasional
terutama dengan negara-negara terdekat, seperti Malaysia, Singapura, Filipina,
dan Australia. Kedua, perlu kerjasama dengan badan-badan internasional yang
menangani imigran, seperti UNHCR dan IOM. Disamping kedua hal tersebut,
pemerintah saat ini telah menyusun Rancangan Peraturan Presiden (Rancangan Perpres) [5]
untuk panduan penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi, sebagaimana
yang diamanatkan oleh UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
beserta Rancangan Standar Prosedur Operasional-nya.
Terkait dengan Rancangan Perpres tersebut, sejauh
ini telah dilakukan pembahasan oleh pihak-pihak terkait, seperti TNI,
Kepolisian, Ditjen Imigrasi, yang dipimpin oleh Kementerian Politik, Hukum, dan
Keamanan RI. Namun, keberadaan Rancangan Perpres tersebut mendapat catatan dan
kritik dari pihak Imigrasi Indonesia. UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
tidak mengenal istilah pencari suaka, bahkan pengungsi sekalipun. Sehingga
apabila Rancangan Perpres tersebut akhirnya disahkan oleh Presiden, maka akan
memberatkan Imigrasi sebagai institusi penjaga pintu gerbang negara yang akan
berhadapan langsung dalam penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi.[6]
Bila merujuk pada UU No. 6 Tahun 2011, maka penanganan orang asing pencari
suaka dan pengungsi akan dikategorikan sebagai imigran ilegal, karena secara
prosedur, mereka telah masuk wilayah Indonesia dengan tidak memiliki dokumen
perjalanan dan visa yang sah, serta tidak melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi
yang telah ditentukan.
Adanya Rancangan Perpres tersebut bukan berarti
permasalahan penanganan imigran ilegal menjadi selesai. Masih banyak tantangan
yang dihadapi Indonesia. Secara prinsip, pemerintah Indonesia belum mampu untuk
melaksanakan pasal-pasal dalam ketentuan tersebut, karena Indonesia bukan
negara yang meratifikasi Konvensi 1951. Lagipula, desakan masyarakat untuk
menolak kehadiran mereka juga pasti akan terjadi.
Untuk penanganan pencari suaka dan pengungsi ke
depannya akan dibebankan melalui APBN. Tentu, ini akan menimbulkan reaksi keras
dari masyarakat. Negara seperti Singapura, Malaysia, bahkan Australia sekalipun
yang secara finansial merupakan negara mapan, dengan tegas menolak kehadiran pencari
suaka dan pengungsi. Menurut data yang dilansir bps.go.id per Maret 2014, penduduk miskin Indonesia berjumlah
28.280.010 orang. Itu berarti sekitar 11,25% penduduk Indonesia saat ini berada
dibawah garis kemiskinan. Lantas, dengan realita kondisi seperti ini, apakah
pantas Indonesia lebih mementingkan nasib orang lain (baca: pencari suaka dan
pengungsi), daripada masyarakat sendiri?
Oleh karena itu, persoalan penanganan imigran
ilegal, ibarat memakan buah simalakama. Di satu sisi, Indonesia tidak berkewajiban menangani imigran ilegal (baca: pencari suaka dan pengungsi), karena tidak menandatangani Konvensi 1951 tentang Pengungsi beserta Protokol 1967. Tapi di sisi lain permasalahan ini berkaitan erat dengan aspek kemanusian, yang telah menjadi diskusi
global. Belum lagi kebijakan “turn
back the boat” dari Australia ke perairan Indonesia, semakin membuat
Indonesia berada dalam posisi yang sulit. Dialektika semacam ini, cepat atau
lambat akan merugikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Tidak adanya kepastian hukum, tentu
berdampak pada penanganan imigran ilegal ke depannya. Sehingga, tidak berlebihan
apabila penulis menyatakan Indonesia saat ini berada dalam status darurat
(kedatangan) imigran ilegal. (alvi)
Muara Enim, Juli 2014
M. Alvi Syahrin
[1] Lihat Harian Umum Kompas,
tanggal 29 Agustus 2001
[2] Lihat Harian Umum Kompas,
tanggal 5 September 2001
[3] Lihat Harian Umum Kompas,
tanggal 30 Agustus 2001
[4] Proses Bali
merupakan penyebutan lain dari Bali Process Minesterial Meeting. Hal tersebut
merupakan kerjasama kawasan. Kerjasama ini melibatkan Indonesia, Malaysia, dan
Papua Nugini. Proses ini terkait pengaturan bilateral dalam bentuk perjanjian
transfer kooperatif dimana pencari suaka yang tiba melalui laut di Australia
selanjutnya ditransfer. Sebagai kompensasinya, Australia membantu program
kemanusiaan serta bertanggung jawab atas beban guna menampung kembali para
pengungsi tersebut.
[5] Pasal 25 UU No.
37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri mengamanatkan untuk dibentuknya
Keputusan Presiden terkait kebijakan masalah pengungsi di luar negeri. Namun
nomenklatur aturan tersebut akhirnya diubah menjadi Peraturan Presiden, berdasarkan
Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[6] Catatan dan
kritik terhadap Rancangan Perpres tersebut akan penulis uraikan dalam tulisan
berikutnya.
Artikel yang bagus mas
ReplyDeleteTerima kasih, mas andika.
ReplyDeletemas muhammad alvi syahrin, boleh saya minta alamat email?
ReplyDeletesaya mau bertanya terkait imigran ilegal.
mohon bantuannya. trims
Halo hujan rincik. Ini alamat email saya: ma.syahrin@gmail.com
ReplyDeleteHalo mas Alvi, boleh saya mengirim email ke mas Alvi ? saya mau bertanya2 tentang data para pencari suaka ataupun pengungsi untuk keperluan Tugas Akhir saya mas. terimakasih banyak :)
ReplyDeleteHalo FOXRABBIT, salam kenal ya. Ini alamat email saya: ma.syahrin@gmail.com
ReplyDeleteSilahkan kalau mau diskusi atau tukar pendapat. Wassalam.
halo bang Alvi saya andrian. apakah saya boleh minta Alamat email bang Alvi, saya ingin mewawancarai anda tentang permasalahan imigran ilegal yg transit di Indonesia dengan tujuan ke Australia beserta penanganannya baik itu dari Indonesia maupun Australia
ReplyDeleteDengan senang hati, saya akan membantu. Tolong sebutkan Nama Lengkap, Program Studi, dan Universitas dari Saudara Andrian.
DeleteHai mas alfi. Saya rara. Saya boleh minta email mas alfi untk menanyakan data dab mewawancarai mas mengenai masalah imigran?
ReplyDeleteDengan senang hati, saya akan membantu. Tolong sebutkan Nama Lengkap, Program Studi, dan Universitas dari Saudari Nofyora
DeleteInteresting...
ReplyDelete