Wednesday, September 26, 2018

PEMBATASAN PRINSIP NON-REFOULEMENT

Merujuk pada etimologisnya istilah refoulement berasal dari kata Prancis. Refoulement berarti: “expulsion or return of a refugee from on state to another”.[1] Non-refouelement diartikan sebagai: “a rufugee’s right of not being expelled form one state to another, esp. to one where his or her life or liberty would be thetrened.” Kewajiban negara pihak dari Konvensi Tahun 1951 untuk mentaati prinsip non-refoulement dari Pasal 33 merupakan hal yang berdiri sendiri terlepas dari kewajiban orang asing untuk memenuhi persyaratan formal secara keimigrasian. Bahkan jika orang asing itu masuk secara tidak sah. Dalam kasus tidak ada penilaian terhadap permohonan suaka, di dalamnya tidak ada jaminan terhadap pengusiran pencari suaka yang bertentangan dengan Pasal 33 Konvensi Tahun 1951.

Prinsip non-refoulement sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 merupakan dasar dari perlindungan internasional terhadap pengungsi.[2] Substansi dari prinsip non-refoulement adalah jaminan suatu negara untuk tidak akan mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi dengan cara appaun ke negara asalnya dimana kehidupan dan kebebasannya akan terancam. Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Pasal 31 dan Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951, baik kedatangan secara tidak sah maupun kegagalan melaporkan kepada otoritas yang berwenang dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak dapat dipertimbangkan sebagai alasan formal untuk mengesampingkan seseorang dari status pengungsi.

Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi menyatakan bahwa:
“Tidak ada Negara Pihak yang akan mengusir atau mengembalikan  (”refouler”) pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana hidup dan kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya.”

Namun, keberlakuan prinsip non-refoulement bagi pencari suaka dan pengungsi tidak dapat diterapkan secara masif dan memaksa kepada suatu negara. Prinsip ini tidak dapat berlaku mutlak. Walaupun, normanya bersifat mem (jus cogens), namun penerapannya sangat kondional, tergantung pada urgensi dan kebutuhannnya bagi negara peserta. Apalagi terhadap Indonesia, yang sampai saat ini bukan merupakan negara pihak Konvensi Tahun 1951.

Pembatasan atau pengecualian prinsip non-refoulement diatur dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, yang menyatakan bahwa:

“Namun, keuntungan dari ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh pengungsi di mana terdapat alasan-alasan yang layak untuk menganggap sebagai bahaya terhadap keamanan negara di mana ia berada, atau karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang bersifat final atas tindak pidana sangat berat ia merupakan bahaya bagi masyarakat negara itu.”


[1] Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dicitionary, Eight Edition, Thomson West, St. Paul Minn, hlm. 1285.
[2] Prinsip yang dimaksud adalah prinsip hukum. Prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak. Prinsip hukum merupakan latar belakang peraturan hukum yang konkret yang terdapat di dalam atau dibelakang suatu kaidah hukum. Prinsip identik dengan asas. Dalam hukum internasional dikenal dengan istilah the general principle of law yang diterjemahkan dengan prinsip-prinsip hukum umum atau asas-asas hukum umum. Di dalam ilmu hukum, di samping hukum positif dikenal juga asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum. Asas atau prinsip hukum bukan merupakan hukum positif. Prinsip hukum menjadi landasan bagi hukum positif. Dengan demikian. Prinsip hukum umum ini menempati tempat yang lebih tinggi dari hukum positif. Lihat, Wayan Parthiana, Beberapa Masalah dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, hlm. 25-27.
Sementara itu, Anthon F. Susanto dengan mengutip pandangan dari Paul Scholten menjelaskan bahwa asas hukum sebagai pikiran dasar yang terdapat dalam atau di belakang sistem hukum masing-masing dalam aturan perundangan dan putusan hakim. Asas hukum dibedakan dengan kaidah hukum yang diartikan sebagai pedoman perilaku manusia dalam masyarakat, berisi perintah, kewenangan, dan izin. Di samping itu terdapat pula istilah aturan hukum yang diartikan sebagai ketenteuan konkrit tentang perilaku manusia dalam masyarakat. Lihat, Anthon F. Susanto, Metodologi Penelitian Hukum, hlm. 30. Sedangkan pengertian non-refoulement dimaknai sebagai “the expulsion of persons who have the right to be recognized as refugee”.

No comments:

Post a Comment