Merujuk pada etimologisnya istilah refoulement
berasal dari kata Prancis. Refoulement berarti: “expulsion or return of a
refugee from on state to another”.[1] Non-refouelement diartikan sebagai:
“a rufugee’s right of not being expelled form one state to another, esp. to one
where his or her life or liberty would be thetrened.” Kewajiban negara pihak
dari Konvensi Tahun 1951 untuk mentaati prinsip non-refoulement dari Pasal 33
merupakan hal yang berdiri sendiri terlepas dari kewajiban orang asing untuk
memenuhi persyaratan formal secara keimigrasian. Bahkan jika orang asing itu
masuk secara tidak sah. Dalam kasus tidak ada penilaian terhadap permohonan
suaka, di dalamnya tidak ada jaminan terhadap pengusiran pencari suaka yang
bertentangan dengan Pasal 33 Konvensi Tahun 1951.
Prinsip non-refoulement sebagaimana tercantum
dalam Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951 merupakan dasar dari perlindungan
internasional terhadap pengungsi.[2] Substansi dari prinsip non-refoulement
adalah jaminan suatu negara untuk tidak akan mengusir atau mengembalikan
seorang pengungsi dengan cara appaun ke negara asalnya dimana kehidupan dan
kebebasannya akan terancam. Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Pasal 31 dan
Pasal 33 ayat (1) Konvensi Tahun 1951, baik kedatangan secara tidak sah maupun
kegagalan melaporkan kepada otoritas yang berwenang dalam batas waktu yang
telah ditentukan tidak dapat dipertimbangkan sebagai alasan formal untuk
mengesampingkan seseorang dari status pengungsi.
Pasal 33 ayat (1)
Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi menyatakan bahwa:
“Tidak ada Negara Pihak yang
akan mengusir atau mengembalikan (”refouler”)
pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana hidup dan
kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada
kelompok sosial tertentu atau opini politiknya.”
Namun, keberlakuan
prinsip non-refoulement bagi pencari suaka dan pengungsi tidak dapat diterapkan
secara masif dan memaksa kepada suatu negara. Prinsip ini tidak dapat berlaku
mutlak. Walaupun, normanya bersifat mem (jus cogens), namun penerapannya sangat
kondional, tergantung pada urgensi dan kebutuhannnya bagi negara peserta.
Apalagi terhadap Indonesia, yang sampai saat ini bukan merupakan negara pihak
Konvensi Tahun 1951.
Pembatasan atau
pengecualian prinsip non-refoulement diatur dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi Tahun
1951 tentang Status Pengungsi, yang menyatakan bahwa:
“Namun, keuntungan dari
ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh pengungsi di mana terdapat alasan-alasan
yang layak untuk menganggap sebagai bahaya terhadap keamanan negara di mana ia
berada, atau karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang bersifat
final atas tindak pidana sangat berat ia merupakan bahaya bagi masyarakat
negara itu.”
[1]
Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law
Dicitionary, Eight Edition, Thomson West, St. Paul Minn, hlm. 1285.
[2]
Prinsip yang dimaksud adalah prinsip hukum. Prinsip hukum merupakan pikiran
dasar yang umum dan abstrak. Prinsip hukum merupakan latar belakang peraturan
hukum yang konkret yang terdapat di dalam atau dibelakang suatu kaidah hukum.
Prinsip identik dengan asas. Dalam hukum internasional dikenal dengan istilah the general principle of law yang
diterjemahkan dengan prinsip-prinsip hukum umum atau asas-asas hukum umum. Di
dalam ilmu hukum, di samping hukum positif dikenal juga asas-asas hukum atau
prinsip-prinsip hukum. Asas atau prinsip hukum bukan merupakan hukum positif.
Prinsip hukum menjadi landasan bagi hukum positif. Dengan demikian. Prinsip
hukum umum ini menempati tempat yang lebih tinggi dari hukum positif. Lihat,
Wayan Parthiana, Beberapa Masalah dalam
Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, hlm. 25-27.
Sementara
itu, Anthon F. Susanto dengan mengutip pandangan dari Paul Scholten menjelaskan
bahwa asas hukum sebagai pikiran dasar yang terdapat dalam atau di belakang
sistem hukum masing-masing dalam aturan perundangan dan putusan hakim. Asas
hukum dibedakan dengan kaidah hukum yang diartikan sebagai pedoman perilaku
manusia dalam masyarakat, berisi perintah, kewenangan, dan izin. Di samping itu
terdapat pula istilah aturan hukum yang diartikan sebagai ketenteuan konkrit
tentang perilaku manusia dalam masyarakat. Lihat, Anthon F. Susanto, Metodologi Penelitian Hukum, hlm. 30.
Sedangkan pengertian non-refoulement
dimaknai sebagai “the expulsion of
persons who have the right to be recognized as refugee”.
No comments:
Post a Comment