Monday, August 25, 2014

NOMENKLATUR KEWENANGAN PENGAWASAN DAN PENINDAKAN KEIMIGRASIAN DI DAERAH, APAKAH PERLU DIPISAH?

Prolog:
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ditentukan bahwa keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegakya kedaulatan negara. Fungsi keimigrasian Indonesia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai unsur pelaksana tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan HAM di bidang keimigrasian (vide Pasal 1 angka 6). Fungsi keimigrasian dimaksud adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai institusi  penjaga pintu gerbang negara yang berwibawa (bhumi pura wira wibawa), Imigrasi tentu berkewajiban untuk turut serta dalam menjaga kedaulatan negara. Sebagai pelaksana tugas dan fungsi penegakan hukum dan pengamanan negara, maka pada tataran pusat dibentuklah Direktorat Intelijen Keimigrasian dan Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian. Sedangkan pada tataran daerah, maka dibentuk Bidang Intelijen, Penindakan, dan Sistem Informasi Keimigrasian (Divisi Keimigrasian Kantor Wilayah) dan Bidang Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian serta Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian (Unit Pelaksana Teknis).

Berikut struktur organisasi yang dimaksud:


 Struktur Organisasi Kantor Imigrasi Klas I Khusus



 Struktur Organisasi Kantor Imigrasi Klas I 


Struktur Organisasi Kantor Imigrasi Klas II



Struktur Organisasi Kantor Imigrasi Klas III


Struktur Organisasi Divisi Keimigrasian Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI


NB: Untuk gambar yang lebih jelas silakan klik Strukutur Organisasi Direktorat Jendral Imigrasi.

Urgensi Permasalahan:
Diskursus yang mengemuka adalah terkait dengan eksistensi kewenangan pengawasan dan penindakan keimigrasian pada level daerah (Divisi Keimigrasian Kantor Wilayah dan Unit Pelaksana Teknis) yang hanya dilakukan oleh satu bidang atau seksi saja. Pertanyaannya kemudian apakah struktur organisasi demikian telah mencerminkan aspek pemerintahan yang baik dan benar? Bukankah nomenklatur kewenangan pengawasan dan penindakan keimigrasian harus dipisahkan untuk meminimalisir tindakan koruptif dari Pejabat Imigrasi? Kalau memang harus dipisahkan mengapa sampai saat ini hal tersebut belum dilaksanakan? Untuk lebih jelasnya, mari kita pahami argumentasi yuridis sebagai berikut:

 Uraian Filsafat, Prosedural dan Material:
  • Lord Acton, politikus dari Inggris, menyatakan: “Power tends to corrupt, and abslolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa kekuasaan yang besar akan cenderung menghasilkan perilaku koruptif yang besar dan pria memiliki kekuasaan besar hampir selalu orang jahat;
  • Terkait dengan fungsi keimigrasian di bidang penegakan hukum, maka urgensi pemisahan kewenangan pada Bidang / Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian (Bidang / Seksi Wasdakim) di setiap Kantor Imigrasi menjadi suatu keharusan;
  • Mengingat dalam tataran teknis (daerah) terutama di Kantor Imigrasi, tidak dipisahkannya kewenangan pengawasan keimigrasian dan penindakan keimigrasian, tentu akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)[1] oleh Pejabat Imigrasi. Kegiatan pengawasan  keimigrasian yang didukung oleh operasi intelijen merupakan bagian tersendiri, dan harus dipisahkan dengan kewenangan penindakan keimigrasian;
  • Dalam teori pemisahan kewenangan ditentukan perlu adanya pemisahan kewenangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemeritahan agar dalam melakukan tindakan administratif tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Oleh karenanya, agar tidak menimbulkan  penyalahgunaan kewenangan oleh Pejabat Imigrasi, maka perlu dilakukan pemisahan kewenangan pada Bidang / Seksi Wasdakim di Kantor Imigrasi;
  • Dalam pengawasan keimigrasian terdapat aspek intelijen keimigrasian yang melakukan fungsi pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) yang berguna sebagai data keimigrasian. Lebih lanjut, data keimigrasian yang telah dikumpulkan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan penyelidikan, atau apabila ada indikasi pelanggaran administratif / pidana keimigrasian (pro-justitia), maka dapat diteruskan ke tingkat penyidikan dan penindakan keimigrasian. Singkatnya, kegiatan pengawasan berfungsi sebagai pulbaket, sedangkan kegiatan penindakan sebagai eksekutor pulbaket tersebut. Jadi terlihat bahwa alur kerja antara pengawasan dan penindakan keimigrasian merupakan suatu hal yang berbeda, namun memiliki keterkaitan satu sama lain. Sehingga apabila dilakukan oleh satu bidang / seksi, yaitu Bidang / Seksi Wasdakim pada Kantor Imigrasi, maka akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang di dalamnya;
  • Pengawasan keimigrasian merupakan kegiatan yang bersifat preventif (pencegahan), sedangkan penindakan keimigrasian bersifat represif. Konsep pengawasan menjadi bagian dari sisi pencegahan, yang berbeda dengan konsep penindakan yang merupakan bagian dari penegakan hukum. Keduanya memiliki kaitan yang erat, tapi bukan berarti harus dilakukan bersama dalam satu Bidang / Seksi Wasdakim di Kantor Imigrasi, yang cenderung menimbulkan perbuatan koruptif;
  • Sejatinya, pemisahan kewenangan antara pengawasan keimigrasian dan penindakan keimigrasian telah dilaksanakan di tingkat pusat (tataran kebijakan). Direktorat Intelijen Keimigrasian melaksanakan fungsi kebijakan keimigrasian di bidang pengawasan (preventif), sedangkan Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian melaksanakan fungsi kebijakan keimigrasian di bidang penyidikan dan penindakan (represitf). Namun, konsep pemisahan ini tidak diteruskan sampai ke tingkat Kantor Wilayah, dimana pada Divisi Keimigrasian fungsi pengawasan dan penindakan keimigrasian hanya dibawah wewenang Sub-Bidang Intelijen dan Penindakan Keimigrasian. In-konsistensi ini terus berlanjut hingga Kantor Imigrasi yang hanya memiliki Seksi Wasdakim;
  • Layaknya dalam sistem peradilan pidana yang melakukan pemisahan dan proses berjenjang, maka pemisahan kewenangan pengawasan keimigrasian dan penindakan keimigrasian pada Kantor Imigrasi juga perlu dilakukan. Misalnya dalam hal tindak pidana umum, untuk penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Kepolisian, kemudian penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan. Sistem pemisahan kewenangan seperti ini, juga harus diterapkan untuk memisahkan kegaitan pengawasan dan penindakan keimigrasian di Kantor Imigrasi agar tercipta sistem kontrol keseimbangan (check and balances) di antara masing-masing kewenangan;
  • Sebagai perbandingan, dapat dilihat struktur organisasi pemerintah lain seperti Polresta yang memisahkan antara Satuan Intelkam dengan Satuan Reskrim. Begitu juga dengan Kejaksaan Negeri yang memisahkan antara Seksi Intelijen dengan Seksi Tipidum / Tipidsus. Bahkan di KPK ada pemisahan antara Deputi Pencegahan dan Deputi Penindakan;
  • Dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, telah dipisahkan pengaturan tentang pengawasan dan penindakan keimigrasian. Hal ihwal pengawasan keimigrasian diatur dalam Bab VI tentang Pengawasan Keimigrasian, sedangkan menyangkut penyidikan dan penindakan keimigrasian diatur dalam Bab VII tentang Tindakan Administratif Keimigrasian, Bab X tentang Penyidikan, dan Bab XI tentang Ketentuan Pidana. Pembuat undang-undang (wets gever) menyadari bahwa apabila kekuasaan pengawasan dan penyidikan-penindakan keimigrasian dilakukan dalam satu bab pengaturan maka akan berdampak pada pelaksanaan teknis organisasi ke tingkat bawah (daerah). Oleh karena itu pemisahan pengaturan antara pengawasan dan penyidikan-penindakan keimigrasian di tingkat pusat, telah merepresentasi pemisahan kekuasaan di bidang keimigrasian yang sesungguhnya. Namun, hal ini tidak diikuti oleh Kantor Imigrasi yang menggabungkan kedua kewenangan tersebut dalam Bidang / Seksi Wasdakim;
  • Kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penindakan sebagaimana yang terjadi di Kantor Imigrasi, tentu rentan dengan perilaku koruptif. Hal ini disebabkan kosentrasi kekuasaan akan berpusat pada satu pihak saja. Seperti yang telah diungkapkan oleh Lord Acton: “Great Men are almost always bad men;
  • Perwujudan Bidang / Seksi Wasdakim pada Kantor Imigrasi, akan menghilangkan konsep kontrol keseimbangan (check and balances) dalam pelaksanaan fungsi keimigrasian secara holistik. Apabila kewenangan yang besar (pengawasan dan penindakan keimigrasian) hanya dilakukan oleh satu seksi, maka berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh Pejabat Imigrasi di dalamnya;
  • Oleh karena itu, pemisahan kewenangan Seksi Wasdakim pada Kantor Imigrasi harus dilakukan dengan segera. Konsep pemisahan yang telah dilakukan pada Unit Eselon I (Direktorat Intelijen Keimigrasian dan Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian) telah merepresentasikan tata kelola pemerintahan yang benar. Usaha pemisahan ini, pada akhirnya bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN sebagaimana tersebut dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.


BAHAN BACAAN 


Buku-Buku
Philpus M. Hadjon et. al, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administration Law), Cet-8, Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Philipus, M. Hadjon, Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Perspektif Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, Jurnal Meitokrasi, Volume 1, Nomor 1, Agustus 2002

Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Muara Enim, Agustus 2014
M. Alvi Syahrin


[1] Dalam terminologi lain dikenal istilah detournemeint de povoir / excess de povouir, yang berarti penyalahgunaan wewenang.

No comments:

Post a Comment