Globalisasi
dalam Optik Keimigrasian
Dalam
era globalisasi dan perdagangan bebas telah membawa dampak pada peningkatan
lalu lintas orang. Fenomena ini sudah menjadi perhatian negara-negara di dunia
termasuk Indonesia. Sebagai negara yang
mempunyai kedaulatan untuk mengatur lalu lintas orang yang akan masuk dan
keluar wilayah negaranya, Indonesia kini dihadapkan kepada beragam masalah
transnasional (Hendra Halwani, 2005: 10).
Dampak
yang ditimbulkan dari globalisasi yaitu, perdagangan narkotika antarnegara,
aksi-aksi terorisme yang mengancam keamanan dan ketertiban dunia, perdagangan
manusia (human trafficking),
penyelundupan manusia (people smuggling),
pencucian uang (money laundering),
imigran gelap, perdagangan senjata dan lain sebagainya. Dari contoh dampak
negatif di atas, dapat digolongkan sebagai aksi kejahatan yang
terorganisir atau sering disebut Transnational
Organized Crimes (M. Alvi
Syahrin, 2017: 168-178). Kejahatan tersebut bukan hanya mengancam kedaulatan negara Indonesia sendiri, tetapi juga mengancam ketentraman
dan kedaulatan seluruh negara
di dunia (M. Iman
Santoso, 2007: 36).
Untuk
meminimalisir dampak tersebut,
maka diperlukan suatu lembaga yang mengatur masalah tentang keluar masuknya
orang ke wilayah negara Republik Indonesia, yaitu Direktorat Jenderal Imigrasi. Direktorat
Jenderal Imigrasi adalah suatu lembaga yang mengatur perlintasan
masuk dan keluarnya orang ke wilayah negara Republik Indonesia. Permasalahan
keimigrasian diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU No. 6
Tahun 2011). Di mana dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 6
Tahun 2011 disebutkan bahwa: “Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang masuk atau
keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya
kedaulatan negara.”
Pengaturan
bidang keimigrasian (lalu lintas masuk dan keluar)
suatu negara, berdasarkan hukum internasional merupakan hak dan wewenang suatu
negara. Dengan perkataan lain, merupakan salah satu indikator kedaulatan suatu
negara. Direktorat Jenderal Imigrasi secara kelembagaan memiliki peran di berbagai
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara seperti bidang ekonomi, politik,
hukum, dan keamanan (Abdullah Sjahriful, 1993: 5).
Pelanggaran keimigrasian yang sering terjadi adalah penyalahgunaan izin tinggal
keimigrasian yang dilakukan oleh
tenaga kerja asing, terutama di perusahaan energi dan pertambangan. Skema
investasi (Turnkey Project Mangement) antara Indonesia dan Tiongkok, menimbulkan dampak
yang sistemik, khususnya dalam kepemilikan modal, infrastruktur, dan tenaga
kerja asing. Contoh kasus tenaga kerja asing di perusahaan energi dan tambang
terdapat di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan data yang
dirilis oleh Kementerian Ketenagakerjaan per tanggal 06 April 2018, terdapat
sekitar 927 warga negara Tiongkok yang bekerja secara ilegal di sejumlah
perusahaan pertambangan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Tenaga kerja asing ini
paling banyak bekerja di Virtue Dragon Nickel Industry dengan jumlah 632 orang.
Kasus lain juga pernah terjadi di Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan.
Setidaknya ada sekitar 671 warga negara Tiongkok yang bekerja secara ilegal di
PT. Priamanaya Energy. Dari jumlah tersebut, 90% di antaranya merupakan tenaga
kerja asing ilegal. Mereka tidak memiliki Izin Tinggal Terbatas Bekerja dari
Kantor Imigrasi dan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) dari
Kementerian Ketenagakerjaan. Kebanyakan modus mereka adalah menyahgunakan
Kebijakan Bebas Visa Kunjungan yang seharusnya bukan untuk bekerja
Penegakan Hukum Keimigrasian
Penegakan hukum merupakan tindakan penyelenggaraan hukum oleh petugas penegak hukum oleh
orang-orang yang berkepentingan sesuai dengan kewenangan masing-masing menurut
aturan hukum yang berlaku (C.S.T. Kansil, 2002: 17). Dalam pelaksanaan tugas keimigrasian, keseluruhan aturan
hukum keimigrasian negara Republik Indonesia baik itu
warga negara Indonesia (WNI) atau orang asing.
Hal ini dimaksudkan untuk membuat efek jera
kepada para pelanggar tindak pidana keimigrasian di Indonesia. Penegakan hukum
keimigrasian ini sangat penting, karena keimigrasian berhubungan erat dengan
kedaulatan suatu negara (M. Iman Santoso, 2004: 54). Dengan adanya penegakan hukum yang tegas, maka integritas
dan kedaulatan negara Indonesia secara tidak langsung akan dihormati dan
dihargai oleh negara-negara lain.
Penegakan hukum keimigrasian terhadap WNI, ditujukan pada
permasalahan:
a. pemalsuan
identitas;
b. pertanggungjawaban
sponsor;
c. kepemilikan
paspor ganda;
d. keterlibatan
dalam pelanggaran aturan keimigrasian.
Sedangkan, penegakan hukum keimigrasian terhadap orang asing, ditujukan pada permasalahan:
a. pemalsuan
identitas;
b. pendaftaran
orang asing dan pemberian buku pengawasan orang asing;
c. penyalahgunaan
izin tinggal;
d. masuk
secara ilegal atau berada secara ilegal;
e. pemantauan/razia;
f. kerawanan
keimigrasian secara geografis dalam perlintasan
Tindakan Administratif Keimigrasian
Pasal
1 angka 31 UU No. 6 Tahun 2011 menyatakan tindakan administrasi
keimigrasian adalah sanksi
administratif yang ditetapkan Pejabat Imigrasi terhadap orang asing di luar
proses peradilan. UU No. 6 Tahun 2011, Pasal
75 ayat (1) menentukan alasan tindakan (administrasi) keimigrasian bahwa apabila orang asing yang berada di
wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga
membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak
menaati peraturan perundang-undangan.
UU No. 6 Tahun 2011, Pasal 75 ayat (2) menentukan tindakan administratif keimigrasian terdiri dari:
a. Pencantuman
dalam daftar pencegahan atau penangkalan;
b. Pembatasan,
perubahan atau pembatalan Izin Tinggal;
c. Larangan
untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di wilayah Indonesia;
d. Keharusan
untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di wilayah Indonesia;
e. Pengenaan
biaya beban; dan / atau
f. Deportasi
dari wilayah Indonesia.
Penentuan
apakah dikenakan tindakan administratif keimigrasian ataukah diproses melalui proses peradilan, sepenuhnya ditentukan oleh Pejabat Imigrasi di setiap
tingkatan struktur organisasi. Kemudian ketidakjelasan sanksi administratif
yang diberlakukan terhadap ancaman yang bukan bersifat administratif terjadi
secara meluas dalam hal penegakan hukum keimigrasian.
Lebih
lanjut, pada umumnya negara-negara memiliki kekuasaan untuk mengusir,
mendeportasi, dan merekonduksi orang-orang asing, seperti halnya kekuasaan untuk melakukan penolakan pemberian izin masuk. Hal ini dianggap sebagai suatu hal yang melekat pada
kedaulatan teritorial suatu negara. Mengingat
pengaturan mengenai keberadaan dan kegiatan orang asing di suatu negara
merupakan esensi kedaulatan teritorial yang melekat pada suatu negara, maka
negara berhak menentukan batasan-batasan terhadap keberadaan dan suatu kegiatan
yang dapat atau boleh dilakukan oleh orang asing (M. Alvi Syahrin, 2018: 43-57).
Penegakan hukum keimigrasian di mulai dari pengawasan terhadap lalu lintas orang yang masuk
dan keluar wilayah negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di
wilayah Indonesia. Pejabat Imigrasi berwenang melakukan tindakan administrasi
keimigrasian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang
melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan
ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan
perundang-undangan.
Kewenangan
untuk menetapkan keputusan tindakan administratif keimigrasian ditingkat
operasional ada pada Kepala Kantor Imigrasi, di tingkat pengawasan dan
pengendalian ada pada Koordinator / Bidang Imigrasi pada setiap Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM, dan di tingkat
pusat ada pada Direktur Jenderal Imigrasi yang dalam pelaksanaannya didelegasikan
kepada Direktur Pengawasan
dan Penindakan Keimigrasian. Walaupun
pengaturan mengenai keberadaan dan kegiatan orang asing merupakan instrumen
penegakan kedaulatan negara, UU No. 6 Tahun 2011 juga mengatur hak orang asing yang terkena tindakan
keimigrasian untuk mengajukan keberatan kepada Menteri. Hal ini mengisyaratkan bahwa hukum keimigrasian selain mengutamakan aspek kedaulatan
negara, juga memperhatikan masalah hak asasi manusia setiap orang.
Tindakan administratif keimigrasian yang paling sering
diberikan kepada para pelanggar keimigrasian adalah deportasi. Deportasi adalah tindakan paksa mengeluarkan orang asing
dari wilayah Indonesia. Tata cara proses pendeportasian yang
dilakukan meliputi: melakukan
berita acara pemeriksaan terhadap orang asing yang melanggar peraturan
keimigrasian yang didampingi penerjemah, dan juga mendatangkan perwakilan dari Kedutaan Besar
orang asing yang bersangkutan sebagai konfirmasi kebenaran identitas orang
asing tersebut. Konfirmasi
dilakukan terhadap keabsahan
paspor, visa yang dikeluarkan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, maupun visa yang dikeluarkan pada saat orang asing tersebut
tiba di Indonesia, kemudian membuat surat keputusan deportasi.
Keputusan
deportasi dikeluarkan oleh Pejabat
Imigrasi yang berwenang, yaitu
Kepala Kantor Imigrasi dan keputusan tersebut harus disampaikan kepada orang
asing yang dikenakan tindakan keimigrasian selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
sejak tanggal penetapan. Selama orang asing yang dikenakan tindakan
keimigrasian tersebut menunggu proses pendeportasian, orang asing tersebut
ditempatkan di Ruang Detensi Imigrasi.
Pasal
1 angka 34 UU No. 6 Tahun 2011 menentukan bahwa Ruang
Detensi Imigrasi
merupakan tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenai tindakan
administratif keimigrasian yang berada di Direktorat Jenderal Imigrasi dan
Kantor Imigrasi. Pasal 44 ayat (1) menentukan bahwa
setiap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dapat ditempatkan di Ruang Detensi
Imigrasi apabila berada di wilayah Indonesia tanpa memiliki izin tinggal yang
sah, atau dalam rangka menunggu proses pengusiran atau pendeportasian keluar
wilayah Indonesia.
Contoh kasus penyalahgunaan izin tinggal pernah terjadi terhadap orang asing yang bernama Chen
Qinpeng yang berkewarganegaraan China, Pasport Nomor E58942114 dan Jing Cilu
yang berkewarganegaraan China, Pasport Nomor E37538042. Chen
Qinpeng dan Jing Cilu telah melakukan tindak pidana keimigrasian, dimana
keduanya masuk ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 16
September 2015 dengan menggunakan Visa on
Arrival. Terhadap terdakwa yang telah melakukan tindak pidana
penyalahgunaan izin tinggal yang melanggar ketentuan perundang-undangan
keimigrasian, karena yang bersangkutan hanya memiliki izin kunjungan dan
berlibur tidak untuk bekerja. Namun pada kenyataannya terdakwa berada di
Lampung untuk bekerja melakukan pelatihan terhadap karyawan PT. Radema Graha Sarana
yang sedang mengerjakan proyek pengeboran untuk pemasangan pipa gas milik PGN
di Bandar Lampung. Sehingga terdakwa diduga melakukan pelanggaran keimigrasian
sebagaimana dimaksud Pasal 122 huruf a jo. Pasal 75 ayat (2) huruf a, b, dan f UU No. 6
Tahun 2011 dan kepada yang bersangkutan
dikenakan tindakan administratif keimigrasian berupa penangkalan, pembatalan
izin tinggal, dan pendeportasian.
Pada
saat proses pemulangan orang asing tersebut dilakukan pengawasan keberangkatan
oleh Petugas Imigrasi sampai ke Tempat Pemeriksaan Imigrasi,
kemudian diterakan tanda penolakan di paspornya
oleh Petugas Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi baik di
bandara maupun pelabuhan dan orang asing tersebut dipulangkan.
Penyidikan Tindak Pidana
Keimigrasian
Penyidikan tindak pidana keimigrasian yaitu penanganan suatu tindak pidana keimigrasian melalui
proses peradilan, yang termasuk di dalam sistem peradilan pidana (M. Abdul
Kholiq, 2002: 21). Penyidikan atau kerap disebut tindakan secara pro
justisia diberikan kepada orang asing yang melakukan tindak pidana atau
pelanggaran keimigrasian yang tercantum dalam UU No. 6 Tahun 2011 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013. Tindakan tersebut berupa penyidikan terhadap tersangka dan barang bukti yang
berkaitan dengan tindak pidana keimigrasian yang dilakukan, melakukan tindakan pertama di tempat
kejadian, melakukan tindakan pengkarantinaan terhadap orang asing, melakukan
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan terhadap tempat, benda-benda,
dokumen-dokumen, surat-surat yang berkaitan dengan tindak pidana imigrasi,
memanggil para saksi dan tersangka, dengan disertai pembuatan berita acaranya
di setiap tindakan hukum yang dilakukan.
Terhadap orang asing yang dilakukan
operasi tangkap tangan karena melakukan tindak pidana imigrasi ataupun yang berkaitan
dengan tindak pidana lainnya,
maka Penyidik dapat secara langsung melakukan tindakan seperti
yang diatur dalam KUHAP Pasal 5 ayat (1) huruf b, yaitu:
a. pengangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
b. pemeriksaan
dan penyitaan surat mengambil sidik jari dan memotret
seseorang;
c. membawa
dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Tindakan
ini dilaksanakan oleh Pejabat
Imigrasi, yang telah
berstatus Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Keimigrasian.
PPNS Keimigrasian diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penegakan
hukum keimigrasian terhadap pelanggaran tindak pidana keimigrasian. Dalam Pasal
107 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa PPNS
Keimigrasian melakukan koordinasi
dengan Penyidik Kepolisian RI
dalam hal pemberitahuan dimulainya penyidikan tindak pidana imigrasi kepada Penyidik
Kepolisian RI selaku Koordinator dan Pengawas (Korwas) PPNS Keimigrasian. Dalam hal serah terima berkas perkara hasil penyidikan tindak
pidana imigrasi dari PPNS Imigrasi
kepada Penyidik
Kepolisian RI selaku Korwas
PPNS Keimigrasian untuk disampaikan kepada Penuntut Umum
(Pasal 107
ayat (3) KUHAP). Apabila
melakukan penghentian penyidikan maka memberitahukan kepada Penyidik
Kepolisian RI dari penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP). Penghentian
penyidikan dilakukan apabila tidak teradapat cukup bukti, peristiwa tersebut
bukanlah tindak pidana dan penyidikan dihentikan demi hukum (Pasal 109 ayat (2) KUHAP).
Penindakan yang dilakukan terhadap warga negara asing yang
melakukan tindak pidana keimigrasian, dilakukan dengan cara memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap
atau menahan seseorang yang disangka melakukan tindak pidana keimigrasian.
Dimana laporan dari masyarakat terhadap warga negara asing yang melakukan
tindak pidana sangat membantu dalam penegakan hukum keimigrasian.
Pemeriksaan
yang dilakukan terhadap
WNA yang melanggar izin tinggal keimigrasian merupakan kegiatan untuk memperoleh keterangan, kejelasan
dan keidentikan tersangka maupun para saksi dan barang bukti maupun mengenai
unsur-unsur tindak pidana keimigrasian yang telah terjadi, sehingga kedudukan
ataupun peranan seseorang maupun barang bukti dalam tindakan keimigrasian
menjadi jelas dan terang. Dasar pertimbangan dilakukan pemeriksaan adalah
laporan kejadian keimigrasian, berita acara pemeriksaan di tempat kejadian
perkara, berita acara penangkapan, berita acara karantina imigrasi, berita
acara penggeledahan, dan berita acara penyitaan, adanya petunjuk dari Penuntut
Umum mengenai adanya pemeriksaan tambahan. Penyelesaian dan penyerahan berkas
perkara adalah akhir dari proses penyidikan tindak pidana
keimigrasian. Dilakukannya hal tersebut adalah hasil pemeriksaan tersangka dan
para saksi atau saksi ahli beserta kelengkapannya, memenuhi unsur-unsur tindak
pidana keimigrasian dan dilakukan demi hukum.
Penyerahan
berkas perkara merupakan kegiatan pengiriman berkas perkara yang berkaitan
dengan tanggung jawab atas tersangka beserta dengan barang bukti kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik
Kepolisian RI. Penghentian penyidikan dilakukan
sebagai kegiatan penyelesaian perkara apabila tidak cukup bukti, peristiwa
pidana tersebut bukanlah tindak pidana keimigrasian, dan dihentikan demi hukum.
Tindakan keimigrasian yang dikenakan secara pro
justisia berdasarkan pada Pasal 106 UU No. 6 Tahun 2011 terhadap warga negara asing diketahui dari laporan tentang
adanya tindak pidana keimigrasian, tertangkap tangan ataupun dengan diketahui
sendiri secara langsung oleh PPNS Keimigrasian
pada saat melakukan pemantauan (operasi) ke lapangan.
Salah
satu kasus pelanggaran keimigrasian lainnya
yang pernah terjadi terhadap orang asing di daerah Lampung yaitu yang dilakukan
oleh Marwan Saydeh bin Mustafa, berkewarganegaraan Syriah. Ia bekerja sebagai pemain sepak bola dan beralamat di Apartment
Gading Nias Jakarta Utara. Marwan Saydeh bin Mustafa telah memberikan data yang
tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk memperoleh Dokumen Perjalanan
Republik Indonesia untuk dirinya sendiri. Pada tanggal 28 November 2014 Marwan
Saydeh bin Mustafa datang ke Kantor Imigrasi Kelas I Bandar Lampung untuk
mengurus pembuatan paspor Republik Indonesia dimana data kependudukannya adalah
KTP dan KK palsu. Terhadap terdakwa yang telah melanggar ketentuan
perundang-undangan keimigrasian maka dilakukan tindakan kepadanya penahanan di Rumah
Tahanan, selanjutnya diperpanjang oleh
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Dengan sanksi pemidanaan
tersebut diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan menjadi contoh penegakan
hukum keimigrasian yang tegas dengan berpegang teguh terhadap UU No. 6
Tahun 2011, sehingga orang asing yang berada
di Lampung lebih taat terhadap aturan yang berlaku di Indonesia.
Praktiknya, tindakan
penyidikan jarang dilaksanakan. Hal ini dikarenakan dianggap tidak efektif, memakan waktu yang relatif lama,
pengalokasian anggaran yang masih belum memadai, serta sumber daya manusia PPNS Keimigrasian sangat terbatas
jika dibandingkan dengan Penyidik
Kepolisian. Sehingga petugas di lapangan lebih memilih upaya hukum non
justisia (tindakan administratif keimigrasian), melalui pendeportasian ke negara asalnya.
Tujuan
dari pengawasan terhadap orang asing yang masuk ke Indonesia adalah dalam
rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. Maka dari itu dalam menegakkan UU No. 6
Tahun 2011, Direktorat Jenderal Imigrasi akan terus melakukan pengawasan sejak orang asing tersebut masuk
hingga
berada di wilayah Indonesia. Terhadap orang asing yang dianggap
mencurigkan, maka akan dilakukan pemeriksaan paspor dan visa secara mendalam,
serta apa maksud dan tujuannya masuk ke wilayah Indonesia.
Kemudian
wilayah-wilayah yang akan dikunjungi orang asing akan didata dan dimasukkan ke sistem yang langsung terkoneksi ke Kantor
Imigrasi seluruh Indonesia.
Sehingga apabila orang asing tersebut tidak melaporkan keberadaannya di suatu
daerah, maka pihak Imigrasi
tetap memiliki data tersebut sebagai langkah preventif.
Dengan adanya data tersebut Petugas
Imigrasi dapat lebih mudah dalam melakukan pengawasan terhadap orang asing yang berada di wilayahnya.
Perbaikan
dan Peningkatan
Dalam proses penegakan hukum keimigrasian ini,
tentu masih banyak hal-hal yang perlu diperbaiki oleh Direktorat Jenderal
Imigrasi. Di
antaranya, meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas Imigrasi di daerah
perbatasan, dukungan moral dan politik dari pemangku jabatan, perbaikan sarana
dan prasarana, serta fasilitas keimigrasian di Tempat Pemeriksaan Imigrasi,
meningkatkan kerja sama dan koordinasi lintas lembaga, dan menjalankan norma UU
No. 6 Tahun 2011 beserta peraturan pelaksana lainnya dengan sungguh-sungguh.
Jadikanlah, Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai lembaga yang terhormat dan
berwibawa, layaknya semboyan: Bhumi Pura Wira Wibawa (Penjaga Pintu Gerbang Negara yang Berwibawa).
No comments:
Post a Comment