“..... walau suasana politik ekonomi saat ini
menuntut Indonesia harus membuka diri dari masuknya tenaga kerja asing
(Tiongkok), bukan berarti harus meninggalkan kebijakan selektif keimigrasian. Silahkan
mereka masuk, berinvestasi, dan bekerja di Indonesia, tapi hanya mereka yang
membawa manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum.”
Opendeur
Politiek (Kebijakan Pintu Terbuka)
Sebagaimana
diketahui kedatangan orang Belanda ke Indonesia pada abad XVI dan XVII adalah
untuk berdagang rempah-rempah. Sejak semula Pemerintah Kerajaan Belanda amat
mendukung usaha itu. Pada tahun 1602-1830, Kongsi Dagang Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), bersaing dengan kongsi-kongsi dagang Portugis, Spanyol,
dan Inggris. Kongsi-kongsi dagang dari Eropa itu diperkuat dengan pasukan yang
dipersenjatai. Para pedagang dari Portugis dan Spanyol kian tersingkir dari
nusantara, digantikan oleh Belanda dan Inggris.
Setelah
Kulturstelsel dihentikan, daerah
Hindia Belanda dijadikan daerah penanaman modal dengan berbagai kemudahan bagi
para kapitalis untuk bergerak di sektor perdagangan. Maka berdirilah onderneming yang bergerak di bidang
perkebunan, maskapai-maskapai pertambangan minyak bumi, timah, batu bara, emas,
dan industri pabrik gula. Semuanya itu tentu memerlukan tenaga kerja (manpower) yang luas.
Untuk
mendapatkan tenaga kerja yang luas dan murah bagi para penanam modal,
dilakukanlah politik yang memberi kesempatan yang luas kepada bangsa asing yang
ingin masuk ke Indonesia. Maka membanjirlah arus migrasi ke Indonesia. Selain
orang Belanda dan Eropa lainnya, didatangkan para pekerja murah dari daratan Tiongkok
dan India.
Politik
(kebijakan) keimigrasian yang diterapkan di Hindia Belanda disebut opendeur politiek atau yang disebut
politik pintu terbuka (yang sebenarnya suatu istilah ekonomi kolonial), yaitu
kebijakan yang membuka Hindia Belanda seluas-luasnya bagi orang asing untuk
masuk, menetap, dan menjadi penduduk Hindia Belanda. Opendeur politiek pada hakikatnya tak pernah diubah sampai
Indonesia merdeka. Menurut M. Iman Santoso, Mantan Direktur Jenderal Imigrasi
sekaligus Guru Besar Ilmu Hukum Keimigrasian, menjelaskan secara tersurat tidak
ada ditetapkan politik keimigrasian kolonial bersifat terbuka, tetapi dari
berbagai peraturan di bidang kependudukan, kewarganegaraan, pemberian izin
masuk, dan izin tinggal dapat disimpulkan bahwa politik keimigrasian pada masa
kolonial adalah bersifat pintu terbuka.
Menurutnya,
kebijakan politik pintu terbuka ini bermaksud membuka kesempatan seluas-luasnya
bagi orang asing untuk menetap dan melakukan kegiatan di Hindia Belanda. Dengan
semakin banyak dan bervariasi golongan atau keturunan bangsa asing masuk,
tinggal, dan bekerja di Hindia Belanda maka semakin baik. Diharapkan sektor
perekonomian dan politik tetap dikuasai bangsa asing, sehingga golongan
bumiputera diharapkan akan tetap di bawah jajahan bangsa Belanda.
Singkat
kata, kebijakan pintu terbuka ini mempunyai tujuan sebagai berikut: (i)
mendapatkan tenaga kerja murah untuk menekan penduduk asli sekaligus
menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi antara pendatang dan penduduk asli,
(ii) menarik modal asing dan pengaruh asing sebesar-besarnya agar kesempatan
bagi bumiputera (pribumi) semakin tertutup dan dapat ditekan oleh pengaruh tadi
sehingga bangsa Indonesia sudah tentu tetap menjadi bangsa terjajah, dan (iii)
bila ada serangan dari luar terhadap Hindia Belanda, pemerintah Belanda tidak
akan sendiri menghadapinya karena negara penanam modal tidak akan tinggal diam
untuk melindungi kepentingan modalnya. Dengan demikian bahwa poliitk
keimigrasian kolonial hanya mengatur kehadiran orang asing dan berpihak pada
kepentingan pemerintah jajahan.
Resistensi Kebijakan
Keimigrasian
Sejak
Indonesia merdeka hingga tanggal 22 Mei 1992, politik hukum keimigrasian masih
merujuk pada aturan hukum kolonial. Dilihat dari sudut pandang sejarah Imigrasi
di Indonesia, kebijakan kemigrasian masih belum sepenuhnya bersumber pada hukum
nasional. Sebagaimana diketahui, orientasi kebijakan Presiden Soeharto pada
masa itu adalah pembangunan yang
mengharuskan dibukanya pintu investasi sebesar-besarnya. Sehingga
kebijakan keimigrasian yang berlaku dari zaman kolonial hingga masa
pemerintahan Soerharto adalah bersifat terbuka.
Setelah
diberlakukannya UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, maka kebijakan dan
pengaturan keimigrasian yang tergambar adalah selective policy (kebijakan selektif). Namun dalam pelaksanaannya
tidak maksimal, terutama sejak diberlakukannya kebijakan Bebas Visa Kunjungan
Singkat (BVKS). Kebijakan BVKS pada masa itu ditetapkan oleh Menteri Kehakiman
RI dalam SK No. M.O1-IZ.01.02 Tahun 1993
yang berisi pembebasan visa bagi kunjungan singkat 60 hari dan tidak dapat
diperpanjang kepada 20 negara tambahan dan perubahan 26 negara Bebas Visa
Kunjungan Wisata (BVKW) menjadi Bebas Visa Kunjungan Singkat, termasuk
perubahan atas penambahan beberapa negara.
Modifikasi
kebijakan BVKS dan BVKW ini muncul pada saat Joop Ave menjadi Menteri
Pariwisata. Pada saat itu perluasan defenisi kepariwisataan secara
internasional, bahwa wisata tidak lagi diartikan secara sempit sekedar
rekreasi, tetapi juga meliputi kegiatan lain, asalkan bukan bekerja. Kalangan
Imigrasi pada waktu itu tidak setuju pemberian BVKS terhadap orang asing.
Kebijakan tersebut mendapat respon negatif dari salah seorang anggota Badan
Perencana Pariwisata Nasional (Bapparnas), Hj. Irtje Irza Ratubagus Sianturi,
sekaligus Pejabat Imigrasi yang menyampaikan pernyataan kepada Joop Ave bahwa
Departemen Pariwisata harus meningkatan pengawasannya.
Sehingga
dengan adanya kebijakan tersebut menyebabkan politik keimigrasian kembali
bernuansa terbuka (opendeur policy).
Akibatnya walaupun secara de jure disyaratkan
selektifitas dalam hal lalu lintas orang keluar masuk wilayah RI, namun secara de facto wilayah Indonesia menjadi
terbuka terhadap setiap kedatangan warga negara asing.
Dalam
kurun waktu 71 tahun Indonesia merdeka, republik ini telah mengalami berbagai
bentuk kebijakan keimigrasian. Indonesia pernah menganut prinsip kebijakan
keimigrasian terbuka, selektif, dan selektif bernuansa terbuka. Resistensi ini
tentu sangat dipengaruhi oleh suasana dan kepentingan politik di masing-masing
pemerintahan.
Untuk
saat ini kebijakan keimigrasian yang dianut dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian adalah kebijakan selektif yang meneruskan konsep kebijakan
keimigrasian dalam UU No. 9 Tahun 1992. Di dalam Penjelasan UU No. 6 Tahun 2011
dijelaskan bahwa kebijakan selektif mengharuskan bagi orang asing yang masuk
dan berada di wilayah Indonesia harus sesuai dengan maksud dan tujuannya.
Kebijakan dimaksud dalam rangka melindungi kepentingan nasional, dimana hanya
orang asing yang memberikan manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan
ketertiban umum diperbolehkan masuk dan berada di wilayah Indonesia.
Namun
faktanya, saat ini kita terjebak kembali dalam konsep kebijakan keimigrasian
kolonial. Jika beberapa puluh tahun yang lalu, tenaga kerja murah didatangkan
untuk kepentingan investor Hindia
Belanda, saat ini pemerintah kembali mengulang orientasi kebijakan
dengan mendatangkan tenaga kerja Tiongkok dengan dalih untuk mempercepat proses
pembangunan. Kebijakan selektif menjadi tidak maksimal, ketika pemerintah
menganulir regulasi nya sendiri hanya demi untuk percepatan pembangunan yang
instan tanpa melihat dampak buruk ke depannya.
Paket Kebijakan
Investasi Pro Tiongkok
Adanya
perjanjian Governement to Governement
(G2G) antara Indonesia dan Tiongkok di sektor perindustrian, berimplikasi pada
sumber daya manusia yang digunakan. Kerap kali dalam kontrak yang disajikan,
memuat ketentuan bahwa klausul kontrak dapat dilaksanakan jika menggunakan
tenaga kerja dari negara asal, yaitu Tiongkok. Ketentuan ini ibarat satu paket
dengan objek utama kontrak. Sehingga mau tidak mau, ketentuan ini harus
dilaksanakan. Mengingat Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan
fisik untuk meningkatkan perekonomian nasional.
Kebijakan
Bebas Visa Kunjungan dan perubahan persyaratan tenaga kerja asing adalah
sedikit regulasi yang membuka pintu arus masuknya warga negara Tiongkok ke
Indonesia. Membeludaknya jumlah tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang
dibuat oleh Presiden Joko Widodo, yaitu Kebijakan Bebas Visa Kunjungan.
Kebijakan ini diawali dengan dibentuknya Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun
2015, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2015, hingga
yang terakhir Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 yang memberikan Bebas Visa
Kunjungan kepada 169 negara.
Kebijakan
yang telah mengalami perubahan hingga tiga kali ini menjadi momentum bagi
ekspansi masuknya warga negara asing ke Indonesia, khususnya Tiongkok. Tiongkok
sebagai negara yang memiliki hubungan bilateral G2G terhadap Indonesia, sangat
memiliki kepentingan terhadap kebijakan ini.
Alasan ekonomi
dan pariwisata yang menjadi dasar pemberlakukan kebijakan Bebas Visa Kunjungan
tidaklah tepat. Sejauh ini belum ada angka pasti yang menyebutkan seberapa
besar pengaruh positif bagi perekonomian bangsa terkait dengan kebijakan
tersebut. Dari sudut pandang legalitas, Kebijakan ini bertentangan dengan Pasal
43 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 yang mensyaratkan bahwa orang asing dapat
dibebaskan dari kewajiban memiliki visa apabila telah ditetapkan dalam
Peraturan Presiden dengan memperhatikan asas timbal balik dan asas manfaat.
Lalu, apa Tiongkok juga memberlakukan Bebas Visa Kunjungan kepada Indonesia?
Apakah kebijakan tersebut lebih besar manfaatnya dibanding kerugian yang
ditimbulkan? Pertanyaan ini yang harus dijawab dan menjadi perhatian serius
pemerintah.
Selanjutnya
di bidang ketenagakerjaan. Pemerintah dalam waktu kurang dari dua tahun, telah
merevisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No.
12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan
mengeluarkan Permenakertrans Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan
Tenaga Kerja Asing. Dua peraturan ini dilahirkan dari rezim pemerintahan yang
berbeda. Revisi dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang
menuntut percepatan pembangunan dengan mendatangkan tenaga kerja Tiongkok.
Perubahan krusial terdapat pada ketentuan yang menghilangkan syarat pendidikan
S1 dan kemampuan berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing.
Tidak
hanya itu, ketentuan yang mengharuskan suatu perusahaan apabila ingin
memperkerjakan satu tenaga kerja asing, harus merekrut sepuluh tenaga kerja
Indonesia, kini juga dihapus oleh Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kemenakertrans). Semestinya, ketentuan
tentang persyaratan tenaga kerja asing ini harus menjadi perhatian serius,
khususnya terkait dengan posisi jabatan, jumlah, prosedur, dan waktu yang harus
dibatasi. Disini terlihat jelas bagaimana usaha dari pemerintah untuk merubah
aturan yang sudah ada agar memudahkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.
Eksodus Warga Negara Tiongkok
Sejak diberlakukannya kebijakan Bebas Visa
Kunjungan, maka jumlah warga negara asing ke Indonesia meningkat tajam.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan mancanegara
atau wisman dalam arti luas ke Indonesia Februari 2016 mencapai 888,3 ribu
kunjungan, naik 5,26 persen dibanding kunjungan Februari 2015. Begitu pula,
jika dibandingkan dengan Januari 2016, mengalami kenaikan sebesar 9,09
persen. Secara
kumulatif, Januari-Februari 2016, jumlah kunjungan wisman dalam arti luas ke Indonesia
mencapai 1,70 juta kunjungan atau naik 4,46 persen dibandingkan jumlah
kunjungan wisman pada periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah 1,63
juta kunjungan. Dari angka tersebut, sekitar tiga puluh persen didominasi oleh
warga negara Tiongkok.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Imigrasi pada tahun 2014, jumlah
pelanggaran keimigrasian yang dilakukan warga negara Tiongkok sangat
mendominasi. Perbandingan antara jumlah pelanggaran dan jumlah perlintasan yang
dilakukan oleh warga negara Tiongkok adalah 3.816 berbanding 884.743. Jumlah
tersebut adalah yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain
seperti.
Terkait dengan adanya eksodus sepuluh juta
warga negara Tiongkok ke Indonesia harus diantisipasi secara serius oleh
Pemerintah. Walaupun belum ada data konkrit, namun Wakil PM Tiongkok, Liu
Yandong, membenarkan akan ada sepuluh juta warga negara Tiongkok yang datang
secara bertahap ke Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan pada saat ia
memberikan pidato sambutan di Auditorium FISIP Universtias Indonesia tidak bisa
dianggap
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza
Mahendra dalam artikelnya di Republika (19/07) berpendapat angka sepuluh juta
wisatawan Tiongkok ke Indonesia memang bisa diperdebatkan. Tapi jumlah itu
dapat saja terjadi dalam beberapa tahun ke depan sejalan dengan kian
membesarnya pinjaman proyek dan investasi mereka di Indonesia. Ini bukan hanya
persoalan angka sepuluh juta, tetapi masalah kesempatan kerja rakyat Indonesia
yang dirampas oleh pekerja kasar dari Tiongkok. Semakin besar pinjaman dan
investasi mereka di Indonesia, maka semakin besar pula potensi ekspansi warga
negara Tiongkok di Indonesia. Mereka pada akhirnya hanya akan menciptakan
lapangan pekerjaan untuk warganya (Tiongkok) di Indonesia, sedangkan rakyat
kita tidak mendapat manfaat apapun.
Populasi
yang Melebihi Pencari Suaka dan Pengungsi
Perlu
dipahami, untuk jangka waktu panjang sebaran warga negara Tiongkok yang bekerja
di Indonesia dapat melebihi jumlah pencari suaka dan pengungsi yang sampai saat
ini menjadi persoalan yang tak kunjung usai bagi pemerintah. Dengan adanya
berbagai kemudahan yang diberikan, cepat atau lambat akan menimbulkan ancaman
serius bagi pemerintah.
Berdasarkan data yang dirilis
oleh Kemenakertrans, pada Tahun 2014 ada sekitar 68.000 tenaga kerja asing yang
bekerja di Indonesia dengan memiliki Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA). Lalu, pada tahun 2015 jumlah tenaga kerja asing di Indonesia berjumlah
69.000. Untuk bulan Juni 2016, telah
menyentuh angka 43.000 orang. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus mengalami
peningkatan.
Sedangkan untuk tenaga kerja
Tiongkok yang bekerja di Indonesia hingga Juni 2016, berjumlah 14.500 tenaga
kerja yang mendapatkan izin kerja secara sah. Sedangkan pada Tahun 2015
berjumlah 15.000 orang dan pada Tahun 2014 berjumlah 16.800. Berdasarkan data
tersebut, jumlah tenaga kerja Tiongkok yang datang ke Indonesia mengalami
kenaikan. Tren tersebut dipicu karena adanya hasil kerja sama bilateral G2G
antara Indonesia dan Tiongkok di sektor perekonomian.
Angka tersebut telah melampaui
jumlah imigran ilegal (pencari suaka dan pengungsi) di seluruh Indonesia yang
menurut data Direktorat Jenderal Imigrasi
per 30 September 2015, mencapai 13.405 orang. Perbedaan yang cukup jauh
mengingat migrasi warga negara Tiongkok ke Indonesia meningkat tajam hanya
dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun.
Memantapkan Kebijakan
Selektif Keimigrasian
Adanya
ekspansi tenaga kerja Tiongkok dalam jumlah besar dewasa ini, mengingatkan kita
akan politik pintu terbuka di masa lalu. Dulu pemerintah kolonial membuka akses
seluas-luasnya kepada pekerja murah dari Eropa dan Asia untuk kepentingan
urusan dagangnya. Pun demikian dengan orde baru di bawah pemerintahan Presiden
Soeharto. Selama tiga puluh dua tahun, kebijakan penanaman modal asing menjadi
suatu kebijakan tunggal,dengan tujuan tercapainya pembangunan.
Namun,
dengan adanya fakta yang terjadi saat ini, tentu kita seakan mengulangi
sejarah. Kebijakan selektif keimigrasian yang telah disepakati dalam konsep UU
No. 6 Tahun 2011, kini patut dipertanyakan. Bukan Direktorat Jenderal Imigrasi,
bukan pula pejabat imigrasi yang mengubah kebijakan itu, tetapi Presiden Joko
Widodo, pimpinan tertinggi di republik ini. Kebijakan Bebas Visa Kunjungan,
perubahan aturan ketenagakerjaan dan perjanjian bilateral di bidang
perekonomian dengan Tiongkok adalah bukti bahwa secara perlahan Indonesia telah
kembali pada konsep opendeur politiek atau
yang disebut politik pintu terbuka.
Kiranya
kalaupun ini terjadi, jangan sampai merugikan bangsa dan negara. Silahkan
Tiongkok melakukan investasi di Indonesia dengan membawa tenaga kerja nya. Tapi
taati ketentuan hukum di Indonesia. Indonesia adalah negara berdaulat. Jangan
sampai kita menjadi tamu di rumah sendiri. Kehadiran tenaga kerja Tiongkok selain
berdampak pada berkurangnya kesempatan kerja bagi masyarakat lokal, juga
berpotensi menimbulkan ancaman dan gangguan. Ini yang harus dihindari.
Saat
ini paket kebijakan pro investasi sudah dikeluarkan. Namun, jangan sampai
mengendurkan semangat Direktorat Jenderal Imigrasi dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Imigrasi harus dapat memainkan perannya sebagai fasilitator
pembangunan negara. Suatu peran yang memilki dampak strategis untuk menentukan
arah politik dan ekonomi Indonesia.
Pintu
gerbang negara adalah tanggung jawab Imigrasi. Fungsi pengamanan negara dan
penegakan hukum harus dikedepankan. Terbukti dari 6.800.000-an jumlah warga
negara asing yang masuk Indonesia per Juni 2016, Direktorat Jenderal Imigrasi
telah melakukan 4.715 tindakan administratif keimigrasian. Sebuah angka yang
cukup representatif, di saat investasi menjadi fokus pemerintah.
Diharapkan,
walau suasana politik ekonomi saat ini menuntut Indonesia harus membuka diri
dari masuknya tenaga kerja asing (Tiongkok), bukan berarti harus meninggalkan
kebijakan selektif keimigrasian. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang paling
tepat bagi Indonesia untuk menghadapi serbuan tenaga kerja Tiongkok. Kita tidak
dapat seenaknya memberikan akses masuk bagi orang asing, tapi juga tidak dapat menutup
diri secara ekstrim dari perkembangan global. Indonesia masih membutuhkan
investor untuk membangun, tetapi bukan berarti harus menggadaikan bangsa untuk
suatu proses yang instan. Silahkan mereka masuk, berinvestasi, dan bekerja di
Indonesia, tapi hanya mereka yang membawa manfaat serta tidak membahayakan
keamanan dan ketertiban umum. (Alvi)
Depok, Juli 2016
M. Alvi Syahrin
No comments:
Post a Comment