Wednesday, July 20, 2016

RESISTENSI KEBIJAKAN SELEKTIF KEIMIGRASIAN DITENGAH EKSODUS TENAGA KERJA TIONGKOK (?)

“..... walau suasana politik ekonomi saat ini menuntut Indonesia harus membuka diri dari masuknya tenaga kerja asing (Tiongkok), bukan berarti harus meninggalkan kebijakan selektif keimigrasian. Silahkan mereka masuk, berinvestasi, dan bekerja di Indonesia, tapi hanya mereka yang membawa manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum.”

Opendeur Politiek (Kebijakan Pintu Terbuka)
Sebagaimana diketahui kedatangan orang Belanda ke Indonesia pada abad XVI dan XVII adalah untuk berdagang rempah-rempah. Sejak semula Pemerintah Kerajaan Belanda amat mendukung usaha itu. Pada tahun 1602-1830, Kongsi Dagang Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), bersaing dengan kongsi-kongsi dagang Portugis, Spanyol, dan Inggris. Kongsi-kongsi dagang dari Eropa itu diperkuat dengan pasukan yang dipersenjatai. Para pedagang dari Portugis dan Spanyol kian tersingkir dari nusantara, digantikan oleh Belanda dan Inggris.

Setelah Kulturstelsel dihentikan, daerah Hindia Belanda dijadikan daerah penanaman modal dengan berbagai kemudahan bagi para kapitalis untuk bergerak di sektor perdagangan. Maka berdirilah onderneming yang bergerak di bidang perkebunan, maskapai-maskapai pertambangan minyak bumi, timah, batu bara, emas, dan industri pabrik gula. Semuanya itu tentu memerlukan tenaga kerja (manpower) yang luas.


Untuk mendapatkan tenaga kerja yang luas dan murah bagi para penanam modal, dilakukanlah politik yang memberi kesempatan yang luas kepada bangsa asing yang ingin masuk ke Indonesia. Maka membanjirlah arus migrasi ke Indonesia. Selain orang Belanda dan Eropa lainnya, didatangkan para pekerja murah dari daratan Tiongkok dan India.

Politik (kebijakan) keimigrasian yang diterapkan di Hindia Belanda disebut opendeur politiek atau yang disebut politik pintu terbuka (yang sebenarnya suatu istilah ekonomi kolonial), yaitu kebijakan yang membuka Hindia Belanda seluas-luasnya bagi orang asing untuk masuk, menetap, dan menjadi penduduk Hindia Belanda. Opendeur politiek pada hakikatnya tak pernah diubah sampai Indonesia merdeka. Menurut M. Iman Santoso, Mantan Direktur Jenderal Imigrasi sekaligus Guru Besar Ilmu Hukum Keimigrasian, menjelaskan secara tersurat tidak ada ditetapkan politik keimigrasian kolonial bersifat terbuka, tetapi dari berbagai peraturan di bidang kependudukan, kewarganegaraan, pemberian izin masuk, dan izin tinggal dapat disimpulkan bahwa politik keimigrasian pada masa kolonial adalah bersifat pintu terbuka.



Menurutnya, kebijakan politik pintu terbuka ini bermaksud membuka kesempatan seluas-luasnya bagi orang asing untuk menetap dan melakukan kegiatan di Hindia Belanda. Dengan semakin banyak dan bervariasi golongan atau keturunan bangsa asing masuk, tinggal, dan bekerja di Hindia Belanda maka semakin baik. Diharapkan sektor perekonomian dan politik tetap dikuasai bangsa asing, sehingga golongan bumiputera diharapkan akan tetap di bawah jajahan bangsa Belanda.

Singkat kata, kebijakan pintu terbuka ini mempunyai tujuan sebagai berikut: (i) mendapatkan tenaga kerja murah untuk menekan penduduk asli sekaligus menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi antara pendatang dan penduduk asli, (ii) menarik modal asing dan pengaruh asing sebesar-besarnya agar kesempatan bagi bumiputera (pribumi) semakin tertutup dan dapat ditekan oleh pengaruh tadi sehingga bangsa Indonesia sudah tentu tetap menjadi bangsa terjajah, dan (iii) bila ada serangan dari luar terhadap Hindia Belanda, pemerintah Belanda tidak akan sendiri menghadapinya karena negara penanam modal tidak akan tinggal diam untuk melindungi kepentingan modalnya. Dengan demikian bahwa poliitk keimigrasian kolonial hanya mengatur kehadiran orang asing dan berpihak pada kepentingan pemerintah jajahan.

Resistensi Kebijakan Keimigrasian
Sejak Indonesia merdeka hingga tanggal 22 Mei 1992, politik hukum keimigrasian masih merujuk pada aturan hukum kolonial. Dilihat dari sudut pandang sejarah Imigrasi di Indonesia, kebijakan kemigrasian masih belum sepenuhnya bersumber pada hukum nasional. Sebagaimana diketahui, orientasi kebijakan Presiden Soeharto pada masa itu adalah pembangunan yang  mengharuskan dibukanya pintu investasi sebesar-besarnya. Sehingga kebijakan keimigrasian yang berlaku dari zaman kolonial hingga masa pemerintahan Soerharto adalah bersifat terbuka.

Setelah diberlakukannya UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, maka kebijakan dan pengaturan keimigrasian yang tergambar adalah selective policy (kebijakan selektif). Namun dalam pelaksanaannya tidak maksimal, terutama sejak diberlakukannya kebijakan Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS). Kebijakan BVKS pada masa itu ditetapkan oleh Menteri Kehakiman RI  dalam SK No. M.O1-IZ.01.02 Tahun 1993 yang berisi pembebasan visa bagi kunjungan singkat 60 hari dan tidak dapat diperpanjang kepada 20 negara tambahan dan perubahan 26 negara Bebas Visa Kunjungan Wisata (BVKW) menjadi Bebas Visa Kunjungan Singkat, termasuk perubahan atas penambahan beberapa negara.


Modifikasi kebijakan BVKS dan BVKW ini muncul pada saat Joop Ave menjadi Menteri Pariwisata. Pada saat itu perluasan defenisi kepariwisataan secara internasional, bahwa wisata tidak lagi diartikan secara sempit sekedar rekreasi, tetapi juga meliputi kegiatan lain, asalkan bukan bekerja. Kalangan Imigrasi pada waktu itu tidak setuju pemberian BVKS terhadap orang asing. Kebijakan tersebut mendapat respon negatif dari salah seorang anggota Badan Perencana Pariwisata Nasional (Bapparnas), Hj. Irtje Irza Ratubagus Sianturi, sekaligus Pejabat Imigrasi yang menyampaikan pernyataan kepada Joop Ave bahwa Departemen Pariwisata harus meningkatan pengawasannya.

Sehingga dengan adanya kebijakan tersebut menyebabkan politik keimigrasian kembali bernuansa terbuka (opendeur policy). Akibatnya walaupun secara de jure disyaratkan selektifitas dalam hal lalu lintas orang keluar masuk wilayah RI, namun secara de facto wilayah Indonesia menjadi terbuka terhadap setiap kedatangan warga negara asing.

Dalam kurun waktu 71 tahun Indonesia merdeka, republik ini telah mengalami berbagai bentuk kebijakan keimigrasian. Indonesia pernah menganut prinsip kebijakan keimigrasian terbuka, selektif, dan selektif bernuansa terbuka. Resistensi ini tentu sangat dipengaruhi oleh suasana dan kepentingan politik di masing-masing pemerintahan.

Untuk saat ini kebijakan keimigrasian yang dianut dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian adalah kebijakan selektif yang meneruskan konsep kebijakan keimigrasian dalam UU No. 9 Tahun 1992. Di dalam Penjelasan UU No. 6 Tahun 2011 dijelaskan bahwa kebijakan selektif mengharuskan bagi orang asing yang masuk dan berada di wilayah Indonesia harus sesuai dengan maksud dan tujuannya. Kebijakan dimaksud dalam rangka melindungi kepentingan nasional, dimana hanya orang asing yang memberikan manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum diperbolehkan masuk dan berada di wilayah Indonesia.

Namun faktanya, saat ini kita terjebak kembali dalam konsep kebijakan keimigrasian kolonial. Jika beberapa puluh tahun yang lalu, tenaga kerja murah didatangkan untuk kepentingan investor Hindia  Belanda, saat ini pemerintah kembali mengulang orientasi kebijakan dengan mendatangkan tenaga kerja Tiongkok dengan dalih untuk mempercepat proses pembangunan. Kebijakan selektif menjadi tidak maksimal, ketika pemerintah menganulir regulasi nya sendiri hanya demi untuk percepatan pembangunan yang instan tanpa melihat dampak buruk ke depannya.

Paket Kebijakan Investasi Pro Tiongkok
Adanya perjanjian Governement to Governement (G2G) antara Indonesia dan Tiongkok di sektor perindustrian, berimplikasi pada sumber daya manusia yang digunakan. Kerap kali dalam kontrak yang disajikan, memuat ketentuan bahwa klausul kontrak dapat dilaksanakan jika menggunakan tenaga kerja dari negara asal, yaitu Tiongkok. Ketentuan ini ibarat satu paket dengan objek utama kontrak. Sehingga mau tidak mau, ketentuan ini harus dilaksanakan. Mengingat Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan fisik untuk meningkatkan perekonomian nasional.

Kebijakan Bebas Visa Kunjungan dan perubahan persyaratan tenaga kerja asing adalah sedikit regulasi yang membuka pintu arus masuknya warga negara Tiongkok ke Indonesia. Membeludaknya jumlah tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo, yaitu Kebijakan Bebas Visa Kunjungan. Kebijakan ini diawali dengan dibentuknya Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2015, hingga yang terakhir Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 yang memberikan Bebas Visa Kunjungan kepada 169 negara.

Kebijakan yang telah mengalami perubahan hingga tiga kali ini menjadi momentum bagi ekspansi masuknya warga negara asing ke Indonesia, khususnya Tiongkok. Tiongkok sebagai negara yang memiliki hubungan bilateral G2G terhadap Indonesia, sangat memiliki kepentingan terhadap kebijakan ini.


Alasan ekonomi dan pariwisata yang menjadi dasar pemberlakukan kebijakan Bebas Visa Kunjungan tidaklah tepat. Sejauh ini belum ada angka pasti yang menyebutkan seberapa besar pengaruh positif bagi perekonomian bangsa terkait dengan kebijakan tersebut. Dari sudut pandang legalitas, Kebijakan ini bertentangan dengan Pasal 43 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 yang mensyaratkan bahwa orang asing dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki visa apabila telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden dengan memperhatikan asas timbal balik dan asas manfaat. Lalu, apa Tiongkok juga memberlakukan Bebas Visa Kunjungan kepada Indonesia? Apakah kebijakan tersebut lebih besar manfaatnya dibanding kerugian yang ditimbulkan? Pertanyaan ini yang harus dijawab dan menjadi perhatian serius pemerintah.

Selanjutnya di bidang ketenagakerjaan. Pemerintah dalam waktu kurang dari dua tahun, telah merevisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan mengeluarkan Permenakertrans Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Dua peraturan ini dilahirkan dari rezim pemerintahan yang berbeda. Revisi dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menuntut percepatan pembangunan dengan mendatangkan tenaga kerja Tiongkok. Perubahan krusial terdapat pada ketentuan yang menghilangkan syarat pendidikan S1 dan kemampuan berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing.


Tidak hanya itu, ketentuan yang mengharuskan suatu perusahaan apabila ingin memperkerjakan satu tenaga kerja asing, harus merekrut sepuluh tenaga kerja Indonesia, kini juga dihapus oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Semestinya, ketentuan tentang persyaratan tenaga kerja asing ini harus menjadi perhatian serius, khususnya terkait dengan posisi jabatan, jumlah, prosedur, dan waktu yang harus dibatasi. Disini terlihat jelas bagaimana usaha dari pemerintah untuk merubah aturan yang sudah ada agar memudahkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.

Eksodus Warga Negara Tiongkok
Sejak diberlakukannya kebijakan Bebas Visa Kunjungan, maka jumlah warga negara asing ke Indonesia meningkat tajam. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan mancanegara atau wisman dalam arti luas ke Indonesia Februari 2016 mencapai 888,3 ribu kunjungan, naik 5,26 persen dibanding kunjungan Februari 2015. Begitu pula, jika dibandingkan dengan Januari 2016, mengalami kenaikan  sebesar 9,09 persen. Secara kumulatif, Januari-Februari 2016, jumlah kunjungan wisman dalam arti luas ke Indonesia mencapai 1,70 juta kunjungan atau naik 4,46 persen dibandingkan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah 1,63 juta kunjungan. Dari angka tersebut, sekitar tiga puluh persen didominasi oleh warga negara Tiongkok.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Imigrasi pada tahun 2014, jumlah pelanggaran keimigrasian yang dilakukan warga negara Tiongkok sangat mendominasi. Perbandingan antara jumlah pelanggaran dan jumlah perlintasan yang dilakukan oleh warga negara Tiongkok adalah 3.816 berbanding 884.743. Jumlah tersebut adalah yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain seperti.


Terkait dengan adanya eksodus sepuluh juta warga negara Tiongkok ke Indonesia harus diantisipasi secara serius oleh Pemerintah. Walaupun belum ada data konkrit, namun Wakil PM Tiongkok, Liu Yandong, membenarkan akan ada sepuluh juta warga negara Tiongkok yang datang secara bertahap ke Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan pada saat ia memberikan pidato sambutan di Auditorium FISIP Universtias Indonesia tidak bisa dianggap

Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra dalam artikelnya di Republika (19/07) berpendapat angka sepuluh juta wisatawan Tiongkok ke Indonesia memang bisa diperdebatkan. Tapi jumlah itu dapat saja terjadi dalam beberapa tahun ke depan sejalan dengan kian membesarnya pinjaman proyek dan investasi mereka di Indonesia. Ini bukan hanya persoalan angka sepuluh juta, tetapi masalah kesempatan kerja rakyat Indonesia yang dirampas oleh pekerja kasar dari Tiongkok. Semakin besar pinjaman dan investasi mereka di Indonesia, maka semakin besar pula potensi ekspansi warga negara Tiongkok di Indonesia. Mereka pada akhirnya hanya akan menciptakan lapangan pekerjaan untuk warganya (Tiongkok) di Indonesia, sedangkan rakyat kita tidak mendapat manfaat apapun.

Populasi yang Melebihi Pencari Suaka dan Pengungsi
Perlu dipahami, untuk jangka waktu panjang sebaran warga negara Tiongkok yang bekerja di Indonesia dapat melebihi jumlah pencari suaka dan pengungsi yang sampai saat ini menjadi persoalan yang tak kunjung usai bagi pemerintah. Dengan adanya berbagai kemudahan yang diberikan, cepat atau lambat akan menimbulkan ancaman serius bagi pemerintah.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Kemenakertrans, pada Tahun 2014 ada sekitar 68.000 tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dengan memiliki Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Lalu, pada tahun 2015 jumlah tenaga kerja asing di Indonesia berjumlah 69.000. Untuk bulan Juni 2016,  telah menyentuh angka 43.000 orang. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus mengalami peningkatan.


Sedangkan untuk tenaga kerja Tiongkok yang bekerja di Indonesia hingga Juni 2016, berjumlah 14.500 tenaga kerja yang mendapatkan izin kerja secara sah. Sedangkan pada Tahun 2015 berjumlah 15.000 orang dan pada Tahun 2014 berjumlah 16.800. Berdasarkan data tersebut, jumlah tenaga kerja Tiongkok yang datang ke Indonesia mengalami kenaikan. Tren tersebut dipicu karena adanya hasil kerja sama bilateral G2G antara Indonesia dan Tiongkok di sektor perekonomian.

Angka tersebut telah melampaui jumlah imigran ilegal (pencari suaka dan pengungsi) di seluruh Indonesia yang menurut data Direktorat Jenderal Imigrasi  per 30 September 2015, mencapai 13.405 orang. Perbedaan yang cukup jauh mengingat migrasi warga negara Tiongkok ke Indonesia meningkat tajam hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun.

Memantapkan Kebijakan Selektif Keimigrasian
Adanya ekspansi tenaga kerja Tiongkok dalam jumlah besar dewasa ini, mengingatkan kita akan politik pintu terbuka di masa lalu. Dulu pemerintah kolonial membuka akses seluas-luasnya kepada pekerja murah dari Eropa dan Asia untuk kepentingan urusan dagangnya. Pun demikian dengan orde baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Selama tiga puluh dua tahun, kebijakan penanaman modal asing menjadi suatu kebijakan tunggal,dengan tujuan tercapainya pembangunan.

Namun, dengan adanya fakta yang terjadi saat ini, tentu kita seakan mengulangi sejarah. Kebijakan selektif keimigrasian yang telah disepakati dalam konsep UU No. 6 Tahun 2011, kini patut dipertanyakan. Bukan Direktorat Jenderal Imigrasi, bukan pula pejabat imigrasi yang mengubah kebijakan itu, tetapi Presiden Joko Widodo, pimpinan tertinggi di republik ini. Kebijakan Bebas Visa Kunjungan, perubahan aturan ketenagakerjaan dan perjanjian bilateral di bidang perekonomian dengan Tiongkok adalah bukti bahwa secara perlahan Indonesia telah kembali pada konsep opendeur politiek atau yang disebut politik pintu terbuka.

Kiranya kalaupun ini terjadi, jangan sampai merugikan bangsa dan negara. Silahkan Tiongkok melakukan investasi di Indonesia dengan membawa tenaga kerja nya. Tapi taati ketentuan hukum di Indonesia. Indonesia adalah negara berdaulat. Jangan sampai kita menjadi tamu di rumah sendiri. Kehadiran tenaga kerja Tiongkok selain berdampak pada berkurangnya kesempatan kerja bagi masyarakat lokal, juga berpotensi menimbulkan ancaman dan gangguan. Ini yang harus dihindari.



Saat ini paket kebijakan pro investasi sudah dikeluarkan. Namun, jangan sampai mengendurkan semangat Direktorat Jenderal Imigrasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Imigrasi harus dapat memainkan perannya sebagai fasilitator pembangunan negara. Suatu peran yang memilki dampak strategis untuk menentukan arah politik dan ekonomi Indonesia.

Pintu gerbang negara adalah tanggung jawab Imigrasi. Fungsi pengamanan negara dan penegakan hukum harus dikedepankan. Terbukti dari 6.800.000-an jumlah warga negara asing yang masuk Indonesia per Juni 2016, Direktorat Jenderal Imigrasi telah melakukan 4.715 tindakan administratif keimigrasian. Sebuah angka yang cukup representatif, di saat investasi menjadi fokus pemerintah.

Diharapkan, walau suasana politik ekonomi saat ini menuntut Indonesia harus membuka diri dari masuknya tenaga kerja asing (Tiongkok), bukan berarti harus meninggalkan kebijakan selektif keimigrasian. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang paling tepat bagi Indonesia untuk menghadapi serbuan tenaga kerja Tiongkok. Kita tidak dapat seenaknya memberikan akses masuk bagi orang asing, tapi juga tidak dapat menutup diri secara ekstrim dari perkembangan global. Indonesia masih membutuhkan investor untuk membangun, tetapi bukan berarti harus menggadaikan bangsa untuk suatu proses yang instan. Silahkan mereka masuk, berinvestasi, dan bekerja di Indonesia, tapi hanya mereka yang membawa manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum. (Alvi)

Depok, Juli 2016
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment