Monday, August 19, 2013

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT YANG MELALUI JALAN RAYA TERHADAP KERUGIAN YANG DIDERITA OLEH PENUMPANG




Latar Belakang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai  bagian dari sistem transportasi nasional, lalu lintas dan angkutan jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.[1]

Begitu juga halnya dengan kegiatan transportasi angkutan jalan darat. Transportasi jenis ini, merupakan media yang paling sering digunakan oleh penumpang bila dibandingkan dengan transportasi lainnya. Hal ini dapat dipahami, bahwa transportasi kini menjelma menjadi sebuah kebutuhan masyarakat dewasa ini.

Menurut Sution Usman Adji, et al., pengangkutan[2] tidak lain adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efesiensi.[3] Hal serupa juga dikemukakan oleh H.M.N Purwosutjipto bahwa fungsi pengangkutan adalah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai.[4]

Dari rumusan tersebut, dapat kita pahami bahwa orang merupakan satu dari objek pengangkutan. Dengan demikian, segala yang terjadi dalam pengangkutan orang tersebut juga memiliki konsekuensi yuridis. Misalnya, kecelakaan pengangkutan orang di jalan raya sehingga mengakibatkan kerugian bagi penumpang. Sehingga dapat dipahami bahwa pengangkutan orang merupakan pekerjaan tertentu yang memerlukan akan pekerjaan itu dengan pemberian upah.[5] Sehingga layaknya “perjanjian jual beli” pada umumnya, maka orang (penumpang) sebagai konsumen, wajib hukumnya untuk dilindungi.

Masalah kerugian bagi penumpang ini, dapat dipahami secara tersirat dalam pengertian pengangkutan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian pengangkutan orang yang menjadi objeknya ialah orang. Sehingga dalam hal ini, tugas pengangkut hanyalah membawa atau mengangkut orang-orang itu sampai di tempat tujuan dan selamat. Dengan demikian, kewajiban utama pengankut dalam pengangkutan orang khususnya jalan raya adalah mengangkut orang (d.h.i penumpang) dengan selamat sampai tujuan.

Konsekuensi yuridis dari hal tersebut adalah pengangkut harus bertanggung jawab atas segala kerugian atau luka-luka yang diderita oleh penumpang, yang disebabkan karena atau berhubung dengan pengangkutan yang diselenggarakan itu, kecuali bila pengangkut dapat mengdikulpir dirnya.[6] Oleh karena itu, penumpang yang menderita kerugian itu dapat menuntut ganti kerugian kepada pengangkut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.[7]

Namun, dalam praktek sehari-hari sering kali adanya eksonerasi dari pengangkut terhadap peristiwa yang terjadi. Misalnya, kerugian yang diderita oleh penumpang atas terjadinya kecelakaan tidak dapat dimintakan ganti kerugian bila kerusakan atau kerugian tersebut terjadi karena tidak sempurnanya bungkusan (verpakking) barang yang diangkut) barang yang diangkut dan hal itu telah diberitahukan oleh pengangkut kepada penumpang sebelum pengangkutan dimulai.

Terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan kerugian bagi penumpang bukanlah suatu hal yang baru. Hal ini telah menjadi suatu kebiasaan, khususnya bagi negara-negara berkembang, dimana tingkat teknologi transpotasi serta kesadaran hukum berlalu lintas masih sangat rendah. Hal ini diperparah dengan tidak setaranya kedudukan antara pengangkut dan penumpang. Walaupun dalam banyak teori yang mengungkapkan bahwa kedudukan diantara keduanya adalah seimbang[8], namun dalam tatanan praktis, hal ini jauh dari harapan. Penumpang sering kali menjadi pihak yang lemah (inferior). Sedangkan pengangkut sebaliknya. Ia menjelma menjadi makhluk yang super kuat (superior). Hal ini salah satunya disebabkan karena tingkat pengetahuan dan wawasan pengangkutan yang minim dari penumpang. Sehingga kerugian yang diderita pun, tidak ada tindak lanjut yang nyata, kecuali diteruskan secara pidana.

Adanya ketimpangan ini, maka berdampak pada sistem tanggung jawab yang harus diemban oleh pengangkut atas kerugian penumpang yang diakibatkan oleh kesalahan pengangkut.[9] Bahkan tidak jarang, pengangkut tidak melakukan respons apapun. Sehingga, yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah sistem tanggung jawab pengangkut masih relavan dewasa ini.

Dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1992 yang mengatur hal yang sama, diharapkan adanya perbaikan sistem tanggung jawab pengangkut. Selain itu juga, urgensi dari diundangkannya undang-undang ini, tidak lain mengupayakan agar terciptanya kondisi transportasi jalur darat yang kondusif. Oleh karena itu, bentuk tanggung jawab pengangkut atas kerugian yang diderita oleh penumpang menjadi perhatian serius.

Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diidentifikasi suatu permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini, yaitu apa sistem bentuk tanggung jawab yang diemban pengangkut atas kerugian yang diderita oleh penumpang menurut UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan?


Sistem Bentuk Tanggung Jawab yang Diemban Pengangkut atas Kerugian yang Diderita Oleh Penumpang Menurut UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan     
Pengangkutan yang didasarkan pada perjanjian yang berprinsip pada konsensuil atau kesepakatan, menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Dalam melakukan kewajiban tersebut, disertai dengan perbuatan yang memback-up atau menanggualngi resiko yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan (eksekusi) perjanjian itu.

Sama halnya  dalam pelaksanaan kewajiban pengangkut untuk mengangkut penumpang dengan selamat dan sampai tujuan, terdapat kemungkinan terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian bagi penumpang. Peristiwa ini dapat terjadi lantaran kesalahan pengangkut baik sengaja maupun lalai ataupun adanya hal-hal mendesak dan tidak dapat dihindari. Untuk itulah diperlukan adanya sebuah tanggung jawab yang didalamnya timbul secara langsung maupun secara tidak langsung karena perlu adanya pembuktian. Sebagai sarana atau alat dalam membagi sejauh mana tanggung jawab yang harus dipikul oleh pengangkut, diklasifikasikanlah prinsip tanggung jawab. Menurut Saefullah Wiradipradja yang dikutip oleh Abdulkadir Muhammad[10], Prinsip tanggung jawab yang menjadi dasar dalam hukum pengangkutan, yaitu:

  1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (Liability Based On Fault Principle)Dalam prinsip ini setiap pengangkut melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian yang timbul akibat dari kesalahan itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu.
  1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (Presumption of Liability Principle)Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebankan dari kewajiban membayar ganti kerugian.
  1. Prinsip tanggung jawab mutlak (Absolute Liability Principle)Pengangkut harus bertanggung jawab membayar kerugian terhadap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun.
  1. Prinsip Praduga Bahwa Pengangkut Selalu Tidak Bertanggung Jawab (Presumption of Non Liability)Dalam prinsip ini pengangkut tidak bertanggung jawab terhadap barang yang dibawa sendiri oleh penumpang pada saat diselenggarakannya pengangkutan. Prinsip ini hanya dapat diterapkan pada bagasi tangan dan beban pembuktian terletak pada penumpang.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Angkutan menjelaskan mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian yang diderita penumpang terklasifikasi dalam dua bagian yaitu:
  1. Tanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang dalam keadaan tidak adanya kecelakaan lalu lintas.
Hal ini diatur dalam Pasal 188, 189, 191 dan 192.  Yang perlu diperhatikan, terhadap perusahaan angkutan umum wajib untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan (Pasal 188).

Pasal ini menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Walaupun dalam pasal tersebut mengandung unsur “lalai”, dan termasuk dalam kesalahan. Selain itu pula, pasal ini sesuai dengan pasal 1366 KUHPerdata, yaitu
“Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”.
Bahkan Undang-Undang No 22 Tahun 2009 memberikan suatu kemudahan dalam memikul tannggung jawab tersebut dengan cara mengasuransikannya (Pasal 189). Selain itu juga, Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan (Pasal 191).

Pasal ini sama seperti dalam pasal 1367 huruf c KUHPerdata, dimana majikan dan orang yang mengangkat wali untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu.

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang (Pasal 192 ayat 1). Pengecualian yang dimaksud dalam ayat ini merupakan diskulpasi pengangkut. Diskulpasi ini sama dalam Pasal 1367 huruf e, dimana tanggung jawab majikan terhadap bawahannya berakhir tanggung jawabnya dengan membuktikan bahwa dirinya tidak dapat mencegah kejadian itu terjadi.

Selanjutnya kerugian yang dimaksud menurut Pasal 192 (ayat 2) merupakan kerugian yang nyata-nyata dialami atau bagian biaya pelayanan. Tanggung jawab ini berakhir ketika pengangkut dapat melaksanakan kewajibannya untuk mengantarkan penumpang ke tempat tujuan dengan selamat. Lebih lanjut Pasal 192 ayat 4 dengan tegas menyatakan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan penumpang, kecuali penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian itu ditimbulkan dari kesalahan atau kelalaian pengangkut. Pasal ini jelas mengadopsi dari prinsip praduga bahwa pengangkut selalu tidak bertanggung jawab (presumption of non liability).

  1. Tanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang ketika terjadi kecelakaan lalu lintas.
Uraian mengenai sistem tanggung jawab ini diatur dalam Pasal 234 ayat (1) dan (3), serta Pasal 235. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa terhadap  Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi (Pasal 234 ayat 1). Namun, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika: adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi, disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan/atau disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan (ayat 3).

Lebih lanjut Pasal 235 menyatakan bahwa Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana (ayat 1)

Selanjutnya, jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana (ayat 2).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa ada dua macam bentuk sistem tanggung jawab dari pengangkut terhadap kerugian penumpang dalam angkutan jalan, yaitu tanggung jawab atas kerugian penumpang dalam keadaan tidak adanya kecelakaan lalu lintas dan tanggun jawab atas kerugian penumpang ketika kecelakaan lalu lintas. Bila kita analisis dari dua sistem tanggung jawab tersebut, maka sejatinya keduanya sedikit banyak mengandung unsur sistem tanggug jawab yang secara prinsip menjadi sistem tanggung jawab pengangkut pada umumnya.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa ada dua macam bentuk sistem tanggung jawab dari pengangkut terhadap kerugian penumpang dalam angkutan jalan berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, adalah:
Tanggung jawab atas kerugian penumpang dalam keadaan tidak adanya kecelakaan lalu lintas;
- Tanggung jawab atas kerugian penumpang ketika kecelakaan lalu lintas.


DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
H.M.N. Purwosutjipto. 2003. Cet-6. Pengertian Pokok Hukum Dagang: Hukum    Pengangkutan. Jakarta: Djambatan
Sution Usman Adji, et al. 1998. Hukum Pengangkutan di Indonesia, Jakarta: Rineka          Cipta
Tim Pengajar Hukum Dagang. 2006. Bahan Ajar Hukum Dagang. Palembang:       Universitas Sriwijaya

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-undang Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU No. 22 Tahun   2009, LN Nomor 96 Tahun 2009
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblaad Nomor 23 Tahun 1847




                [1] Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
                [2] Istilah pengangkutan kini, disamakan dengan Transportasi
                [3] Sution Usman Adji,et al.1998.Hukum Pengangkutan di Indonesia.Jakarta: Rineka Cipta,hlm 1
                [4] H.M.N. Purwosutjipto. 2003. Cet-6. Pengertian Pokok Hukum Dagang: Hukum Pengangkutan. Jakarta: Djambatan. hlm 1
                [5] Ibid., hlm 7
                [6] Ibid., hlm 53
                [7] Rumusan ketentuan ini tidak jauh berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
                [8] Lihat, H.M.N. Purwosutjipto. Op. cit., hlm 7
                [9] Baca H.M.N. Purwosutjipto., Op. cit., hlm 62
                [10] Saefullah Wiradipraja dalam Abdulkadir Muhammad, dikutip pula oleh Tim Pengajar Hukum Dagang. 2006. Bahan Ajar Hukum Dagang. Palembang: Universitas Sriwijaya. hlm 108-109.

Palembang, November 2009
M. Alvi Syahrin

No comments:

Post a Comment